Beberapa kiat yang bisa kita lakukan untuk meredam gelisah hati ini.
Pertama, memiliki ilmu yang benar.
Kedua, kita harus yakin kepada Allah Swt.
Ketiga, kuasai diri dengan sebaik-baiknya.
Keempat, sempurnakan ikhtiar untuk mendapatkan pertolongan-Nya.
Pertama, memiliki ilmu yang benar.
Kedua, kita harus yakin kepada Allah Swt.
Ketiga, kuasai diri dengan sebaik-baiknya.
Keempat, sempurnakan ikhtiar untuk mendapatkan pertolongan-Nya.
Kegelisahan terlahir akibat tidak adanya
keseimbangan antara harapan dari hati, pikiran dan kenyataan. Adanya
permasalahan hidup manusia muncul kepermukaan lebih disebabkan oleh
hanya semata-mata dipersepsikan pada logika berpikir yang sempit. Itulah
sebabnya, mengapa kebanyakan dari kita mendefinisikan masalah berupa
kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang terjadi. LEBIH dari
itu, harusnya dalam hidup seorang mukmin segala apa yang terjadi dalam
kehidupan ini diposisikan semata-mata atas kehendak-Nya.
Bukan mengandalkan semata-mata pada persepsi
akal manusia, sebab kadang kala akal ini terselimuti oleh tumpukkan
kotoran-kotoran hawa nafsu manusia itu sendiri. Allah Swt dalam QS.
Taghaabun [64]: 11, mengingatkan kepada kita bahwa tidak ada suatu
musibah pun yang menimpa seseorang, kecuali dengan ijin Allah. Dan
barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk
kepada hatinya.
Ketidakadaan atau tenggelamnya kesadaran
pola pikir seperti itu, maka akan melahirkan kegelisahan hidup manusia.
Pasalnya bagi manusia model demikian tidak menyadari sepenuhnya akan
sunnatullah kehidupan manusia yang selalu dihadapkan pada sejumlah besar
tantangan.
Tantangan, pada hakikatnya bukan untuk
dihindari, melainkan justru untuk dilakoni. Hidup itu sendiri adalah
tantangan, adalah masalah. Mengapa kita mesti menghindar? Di sinilah
kadang-kadang kita lupa pada kesejatian diri.
Di mana pun dan kapan pun kita hidup,
masalah dan tantangan akan selalu datang menjemput. Hidup adalah
inheren, sekaligus identik, dengan masalah dari tantangan itu sendiri.
Kalau kita menghadapinya dengan hati tegar dan ikhlas, semua masalah itu
akan sirna. Kalau kita tertelikung dengan masalah, sesungguhnya bukan
masalah itu sendiri sebagai masalah.
Yang menjadi masalah adalah cara kita
sendiri yang salah dalam menghadapi masalah. (Maman Manhuri; 1997). Bagi
sebagian orang kegelisahan hati itu muncul didasari oleh perilaku kita
yang belum sampai ke tingkat yakin akan sangat dekatnya pertolongan
Allah. Artinya segala persoalan dan kesulitan yang ada dan menimpa kita
–sekecil apapun—justru seringkali membuahkan rasa cemas dan gudah gulana
yang membuat gelisah hatinya.
Kondisi hati yang gelisah akan berdampak
pada persepsi menyikapi hari demi hari hidupnya dengan aneka keluh
kesah, amarah, dan perilaku yang serba salah. Lebih jauh kondisi ini
menyebabkan hidup terasa sumpek, mumet, rumit, dan membuat sakit kepala
menghinggapi kita.
Kesannya, segala yang tersaji di hadapan
kita, terasa semakin membebani hati dan pikirannya. Pentingnya Meredam
Gelisah Hati. Keberadaan masalah dalam hidup adalah sesuatu yang wajar.
Namun, manakala sikap kita yang tidak tepat dalam menghadapi dan
memposisikan masalah tersebut, maka inilah sebenarnya yang menjadi awal
munculnya penyakit gelisah hati. Adanya gelisah hati dalam hidup kita,
bila tidak hati-hati tentu tidak jarang akan menjadi jalan yang
terbentang bagi terjerumusnya ke jurang maksiat.
Sehingga bukannya diri ini terhindar atau
melupakan segala petaka gelisah hati, justru malah menambah berat beban
langkah hidupnya. Inilah buah dari salah sikap dan perilaku kita dalam
memaknai masalah kegelisahan hati. Untuk itu, sedini mungkin
setiap kita sudah seharusnya belajar untuk meredam setiap masalah yang
dapat memunculkan gelisah hati. Inilah kunci awal untuk mencapai
ketentraman hidup.
