Saya dilahirkan di Kota Padang,Sumatera Barat,pada
jaman Jepang. Atau tepatnya,pada tanggal 21 mei, jam 2 pagi waktu
Nippon, tahun seribu sembilan ratus empat poeloeh tiga. Saya adalah anak
ke 8 dari 11 orang bersaudara.
Sewaktu mulai masuk S.D. ,yang pada waktu itu bernama
Sekolah Rakyat, saya merasakan ada suatu kejanggalan. Karena walaupun
kami sekelas,tetapi ketika istirahat ,yang dulu istilahnya “turun
main”,kami terpisah jadi dua kelompok. Pada waktu itu saya sungguh tidak
mengerti apa yang penyebabnya.
Namun sebagai seorang anak kecil, saya hanya bisa
menyimpan perasaan tidak nyaman ini di dalam hati.Seiring dengan
berjalannya waktu,saya baru menyadari bahwa hal itu terjadi,karena murid
murid merasa beda suku ,beda asal usul dan beda budaya. Belakangan
muncullah istilah “pri dan nonpri”.Entah siapa yang mulai mencetuskannya
dan tepatnya tahun berapa,sungguh saya tidak tahu dan tidak ingin
mencari tahu. Karena hanya akan membuat hati saya bertambah gundah.
Semakin lama perasaan ini semakin menumpuk dan
menjadi beban di pikiran dan hati . Tapi karena hidup kami pada waktu
itu dalam keadaan morat marit,maka kegudahan rasa hati itu,untuk
sementara waktu tenggelam oleh beban hidup yang harus kami tanggung.
HARUS ADA YANG MEMULAI
Ketika sudah dewasa,saya melihat dengan sangat jelas
kepincangan yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat. Saya
berunding dengan istri saya, bahwa kami harus keluar dari zona keamanan
dan kenyamanan yang selama ini terus dipertahankan .Saya bersyukur,istri
dan anak anak kami mendukung sepenuhnya. Namun orang tua kami keberatan
,karena menguatirkan keselamatan kami.
Kami menyampaikan dengan sopan,bahwa hal itu sudah
menjadi keputusan kami. Karena prinsip hidup saya,kalau ingin mengubah
masyarakat,harus mulai dengan diri sendiri terlebih dulu. Walaupun
resikonya ,kami dianggap orang aneh oleh masyarakat.
Kami membeli rumah di kawasan Wisma Indah I di kota
Padang. Pada waktu itu kami adalah orang “non pri”pertama tama yang
memilih tinggal disana. Kami bersyukur dalam waktu singkat,kami sudah
diterima dengan sangat baik dilingkungan baru ini. Bahkan setiap bulan
puasa,teman teman yang beragama muslim kami undang tiap malam minggu
,untuk “buka” bersama di rumah kami. Dan bila hari raya tiba,anak anak
sekampung sejak dari pagi sudah antri di depan pintu rumah kami. Istri
saya Lina,sudah mempersiapkan dua pak uang baru,untuk dibagi bagikan
kepada setiap anak yang datang.
BERSAHABAT DARI MULAI TUKANG KEBUN ,HINGGA WALI KOTA
Taman yang ada di halaman rumah,dirawat oleh seorang
tukang kebun,yang nota bene adalah tetangga yang tinggal dikampung dekat
rumah kami. Suatu hari, kebetulan kami lagi santai di rumah, tukang
kebun ini,kami ajak makan bersama. Ia menangis terharu,karena selama ini
belum pernah ada tuan rumah yang mau mengajaknya makan bersama . Kami
katakan,pembantu rumah tangga kami juga makan semeja bersama kami setiap
harinya. Maksud kami mau menentramkan hatinya..eeh malah Pak
Udin,tukang kebun kami malah semakin menangis sesegukan.
Hasil rawatannya dan di tata oleh istri saya,
pekarangan rumah kami ,mendapatkan Sertifikat Penghargaan dari Menteri
Lingkungan Hidup ,pada waktu itu Pak Emil Salim.
