“ Di negera-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, Putusan hukuman mati dapat dijatuhkan terhadap kejahatan
Yang paling berat sesuai dengan hukum yang berlaku pada
Saat dilakukannya kejahatan tersebut……”[1] “ Hai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
Memberlakukan qishash atas pembunuhan. ‘‘nyaw’’
Orang merdeka bayar dengan merdeka, budak bayar budak, perempuan
bayar Perempuan. Dan jika engkau memaafkan, maka lakukanlah
Dengan cara yang terbaik, sesungguhnya yang demikian
(memaafkan itu) merupakan bentuk kasih sayang dan rahmat-Nya…..’’.
[2] Sebelum membahas persoalan hukuman mati dilihat dari sudut padang HAM dan Islam, terlebih dahulu akan dipaparkan secara singkat bagaimana gagasan tentang konsep HAM dilihat dari perspektif Islam. Menurut pendapat saya, membicarakan persoalan HAM dalam perspektif Islam, tidak lain sesungguhnya sedang mebicarakan persoalan “Syari’at” itu sendiri. Pemahaman tentang syari’at kalaulah bisa diambil intisarinya, sesungguhnya dapat dirumuskan dalam kaidah usul fiqh “Jalb al Manafi’ wa-Dar al Mafasyid” (Mengambil yang bermanfaat dan meninggalkan yang mudlarat). Sementara itu maksud dan tujuan dari syari’at Islam (maqasid al syari’at) tidak lain adalah bagaimana membangun kemaslahatan hamba (tahkik mashalih al ‘ibad). Oleh karena itu, seharusnya segala daya dan upaya manusia dalam merumuskan konsepsi tentang hukum haruslah mengacu pada maqasid al-syari’at itu, bukan hukum untuk hukum.
Berkaitan dengan upaya membangun kemaslahatan hamba tersebut, Iman Ash-Syathibi
[3], menjelaskan bahwa kemaslahatan itu dibagi dalam tiga kelompok besar
pertama,beliau mengistilahkan dengan
“Al-Mashlahah al-Daruriyyat”[4] yakni kemaslahatan yang bersifat primer. Maksudnya sebuah kemaslahatan yang apabila tidak menjadi
concernbersama, maka tatanan sosial dan dinamikannya itu akan runtuh. Oleh karena itu maka kemaslahatan ini harus menjadi tanggungjawab bersama. Adapun yang dimaksud dengan
Al-Mashlahat al-Daruriyyat ini kemudian dikenal dengan
al-kulliyatul khamsa atau
al kulliyyat al- qubra yakni (1)
Hifzd al Nafs, penghormatan atas jiwa atau nyawa manusia. (2)
Hifzd al-Dien,penghormatan dan penghargaan atas pilihan beragama. Pemahaman ini menurut saya sekaligus mengisyarakan kebebasan untuk tidak beragama, termasuk menjalankan ajaran agama, tidak ada paksaan dalam internal agama (atas pertimbangan itulah menurut saya negara tidak berhak untuk ngurusi satu agama, melainkan berkewajiban untuk melindungi dan memfasilitasi semua agama). (3)
Hifzd al-‘Aql, kebebasan menyatakan pendapat dan pikiran sesuai dengan hati nurani baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini juga bisa dipahami kebebasan mendirikan aliran keyakinan atau kepercayaan. Jadi menurut saya tidak ada istilah nyempal dari agama resmi (4)
Hifzd al- Nasb, kebebasan dan atau penghormatan atas berketurunan termasuk menurut saya di dalamnya kebebasan reproduksi atau tidak bereproduksi. (5)
Hifzd al-Mal, penghargaan dan penghormatan atas harta atau kepemilikan.
