ARTIKEL PILIHAN

GOOGLE TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

ARTIKEL PILIHAN

Meredam Gelisah Hati Untuk Menuju Ketentraman Hidup

Written By Situs Baginda Ery (New) on Jumat, 08 Maret 2013 | 10.46

http://drjuanda.com/wp-content/uploads/2011/11/www.omaQ_.org162.jpgMeredam Gelisah Hati Untuk Menggapai Ketentraman Hidup 
Beberapa kiat yang bisa kita lakukan untuk meredam gelisah hati ini.
Pertama, memiliki ilmu yang benar.
Kedua, kita harus yakin kepada Allah Swt.
Ketiga, kuasai diri dengan sebaik-baiknya.
Keempat, sempurnakan ikhtiar untuk mendapatkan pertolongan-Nya.
Kegelisahan terlahir akibat tidak adanya keseimbangan antara harapan dari hati, pikiran dan kenyataan. Adanya permasalahan hidup manusia muncul kepermukaan lebih disebabkan oleh hanya semata-mata dipersepsikan pada logika berpikir yang sempit. Itulah sebabnya, mengapa kebanyakan dari kita mendefinisikan masalah berupa kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang terjadi. LEBIH dari itu, harusnya dalam hidup seorang mukmin segala apa yang terjadi dalam kehidupan ini diposisikan semata-mata atas kehendak-Nya.
Bukan mengandalkan semata-mata pada persepsi akal manusia, sebab kadang kala akal ini terselimuti oleh tumpukkan kotoran-kotoran hawa nafsu manusia itu sendiri. Allah Swt dalam QS. Taghaabun [64]: 11, mengingatkan kepada kita bahwa tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang, kecuali dengan ijin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.
Ketidakadaan atau tenggelamnya kesadaran pola pikir seperti itu, maka akan melahirkan kegelisahan hidup manusia. Pasalnya bagi manusia model demikian tidak menyadari sepenuhnya akan sunnatullah kehidupan manusia yang selalu dihadapkan pada sejumlah besar tantangan.
Tantangan, pada hakikatnya bukan untuk dihindari, melainkan justru untuk dilakoni. Hidup itu sendiri adalah tantangan, adalah masalah. Mengapa kita mesti menghindar? Di sinilah kadang-kadang kita lupa pada kesejatian diri.
Di mana pun dan kapan pun kita hidup, masalah dan tantangan akan selalu datang menjemput. Hidup adalah inheren, sekaligus identik, dengan masalah dari tantangan itu sendiri. Kalau kita menghadapinya dengan hati tegar dan ikhlas, semua masalah itu akan sirna. Kalau kita tertelikung dengan masalah, sesungguhnya bukan masalah itu sendiri sebagai masalah.
Yang menjadi masalah adalah cara kita sendiri yang salah dalam menghadapi masalah. (Maman Manhuri; 1997). Bagi sebagian orang kegelisahan hati itu muncul didasari oleh perilaku kita yang belum sampai ke tingkat yakin akan sangat dekatnya pertolongan Allah. Artinya segala persoalan dan kesulitan yang ada dan menimpa kita –sekecil apapun—justru seringkali membuahkan rasa cemas dan gudah gulana yang membuat gelisah hatinya.
Kondisi hati yang gelisah akan berdampak pada persepsi menyikapi hari demi hari hidupnya dengan aneka keluh kesah, amarah, dan perilaku yang serba salah. Lebih jauh kondisi ini menyebabkan hidup terasa sumpek, mumet, rumit, dan membuat sakit kepala menghinggapi kita.