Dengan demikian, dalam hidup manusia sangat
diperlukan adanya perilaku meredam gelisah hati. Pentingnya meredam
gelisah hati ini, tidak lain didasarkan pada kenyataan bahwa perasaan
cemas, gelisah, keluh kesah, dan amarah jelas tidak akan mengubah apa
pun, malahan justru akan menyengsarakan hati dalam jurang kegelisahan
berikutnya.
Dan lebih parah lagi, ia hanya akan membuat
dirinya semakin jauh dari pertolongan Allah Naudzubillah. Jadi, alangkah
ruginya bagi mereka yang tidak mampu menikmati hidup lantaran
terbelenggu gembok-gembok perasaan cemas, khawatir, tegang dan pikiran
kalut yang merupakan penyubur hadirnya kegelisahan hati seseorang. Atas
dasar itulah, barangkali mengapa Abdullah Gymnastiar, dalam bukunya
“Mengatasi Kecemasan” mengungkapkan bahwa rasa cemas, khawatir, tegang,
dan pikiran kalut seringkali membuat hidup tertekan dan tidak nikmat.
Sungguh rugi orang yang tidak mampu menikmati hidup lantaran terbelenggu
perasaan-perasaan ini.
Jika anda tidak mau menjadi ahli stres dan
ingin menikmati hidup, maka anda harus mencari jalan keluarnya. Kiat
Meredam Gelisah Hati Menghadapi berbagai persoalan hidup dan kehidupan
ini, menurut Dr.H.Muslim Nasution (2002) selalu menjadikan batin
seseorang gelisah, tak tenang, dan tak tentu arah. Terkadang, yang
membuat itu terjadi bukan hanya hal-hal yang bersifat cobaan atau
derita, tetapi juga hal-hal yang berbentuk kenikmatan dan kebahagiaan.
Artinya apa pun bentuk problematika/kejadian hidup yang terjadi pada
kita, mestinya direspon dengan sikap yang tenang dan tentram. Lebih
jelasnya, Allah menginformasikan dalam Alquran surat al-Hadiid; 23, yang
artinya: “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka
cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu…” Di sini masalahnya
tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk menggapai sikap
terbiasa tenang dan tentram dalam setiap kali menghadapi segala
persoalan hidup. Namun demikian, bukan pula berarti menjadi sesuatu hal
yang tidak mungkin dicapainya.
Tapi, yang jelas terciptanya sikap jiwa yang
senantiasa tenang dan tentram merupakan buah ketekunan dari latihan dan
kegigihan menggapainya. Untuk menjadikan jiwa seperti itu, Rasulullah
pernah berwasiat kepada seorang sahabatnya, Abu Dzarr al-Ghiffari
berikut ini. Abu Dzarr berkata, “Rasulullah berwasiat kepadaku tujuh
hal: (1) agar menyayangi orang miskin dan mendekati mereka; (2) melihat
orang yang lebih rendah dan lebih susah; (3) jangan melihat orang-orang
lebih tinggi (kaya); (4) memelihara silaturahmi sekalipun terhadap orang
yang memusuhimu; (5) memperbanyak zikir, mengucapkan ‘Tidak ada
kemampuan dan daya kecuali dari Allah Swt’; (6) mengucapkan perkataan
yang benar sekalipun terasa pahit; (7) tidak ambil peduli terhadap
celaan orang lain asal dalam melakukan yang diperintahkan Allah Swt.”
Hal-hal tersebut diterjemahkan Muslim Nasution berupa keharusan
menyayangi orang miskin; melihat orang yang di bawah, jangan melihat
orang yang di atas; tetap menjaga silaturahmi; banyak mengucapkan “Tidak
ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah”; mengatakan yang hak (benar)
sekalipun pahit; tidak ambil peduli terhadap orang lain asalkan yang
kita lakukan benar-benar karena Allah; dan tidak mengemis kepada orang
lain. Ketujuh arahan sikap tersebut, bila kita aplikasikan dalam
perilaku keseharian, maka dapat menjadi upaya preventif dalam meredam
gelisah hati seseorang.
Dan lebih dari itu, kalau kita cermati dari
beberapa keterangan sebenarnya ada beberapa kiat yang bisa kita lakukan
untuk meredam gelisah hati ini.
Pertama, memiliki ilmu yang benar.
Ilmu adalah modal awal untuk dapat meredam
kegelisahan hati seseorang. Janganlah sekali-kali bermimpi dapat hidup
tenang dan bahagia (baca: terbebas dari gelisah hati) sekiranya belum
memiliki ilmu yang benar untuk mengarungi jalan hidup yang tidaklah
lurus dan bersih dari berbagai kendala.
