Berikut ini kami ketengahkan beberapa fatwa ulama berkaitan seputar hubungan suami istri di bulan Ramadhan. Semoga bermanfaat.
PERTANYAAN: Apakah boleh bagi orang yang berpuasa menyetubuhi istrinya di malam-malam bulan Ramadhan? Dan apa dalilnya?
JAWABAN:
Ya, hal itu dibolehkan dan dalil untuk hal itu adalah firman Allah Ta’ala:
“Dihalalkan buat kalian pada malam puasa untuk menggauli istri-istri kalian.” (QS. Al-Baqarah: 187)
PERTANYAAN: Apa hukum orang yang bersetubuh dengan istrinya
di siang hari bulan Ramadhan dan apakah dibolehkan bagi musafir apabila
ia telah berbuka kemudian menyetubuhi istrinya?
JAWABAN:
Bagi orang yang menyetubuhi istrinya di siang hari bulan Ramadhan
padahal dia sedang puasa dengan puasa wajib, maka wajib baginya membayar
kaffarah, yakni -yang saya maksud- kaffarah adz-dzihar, disertai dengan
wajibnya mengqadha serta bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
atas apa yang dia terjerumus darinya. Adapun jika dia dalam keadaan
musafir atau sakit dengan sakit yang membolehkan baginya untuk berbuka,
maka tidak ada kaffarah baginya dan tidak mengapa serta wajib baginya
mengqadha puasa dari hari yang dia melakukan hubungan badan dengan
istrinya tersebut. Karena musafir dan orang yang sakit diperkenankan
bagi keduanya berbuka dan melakukan hubungan seks dengan istrinya,
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Barangsiapa dari kalian sakit atau dalam keadaan safar, maka gantilah di hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Hukum bagi seorang wanita dalam hal ini sama seperti hukum bagi
seorang lelaki, jika puasanya wajib, maka wajib baginya untuk membayar
kaffarah disertai dengan qadha dan jika dalam keadaan musafir atau sakit
dengan sakit yang memberatkan bila dia berpuasa, maka tidak ada
kaffarah baginya.
PERTANYAAN: Apa hukum bagi bagi seorang yang sedang berpuasa
makan dan minum atau bersetubuh dengan istrinya dengan perkiraan bahwa
matahari telah tenggelam atau waktu fajar belum terbit?
JAWABAN:
Yang benar, baginya qadha dan kaffarah adz-dzihar dari jima’ [1],
menurut pendapat jumhur ulama, dalam rangka menutup pintu sikap
penggampangan/peremehan dan berhati-hati terhadap puasa.
PERTANYAAN: Apa penyebab turunnya firman Allah Ta’ala:
“Dihalalkan buat kalian pada malam puasa untuk menggauli istri-istri kalian.” (QS. Al-Baqarah: 187)
JAWABAN:
Sebab turunnya (asbabun nuzul) ayat yang mulia ini -sebagaimana yang
telah dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan selainnya dari hadits Al-Baraa’
bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Dahulu para sahabat Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam apabila seorang sedang berpuasa, kemudian
tiba waktu berbuka, lalu tertidur/sengaja tidur sebelum berbuka tidak
makan pada malam hari dan tidak pula pada siang hingga sore harinya. Dan
sesungguhnya Qais bin Sharmah Al-Anshari sedang berpuasa, maka ketika
tiba waktu berbuka ia mendatangi istrinya dan berkata kepadanya: “Adakah
kamu mempunyai makanan?” Ia berkata: “Tidak, aku akan pergi mencarikan
untukmu.” Pada hari itu ia bekerja (cukup) keras, sehingga ia pun
tertidur kecapaian, lalu datanglah istrinya dan si istri menjumpainya
dalam keadaan tidur, seraya berkata: “Kerugian untukmu.” Maka ketika
sudah masuk pertengahan siang ia terbangun. Dan disampaikanlah hal itu
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian turunlah ayat:
“Dihalalkan buat kalian pada malam puasa untuk menggauli istri-istri kalian ….” [2] (QS. Al-Baqarah: 187)
Maka bergembiralah mereka dengan kegembiraan yang sangat, dan turunlah ayat:
“Dan makan serta minumlah kalian sampai nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Dan dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan: Ketika turun perintah puasa
di bulan Ramadhan, mereka tidak mendekati (menggauli -ed.) wanita selama
bulan Ramadhan penuh dan para suami mereka mengkhianati diri-diri
mereka, lalu Allah turunkan ayat-Nya:
“Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena
itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu.” (QS. Al-Baqarah:
187)
PERTANYAAN: Seseorang menyetubuhi istrinya, padahal si istri sedang berpuasa apakah batal puasanya?
JAWABAN:
Ya, apabila dia menyetubuhi istrinya dan si istri sedang berpuasa,
maka batallah puasanya [3], tanpa ada khilaf -sepengetahuan saya-,
kecuali dalam satu keadaan saja yaitu: bila si istri dipaksa untuk
melakukan persetubuhan, sesungguhnya apabila si istri dipaksa oleh sang
suami untuk melakukan hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan dan
ia menyerah dengan pasrah kepada sang suami, maka yang nampak bagiku
-wallahu a’lam- bahwasanya si wanita tersebut tidak batal puasanya.