Kesannya, segala yang tersaji di hadapan kita, terasa semakin membebani hati dan pikirannya. Pentingnya Meredam Gelisah Hati. Keberadaan masalah dalam hidup adalah sesuatu yang wajar. Namun, manakala sikap kita yang tidak tepat dalam menghadapi dan memposisikan masalah tersebut, maka inilah sebenarnya yang menjadi awal munculnya penyakit gelisah hati. Adanya gelisah hati dalam hidup kita, bila tidak hati-hati tentu tidak jarang akan menjadi jalan yang terbentang bagi terjerumusnya ke jurang maksiat.
Sehingga bukannya diri ini terhindar atau melupakan segala petaka gelisah hati, justru malah menambah berat beban langkah hidupnya. Inilah buah dari salah sikap dan perilaku kita dalam memaknai masalah kegelisahan hati. Untuk itu, sedini mungkin setiap kita sudah seharusnya belajar untuk meredam setiap masalah yang dapat memunculkan gelisah hati. Inilah kunci awal untuk mencapai ketentraman hidup.
Dengan demikian, dalam hidup manusia sangat diperlukan adanya perilaku meredam gelisah hati. Pentingnya meredam gelisah hati ini, tidak lain didasarkan pada kenyataan bahwa perasaan cemas, gelisah, keluh kesah, dan amarah jelas tidak akan mengubah apa pun, malahan justru akan menyengsarakan hati dalam jurang kegelisahan berikutnya.
Dan lebih parah lagi, ia hanya akan membuat dirinya semakin jauh dari pertolongan Allah Naudzubillah. Jadi, alangkah ruginya bagi mereka yang tidak mampu menikmati hidup lantaran terbelenggu gembok-gembok perasaan cemas, khawatir, tegang dan pikiran kalut yang merupakan penyubur hadirnya kegelisahan hati seseorang. Atas dasar itulah, barangkali mengapa Abdullah Gymnastiar, dalam bukunya “Mengatasi Kecemasan” mengungkapkan bahwa rasa cemas, khawatir, tegang, dan pikiran kalut seringkali membuat hidup tertekan dan tidak nikmat. Sungguh rugi orang yang tidak mampu menikmati hidup lantaran terbelenggu perasaan-perasaan ini.
Jika anda tidak mau menjadi ahli stres dan ingin menikmati hidup, maka anda harus mencari jalan keluarnya. Kiat Meredam Gelisah Hati Menghadapi berbagai persoalan hidup dan kehidupan ini, menurut Dr.H.Muslim Nasution (2002) selalu menjadikan batin seseorang gelisah, tak tenang, dan tak tentu arah. Terkadang, yang membuat itu terjadi bukan hanya hal-hal yang bersifat cobaan atau derita, tetapi juga hal-hal yang berbentuk kenikmatan dan kebahagiaan. Artinya apa pun bentuk problematika/kejadian hidup yang terjadi pada kita, mestinya direspon dengan sikap yang tenang dan tentram. Lebih jelasnya, Allah menginformasikan dalam Alquran surat al-Hadiid; 23, yang artinya: “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu…” Di sini masalahnya tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk menggapai sikap terbiasa tenang dan tentram dalam setiap kali menghadapi segala persoalan hidup. Namun demikian, bukan pula berarti menjadi sesuatu hal yang tidak mungkin dicapainya.