Kedua, Imam Ash-Syatibi mengistilahkan dengan “Al-Mashlahah al-Hajjiyat”, yaitu kemaslahatan yang lebih bersifat sekunder atau sebuah kemaslahatan yang sifatnya lebih pada kebutuhan dan urusan pribadi, dan kalau tidak diurus bersama tidak akan menyebabkan tatanan sosial runtuh. Misalnya kebutuhan individu akan shalat, do’a-do’a atau ritual-ritual atau juga untuk menjalankan perintah agama. Inilah barang kali menurut saya makna kenapa dalam Islam ada ajaran tentang “Rukhsah” (keringanan dari Tuhan), tidak bisa shalat tepat pada waktunya boleh dijamak bagi orang yang dalam perjalanan, boleh tidak puasa bagi orang-orang yang berhalangan semisal jompo, sakit, hamil hingga menyusui kalau khawatir akan kesehatan janin atau bayinya. Artinya pelaksanaannya bisa ditunda dan tidak membuat tatanan sosial roboh kalau tidak dilaksanakan saat itu juga.
Ketiga, Al-Mashlahat al-Tahnisiyat, kemaslahatan yang lebih bersifat suplementer semisal haji, umrah dan sejenisnya. Kemaslahatan terakhir ini menjadi penyempurna dua kemaslahatan sebelumnya, namun ia tidak akan menyebabkan tatanan sosial itu hancur apabila kemaslahatan yang ketiga ini tidak disegerakan atau ditunggu sampai benar-benarsurvive dan aman. Bahkan menurut saya melaksanakan kemaslahatan ketiga ini bisa jatuh ke lembah dosa, kalau dalam rangka penyempurnaannya namun mengabaikan lingkungan sosialnya. Misalnya, ketika negera sedang terpuruk dalam hutang luar negeri, kemiskinan berjubel, masyarakat mengalami gizi buruk atau marasmus, pengangguran memprihatinkan, sementara orang kayanya naik haji berturut-turut sehingga kelebihan quota haji.
Berangkat dari pemahaman di atas, penulis berkesimpulan bahwa ternyata HAM itu bersifat universal, dan tidak ada HAM ala Islam dan ala non-Islam atau seperti yang dikemukakan oleh kalangan puritan yang menyatakan HAM harus menyesuaikan diri dengan Islam atau sebaliknya. Kalau pemahamannya seperti itu, maka HAM menjadi naif. Dia akan menjadi kesepakatan bersama terutama dalam hal yang bersifat “Mashlahat al-Daruriyyat”tersebut. Dari kongklusi inilah kemudian penulis berharap akan berangsur melanjutkan pembahasan bagaimana HAM dan Islam merespon hukuman mati?
Secara implisit kedua kutipan pasal di atas mengisyaratkan bahwa baik hukum Internasional HAM (selanjutnya dibaca HIHAM) maupun hukum Islam sama-sama belum menghapuskan hukuman mati bagi tindak kriminal seperti kejahatan pembunuhan atau kejahatan yang oleh komite HAM tidak dianggap serius lainnya. Debat panjang dan serius kemudian muncul berkaitan dengan frasa ‘kejahatan yang paling berat/kejahatan serius’. Seperti yang tertuang dalam pasal 6 ayat 2 di atas. Dalam pembacaan penulis terjadinya perdebatan disebabkan oleh bahwa kovenan ini tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan kejahatan serius tersebut secara eksplisit, kedua kemungkinan dikarenakan persepsi dan konsepsi tentang kejahatan serius itu berbeda antara satu negara atau kebudayaan dengan negara atau kebudayaan lainnya.
Sebuah ilustrasi misalnya, komita Hak Asasi Manusia telah menyimpulkan bahwa perampokan, perdagangan sampah beracun, persekongkolan mendukung bunuh diri, pelanggaran yang terkait dengan obat-obatan, pelanggaran kepemilikan, pengulangan tindakan menghindari dinas militer, kemurtadan, melakukan tindakan homoseksual, penggelapan oleh pejabat negara, pencurian dengan kekerasan, perzinaan, korupsi, dan kejahatan-kejahatan yang tidak berujung pada hilangnya nyawa, semua itu bukan termasuk kejahatan yang paling berat/serius. Sementara itu dalam perspektif Islam paling tidak ada enam kelompok perbuatan yang bisa dikenai sangsi hudud yaitu; Pemotongan tangan bagi pelaku pencurian (sariqah), pemotongan dengan cara menyilang tangan dan kaki atau disalib bagi kasus perampokan atau pemberontakan (hirabah), pelemparan batu sampai mati (rajm)bagi permesuman terbuka dan cambuk 100 kali bagi kasus zinahan. Kemudian pencambukan delapan puluh kali bagi pemberian kesaksian palsu (qadhf), hukuman mati bagi orang murtad (riddah), dan terakhir empat puluh kali cambuk bagi penenggak minuman keras (syarb al-khamr).
