Matahari Terbit dari Puncak Syarif
Kalau boleh diibaratkan, Merbabu itu layaknya seorang laki-laki gagah
yang meminang Merapi, seorang perempuan yang misterius. Dua gunung ini
berdiri sangat berdekatan dan hanya dipisahkan oleh sebuah desa bernama
Desa Selo. Tulisan kali ini bercerita tentang rute perjuangan pendakian
selama melakukan estafet dua buah gunung berpasangan ini.
Merbabu – Gunung Pertama: perjalanan awal
Perjalanan menuju puncak gunung Merbabu
bisa dimulai dari empat jalut utama: Kopeng, Wekas, Cuntel, dan Selo.
Pendakian kali ini akan dimulai dari Wekas mengingat perjalanan dimulai
dari Magelang dan kendaraan pengangkut yang menuju jalur pendakian hanya
menuju Desa Wekas.
Sebuah gapura yang berada di Desa Kaponan
akan mengantarkan para pendaki menuju tempat pendaftaran. Di sini
pendaki bisa membayar ojek untuk menuju pendaftaran atau memilih
berjalan kaki dengan jarak sekitar 5 km yang menanjak dan ditemani
vegetasi berupa pohon-pohon cemara. Sesekali pendaki akan bertemu dengan
penduduk desa yang tersenyum hangat memberikan sebuah salam pembuka
untuk para pendaki.
Pemandangan Awal Pendakian Merbabu
Selepas melakukan pendaftaran, pendakian bisa dilanjutkan menuju puncak
Merbabu. Vegetasi awal yang menemani pendaki biasanya adalah hutan-hutan
dengan tumbuhan yang lumayan tinggi, merupakan ciri khas daerah
pegunungan bagian tengah. Hal ini wajar mengingat pendakian dimulai
sudah pada level sekitar 1700 mdpl.
Pendakian melalui jalur ini merupakan
pendakian yang melewati jalur perpipaan. Sesekali bunyi air yang
mengalir di pipa akan menemani pendaki yang lewat jalur ini. Air di pipa
ini merupakan air yang digunakan oleh penduduk di sekitar Merbabu
sebagai sumber air bagi mereka.
Jalur Perpipaan di Jalur Pendakian
Lebih jauh, jalur pendakian ini masih akan dihiasi oleh rumah-rumah
warga sekitar sebelum para pendaki masuk ke dalam jalur pendakian yang
sudah tertutup oleh hutan. Hutan di gunung Merbabu ini memang cukup
ramai dipenuhi penduduk desa. Sebagian besar dari mereka bekerja di
ladang dan bertani. Tanaman tembakau pun tidak jarang ditemui di desa
ini dan tembakau yang sedang dijemur oleh penduduk merupakan pemandangan
yang biasa ditemukan. Sementara itu, keramahan dan senyum dari para
penduduk adalah sebuah sapaan hangat yang menghiasi jiwa para pendaki.
Perjalanan melalui jalur ini merupakan
model perjalanan yang menanjak dan hampir tidak ada “bonus” jalan
landai. Air yang bisa diambil para pendaki akan berakhir di sebuah
sabana luas yang biasa dijadikan tempat untuk bermalam bagi para
pendaki. Di daerah inipun, air yang diambil harus berasal dari pipa yang
mengalirkan air ke rumah penduduk sebab air lainnya akan berasa asam
karena sudah tercampur dengan aroma belerang.
Perjalanan mendaki dilanjutkan hingga menuju sebuah cabang antara puncak menara pemancar dan
Menara Pemancar di Merbabu
jalanan menuju pos
helipad dengan vegetasi yang sudah memendek dan penyambutan dari bunga edelweis dimulai. Pos
helipad sendiri
merupakan daratan yang tidak terlalu luas dan dibatasi oleh tebing yang
curam. Sementara itu, menara pemancar merupakan pos dengan sebuah
bangunan menara yang dibangun pada jaman Soeharto. Pos
helipad dapat difungsikan sebagai tempat bermalam sebelum melakukan pendakian ke puncak.
Menunggu matahari terbenam di pos ini
adalah pengalaman yang sangat indah. Hal ini ditambah dengan terdapatnya
gunung Sumbing dan Sindoro di sebelah barat yang selalu menguntit
selama pendakian dari Wekas.