Adapun ilmu tersebut adalah ilmu Allah Swt
berupa Alquran dan as-Sunnah. Dalam sebuah hadits dinyatakan, pada suatu
ketika datanglah seseorang kepada Ibnu Mas’ud ra, untuk meminta
nasihat. “Wahai Ibnu Mas’ud,” ujarnya. “Berilah nasihat yang dapat
dijadikan obat bagi jiwaku yang sedang dilanda kecemasan dan
kegelisahan. Dalam beberapa hari ini aku merasa tidak tentram. Jiwaku
selalu gelisah dan pikiran pun terasa kusut masai. Makan tak enak, tidur
pun tak nyenyak.” Mendengar hal itu, Ibnu Mas’ud kemudian
menasihatinya. “Kalau penyakit seperti itu yang menimpamu, maka bawalah
hatimu mengunjungi tiga tempat, yaitu ke tempat orang yang membaca
Alquran, kau baca Alquran atau dengarkanlah baik-baik orang yang
membacanya; atau pergilah ke majelis pengajian yang mengingatkan hati
kepada Allah; atau carilah waktu dan tempat yang sunyi, kemudian
ber-khalwat-lah untuk menyembah-Nya.
Misalnya di tengah malam buta, ketika
orang-orang sedang tidur nyenyak, engkau bangun mengerjakan shalat
malam, memohon ketenangan jiwa, ketentraman pikiran, dan kemurnian hati
kepada-Nya. Seandainya jiwamu belum juga terobati dengan cara ini, maka
mintalah kepada Allah agar diberi hati yang lain karena hati yang kau
pakai itu bukanlah hatimu.” Setelah orang itu kembali ke rumahnya,
diamalkanyalah nasihat Ibnu Mas’ud tersebut. Dia pergi mengambil air
wudlu. Setelah itu, diambilnya Alquran, kemudian dibacanya dengan hati
yang khusyuk. Selesai membaca Alquran, ternyata jiwanya berubah menjadi
sejuk dan tentram. Pikirannya pun menjadi tenang, sedangkan
kegelisahannya hilang sama sekali.
Kedua, kita harus yakin kepada Allah Swt.
Sebagian dari kita manakala gelisah hati
datang, ternyata amat sibuk dengan pikiran yang mencemaskan
perbuatan-perbuatan makhluk dan mengharapkan datangnya bantuan makhluk.
Padahal secara nyata, tidak ada satu pun yang dapat menimpakan mudharat
atau mendatangkan manfaat, selain dengan ijin-Nya. Allah berfirman,
“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang
dapat menghilangkannya, kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan
bagi kamu maka tiada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan
kebaikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan
Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus [10]:
107). Dengan demikian, setiap pilar-pilar kejadian yang menimpa kita
sebenarnya akan menjadi sarana yang paling tepat untuk bermunajat kepada
Allah, sehingga membuat kita semakin ingat pada-Nya, taqarrub dan tidak
pernah bisa lupa kepada-Nya.
Perilaku seperti itulah sebenarnya rahasia
ketenangan dan kebahagiaan sejati di dunia yang insya Allah akan menjadi
bekal kebahagiaan yang kekal di hakerat nanti. Allah berfirman,
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan
mengingat Allah. Ingat, hanya degan mengingat Allah-lah hati menjadi
tentram. Orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi mereka
kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 28-29).
Ketiga, kuasai diri dengan sebaik-baiknya.
Adanya suatu persoalan hidup dirasakan pahit
dan amat berat, maka sebetulnya semua itu semata-mata karena kita belum
mampu memahami hikmah di balik kejadian tersebut. Oleh karena itu,
bilamana datang suatu kejadian yang mencemaskan, segeralah kuasai diri
dengan sebaik-baiknya. Jangan menyiksa diri dengan pikiran yang
diada-adakan atau mempersulit diri, sehingga semakin menyiksa. Artinya
janganlah sedikitpun terbesit dalam pola pikir kita sesuatu anggapan
bahwa rencana kita lebih baik daripada rencana-Nya. Untuk itu, ketika
kegelisahan hati muncul dalam hidup keseharian, maka hendaknya kita saat
itu pula ingat akan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 216, yang
artinya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu
dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu.
Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”
Keempat, sempurnakan ikhtiar untuk mendapatkan pertolongan-Nya.