Terlepas dari perdebatan teknis kejahatan serius/berat, poinnya adalah bahwa baik HIHAM maupun hukum Islam belum menghapuskan hukuman mati. Akan tetapi, sekalipun hukuman mati belum dihapuskan atau paling tidak amanat kovenan Sipol tidak melarang hukuman mati, persoalan yang kemudian menjadi penting adalah bagaimana mekanisme penjatuhan hukuman mati, baik menurut HIHAM maupun hukum Islam. Misalnya; pasal 6 poin 2 dan pasal 6 poin 6 telah meletakan sejumlah pembatasan pelaksanaannya paling tidak dalam lima pembatasan spesifik yakni pertama ; hukuman mati tidak bisa diterapkan kecuali pada kejahatan paling serius dan sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat kejahatan berlangsung. Kedua, pembatasan hukuman mati pada pasal 6 ialah keharusan tiadanya perampasan kehidupan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan kovenan. Contohnya mesti adanya jaminan pemeriksaan yang adil. Ketiga, pembatasan hukuman mati hanya bisa dilaksanakan sesuai dengan putusan akhir yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang.Keempat, pembatasan yang ditegaskan adalah bahwa siapa yang dihukum mati berhak meminta pengampunan atau keringanan hukuman. Dan kelima, pembatasan atas hukuman mati bahwa ia tidak diberlakukan pada remaja yang berusia di bawah usia 18 tahun, dan tidak bisa diberlakukan terhadap perempuan hamil.
Sementara bila dibandingkan dengan fiqh klasik, jika dirujuk dari pendapat mezhab-mazhab fiqh populer telah ada ketetapan hukum yang disebut sebagai hudud. Paling tidak pada enam pelanggaran yang seharusnya mendapatkan sanksi hudud, sebagaimana disinggung di atas dan sebahagian besarnya terlihat kontras dengan ketetapan komite HAM. Sekalipun terlihat seperti begitu kontras antara dua bentuk konsep di atas, yakni menentukan bentuk perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan serius, namun di dalam hukum Islampun terdapat beberapa ketentuan yang tidak gampang untuk menjatuhkan sebuah hukuman atau hudud, beberapa ketentuan tersebut bisa dibahasakan sebagai pembatasan atas hukuman atau hudud dalam hukum Islam. Misalnya;
’’
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan alasan yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka Kami telah memberi kekuasaan kepada ahl warisnya. Akan tetapi janganlah ahl waris itu melampaui batas dalam membunuh/balas membunuh. Sesungguhnya ia orang yang mendapat pertolongan’’.
[5]‘’….
Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan suatu yang benar. yang demikian itu diperintahkan oleh Tuhanmu, supaya kamu memahaminya “.
[6]‘
’Barang siapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu telah membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa memelihara kehidupan seseorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semua’’.
[7]“
Sesungguhnya nyawa dan harta benda kalian suci bagi sesama hingga kalian menemui Tuhan di hari kebangkitan”. Dalam riwayat lain Nabi bersabda; ‘’
Kejahatan pertama diantara manusia yang akan Allah hukum pada hari perhitungan adalah penghilangan nyawa secara tidak sah’’[8]‘’
Di dalam qishash ada kehidupan bagi kalian, hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa’’.
[9] Kutipan ayat dan hadits di atas, mengisyaratkan bahwa sekalipun dalam hukum Islam masih memberlakukan hukuman mati, akan tetapi tetap memberikan batasan atau bahkan ketentuan-ketentuan yang sangat teliti dan serius dalam pemberlakuan hukumnya. Beberapa pembatasan tersebut paling tidak terdapat beberapa pembatasan spesifik misalnya pertama,bahwa dalam ketentuan hukuman mati itu merupakan bagian dari proses memelihara kehidupan itu sendiri. Sehingga para ahli fiqh lebih memilih menghindari hukuman mati, melalui ketentuan-ketentuan prosedural atau keringanan yang dalam bahasa teknis hukum internasional disebut dengan procedural and commutative provision.