Matahari Terbenam di Balik Gunung Sindoro dan Sumbing
Tiga puncak utama dan si Jembatan Setan
Gunung Merbabu memiliki tiga puncak
utama: Syarif, Kenteng Songo, dan Trianggulasi. Ketiga puncak ini
berdiri berentetan dengan Kenteng Songo berada di tengah.
Perjalanan dari pos helipad menuju
puncak Syarif lebih didominasi oleh jalanan berbatu hingga menuju
sebuah percabangan. Cabang di sebelah kiri akan mengantarkan pendaki ke
Puncak Syarif sedangkan cabang sebelah kanan akan mengantarkan pendaki
ke Kenteng Songo dan Trianggulasi.
Puncak Syarif sendiri merupakan sebuah
lahan yang cukup luas yang bisa digunakan untuk bermalam. Di daerah ini
pun, pendaki bisa melihat ke arah seberang adanya gunung Merapi yang
berdiri berdampingan dengan gunung Merbabu.
Perjalanan dari Puncak Syarif menuju
Puncak Kenteng Songo adalah perjalanan yang menegangkan. Di sini pendaki
harus melewati suatu jalan yang dinamakan Jembatan Setan. Jembatan ini
merupakan sebuah jalan setapak yang bagian kanan-kirinya adalah tebing
yang curam. Pendaki harus berhati-hati di daerah sini. Hal ini ditambah
dengan perjalanan menuju Puncak Kenteng Songo yang harus dilalui dengan
sedikit melipir batu-batuan dan jalanan berpasir.
Puncak Syarif dan Jembatan Setan
Batu-batu di Puncak Kenteng Songo
Namun semua itu akan terbayar di Kenteng Songo. Di sini pendaki bisa
melihat adanya kumpulan batu yang berlubang. Penduduk memercayai bahwa
jika batu-batu itu dilihat dengan mata batin, jumlahnya akan berjumlah
sembilan buah. Namun jumlah di sana tidak sebanyak itu. Dari puncak ini,
selain bisa melihat adanya batu-batuan tentang Kenteng Songo, ada juga
satu pemandangan menarik lainnya: Gunung Merapi yang mistis. Dari daerah
ini, suasana mistis akan menyelimuti para pendaki yang melihat dengan
jelas gunung Merapi di depannya.
Sementara itu, puncak Trianggulasi akan
dicapai para pendaki setelah melewati jalanan yang tidak terlalu jauh.
Inilah puncak tertinggi di Gunung Merbabu. Setelah ini, perjalanan turun
akan dilakukan melewati daerah Selo sebab akan dilakukan proses estafet
menuju Gunung Merapi.
Perjalanan turun
Gunung Merapi dari Puncak Kenteng Songo
Perjalanan menuju daerah Selo ini merupakan perjalanan yang tidak mudah.
Hal ini wajar mengingat jalur Selo terkenal di antara para pendaki
sebagai jalur terpanjang menuju puncak Merbabu. Jalur ini harus melewati
jalanan berpasir dan sabana yang kering dengan semilir angin gunung
yang dingin. Namun keunikan yang ditawarkan Selo kepada pendaki Merbabu
adalah pemandangan Gunung Merapi yang selalu ada setiap saat: menguntit
dari belakang jika pendaki naik dan bertatapan langsung ketika pendaki
turun.
Perjalanan turun lewat Selo mengingatkan
penulis dengan pendakian Argopuro. Jajaran perbukitan adalah makanan
yang harus dilalap oleh para pendaki di sana untuk mencapai puncak
ataupun untuk turun dari puncak. Jalanan berpasir tidak jarang membuat
pendaki terpeleset dan akhirnya turun layaknya bermain prosotan di taman
bermain. Pemandangan yang ditawarkan adalah kumpulan sabana,
tumbuh-tumbuhan pendek, dan juga kumpulan edelweis.
Bukit-bukit di Jalur Pendakian Selo
Pemandangan ini akan berubah menjadi hutan tropis ketika pendaki sudah
melewati seluruh jajaran perbukitan di daerah jalur Selo. Pada saat itu,
jalur pendakian akan diliputi dengan tanaman-tanaman khas hutan tropis
dengan tanaman yang memiliki diameter batang yang lebih besar.
Perjalanan turun terus dilakukan hingga menemui pos pelaporan jalur
pendakian Selo.