Tapi, yang jelas terciptanya sikap jiwa yang senantiasa tenang dan tentram merupakan buah ketekunan dari latihan dan kegigihan menggapainya. Untuk menjadikan jiwa seperti itu, Rasulullah pernah berwasiat kepada seorang sahabatnya, Abu Dzarr al-Ghiffari berikut ini. Abu Dzarr berkata, “Rasulullah berwasiat kepadaku tujuh hal: (1) agar menyayangi orang miskin dan mendekati mereka; (2) melihat orang yang lebih rendah dan lebih susah; (3) jangan melihat orang-orang lebih tinggi (kaya); (4) memelihara silaturahmi sekalipun terhadap orang yang memusuhimu; (5) memperbanyak zikir, mengucapkan ‘Tidak ada kemampuan dan daya kecuali dari Allah Swt’; (6) mengucapkan perkataan yang benar sekalipun terasa pahit; (7) tidak ambil peduli terhadap celaan orang lain asal dalam melakukan yang diperintahkan Allah Swt.” Hal-hal tersebut diterjemahkan Muslim Nasution berupa keharusan menyayangi orang miskin; melihat orang yang di bawah, jangan melihat orang yang di atas; tetap menjaga silaturahmi; banyak mengucapkan “Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah”; mengatakan yang hak (benar) sekalipun pahit; tidak ambil peduli terhadap orang lain asalkan yang kita lakukan benar-benar karena Allah; dan tidak mengemis kepada orang lain. Ketujuh arahan sikap tersebut, bila kita aplikasikan dalam perilaku keseharian, maka dapat menjadi upaya preventif dalam meredam gelisah hati seseorang.
Dan lebih dari itu, kalau kita cermati dari beberapa keterangan sebenarnya ada beberapa kiat yang bisa kita lakukan untuk meredam gelisah hati ini.
Pertama, memiliki ilmu yang benar.
Ilmu adalah modal awal untuk dapat meredam kegelisahan hati seseorang. Janganlah sekali-kali bermimpi dapat hidup tenang dan bahagia (baca: terbebas dari gelisah hati) sekiranya belum memiliki ilmu yang benar untuk mengarungi jalan hidup yang tidaklah lurus dan bersih dari berbagai kendala.
Adapun ilmu tersebut adalah ilmu Allah Swt berupa Alquran dan as-Sunnah. Dalam sebuah hadits dinyatakan, pada suatu ketika datanglah seseorang kepada Ibnu Mas’ud ra, untuk meminta nasihat. “Wahai Ibnu Mas’ud,” ujarnya. “Berilah nasihat yang dapat dijadikan obat bagi jiwaku yang sedang dilanda kecemasan dan kegelisahan. Dalam beberapa hari ini aku merasa tidak tentram. Jiwaku selalu gelisah dan pikiran pun terasa kusut masai. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak.” Mendengar hal itu, Ibnu Mas’ud kemudian menasihatinya. “Kalau penyakit seperti itu yang menimpamu, maka bawalah hatimu mengunjungi tiga tempat, yaitu ke tempat orang yang membaca Alquran, kau baca Alquran atau dengarkanlah baik-baik orang yang membacanya; atau pergilah ke majelis pengajian yang mengingatkan hati kepada Allah; atau carilah waktu dan tempat yang sunyi, kemudian ber-khalwat-lah untuk menyembah-Nya.
Misalnya di tengah malam buta, ketika orang-orang sedang tidur nyenyak, engkau bangun mengerjakan shalat malam, memohon ketenangan jiwa, ketentraman pikiran, dan kemurnian hati kepada-Nya. Seandainya jiwamu belum juga terobati dengan cara ini, maka mintalah kepada Allah agar diberi hati yang lain karena hati yang kau pakai itu bukanlah hatimu.” Setelah orang itu kembali ke rumahnya, diamalkanyalah nasihat Ibnu Mas’ud tersebut. Dia pergi mengambil air wudlu. Setelah itu, diambilnya Alquran, kemudian dibacanya dengan hati yang khusyuk. Selesai membaca Alquran, ternyata jiwanya berubah menjadi sejuk dan tentram. Pikirannya pun menjadi tenang, sedangkan kegelisahannya hilang sama sekali. 