Wali kota Padang pada waktu itu adalah Pak Syahrul
Ujud SH,yang dilantik menjadi walikota dalam usia 35 tahun,adalah salah
satu dari tetangga kami. Bahkan sewaktu acara selamatan di kediamannya,
saya diminta untuk mendampinginya untuk menerima tamu. Saya heran kenapa
memilih saya,padahal saya tidak pernah membantu apapun ,secara materi.
Namun walaupun masih dalam tanda tanya,permintaanya saya penuhi. Maka
jadilah saya “nonpri” pertama di Kota Padang,yang mendampingi Walikota
,untuk menyambut tamunya. Sesuatu yang dirasa aneh orang masyarakat.
MENANGISI PERPISAHAN
Pada waktu kami pamitan,untuk pindah ke Jakarta,
seluruh tetangga kami datang dan memeluk kami ,sambil menangis. Tidak
setitikpun terlihat ,ada yang membedakan antara “pri dan nonpri” ataupun
masalah beda budaya dan agama. Saya sangat bersyukur kepada Tuhan,bahwa
setidaknya kami sekeluarga adalah orang “nonpri” pertama yang
menunjukkan:”kami juga orang Indonesia”
Sejauh apapun jarak memisahkan kami.namun hingga saat
ini,persahabatan kami tetap berlangsung.Bahkan setiap ada pernikahan
salah satu dari anak cucu,mereka selalu menelpon untuk memberitahukan
kepada kami.
HIDUP ADALAH SEBUAH PILIHAN
Australia
Saya memandangi sebuah bendera Merah Putih,ukuran
mini yang terpajang sepanjang tahun dimeja kerja saya di kediaman putri
kami di Avenue, Mount Saint Thomas. Tanpa terasa ,saya dan istri sudah
menjadi penduduk Australia ,selama hampir sepuluh tahun. Suatu rentang
waktu yang cukup panjang.
Persyaratan untuk mendapatkan Permanent Resident atau
Penduduk Tetap di sini ,semakin lama semakin diperketat. Bahkan
kabarnya sekarang ,setelah melalui semua proses dan dinyatakan lulus
untuk mengajukan permohonan untuk menjadi Warga Negara Australia,masih
harus memenuhi persyaratan finansial,yaitu menyetor uang senilai 65 ribu
dollar Australia ,per satu orang. Nilai ini ,kalau dikalkulasikan
,setara dengan 700 juta rupiah.(terbilang: tujuh ratus juta
rupiah).Sengaja saya tuliskan ,untuk menyatakan bahwa saya sama sekali
tidak salah ketik angka .
Saya dan istri ,beruntung karena sepuluh tahun
lalu,kami hanya di jamin oleh putra dan putri kami yang berdomisili di
Australia ,semenjak 20 tahun lalu. Putri kami ,yang merupakan anak
bungsu dari 3 bersaudara ,awalnya study dibidang Interior Design di kota
Perth ,Australia.Selesai study ,ketemu jodohnya seorang pria Australia.
Sedangkan putra pertama ,dapat kontrakan kerja di salah satu perusahaan
di Australia. Karena akan bekerja untuk jangka waktu panjang,memboyong
istri dan anak anaknya ke Benua Kanguru ini. Nah ,ini adalah alasan yang
menyebabkan kami bolak balik Indonesia – Australia.Dengan status
sebagai Penduduk Australia,maka hal ini mempermudah kami ,karena kami
bisa keluar masuk ke Australia,tanpa harus sibuk mengurus visa lagi.
Kecuali tiap 5 tahun sekali,harus memperpanjang ijin menetapnya .
MENENTUKAN PILIHAN HIDUP
Tahun lalu ,kami datang ke kantor imigrasi Australia
,yang berlokasi di Harbour Town,Perth. Karena sudah biasa,kami tidak
perlu bertanya lagi keloket informasi. Melainkan langsung ke lantai 3
,bagian Perpanjangan Visa. Tidak begitu banyak orang yang antri.sehingga
kami dapat nomer antrian ke 8. Disamping kami ada seorang pria setengah
baya yang lagi duduk memegang Paspor. Ia menyapa kami.:’Maaf,bapak dan
ibu dari Indonesia yaa?”