Dalam hukum tradisional Islam, sekalipun terdapat ketentuan hukuman yang disebut dengan hudud untuk beberapa jenis pelanggaran yang lebih bersifat retributif semisal qishash, namun dalam banyak kasus hukum tradisional Islam lebih mengedepankan pada aspek diskresioner yang dikenal dengan ta’zir. Misalnya dengan pembayaran diat (
blood money), sebagai ganti hukuman mati. Nabi sendiri dalam beberapa kasus menganjurkan sebisa mungkin menghindarkan hukuman mati
[10]. Selain itu lebih mendorong agar ahl waris pihak terbunuh untuk memaafkan pelaku pembunuhan.
[11] Pembatasan kedua, hukum tradisional Islam seperti halnya ketentuan pembatasan dalam kovenan sipol pasal 6, ia sangat menekankan pada proses pemeriksaan yang adil dan tidak diskriminatif. Misalnya penggalan ayat ‘’…. Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan suatu yang benar’’. Sekalipun beberapa mazhab mengisyaratkan tidak berlakunya hukuman mati bagi pembunuh muslim atas non-muslim, akan tetapi Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya misalnya menjelaskan bahwa pelanggar Muslim bisa dieksekusi atas pembunuhan non-Muslim. Sekalipun ada perbedaan pendapat dalam hal ini antara Imam Hanafi dengan Imam Syafi’i dan Imam Maliki. Dalam kaitan ini, hukum tradisional Islam membedakan putusan (qadha’), yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang dengan pendapat hukum (fatwa) seorang mufti yang terkait. Putusan akhir yang bisa mengeksekusi (qadha’), hanya bisa dijatuhkan oleh hakim setelah pertimbangan penuh sesuai dengan proses hukum yang berlaku. Sementara fatwa hanyalah opini hukum yang tidak mengikat dan tidak pula bisa mengeksekusi.
Pembatasan ketiga, dalam hukum tradisional Islam menganjurkan pemberian ampunan atas pelaku dosa, ini artinya dalam hukum tradisional Islam mengakui prinsip amnesti. Prinsip amnesti ini bisa diberikan oleh penguasa sesuai dengan prinsip ‘’ haq al ‘afw ‘an al-‘uqubah’’, yakni untuk mengampuni hukuman. Sebahagian ahli fiqh berpendapat pertimbangan remisi merupakan alternatif yang lebih baik ketimbang hukuman mati dalam perkara pembunuhan.
Pembatasan keempat, dalam hukum tradisional Islam, pemberlakukan hukuman hudud hanya berlaku bagi orang-orang mukhalaf yakni, baligh dan waras, artinya hudud tidak berlaku bagi anak-anak dan orang gila. Selain itu beberapa prasyarat diberlakukannya hudud juga bukan pada perempuan yang sedang dalam keadaan hamil hingga ia melahirkan. Misalnya kasus dua orang perempuan yang meminta dirajam oleh karena berbuat mesum. Setelah melalui proses panjang, Nabi kemudian merajam perempuan yang satu atas permintaan sendiri dan menunda perempuan yang satu karena hamil hingga menyusui.
Pembatasan kelima, dalam hukum tradisional Islam, penetapan hukuman atau sanksi hudud menuntut adanya syarat-syarat pembuktian yang ketat bagi pelanggar ketentuan hudud. Dan dalam banyak kasus pembuktian itu berakhir pada ta’zir (discretionary). Beberapa contoh misalnya, untuk menjatuhkan hukuman rajam atau dera atas kasus perbuatan mesum, ketentuan pertama harus dapat dibuktikan oleh empat orang saksi dengan kriteria, laki-laki, baligh, adil, dan jujur. Jika dari keterangan empat orang saksi tersebut terdapat satu saja yang memberikan kesaksian berbeda atau mungkin ragu, maka penjatuhan hukuman bisa berubah menjadi takzir di atas, atau bahkan bebas sama sekali. Berikut akan diuraikan secara ditail satu contoh kongkrit beratapa sulitnya mekanisme penjatuhan sanksi hudud yang berkaitan dengan hukuman mati.