Kedua, kita harus yakin kepada Allah Swt. 
http://ezazx.files.wordpress.com/2012/05/ketenangan.jpgSebagian dari kita manakala gelisah hati datang, ternyata amat sibuk dengan pikiran yang mencemaskan perbuatan-perbuatan makhluk dan mengharapkan datangnya bantuan makhluk. Padahal secara nyata, tidak ada satu pun yang dapat menimpakan mudharat atau mendatangkan manfaat, selain dengan ijin-Nya. Allah berfirman, “Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya, kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu maka tiada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus [10]: 107). Dengan demikian, setiap pilar-pilar kejadian yang menimpa kita sebenarnya akan menjadi sarana yang paling tepat untuk bermunajat kepada Allah, sehingga membuat kita semakin ingat pada-Nya, taqarrub dan tidak pernah bisa lupa kepada-Nya.
Perilaku seperti itulah sebenarnya rahasia ketenangan dan kebahagiaan sejati di dunia yang insya Allah akan menjadi bekal kebahagiaan yang kekal di hakerat nanti. Allah berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingat, hanya degan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram. Orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 28-29).
Ketiga, kuasai diri dengan sebaik-baiknya.
Adanya suatu persoalan hidup dirasakan pahit dan amat berat, maka sebetulnya semua itu semata-mata karena kita belum mampu memahami hikmah di balik kejadian tersebut. Oleh karena itu, bilamana datang suatu kejadian yang mencemaskan, segeralah kuasai diri dengan sebaik-baiknya. Jangan menyiksa diri dengan pikiran yang diada-adakan atau mempersulit diri, sehingga semakin menyiksa. Artinya janganlah sedikitpun terbesit dalam pola pikir kita sesuatu anggapan bahwa rencana kita lebih baik daripada rencana-Nya. Untuk itu, ketika kegelisahan hati muncul dalam hidup keseharian, maka hendaknya kita saat itu pula ingat akan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 216, yang artinya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”
Keempat, sempurnakan ikhtiar untuk mendapatkan pertolongan-Nya.
Dalam hidup ini harus kita yakini bahwa setiap segala kejadian tentu atas ketentuan-Nya. Artinya manakala kegelisahan hati mendera kita, maka segeralah kembalikan segala urusan kepada Allah. Hujamkan keyakinan dalam hati akan kesempurnaan pertimbangan dan kasih sayang-Nya serta segera bulatkan tekad bahwa Allah-lah satu-satunya pemberi jalan keluar dalam hidup ini. Langkah selanjutnya, setelah hati dan keyakinan kita bulat, segeralah pula bulatkan ikhtiar untuk memburu pertolongan Allah dengan amalan-amalan yang dicintai-Nya. Kekuatan ikhtiar ini merupakan kesempurnaan akan kekuatan manusia untuk mengatasinya. Hal ini seperti diingatkan Allah dalam QS. Ar-Ra’d [13]: 11, yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka mengubah nasibnya sendiri. Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya. Dan sekali-kali tidak ada perlindungan bagi mereka selain Dia.” Menggapai Ketentraman Hidup Adanya usaha untuk meredam gelisah hati, sebetulnya merupakan salah satu ikhtiar kita dalam menggapai kondisi ketentraman hidup.
Namun demikian, usaha tersebut belumlah lengkap bila tidak kita dukung dengan perilaku keseharian lain yang dapat mencapai hasil maksimal menuju nuansa ketentraman hidup manusia. Paling tidak ada empat perilaku keseharian yang dapat kita lakukan untuk mendukung menggapai ketentraman hidup itu. Pertama, memiliki kemampuan dalam mengendalikan hati dengan cara membangun ketrampilan berupa mengelola hati menuju kesuciannya. Menurut As-Sayyid bin Abdul Maqshud, kesucian hati adalah poros kehidupan (perilaku) seseorang. Bila hati bersemayam di atas kebenaran, maka selamatlah seluruh anggota badan dengan tetap berada di jalan kebenaran dan kebaikan. Kedua, hindari perasaan-perasaan minor berkait dengan kegelisahan hati. Yakni dengan melakukan penilaian secara jujur atas apa keuntungan dari sikap yang memperpanjang kegelisahan hati itu. Artinya sepanjang kita hanya mempersoalakan kenapa gelisah hati itu menimpa kita tanpa bersikap jujur untuk segera melakukan instrospeksi dan mencari jalan keluarnya, maka yakinlah bahwa itu hanya membuahkan penderitaan berkepanjangan dan merugikan diri sendiri.
Ketiga, menghindari perilaku yang menyebabkan terjadinya gelisah hati. Ketentraman hidup dapat tercapai bila kita mampu untuk mencegah dan menghindari segala sesuatu perbuatan yang memicu munculnya gelisah hati. Keempat, niatkan segala perilaku hidup dengan ikhlas. Dengan melakukan perilaku ikhlas terhadap amalan-amalan yang telah dilakukan walaupun tampak kecil dan sepele dengan cara terus menerus, justru akan dapat membuahkan ketenagan batin, sehingga insya Allah akan membuahkan pula suasana kehidupan yang sejuk, lapang dan indah mengesankan. Akhirnya hadirnya gelisah hati dalam hidup sudah seharusnya kita redam untuk menggapai ketentraman. Dan jadikanlah gelisah hati yang menimpa kita itu sebagai ladang amal dalam meningkatkan keimanan kita kepada Allah Swt. Amin. Wallahu’alam.***