“Benar Pak,” jawab saya dengan gembira ,karena ketemu
orang setanah air di rantau orang. Pria inimemperkenalkan namanya:”
Sutarji”(bukan nama sebenarnya).Dan selanjutnya kami terlibat dalam
pembicaraan sekitar masalah domisili di Australia. Kami jelaskan ,bahwa
kami sudah lama menjadi Permanent Residence,sudah hampir 10 tahun.
“Wah enak dong,sebentar lagi sudah bisa jadi Citizen
kan ? (maksudnya jadi warganegara Australia). Kalau sudah jadi warga
Australia ,enak dong pak.tiap bulan dapat uang saku.lumayan sekitar 850
dollar per orang .Kalau saya sudah menunggu 5 tahun,bahkan sudah invest
disini ,dengan membuka restaurant di Perth. Lumayan sekitar 20 milyar
rupiah.tapi hingga saat ini pengajuan P.R saya belum dikabulkan. Saya
kesini mau memperpanjang visa kunjungan “katanya dengan wajah agak
sedih.
“Hmmm jadi hari ini bapak ibu mau appointment untuk
tanggal pelantikan jadi warganegara Australia yaa?” Selamat yaa.,” kata
Pak Sutarji.sambil mengulurkan tangannya.
Namun kami menjelaskan,justru kami memilih tetap jadi warganegara Indonesia.
Ia kaget dan memandang kami dengan tegang. “Bapak bercanda yaa?”
“Bukan Pak Sutarji,memang kami memilih ,tetap jadi W.N.I”
“Pak Effendi,anda keliru mengambil keputusan, Saya
sudah menunggu 8 tahun,namun belum dapat. Anda disodori,malah menolak..”
Percayalah ,anda tidak akan dianggap pahlawan,karena mengambil
keputusan ini. Sungguh menurut saya,anda hanya terbawa emosi”
“ “Kalau sudah usia begini,janganlah idealime juga
yang dijadikan pegangan pak. Kita hidup dialam realita. Kita butuh
hidup.butuh uang. Idealisme tidak bisa mengenyangkan kita. .Begini Pak
‘Effendi,kalau boleh saya berterus terang ya.,Saya ini kan
pribumi,tapi kalau dapat kesempatan seperti bapak,pasti tidak akan saya
lewatkan. Nah,Pak Effendi,walaupun memilih tetap jadi Warganegara
Indonesia.percayalah dimata masyarakat,pak Effendi tetap”nonpri”.
Saya terpana mendapatkan kuliah gratis secara dadakan
ini. Tapi saya tidak marah,karena prinsip hidup saya:” Biarkanlah orang
lain merasa dirinya lebih pintar dari kita, karena kita tidak akan rugi
apapun”.
Saya cuma manggut manggut,untuk menghargai lawan
bicara saya yang agak agresif. Dan syukurlah tiba tiba nomer antrian
saya dipanggil : “Nomer 8 ,please proceed to counter 1”
Maka saya ajak istri saya dan langsung pamitan,pada Pak Sutarji.
MEMENUHI PERSYARATAN UNTUK JADI WARGA AUSTRALIA
Kami langsung melangkah menuju ke loket.Belum sempat
kami menyapa, petugasnya seorang wanita muda sudah terlebih dulu menyapa
dengan ramah:” Good morning….I am Mary.what can I do for you ?”
Kami jelaskan dengan singkat ,sambil menyodorkan paspor Indonesia kami,yang sudah ditempelin “Permanent Visa”.
“Maaf ya,saya cek sebentar untuk anda berdua. Terus
berselancar dengan internet. Dan hanya selang waktu beberapa menit,
sudah menemukan data data tentang diri kami . Kami melihat Mary
tersenyum senyum,sementara jemarinya dengan cekatan menari nari diatas
keyboard Lap Top yang ada dihadapannya.