Wallahu a’lam.
PERTANYAAN: Apabila seorang suami menyetubuhi istrinya
(keduanya sedang berpuasa) tetapi tidak sampai mengeluarkan sperma,
apakah mengharuskan keduanya melakukan apa yang dilakukan oleh orang
yang bersetubuh sampai selesai?
JAWABAN:
Ya, mengharuskan keduanya melakukan sebagaimana yang harus dilakukan
oleh orang yang menggauli (bersetubuh dengan) istrinya sampai selesai,
selama al-hasyafah (bagian kepala dzakar laki-laki -pent.) telah
terbenam di dalam kemaluan wanita (walaupun keduanya tidak sampai
mengeluarkan sperma -pent.), demikianlah pendapat kebanyakan para ulama.
Wallahu a’lam.
PERTANYAAN: Apakah wajib bagi seorang wanita membayar
kaffarah apabila ia disetubuhi oleh suaminya pada bulan Ramadhan,
padahal ia sedang berpuasa?
JAWABAN:
Dalam hal ini terjadi khilaf di antara para ahli ilmu. Sumbernya
memandang kepada hadits orang yang melakukan jima’ di bulan Ramadhan
-yang telah dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dan selain keduanya
dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan di dalamnya disebutkan:
“Ketika kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba-tiba
datang seseorang dan berkata: “Ya Rasulullah, celaka aku!” Beliau
berkata: “Ada apa dengan kamu?” Ia berkata: “Aku menyetubuhi istriku,
sedang aku dalam keadaan berpuasa.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Apakah kamu memiliki budak yang bisa kamu merdekakan?” Ia
menjawab: “Tidak.” Beliau bersabda: “Apakah kamu mampu berpuasa dua
bulan berturut-turut?” Ia menjawab: “Tidak.” Beliau bersabda: “Apakah
kamu bisa memberi makan enam puluh orang miskin?” Sekali lagi ia
menjawab: “Tidak.” Lalu diamlah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan
ketika kami masih berada dalam keadaan hening (terdiam), didatangkanlah
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebuah keranjang yang berisi
kurma. Beliau bersabda: “Mana orang yang bertanya tadi?” Ia berkata:
“Saya.” Beliau bersabda: “Ambillah ini dan sedekahkanlah dengannya.”
Orang tersebut berkata: “Apakah ada orang yang lebih fakir dariku ya
Rasulullah? Demi Allah tidak ada di antara dua kampung ini rumah yang
lebih fakir dari rumahku.” Tertawalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
sampai nampak gigi taringnya, kemudian beliau bersabda: “Berikan ini
kepada keluargamu.”
Pertama, sebagian ulama dalam memandang hadits ini ada yang memahami,
bahwa Nabi memerintahkan kepada orang yang berjima’ itu membayar
kaffarah dan secara otomatis si istri terikutsertakan di dalamnya.
Pengertiannya, bahwa si istri terkena kewajiban membayar kaffarah juga.
Dan ini pendapat jumhur ulama.
Kedua, di antara mereka (para ulama) ada yang mengatakan: Bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan sang suami untuk membayar
kaffarah dan tidak memerintahkan kepada si wanitanya, dengan alasan ini,
maka wanita tidak terkena apa-apa sedikitpun.
Ketiga, dan sebagian dari mereka ada yang mengatakan: Wajib bagi
keduanya membayar kaffarah sekali saja, kecuali puasa, keduanya harus
melakukannya.
Keempat, di antara mereka ada yang membedakan antara yang dipaksa dan
yang suka sama suka (kemauan untuk melakukan hubungan seksual di siang
hari bulan Ramadhan tersebut dari kedua belah pihak, yaitu suami dan
istri -pent.), maka diharuskan membayar kaffarah baginya dan tidak
diwajibkan bagi istri yang melakukan hubungan tersebut karena dipaksa
oleh sang suami. Wallahu a’lam.
PERTANYAAN: Seseorang menyetubuhi istrinya pada waktu
terbitnya fajar, akan tetapi ia meyakini, bahwa waktu malam masih ada
(belum masuk waktu fajar), kemudian setelah itu nampak bahwa fajar telah
terbit, maka apa yang wajib diperbuat oleh orang tersebut?
JAWABAN:
Telah ditanya Asy-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tentang pertanyaan ini, lalu beliau menjawab dengan ucapannya:
Segala puji bagi Allah, dalam masalah ini terdapat tiga pendapat ulama:
1. Bahwa wajib baginya untuk mengqadha puasanya dan membayar kaffarah dan pendapat ini yang masyhur di dalam madzhab Ahmad.
2. Baginya wajib mengqadha saja dan ini merupakan pendapat kedua di
dalam madzhab Ahmad dan madzhab Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i serta Malik.
3. Tidak (wajib) mengqadha dan tidak pula membayar kaffarah dan ini
merupakan pendapat segolongan orang salaf, seperti Sa’id bin Jubair,
Mujahid, Al-Hasan, Ishaq, Dawud dan teman-temannya dan Al-Khalaf, mereka
mengatakan: “Barangsiapa makan dengan keyakinan bahwa waktu fajar belum
terbit, kemudian nampak baginya bahwa waktu fajar telah terbit, maka
tidak ada qadha baginya.”