Daftar Pustaka Abdullah Gymnastiar. “Kunci Ketenangan Batin.” Jakarta: HU. Pelita, 6 Mei 1996. ————————–. “Inginkah Hidupmu Tentram?” Bandung: HU. Pikiran Rakyat, 2 Mei 1996. ————————–. “Mengatasi Kecemasan.” Bandung: MQS Press, April 2001. ————————–. “Menyiasati Kegundahan Hati.” Bandung: Buletin Qolbunsalim No. 03 Th. II/ April 1993. As-Sayyid bin Abdul Maqshud bin Abdurrahim. “Merajut Hati, Terapi Praktis Menyeimbangkan Nurani Menuju Ilahi.” Surabaya: Risalah Gusti, 1994. Maman Manhuri. (Ed). “Meredam Gelisah Hati.” Bandung: Penerbit Qolbunsalim Press, Maret 1997. Muslim Nasution. “Menuju Ketenangan Batin.” Jakarta: GIP, Juli 2002. Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
Meredam Gelisah Hati Untuk Menggapai Ketentraman Hidup Oleh: ARDA DINATA http://ardaiq.blogspot.com
10.46 | 0 komentar | Read More

Sebuah Kunci Ketenangan Batin

“Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan
(kesusahan)” (QS ath-Thalaq [65]:7)
Tidak ada penderitaan dalam hidup ini, kecuali orang yang membuat
dirinya sendiri menderita.Tidak ada kesulitan sebesar dan seberat apa pun di dunia ini, kecuali hasil dari
buah pikirannya sendiri. Terserah kita, mau dibawa ke mana kehidupan
ini. Mau dibawa sulit, niscaya segalanya akan menjadi sulit. Jika kita
memilih jalan ini, maka silahkan, persulit saja pikiran ini. Mau
dibawa rumit pastilah hidup ini akan senantiasa terasa rumit.
Perumitlah terus pikiran kita bila memang jalan ini yang paling
disukai. Toh, semua akan tampak hasilnya dan, tidak bisa tidak, hanya
kita sendiri yang harus merasakan dan menaggung akibatnya.
http://pendoasion.files.wordpress.com/2011/11/ketenangan.jpgAkan tetapi, sekiranya kehidupan yang terasa sempit menghimpit hendak
dibuat menjadi lapang, segala yang tampak rumit berbelit hendaknya
dibuat menjadi sederhana, dan segala yang kelihatannya buram, kelabu,
bahkan pekat gulita, hendaknya dibuat menjadi bening dan terang
benderang, maka cobalah rasakan dampaknya.
Ternyata dunia ini tidak lagi tampak mengkerut, sempit menghimpit, dan
carut marut. Memandang kehidupan ini terasa seperti berdiri di puncak
menara lalu menatap langit biru nan luas membentang bertaburkan
bintang gemintang, dengan semburat cahaya rembulan yang lembut
menebar, menjadikan segalanya tampak lebih indah, lebih lapang, dan
amat mengesankan. Allahu Akbar!
Memang,
“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikit pun,
tetapi manusia itulah yang berbuat zalim terhadap diri mereka sendiri”
(QS Yunus [11]:44).
Padahal Dia telah tegas-tegas memberikan jaminan melalui firman-Nya,
“Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan
(kesusahan)” (QS ath-Thalaq [65]:7).
Kendalikan Suasana Hati
Kuncinya ternyata terletak pada keterampilan kita dalam mengendalikan
suasana hati. Bagaimana caranya? Salah satu cara yang paling efektif
adalah, manakala berhubungan dengan sesama manusia, jangan sekali-kali
kita sibuk mengingat-ingat kata-katanya yang pernah terdengar
menyakitkan. Jangan pula kita sibuk membayangkan raut mukanya yang
sedang marah dan sinis, yang pernah dilakukannya di hari-hari yang
telah lalu.
Begitu hati dan pikiran kita mulai tergelincir ke dalam perasaan
seperti itu, cepat-cepatlah kendalikan. Segera, alihkan suasana hati