Pertama; misalnya; Satu cerita sejarah yang diriwayatkan oleh al-Tabari bersumber dari Syu’aib dari Saif yang ditransmisikan oleh Muhammad, Muhallab, Thalhah dari Amr bin Ash menyebutkan adanya kisah persaingan tertutup antara Abu Bakrah dengan Mughirah bin Sya’bah. Sang gubernur Basrah. Dimana antara Abu Bakhrah dan Mughirah bin Sya’bah saling menganggap rendah satu dengan yang lainnya. Pada saat di Basrah, mereka tinggal sebagai tetangga. Rumah mereka bersebalahan jalan dan keduanya mempunyai tenda tempat perjamuan dengan jendela bertirai kain yang saling berhadapan. Satu ketika Abu Bakrah sedang menjamu tamunya dan perbincangan ringan. Tiba-tiba angin bertiup kencang dan membuka tirai kain jendela. Ketika hendak menutup jendela, betapa Abu Bakrah terkejut menyaksikan Mughirah bin Sya’bah sedang bercinta (making love), dengan seorang perempuan. Lalu Abu Bakrah mengajak tamunya untuk menyaksikan sambil berkata :”Perhatikan baik-baik Mughirah anak Sya’bah sedang bercinta dengan perempuan bayaran.” Salah seorang itu bertanya siapa perempuan itu? Dia Ummu Jamil anak perempuan Afqam, jawab Abu Bakrah.
Umu Jamil berasal dari Bani Amir bin Sha’sha’ah yang memang berprofesi sebagai wanita panggilan. Umu Jamil biasa menjadi langganan pejabat tinggi saat itu termasuk Mughirah bin Sya’bah. Dan selain Umu Jamil masih ada banyak perempuan saat itu yang berprofesi sebagai wanita panggilan. Singkat cerita, tamu Abu Bakhrah rupanya masih penasaran, karena hanya melihat pelacur tersebut dari belakangnya. Mereka terdiam ketika perempuan itu bangkit dan berlalu. Dan tatkala Mughirah bin Sya’bah keluar untuk melaksanakan shalat berjama’ah, mereka mengejeknya ”Jangan pernah shalat bersama kami lagi”. Desas desus perzinahan Mughirah bin Sya’bah mulai sampai ke telinga khalifah Umar bin Khatab. Segeralah Umar mengutus Abu Musa al-As’ari untuk melakukan penyelidikan kebenaran informasi tersebut.
Abu Musa al-As’aripun bertolak menuju Basrah, tak lama kemudian ia singgah di Marbad. Kabar penyelidikan Abu Musapun terendus oleh Mughirah. Mughirah-pun sepertinya mulai kelihatan cemas, sebab tidak mungkin kadatangan Abu Musa al-As’ari hanya untuk hal-hal yang sepele. Sesampainya di Basrah, Abu Musa menyerahkan sepucuk surat pendek dari Umar bin Khatab yang isinya: ” Aku telah mendengar berita yang menggemparkan, Aku tugaskan Abu Musa menjadi amir, serahkan seluruh kewenanganmu kepadanya. Segera!
Setelah membaca surat pemecatan itu Mughirah justru menghadiakan seorang gundik cantik peranakan Tha’if bernama Aqilah kepada Abu Musa. Kepada Abu Musa Mughirah berpesan, ”aku relakan gundik cantik rupa ini untukmu”. Beberapa waktu kemudian Mughirah, Abu Bakrah, Nafi’ bin Kaldah. Ziyad dan Syibli bin Ma’bad al Bajli, berangkat ke Madinah untuk menghadap Umar. Dihadapan Umar Mughirah angkat bicara, ”silahkah amirul mu’minin bertanya kepada para pembantumu tentang kesaksian mereka atas perbuatanku!”.