Dan pendapat ini adalah pendapat yang paling shahih dan yang paling
menyerupai/mendekati dengan Ushul Syari’at serta dalil Al-Kitab dan
As-Sunnah dan ini merupakan qiyas Ahmad dan selainnya.
Sesungguhnya Allah telah mengangkat sanksi/siksa atas orang yang lupa
dan tersalah, sedangkan dalam hal ini orang tersebut telah tersalah
(tidak sengaja -pen.). Sungguh Allah telah membolehkan makan, minum dan
berjima’, sampai nampak dengan jelas benang putih dari benang hitam dari
waktu fajar. Dan juga disunnahkan untuk mengakhirkan waktu sahur. Orang
yang telah melakukan sesuatu sesuai dengan yang telah dianjurkan dan
diperbolehkan baginya serta tidak melampaui batas, maka orang yang
demikian ini lebih utama untuk mendapakatkan udzur daripada orang yang
lupa. Wallahu a’lam.
Ibu Taimiyyah rahimahullah telah menjawab dengan jawaban yang sama
atas pertanyaan yang serupa. Dan di dalam jawabannya, beliau berkata:
“Orang yang ragu akan terbitnya fajar, dibolehkan baginya makan, minum
dan melakukan hubungan seksual secara ittifaq (berdasarkan kesepakatan
para ulama) dan tidak ada qadha baginya jika keraguan itu masih
berlangsung pada dirinya.”
PERTANYAAN: Bolehkah orang yang sedang berpuasa mencium dan mencumbu [4] istrinya? Apa dalil atas perkara tersebut?
JAWABAN:
Ya, perbuatan itu dibolehkan dan dalil untuk hal tersebut banyak sekali.
Pertama: Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang telah dikeluarkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim menyebutkan: “Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam mencium dan mencumbu, sedangkan beliau dalam keadaan puasa.”
Ia berkata: “Dan beliau paling bisa menguasai hasratnya daripada
kalian.”
Kedua: Di dalam riwayat ‘Aisyah juga di dalam Al-Bukhari: “Sungguh
beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mencium sebagian istri-istrinya dan
beliau berpuasa, kemudian ia tertawa.” (yang tertawa di sini adalah
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha -pent.)
Ketiga: Juga dalam riwayat ‘Aisyah dengan sanad yang shahih di atas
syarat Muslim, telah dikeluarkan oleh Abu Dawud: “Dan adalah shallallahu
‘alaihi wasallam pernah menciumku, sedangkan beliau berpuasa dan aku
pun berpuasa.”
Keempat: Dan apa yang telah dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Ummul
Mukminin Hafshah radhiyallahu ‘anha ia berkata: “Pernah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mencium dan beliau sedang berpuasa.”
Kelima: Dan apa yang telah dikeluarkan oleh Al-Bukhari, dari hadits
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
pernah menciumnya dan beliau sedang berpuasa.
Keenam: Dan apa yang telah dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Abdun
bin Humaid dan selain mereka dari hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu
‘anhuma bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pada
suatu hari aku menginginkannya, lalu aku menciumnya, sedang aku dalam
keadaan berpuasa, kemudian aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan aku katakan: “Hari ini aku telah melakukan suatu perbuatan
yang besar.” Beliau berkata: “Apa itu?” Aku berkata: “Aku mencium
istriku dan aku sedang berpuasa.” Beliau menjawab: “Bagaimana pendapatmu
kalau kamu berkumur dengan air di waktu puasa?” Aku berkata: “Kalau
begitu perbuatan itu tidak merusak puasaku.” Beliau menjawab: “Apa yang
dirusaknya?!”
PERTANYAAN: Bagaimana keshahihan hadits ‘Aisyah radhiyallahu
‘anhu yang di dalamnya mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak pernah menyentuh wajahku sama sekali, selama aku berpuasa.”?
JAWABAN:
Hadits dengan lafadz yang demikian ini adalah hadits mungkar.
PERTANYAAN: Ada orang yang mengatakan, bahwa bolehnya mencium
dalam keadaan puasa itu khusus untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam saja dan hal ini dilandasi oleh ucapan ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha: “… Dan beliau paling bisa menguasai hasratnya daripada kalian.”
Adakah di sana yang dapat membantan ucapan ini?
JAWABAN:
Ya, di sana ada yang membantah dengannya ucapan dan ada beberapa masalah dalam hal ini:
Pertama: Apa yang telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya
dari hadits ‘Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia telah
bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apakah boleh
orang yang berpuasa mencium istrinya?” Berkata Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam kepadanya: “Tanyakan kepada ini, yakni Ummu Salamah,
lalu dikabarkan kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
melakukan hal itu, ia berkata: “Ya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bukankah Allah telah mengampuni dosamu yang terdahulu dan yang
akan datang.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya:
“Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku lebih bertaqwa kepada Allah
daripada kalian dan lebih takut kepada Allah daripada kalian.