Transit dan tukang ojek Desa Selo
Perjalanan transit menuju pendakian bisa
mengandalkan tenaga pendaki sendiri. Jalan yang harus ditempuh sekitar
3-4 jam perjalanan. Selain itu, perjalanan menuju Merapi juga bisa
menggunakan jasa ojek di Desa Selo. Tarif yang ditawarkan untuk ojek
berkisar pada Rp 15.000 sampai Rp 20.000.
Keunikan dari ojek yang ditawarkan di
sini adalah bahwa ojek ini bisa dipesan meskipun tidak terlihat adanya
pangkalan ojek. Setelah ditelusuri, ternyata pengojek di desa ini
sebagian besar adalah penduduk sekitar sendiri.
Dalam sebuah perbicangan dengan salah
seorang pengojek, ia mengaku bahwa pengojek adalah profesi sampingannya
di saat musim pendakian. “Biasanya saya bertani atau berladang atau
membantu orang membuat pintu dan kusen. Ojek ini hanya untuk membantu
para pendaki,” katanya.
Mayoritas profesi dari penduduk Desa Selo
memang adalah petani. Hal ini terlihat jelas dari lahan-lahan pertanian
yang akan menyambut pendaki di daerah ini. Sebagian besar dari mereka
memilih untuk menanam sayur-sayuran. Hal ini berbeda dengan tanaman
tembakau yang lebih mendominasi ketika penulis mendaki dari daerah
Wekas. “Kalau tembakau di daerah ini hanya sedikit sebab kualitasnya
juga tidak baik. Tidak tahu kalau di daerah sana (Wekas),” tambah
pengojek itu ketika penulis berbincang tentang profesinya sebagai
petani.
Merapi – Gunung Kedua
Proses estafet gunung ini akan diakhiri di Gunung Merapi: sebuah gunung api yang baru saja “mengamuk” di tahun 2010 lalu.
NEW SELO
Perjalanan yang terkenal untuk menaklukkan Merapi di kalangan pendaki
adalah perjalanan “tek-tok.” Perjalanan ini merupakan perjalanan
naik-turun gunung dalam waktu sehari atau tanpa bermalam di gunung. Oleh
karena itu, pendakian jenis ini juga terkenal di kalangan pendaki
sebagai salah satu model
ultra light hiking yang tidak perlu membawa tas carier dalam ukuran besar.
Pendakian jenis “tek-tok” lebih baik
dilakukan pendaki dengan mengambil jam 12 malam atau jam 01.00 pagi
hari. Perjalanan cepat akan membawa pendaki ke puncak merapi dalam waktu
5 jam. Oleh karena itu, pemilihan waktu yang tepat akan membawa pendaki
tepat di puncak Merapi pada saat matahari terbit.
Perjalanan pasir yang terjal
Perjalanan menuju puncak Merapi
didominasi oleh model perjalanan yang didominasi oleh trek pasir dan
batu-batuan setelah sebelumnya tulisan “NEW SELO” ala Hollywood akan
menyambut para pendaki. Hutan pertama yang ada di daerah ini didominasi
oleh tumbuhan yang tidak terlalu tinggi. Perjalanan pun terasa amat
gersang sebab tidak seperti di Merbabu yang masih diselimuti hutan
tropis.
Menuju Puncak Merapi
Perjalanan sejati menuju puncak akan
diawali di daerah Pasar Bubrah. Daerah ini merupakan sebuah daerah datar
yang seringkali digunakan oleh pendaki untuk bermalam. Di daerah ini
tidak ada tumbuhan dan hanya pasir dan batuan yang begitu berlimpah.
Pasar Bubrah
Pasar Bubrah menuju puncak adalah tempat
tersulit pendakian dimulai. Medan yang berpasir dan menanjak akan
membuat pendaki kesulitan untuk naik. Sekali melangkahkan kaki, maka
akan kembali terperosok masuk ke bawah. Begitu seterusnya hingga tidak
jarang membuat pendaki harus merangkak untuk menuju puncak. Perjalanan
menuju puncak pun lama kelamaan akan didominasi oleh batu-batuan keras
dan hal ini membuat pendakian lebih mudah meskipun kemiringannya tetap
curam.
Namun semua upaya itu akan dibayar
dengan melihat kawah Merapi yang masih aktif dan juga semburan asapnya
yang di sekitar lereng. Bau belerang yang menyengat juga menjadi ciri
khas dari gunung ini. Matahari terbit di sebelah Gunung Lawu pun menjadi
panorama yang bersifat bebas ketika langit cerah.