ini dengan cara mengenang segala kebaikan yang pernah dilakukannya
terhadap kita, sekecil apa pun. Ingat-ingatlah ketika ia pernah
tersenyum kepada kita. Kenaglah jabat tangannya yang begitu tulus atau
rangkulannya yang begitu penuh persahabatan. Atau, bukankah tempo hari
ia pernah menawarkan untuk
mengantarkan kita pulang dengan motornya ketika kita tengah berdiri
meninggu bis kota?
Pendek kata, ingat-ingatlah hanya hal-hal yang baik-baiknya saja, yang
dulu pernah ia lakukan, seraya memupus sama sekali dari memori pikiran
kita segala keburukan yang mungkin pernah ia perbuat.
Allah Azza wa Jalla sungguh Maha Kuasa membolak-balikkan hati
hamba-hamba-Nya. Kita akan kaget sendiri ketika mendapati hasilnya.
Betapa cepatnya hal ini berubah justru sesudah kita berjuang untuk
mengubah segala sesuatu yang buruk menjadi tampak baik.
Bertambah dewasa ternyata tidak cukup hanya dengan bertambahnya umur,
ilmu, ataupun pangkat dan kedudukan. Kita bertambah dewasa justru
ketika mampu mengenali hati dan mengendalikannya dengan baik. Inilah
sesungguhnya kunci bagi terkuaknya ketenangan batin.
Suatu ketika kita dilanda asmara, misalnya. Kalaulah tidak pernah mau
bertanya kepada diri sendiri, maka akan habislah kita diterjang oleh
gelinjang hawa nafsu. Demikian juga kalau kita sedang diliputi gejolak
amarah. Sekiranya tidak pernah mau mengendalikan hati, akan celakalah
kita dibuatnya karena akan menjadi orang yang berlaku aniaya terhadap
orang lain.
Oleh sebab itu, kita harus benar-benar memiliki waktu dan kesungguhan
untuk bisa memperhatikan segala gerak-gerik dan perilaku hati ini.
Jangan-jangan kita sudah tergelincir menjadi sombong tanpa kita
sadari. Jangan-jangan kita sudah memusnahkan pahala amal-amal yang
pernah dilakukan tanpa kita sadari. Jangan-jangan kita sudah termasuk
orang yang gemar berlaku zalim terhadap orang lain tanpa kita sadari.
Apabila ini terjadi, maka apalagi kekayaan yang bisa menjadi bekal
kepulangan kita ke akhirat nanti? Bukankah segala amal yang kita
perbuat itu-adakah ia tergolong amal salih atau amal salah-justru
tergantung pada kalbu ini?
Kita pergi berjuang, berperang melawan keangkaramurkaan, berkuah peluh
bersimbah darah. Tetapi, sepanjang bertempur hati menjadi riya, ingin
dipuji dan disebut pahlawan;tidakkah disadari bahwa amalan seperti ini
di sisi Allah kering nilainya, tidak ada harganya sama sekali?
Menjadi mubaligh, berceramah menyampaikan ajaran Islam. Didengar oleh
ratusan bahkan ribuan orang. Pergi jauh ke berbagai tempat,
menghabiskan sekian banyak waktu dan menguras tenaga serta pikiran.
Namun, sama sekali tidak akan ada harganya di sisi Allah kalau hati
tidak ikhlas. Sekadar ingin dipuji dan dihormati, sehingga merasa diri
paling mulia, atau bahkan lebih fatal lagi, karena motivasi sekadar
untuk mendapat imbalan.
Berangkat haji, memakan waktu berpuluh hari dan menempuh jarak beribu
kilometer. Tubuh pun terpanggang matahari yang membakar dan
berdesak-desakan dengan berjuta-juta manusia. Tetapi, kalau tidak
disertai niat karena Allah, sekadar ingin dipuji karena mendapat
embel-embel titel haji, maka na’udzubillah, semua ini sama sekali
tidak berharga di sisi Allah.
Mengapa pekerjaan yang telah ditebus dengan pengorbanan sedemikian
besar malah membuahkan kesia-siaan? Ternyata sebab-musababnnya