Kedua: Telah ada riwayat dari beberapa sahabat dan tabi’in tentang
bolehnya mencium bagi orang yang berpuasa, di antaranya dari Ibnu
Mas’ud. Telah shahih riwayat darinya, bahwa ia pernah mencumbu mesra
istrinya di pertengahan siang sedangkan dia berpuasa. Dan ada pula
riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ia ditanya tentang apa
yang dihalalkan bagi suami dari istrinya ketika sedang berpuasa, ia
menjawab: “Segala sesuatu, kecuali jima’.”
Ketiga: Dan telah shahih dari Sa’ad bin Malik, bahwa ia
menggosok-gosok kemaluan istrinya dengan tangannya dan dia sedang
berpuasa.
Keempat: Dan telah shahih riwayat dari Ikrimah, Asy-Sya’bi dan Said
bin Jubair, bahwa mereka membolehkan bagi orang yang berpuasa untuk
mencium istrinya.
Kelima: Bahwa Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah telah menjawab
dengan hujjah atas ucapan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu: “Dan beliau paling
bisa menguasai hasratnya daripada kalian”: Tidak ada hujjah bagimu di
dalam ucapan ‘Aisyah karena ‘Aisyah mengatakan: “Dahulu, apabila salah
seorang dari kami (istri-istri Nabi) sedang haid dan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam ingin mencumbuinya, beliau memerintahkan kepada
istrinya untuk memakai kain sarung guna menutupi bagian kemaluannya,
kemudian mencumbuinya. Dan ia berkata: “Siapakah dari kalian yang mampu
menguasai hasratnya, sebagaimana dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menguasai dan mengendalikan hasrat jima’nya?” Bahwa ucapannya
tentang ciuman orang yang sedang berpuasa tersebut menuntut kekhususan
baginya. Sedangkan ucapan ‘Aisyah dalam hadits tersebut di atas tentang
menggauli wanita yang sedang haid yang mengharuskan adanya kekhususan
juga baginya atau bahwasanya itu perkara yang dibenci atau dibolehkan
hanya untuk orang yang sudah tua, bukan seorang yang masih muda [5] dan
tidaklah mungkin mereka di sini menganggap adanya ijma’ karena Ibnu
Abbas dan selainnya tidak menyukai menggauli wanita yang sedang haid
secara mutlaq dan demi umurku, sesungguhnya menggauli wanita yang sedang
haid sungguh sangat membahayakan, karena sang suami berada di dalam
keadaan tanpa melakukan hubungan badan dengan si istri berhari-hari,
maka memuncaklah kemauan/hasratnya, adapun orang yang berpuasa pada
malam harinya dia dapat menyetubuhi istrinya dan malam yang berikutnya
pun akan dapat dilakukan hubungan badan dengan si istri sampai dia bosan
dari hubungan badan tersebut …. kemudian beliau rahimahullah
menyebutkan riwayat atsar di dalam bab.
PERTANYAAN: Adakah di sana sandaran bagi orang yang
berpendapat adanya pembagian antara pemuda dan orang laki-laki yang
sudah tua, pemudi dan wanita yang sudah lanjut usia dalam masalah
mencium? Apa batasan yang selamat untuk sandaran ini?
JAWABAN:
Ya, mereka mempunyai sandaran dalam hal itu, akan tetapi sandaran
mereka lemah. Dan sandaran itu adalah yang telah dikeluarkan oleh Abu
Dawud dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa seseorang
bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang menggauli
wanita (istri) bagi orang yang berpuasa, beliau membolehkannya. Lalu
datang kepadanya orang yang lainnya dan bertanya tentangnya dan beliau
melarangnya. Ternyata yang diberikan keringanan adalah seorang yang
sudah tua renta dan yang dilarang oleh beliau seorang pemuda, akan
tetapi sanadnya lemah sebagaimana telah dijelaskan dalam penjelasan
terdahulu. Kemudian terdapat pula riwayat yang di dalamnya juga terdapat
kelemahan.
Dan yang akan membantah atas pemilahan antara pemuda dan orang yang
sudah tua renta dalam masalah mencium adalah (riwayat) yang telah
dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Umar bin Abi Salamah, bahwasanya ia
bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apakah orang
yang berpuasa boleh mencium (istrinya -pent.)?” Berkata Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya: “Tanyakan kepada ini, yakni Ummu
Salamah, lalu dikabarkan kepadanya, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam melakukan hal itu. Ia berkata: “Ya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bukankah Allah telah mengampuni dosamu yang
terdahulu dan yang akan datang?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda kepadanya: “Ketahuilah demi Allah, sesungguhnya aku lebih
bertaqwa kepada Allah dari kalian dan lebih takut kepada Allah dari
kalian. Dan merupakan perkara yang dimaklumi, bahwa Umar bin Abi Salamah
pada masa itu adalah seorang pemuda yang berada pada puncak semangat
kepemudaan dan kekuatan.
Dan telah dikeluarkan oleh Malik di dalam Muwatha’ dari Abi An-Nadhr
maula ‘Umar bin Ubaidullah, bahwa ‘Aisyah binti Thalhah telah
mengabarkan kepadanya, bahwasanya ia pernah berada di tempatnya ‘Aisyah
istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu masuklah suaminya, Abdullah
bin Abdurrahman bin Abi Bakar Ash-Shiddiq, ketika itu dan dia sedang
berpuasa. Berkata ‘Aisyah kepadanya: “Apa yang mencegahmu untuk
mendekati istrimu, sehingga kamu dapat mencium dan
mencumbuinya/bersenang-senang dengannya?” Ia berkata: “Menciumnya,
sedang aku dalam keadaan puasa?” ‘Aisyah berkata: “Ya.”