Dalam hidup ini harus kita yakini bahwa
setiap segala kejadian tentu atas ketentuan-Nya. Artinya manakala
kegelisahan hati mendera kita, maka segeralah kembalikan segala urusan
kepada Allah. Hujamkan keyakinan dalam hati akan kesempurnaan
pertimbangan dan kasih sayang-Nya serta segera bulatkan tekad bahwa
Allah-lah satu-satunya pemberi jalan keluar dalam hidup ini. Langkah
selanjutnya, setelah hati dan keyakinan kita bulat, segeralah pula
bulatkan ikhtiar untuk memburu pertolongan Allah dengan amalan-amalan
yang dicintai-Nya. Kekuatan ikhtiar ini merupakan kesempurnaan akan
kekuatan manusia untuk mengatasinya. Hal ini seperti diingatkan Allah
dalam QS. Ar-Ra’d [13]: 11, yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka mengubah nasibnya sendiri.
Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada
yang dapat menolaknya. Dan sekali-kali tidak ada perlindungan bagi
mereka selain Dia.” Menggapai Ketentraman Hidup Adanya usaha untuk
meredam gelisah hati, sebetulnya merupakan salah satu ikhtiar kita dalam
menggapai kondisi ketentraman hidup.
Namun demikian, usaha tersebut belumlah
lengkap bila tidak kita dukung dengan perilaku keseharian lain yang
dapat mencapai hasil maksimal menuju nuansa ketentraman hidup manusia.
Paling tidak ada empat perilaku keseharian yang dapat kita lakukan untuk
mendukung menggapai ketentraman hidup itu. Pertama, memiliki kemampuan
dalam mengendalikan hati dengan cara membangun ketrampilan berupa
mengelola hati menuju kesuciannya. Menurut As-Sayyid bin Abdul Maqshud,
kesucian hati adalah poros kehidupan (perilaku) seseorang. Bila hati
bersemayam di atas kebenaran, maka selamatlah seluruh anggota badan
dengan tetap berada di jalan kebenaran dan kebaikan. Kedua, hindari
perasaan-perasaan minor berkait dengan kegelisahan hati. Yakni dengan
melakukan penilaian secara jujur atas apa keuntungan dari sikap yang
memperpanjang kegelisahan hati itu. Artinya sepanjang kita hanya
mempersoalakan kenapa gelisah hati itu menimpa kita tanpa bersikap jujur
untuk segera melakukan instrospeksi dan mencari jalan keluarnya, maka
yakinlah bahwa itu hanya membuahkan penderitaan berkepanjangan dan
merugikan diri sendiri.
Ketiga, menghindari perilaku yang
menyebabkan terjadinya gelisah hati. Ketentraman hidup dapat tercapai
bila kita mampu untuk mencegah dan menghindari segala sesuatu perbuatan
yang memicu munculnya gelisah hati. Keempat, niatkan segala perilaku
hidup dengan ikhlas. Dengan melakukan perilaku ikhlas terhadap
amalan-amalan yang telah dilakukan walaupun tampak kecil dan sepele
dengan cara terus menerus, justru akan dapat membuahkan ketenagan batin,
sehingga insya Allah akan membuahkan pula suasana kehidupan yang sejuk,
lapang dan indah mengesankan. Akhirnya hadirnya gelisah hati dalam
hidup sudah seharusnya kita redam untuk menggapai ketentraman. Dan
jadikanlah gelisah hati yang menimpa kita itu sebagai ladang amal dalam
meningkatkan keimanan kita kepada Allah Swt. Amin. Wallahu’alam.***
Daftar Pustaka Abdullah Gymnastiar. “Kunci
Ketenangan Batin.” Jakarta: HU. Pelita, 6 Mei 1996. ————————–. “Inginkah
Hidupmu Tentram?” Bandung: HU. Pikiran Rakyat, 2 Mei 1996. ————————–.
“Mengatasi Kecemasan.” Bandung: MQS Press, April 2001. ————————–.
“Menyiasati Kegundahan Hati.” Bandung: Buletin Qolbunsalim No. 03 Th.
II/ April 1993. As-Sayyid bin Abdul Maqshud bin Abdurrahim. “Merajut
Hati, Terapi Praktis Menyeimbangkan Nurani Menuju Ilahi.” Surabaya:
Risalah Gusti, 1994. Maman Manhuri. (Ed). “Meredam Gelisah Hati.”
Bandung: Penerbit Qolbunsalim Press, Maret 1997. Muslim Nasution.
“Menuju Ketenangan Batin.” Jakarta: GIP, Juli 2002. Arda Dinata adalah
pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
Meredam Gelisah Hati Untuk Menggapai Ketentraman Hidup Oleh: ARDA DINATA http://ardaiq.blogspot.com
10.46 | 0
komentar | Read More