Matahari Terbit dari Puncak Merapi
Kawah Merapi dan Lava Pijarnya
Cerita dari mereka untuk Merbabu dan Merapi
Perjalanan menuju puncak Merbabu dan
Merapi adalah sebuah perjalanan sosial: berinteraksi dengan sesama
pendaki dan tersenyum sembari bertanya jalan. Seorang pendaki yang
bertemu penulis bercerita bahwa ini merupakan pendakiannya menuju puncak
Merbabu yang ketiga kalinya dan baru kali ini ia mencapai puncak.
“Kemarin-kemarin suasananya tidak mendukung,” katanya.
Lebih jauh, ia juga menceritakan tentang
cerita yang berkembang di sekitar Merbabu. ‘Kata orang di sini ada pasar
setan. Hanya aktif di malam hari. Teman saya pernah ke sana. Ia membeli
patung Budha dengan harga seratus ribu rupiah dan waktu itu harganya
lima puluh ribu. Anehnya, ketika ia keluar pasar setan, uang kembalian
berubah menjadi daun dan patungnya tetap ada bahkan sampai dijual dengan
harga ratusan juta,” katanya menambahkan.
Cerita pasar setan memang cerita yang
cukup berkembang di daerah gunung. Teman dari rekan penulis juga
bercerita bahwa ia pernah melakukan transaksi di pasar setan. “Namun ya,
siapa yang tahu. Teman saya memang punya ‘kelebihan’,” kata pendaki
itu.
Pendaki Mancanegara di Merapi
Perjalanan sosial ini juga kembali terulang di Merapi. Hanya saja kali
ini penulis bertemu dengan wisatawan mancanegara yang kebetulan sedang
berlibur. Kumpulan wisatawan ini berasal dari berbagai negara di Eropa:
Republik Ceko, Perancis, dan Jerman. Salah seorang wisatawan ini
langsung berdecak kagum ketika berada di puncak Merapi. Mengabadikan
lewat video dan dan foto adalah hal yang biasa untuk mereka.
Salah seorang wisatawan mancanegara yang
diajak berbincang oleh penulis menyatakan bahwa tidak ada gunung di
Eropa yang seterjal ini. “Ini merupakan gunung yang paling menakutkan
yang pernah saya daki,” katanya. Ia juga menambahkan bahwa Indonesia
memiliki potensi yang sangat baik untuk wisata alam dan budaya. Hal
inilah yang menjadikan alasan bagi ia dan kawan-kawannya untuk
menghabiskan perjalanan selama sekitar tiga minggu di Indonesia yang
rencananya akan diakhiri di Bali.
Tentang vandalisme dan sampah
Vandalisme di Kenteng Songo
Cerita-cerita pendakian ini tidak akan
berhenti untuk hal-hal heroic penuh perjuangan menuju puncak ataupun
cerita-cerita mistis. Cerita estafet gunung ini pun akan bercerita
tentang rusaknya alam oleh jejak mereka yang mengaku “pecinta alam.”
Tidak ubahnya di dua gunung itu, sampah
terlihat sangat berserakan di daerah-daerah yang datar. Selain itu,
tangan-tangan jahil terlihat sangat sering mencoret-coret batuan yang
seharusnya dijaga sebagai upaya mencintai alam. Sayang, predikat mereka
sebagai pecinta alam mungkin hanya sebatas eksistensi belaka. Padahal,
pencinta alam sudah selayaknya tidak meninggalkan apapun kecuali jejak
kaki.
Sampah di Jalur Pendakian Merapi
Dan tentang mereka yang meninggal
Nisan atas Nama Simuh
Cerita-cerita pendakian ini akan berakhir dengan kesamaan dua gunung ini
untuk menyimpan nisan sebagai peringatan bagi mereka yang meninggal di
gunung. Hal ini mirip dengan nisan Gie yang ada di Semeru.
-
Nisan di Merapi
Nisan atas Nama Sugiyanto
Tercatat sekitar dua buah nisan (Simuh dan Sugiyanto) ada di Gunung
Merbabu dan satu nisan atas nama tiga orang (Achmad, Paulus, dan Arseno)
ada di Gunung Merapi. Nisan-nisan ini setidaknya mengingatkan pendaki
bahwa kematian selalu ada di depan mata dan puncak gunung yang telah
ditaklukan tidak seharusnya membuat pendaki besar kepala namun merasa
bahwa ternyata pendaki hanyalah sebagian kecil dari alam yang masih
harus menghadapi kenyataan akhirnya: kematian.