Merupakan perkara yang dimaklumi, bahwa ‘Aisyah binti Thalhah adalah
wanita yang paling cantik di jamannya dan ia serta suaminya masih muda
belia.
Dan juga, bahwa Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu, ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat berumur 18 tahun dan
wanita yang berada di dalam umur sekian ini adalah seorang wanita yang
dikategorikan muda belia dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dahulu menciumnya, sedangkan dia (‘Aisyah) wanita yang muda belia.
Wallahu ta’ala a’lam.
PERTANYAAN: Apabila seorang suami mencium istrinya yang
sedang berpuasa, lalu si istri atau si suami mengeluarkan madzi, apakah
ada yang harus dilakukan oleh salah satunya?
JAWABAN:
Apabila seorang suami mencium istrinya yang sedang berpuasa, lalu
keluar madzi, maka tidaklah mengapa, karena tidak ada dalil yang
mengharuskan untuk berbuat sesuatu. Wallahu a’lam.
PERTANYAAN: Apabila seseorang mencium istrinya atau
mencumbunya (yang selain jima’) atau si istri ditindihnya/didekapnya,
sehingga dia mengeluarkan sperma (air mani) sedang si istri puasa,
apakah batal puasanya?
JAWABAN:
Sebagaimana yang telah lalu, bahwa boleh bagi seorang lelaki untuk
mencium dan menggauli istri (kecuali jima’/hubungan badan) padahal si
istri sedang berpuasa. Akan tetapi tidak diperkenankan bagi si suami dan
istri mengeluar sperma dengan sengaja, hal ini karena dua perkara:
Pertama: Firman Allah Tabaraka wa Ta’ala di dalam hadits qudsi
tentang orang yang berpuasa: “Meninggalkan makan, minum dan syahwatnya
karena Aku.” Perkara yang dimaklumi, bahwa orang yang sengaja
mengeluarkan sperma (air mani), berarti tidak meninggalkan syahwatnya,
bahkan telah menyalurkan syahwat dan menyempurnakannya.
Kedua: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ‘Umar tentang
urusan mencium: “Bagaimana menurutmu andai kamu berkumur.” Maka mencium
itu perkara yang dibolehkan, sebagaimana dibolehkannya berkumur, akan
tetapi barangsiapa sengaja menelan air yang untuk berkumur ke dalam
kerongkongannya, maka dengan itu ia telah batal puasanya. Demikian pula
orang yang sengaja mengeluarkan sperma, berarti ia telah berbuka.
Wallahu a’lam. Kemudian tidak ada riwayat yang sampai kepada kami, bahwa
sahabat -semoga Allah meridhai mereka semua- sengaja mengeluarkan
sperma padahal ia berpuasa di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan ditetapkannya oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
permasalahan itu.
Ketiga: Adapun jika dia tidak sengaja, lalu spermanya keluar, maka
kedudukannya seperti orang yang berkumur kemudian dengan tidak sengaja
air yang ada di dalam mulutnya tertelan, sehingga air masuk ke dalam
rongga tenggorokannya, dengan perasaan tidak senang akan hal itu. Untuk
hal yang terakhir ini (yakni berkumur) dihukumi dengan tidak
dipermasalahkan, maka untuk hal yang pertama (keluarnya sperma dengan
tidak disengaja) juga tidaklah mengapa. Dan untuk wanita, dalam hal ini
seperti kaum lelaki, sesuai dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam: “Para wanita itu merupakan saudara laki-laki.”
PERTANYAAN: Seandainya ada seorang wanita yang melakukan hal
sebagaimana yang dilakukan oleh wanita-wanita jalang, yakni perbuatan
memainkan dengan dirinya sendiri, lalu keluar spermanya [6], padahal ia
sedang berpuasa, apakah dengan ini batal puasanya? Wajibkah baginya
membayar kaffarah tertentu? Dan apa itu?
JAWABAN:
Satu kelompok dari kalangan ahli ilmu berpendapat, bahwa wanita itu
telah berbuka (batal puasanya) sesuai dengan hadits qudsi: “Meninggalkan
makan, minum dan syahwatnya karena Aku.” Dan ini adalah pendapat jumhur
ulama. Namun di sana ada orang yang berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan syahwat adalah syahwat jima’. Dengan didasari pendapat ini, maka
perbuatan tersebut tidak membatalkan puasa. Wallahu a’lam.
Adapun untuk kaffarah, maka tidak aku ketahui bahwa baginya ada
kaffarah tertentu. Tidaklah dibolehkan menyejajarkan perbuatan tersebut
dengan perbuatan orang yang melakukan jima’ dan ini dinilai sangatlah
jauh (berbeda). Wallahu a’lam.
Catatan kaki:
[1] Kaffarah adz-dzihar dari jima’ adalah penghapus dosa orang yang
menyatakan kepada istrinya, kamu seperti punggung ibuku (berarti orang
tersebut mengharamkan dirinya untuk menggauli istrinya) tentang hukum
orang yang melakukan perbuatan ini dapat dilihat di dalam Al-Qur’an
surat Al-Mujadilah ayat 1-4 (-pent).