berpangkal pada kelalaian dan ketidakmampuan mengendalikan suasana
hati. Sebab, sekali seseorang beramal disertai riya, ujub, atau sum’ah
(sekadar mencari popularitas) , maka tidak bisa tidak, pikirannya
hanya akan disibukkan oleh persoalan tentang bagaimana caranya agar
manusia datang memujinya. Begitu pujian itu tidak datang, sertamerta
hati pun dilanda sengsara. Bila sudah begini, kapankah lagi dapat
diperoleh ketentraman hidup, selain sebaliknya, hari-harinya akan
senantiasa digelayuti perasaan resah, gelisah, kecewa, dan sengsara?
Niat yang Ikhlas
Oleh karena itu, sekiranya kita belum mampu melakukan amal-amal yang
besar, tidakkah lebih baik memelihara amal-amal yang mungkin tampak
kecil dan sepele dengan cara terus-menerus menyempurnakan dan
memelihara niat agar senantiasa ikhlas dan benar? Inilah yang justru
akan dapat membuahkan ketenangan batin, sehingga insya Allah akan
membuahkan pula suasana kehidupan yang sejuk, lapang, indah dan
mengesankan.
Mudah-mudahan dengan kesanggupan kita menyempurnakan dan memelihara
keikhlasan niat di hati tatkala mengerjakan amal-amal yang kecil
tersebut, suatu saat Allah Azza wa Jalla berkenan mengkaruniakan
kesanggupan untuk mampu ikhlas manakala datang masanya kita harus
mengerjakan amal-amal yang lebih besar.
Besar atau kecil suatu amalan yang dikerjakan dalam hidup ini,
sekiranya didasari hati yang ikhlas seraya diiringi niat dan cara yang
benar, niscaya akan melahirkan sikap ihsan. Yakni, kita akan selalu
merasakan kehadiran Allah dalam setiap gerak-gerik, sehingga dalam
setiap denyut nadi ini, kita akan selalu teringat kepada-Nya.
Inilah suatu kondisi yang akan membuat hati selalu merasakan kesejukan
dan ketentraman.
“Alaa bi dzikrillaahii tathma ‘inul qulub” (QS ar-Ra’d[13]: 28),
demikian Allah telah memberikan jaminan. Ingat, hanya dengan mengingat
Allah-lah hati menjadi tentram!
Demi Allah tidak ada pilihan lain. Kita harus senantiasa mewaspadai
hati ini. Jangan sampai diam-diam membinasakan diri justru tanpa kita
sadari. Sudah pahala yang didapat sedikit, hati pun tak bisa
terkendalikan, sehingga semakin rusaklah nilai amal-amal kita dari
waktu ke waktu. Na’udzubillaah!
Dengan demikian, selain kita terbiasa mandi untuk membersihkan jasad
lahir, kita pun harus memiliki kesibukan untuk “memandikan” hati ini.
Selain kita makan untuk mengenyangkan perut, kita pun harus
“menyantap” sesuatu yang dapat membuat hati ini terisi. Selain kita
berdandan untuk merapikan penampilan, kita pun harus sibuk “bersolek”
merapikan hati kita. Dan selain kita rajin becermin untuk memperelok
wajah, kita pun jangan lupa untuk rajin-rajin pula “becermin” untuk
memperelok hati.
Semua ini tiada lain agar kita memiliki kemampuan untuk senatiasa
menyelisik niat maupun perilaku buruk dan busuk yang, disadari ataupun
tidak, mungkin pernah kita perbuat. Itu akan lebih menolong daripada
kita sibuk mengintip-intip keburukan orang lain, yang berarti hanya
menipu diri sendiri belaka dan sama sekali tidak akan mendatangkan
ketenangan batin. Wallahu a’lam![]
(Nawwira Kifliyah; Sumber : Buku Meredam Gelisah Hati, MQS. )
10.43 | 0 komentar | Read More

BACA JUGA

DAFTAR LENGKAP ARTIKEL BLOG BAGINDAERY

Ikuti situs Bagindaery

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...