Dan,agak sedikit kaget kami mendengarkan
..:”Excellent!” katanya dengan nada gembira. “Anda berdua sudah memenuhi
persyaratan untuk menjadi Warganegara Australia. Congratulations,”
katanya sambil menyalami kami berdua. Kemudian masih meneruskan
penjelasannya,bahwa karena kami sudah memiliki Senior Card,maka kami
tidak perlu lagi menjalani test ,sebagaimana diwajibkan bagi pemohon
lainnya yang masih muda. Seraya memberikan kami berkas berkas blanko
aplikasi dan hak hak kami ,bila kami sudah mengucapkan ikrar sebagai
Warganegara Australia.
Karena kami sudah mengajukan aplikasi untuk
mendapatkan Status sebagai penduduk Australia ,semenjak 10 tahun
lalu.maka menurut peraturan lama,masing masing kami akan mendapatkan
santuan tiap bulannya 850 dollar,yang setara dengan 10 juta rupiah tiap
bulannya, sepanjang hayat.Suatu tawaran yang cukup menarik bukan?
Namun ,kami mengucapkan terima kasih untuk
penjelasannya. Kami hanya minta Status sebagai Permanent Residence kami
diperpanjang. Dalam arti kata,kami tetap memilih menjadi warganegara
Indonesia. Dengan resiko,kami secara serta merta,kehilangan kesempatan
untuk mendapatkan tunjangan pension . Mary agak terperanjat.” Are you
sure?!”,katanya dengan nada hampir tidak percaya ,akan keputusan yang
kami sampaikan kepadanya.
Ya,kami sudah memutuskan,” jawab saya. Dengan
menggerakkan bahunya ,Mary hanya berkomentar singkat:” Okay ,kalau anda
berdua sudah memutuskan. Itu hak anda .”
Dalam waktu kurang dari 5 menit, secarik kertas di
print out dari printer nya dan distempel ,kemudian dilekatkan pada
paspor kami masing masing. Sambil berucap:” Silakan ,tidak ada biaya
apapun ,”katanya sambil tersenyum.
Kamipun pamit,sambil mengucapkan terima kasih.
Renungan:
Sepanjang perjalanan pulang kerumah,diatas train yang
mengangkut kami dari Perth ke stasiun Joondalup,pikiran saya kembali
menerawang pada pembicaran dengan Pak Sutaji tadi pagi.
Saya diingatkan ,agar jangan terjerumus oleh idealime
yang memabukkan. Saya diminta untuk hidup berdasarkan realita,yaitu
hidup memerlukan uang .
Saya jadi kepikiran,andaikan realita hidup itu
hanyalah uang semata atau sesuatu yang bisa dilihat dan dipegang, maka
akan sengasaralah hidup manusia. Orang tidak lagi percaya akan cinta,
ketulusan, persahabatan, bahkan mungkin orang meragukan “Keberadaan
Tuhan”, karena tidak bisa dilihat dan dipegang. Andaikan realita adalah
semata mata materi,maka orang tidak akan segan untuk menghianati
sahabatnya demi sebungkus nasi.
Pikiran yang bolak balik ini,membuat saya
gundah dan sedih. Ternyata 70 tahuh berusaha hidup sebagai orang
Indonesia,masih dikatakan: ”Non pribumi” oleh Pak Sutarji. Namun kami
tidak pernah menyesali keputusan kami. Inilah namanya hidup.Setiap
pilihan selalu mengandung resiko. Dan kami sudah siap menerima resiko
itu.
Rasa hati saya, untuk kali ini, bukan Ibu
Pertiwi yang menangis, tapi kami berdualah yang menangis…Karena tetap
dianggap anak angkat,bahkan mungkin anak tiri dari Ibu Pertiwi.
Dari Rantau orang,24 Oktober,2013
Tjiptadinata Effendi
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com