[2] Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini merupakan
keringanan dari Allah Ta’ala untuk kaum muslimin dan mengangkat hal yang
dulu di awal permulaan Islam, bahwasanya apabila salah seorang dari
mereka telah berbuka, dihalalkan baginya makan dan minum serta jima’
sampai batas waktu shalat Isya’, atau tidur sebelum itu, maka kapanpun
ia tidur atau menegakkan shalat Isya’ diharamkan baginya makan dan minum
serta jima’ hingga malam berikutnya, untuk itu mereka menjumpai
keberatan yang besar dan “ar-rats” bermakna jima’ (bersetubuh).
Aku (Mustafa) berkata: Ayat ini diturunkan dalam rangka memberi
keringanan bagi mereka dalam mendatangi istri-istri mereka sepanjang
malam sampai batas waktu terbitnya fajar. Wallahu a’lam.
[3] Dan ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala di dalam hadits qudsi:
“Dia meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena Aku ….” Dan orang
ini tidak meninggalkan syahwatnya. Wallahu a’lam.
[4] Maksud mencumbu di sini hanya sekedar bercumbu mesra dengan
melakukan ciuman, pelukan dan lain-lain, selain hubungan badan (jima’).
Sebab jima’ adalah termasuk hal yang membatalkan puasa tanpa ada khilaf
padanya -pent.
[5] Keterangan di atas menjelaskan, bahwa dalil yang digunakan oleh
orang yang mengkhususkan ciuman di waktu sedang berpuasa hanya untuk
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan dalil yang dibawakan oleh
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menyatakan: “Siapakah yang paling bisa
menahan hasratnya dari kalian.” Padahal hadits ini dalam kaitan dengan
cumbuan Nabi dengan istrinya ketika istrinya sedang haid, sebagaimana
dalam riwayat, beliau memerintahkan kepada istrinya untuk menutupi
kemaluannya dengan sarung apabila si istri sedang haid, lalu setelah itu
beliau mencumbuinya. Barulah setelah itu ucapan ‘Aisyah: “Siapakah yang
paling bisa ….” Kalau memang ada kekhususan bagi orang yang berpuasa,
maka menggauli wanita yang sedang haid tentunya ada kekhususannya pula,
jika demikian keadaannya, karena menggauli wanita yang sedang haid itu
lebih berbahaya daripada menggauli wanita dalam keadaan berpuasa.
Mengapa? Karena ketika wanita sedang haid, sang suami akan menunggu
berhari-hari tanpa jima’/hubungan badan dengannya, sehingga syahwatnya
benar-benar (akan) memuncak yang dikhawatirkan sulit untuk dikendalikan.
Adapun bagi orang yang berpuasa tidaklah demikian, emosi syahwatnya
lebih bisa dikendalikan karena pada waktu malam mereka bisa menggauli
istri-istrinya (-pent.).
[6] Maksud pertanyaan di atas adalah tentang bagaimana hukum seorang
wanita yang sedang berpuasa melakukan masturbasi (yaitu mempermainkan
alat kelaminnya dengan tangan atau lainnya sampai mengeluarkan sperma),
sedangkan untuk kaum lelaki perbuatan itu disebut onani. Kedua perbuatan
tersebut (masturbasi dan onani) sesuai dengan pendapat kebanyakan para
ulama diharamkan, lebih-lebih bila dilakukan di bulan Ramadhan (-pent.).
Sumber: Tuntunan Ibadah Ramadhan & Hari Raya oleh Syaikh Bin Baz,
Syaikh Bin Utsaimin, Syaikh ‘Ali Hasan, Syaikh Salim al-Hilaly dan
Syaikh bin Jibrin (penerjemah/penyusun: Hannan Hoesin Bahannan dkk),
penerbit: Maktabah Salafy Press, Tegal. Cet. Pertana, Rajab 1423 H /
September 2002 M. Hal. 183, 186-202.
* * *
Memaksa Isteri untuk Tidak Berpuasa dengan Cara Mencampurinya
Pertanyaan ke-333: Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin ditanya: Jika seorang pria mencampuri istrinya di
siang hari pada bulan Ramadhan, yang mana hal itu dilakukan karena
dipaksa suaminya. Perlu diketahui, bahwa kedua orang itu tidak sanggup
memerdekakan budak dan tidak mampu berpuasa selama dua bulan
berturut-turut karena kesibukan keduanya dalam mencari nafkah, apakah
tebusannya cukup dengan memberi makan kepada orang miskin dan berapa
ukurannya serta apa jenisnya?
Jawaban:
Jika seorang pria memaksa istrinya untuk bersenggama saat keduanya
berpuasa, maka puasa sang istri sah dan tidak dikenakan kaffarah
(tebusan) baginya, namun sang suami dikenakan kaffarah karena
persetubuhan yang ia lakukan itu jika dilakukan pada siang hari di bulan
Ramadhan. Kaffarahnya adalah memerdekakan seorang hamba sahaya, jika ia
tidak menemukan hamba sahaya maka hendaknya ia berpuasa selama dua
bulan berturut-turut, jika ia tidak sanggup maka hendaknya ia memberi
makan orang miskin sebanyak enam puluh orang berdasarkan hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan dalam Ash-Shahihain,
dan bagi sang suami harus mengqadha puasanya. (Fatawa Ash-Shiyam, hal. 80-81)
Seorang Pria Musafir Tiba di Rumahnya Pada Siang Hari Ramadhan Lalu Ingin Menggauli Istrinya
Pertanyaan ke-335: Syaikh Ibnu Utsaimin
ditanya: Seorang pria melakukan perjalanan pendek, perjalanan itu
dilakukan di bulan Ramadhan, maka ia pun tidak berpuasa. Ketika ia tiba
di rumahnya pada siang hari Ramadhan, ia ingin menggauli istrinya dengan
atau tanpa ridha istrinya, bagaimana hukum perbuatan suaminya itu dan
bagaimana hukum istrinya jika melayani suaminya dengan ridha atau dengan
paksaan?
Jawaban:
Mengenai suaminya, sebagaimana yang anda dengar bahwa ia adalah
seorang musafir yang tidak berpuasa lalu kembali ke kampungnya dalam
keadaan tidak berpuasa. Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat di
antara ulama. Ada yang berpendapat: Bahwa seorang musafir jika ia telah
sampai di kampung halamannya dalam keadaan tidak berpuasa maka ia harus
imsak (menahan dari yang membatalkan) sebagai penghormatan terhadap hari
itu, walaupun puasanya itu tidak dihitung karena ia diharuskan
mengqadha puasa pada hari itu. Sebagian ulama lainnya berpendapat: Bahwa
seorang musafir jika telah sampai di kampung halamannya dalam keadaan
tidak berpuasa, maka tidak diharuskan baginya untuk berpuasa dan boleh
baginya untuk makan pada sisa hari itu.
Kedua pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad, pendapat yang paling
benar di antara kedua pendapat ini adalah tidak diwajibkan baginya
untuk berpuasa pada sisa hari itu, karena jika ia berpuasa pada sisa
hari itu maka puasanya tidak mendatangkan faedah apa pun, karena waktu
tersebut bagi musafir itu bukan waktu yang harus dihormati, sebab pada
hari itu dibolehkan baginya untuk makan dan minum sejak permulaan hari,
sedangkan puasa sebagaimana yang telah kita ketahui, adalah menahan diri
dari segala sesuatu yang membatalkan sejak terbitnya fajar hingga
terbenamnya matahari.
Karena itu, diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa ia
berkata: “Barangsiapa yang makan di permulaan hari maka hendaknya ia
makan di akhir hari, karena siang hari baginya tidak terhormat (karena
tidak berpuasa).” Berdasarkan ungkapan ini maka musafir yang sampai ke
tempatnya dalam keadaan tidak berpuasa dibolehkan baginya untuk makan
dan minum pada sisa hari itu.
Adapun bersetubuh, tidak boleh baginya menyetubuhi istrinya yang
sedang menjalankan puasa fardhu, karena hal itu akan merusak puasanya.
Jika sang suami memaksanya dan menyetubuhinya, maka tidak ada kaffarah
pada sang istri, dan tidak ada pula kaffarah bagi suaminya karena tidak
diwajibkan baginya berpuasa sebab ia tiba di kampung halamannya dalam
keadaan sedang tidak berpuasa. (Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/85)
Menggauli Istri Pada Siang Hari Ramadhan Tiga Hari Berturut-turut
Pertanyaan ke-339: Syaikh Shalih Al-Fauzan
ditanya: Seorang pria menggauli istrinya pada siang hari Ramadhan selama
tiga hari berturut-turut, apa yang harus ia lakukan?
Jawaban:
Jika seorang yang berpuasa bersetubuh saat berpuasa, maka ia telah
melakukan dosa yang besar, wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah
dari dosa yang ia lakukan itu dan mengqadha puasanya itu. Di samping itu
wajib baginya untuk melaksanakan kaffarah (memenuhi tebusan), yaitu
memerdekakan hamba sahaya, jika tidak bisa maka ia harus berpuasa selama
dua bulan berturut-turut, jika tidak sanggup maka ia harus memberi
makan kepada enam puluh orang miskin, setiap orang miskin mendapatkan
setengah sha’ makanan pokok. Kaffarah itu dilakukan sesuai dengan jumlah
hari yang ia gunakan untuk bersetubuh yaitu setiap hari satu kaffarah
tersendiri. Wallahu a’lam. (Kitab Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 1/116)
Faedah: Syaikh Ibnu Utsaimin telah
menerangkan dalam salah satu fatwanya: …, yaitu jika orang ini tidak
mampu memerdekakan budak, tidak mampu berpuasa selama dua bulan
berturut-turut dan tidak mampu memberi makan enam puluh orang miskin,
maka kewajiban kaffarah itu hilang karena Allah tidak akan memberi beban
kepada seseorang kecuali sesuai kemampuannya, sebab tidak ada kewajiban
jika disertai ketidakmampuan. (Durus wa Fatwa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/46-47)
Sumber: Fatwa-fatwa tentang Wanita jilid 1,
penyusun: Amin bin Yahya Al-Wazan, penerjemah: Amir Hamzah Fakhruddin,
penerbit: Darul Haq, cet. III, Syawal 1423 H/ Januari 2003 M.
* * *
Seorang Pemuda yang Menjima’i Istrinya Pada Bulan Ramadhan
Pertanyaan: Fadhilah Asy-Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu ditanya: Saya seorang pemuda, saya
menjima’i istri saya di siang bulan Ramadhan, apakah ada kewajiban bagi
saya membeli kurma untuk saya sedekahkan?
Jawaban:
Apabila dia seorang pemuda dan mampu, maka berpuasa dua bulan
berturut-turut. Kita memohon kepada Allah semoga membanttnya melakukan
hal itu. Seorang laki-laki, apabila berkeinginan kuat untuk melakukan
sesuatu akan menjadi ringan. Adapun apabila dirinya dihinggapi oleh rasa
malas dan berat, maka perkara tersebut akan sulit baginya. Segala puji
bagi Allah yang telah menjadikan di dunia ini beberapa perkara yang
apabila kita lakukan akan gugur dari kita azab akhirat.
Saya katakan kepada saudara, puasalah dua bulan berturut-turut!
Apabila waktu sedang panas dan siang lebih panjang, maka ada keringanan
bagimu untuk mengakhirkannya hingga musim dingin. Dan istri seperti
suani, apabila dia melayaninya dengan senang hati. Namun apabila dia
dipaksa dan tidak mampu untuk melepaskan diri, maka puasanya sempurna
dan tidak ada kaffarah baginya dan tidak pula mengqadha. (Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/60)
Faedah: Setelah menyebutkan hadits tentang
kaffarah jima’ di siang hari bulan Ramadhan, Syaikh Ibnu Utsaimin
menerangkan: Hadits ini sebagai dalil wajibnya membayar kaffarah bagi
orang yang melakukan jima’ di siang bulan Ramadhan dalam keadaan dia
wajib berpuasa. Dan kaffarah ini dengan urutan bukan sesuai dengan pilihan.
Pertama membebaskan budak, apabila tidak mendapatkannya maka dengan
berpuasa dua bulan secara berturut-turut, tidak berbuka antara puasa
tersebut kecuali dengan udzur syar’i. Seperti safar atau sakit pada
sela-sela dua bulan tersebut, maka tidak halal baginya untuk
melakukannya berturut-turut.
Apabila dia berbuka pada sela-sela waktu dua bulan tersebut tanpa
adanya udzur yang syar’i, maka dia harus mengulanginya dari awal,
meskipun tidak tersisa kecuali tinggal satu hari saja. Apabila dia tidak
mampu, yaitu tingkatan yang kedua, maka dia memberi makan kepada enam
puluh orang miskin untuk makan pagi atau malam. Wallahul muwafiq. (Fatawa Manarul Islam)
Sumber: Bingkisan ‘tuk Kedua Mempelai karya
Abu ‘Abdirrahman Sayyid bin ‘Abdirrahman Ash-Shubaihi (alih bahasa: Abu
Hudzaifah), penerbit: Maktabah Al-Ghuroba’, cet. Kedua, Mei 2009.
* * *
Seseorang menggauli istrinya dalam keadaan dia berpuasa.
Apakah boleh baginya untuk memberi makan enam puluh orang miskin untuk
membayar kaffarahnya?
Jawab:
Barangsiapa yang menggauli istrinya di siang Ramadhan sedangkan dia
wajib berpuasa, ia harus membayar kaffarah, yaitu membebaskan budak.
Jika tidak mendapatkannya maka dia berpuasa dua bulan berturut-turut.
Pertanyaannya, bolehkah seseorang (langsung) memberi makan enam puluh
orang miskin? Kami katakan, jika seseorang mampu untuk berpuasa ia
harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Apabila seseorang telah
bertekad melakukan sesuatu, akan menjadi ringan baginya. Adapun jika dia
telah membayangkan kemalasan dirinya serta merasa berat untuk melakukan
sesuatu, itu akan menjadi susah baginya. Segala puji bagi Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang telah menjadikan di dunia ini hal-hal yang kita
ketahui dapat membebaskan kita dari hukuman akhirat.
Maka dari itu, kami katakan kepada saudara, berpuasalah dua bulan
berturut-turut jika anda tidak mendapatkan budak dan mohon
pertolonganlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika saat ini cuaca
panas dan siangnya panjang, anda punya kesempatan untuk menundanya
hingga musim dingin yang hari-harinya pendek dan cuacanya dingin.
Begitu juga, seorang istri sama dengan suaminya (dalam hal
hukumannya, red.) jika dia mengikuti kemauan suami. Tetapi, jika dia
dipaksa dan tidak kuasa untuk menghindar, puasanya sempurna dan tidak
ada kaffarah atasnya. Ia pun tidak perlu mengqadha hari yang ia
berhubungan intim (dengan suaminya) dalam keadaan dipaksa. (Fatwa
asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fatawa Ramadhan, 2/606-607)
Sumber: Majalah Asy Syariah, no. 64/VI/1431 H/2010, hal. 73.
https://fadhlihsan.wordpress.com/