Umar bin Khatab lalu mulai mengintrogasi Abu Bakrah dengan pertanyaan bagaimana engkau melihat dan mengenali perempuan pasangan ML-nya Mughirah? Lalu Abu Bakrah memberikan kesaksian. Bahwa dirinya melihat Mughirah berada diantara selakangan Umu Jamil lalu menyetubuhinya. Lalu Umar mendesak, bagaimana caramu melihat mereka ML? Abu Bakrah menjawab ”Aku berada di arah belakang mereka. Lalu Umar bertanya lagi ”Bagaiman engkau mengenali secara pasti wajah perempuan itu?. Aku mengira-ngira jawab Abu Bakrah. Lalu Umar mengintrogasi Syibli bin Ma’bad, dimana hasilnya Syibli memberi keterangan yang sama dengan Abu Bakrah. Namun ketika Umar bertanya, engkau saat itu berada di belakang atau dehadapan mereka? Syibli menjawab ”Aku berada pada arah yang berhadapan dengan mereka.” Sementara Nafi memberikan keterangan yang sama dengan mereka.
Ziyad memberikan keterangan yang berbeda dari mereka yang bertiga, dengan pengakuan ”Aku menyaksikan Mughirah duduk diantara dua kaki seorang perempuan. Aku melihat dua pasang kaki saling bergoyang dan kedua aurat tersingkap, aku juga mendengar lenguhan yang cukup keras kata Ziyad.” Lalu Umar menimpali, ” Apakah engkau juga menyaksikan sebuah penetrasi seperti masuknya pensil celak ke dalam wadahnya? Ziyad menjawab tidak. Umar mendesak lagi apakah engkau mengenali dengan jelas perempuan itu? Tidak, tapi perempuan itu mirip Umu Jamil, jawab Ziyad”. Lalu Umar berkata ”Jika demikian engkau belum yakin”
Kesimpulanya karena Ziyad dianggap gagap dalam memberikan kesaksian, maka Umar memerintahkan agar tiga orang saksi sebelumnya dicampuk. Melihat kejadian itu Mughirah berkata seperti tanpa dosa, ”Amirul Mukminan bersihkan namaku dari tuduhan orang ini? Sambil menunjuk Abu Bakrah. Lalu Umar segera menjawab, ” Tutup mulutmu, demi Allah andai kesaksian mereka sempurna, pasti aku akan merajamu dengan batumu sendiri. Intinya untuk menjatuhkan hukuman atas perbuatan yang dikategorikan hudud termasuk dalam kasus pembunuhan, ternyata hukum Islam lebih menghindari hukuman mati melalui ketentuan-ketentuan prosedural atau keringanan (procedural and commutative provisions). Dimana hukum Islam menuntut pembuktian yang ketat bagi pelanggaran yang bisa menyebabkan hukuman mati. Dan kepatuhan pada syarat-syarat pembuktian sering berakhir dalam bentuk takzir (discretionary)
Kedua, berkaitan dengan kasus hukuman mati yang disebut sebagai tindakan qishas. Nabi tidak pernah menjatuhkan hukuman qishas bagi pelaku pembunuhan, kecuali paska
futh al makkah, dimana sanksi itu diberlakukan kepada empat orang dalam kasus sebagai berikut; (1) Nabi memberlakukan eksekusi mati untuk Huwairis karena kesalahannya mengganggu Zainab putri Nabi ketika sepulangnya dari Makah ke Madinah. (2) Nabi menjatuhi hukuman mati bagi dua orang yang telah masuk Islam, kemudian melakukan kejahatan dan pembunuhan di Madinah, kemudian melarikan diri ke Makah, dan sesampai di Makah keduanya murtad dan oleh Nabi dianggap membahayakan Islam. (3) Nabi juga menetapkan hukuman mati kepada dua orang budak perempuan Ibn Khatal, karena kesalahannya mengganggu Nabi dengan nyanyian-nyanyiannya, namun batal dilakukan karena yang seorang dari mereka melarikan diri, sementara yang kedua dimaafkan.
[12] Ketiga berkaitan dengan pelaksanaan hukuman bagi pelaku murtad. Dalam kajian fiqh klasik, Kemurtadan yang kemudian dikenal dengan istilah
simpliciter adalah satu isu dalam hukum Islam tradisional yang dikategorikan sebagai hudud dengan hukuman mati. Akan tetapi, dalam hal penerapan hukuman mati bagi pelaku murtad, sejak awal ahli fiqh telah berselisih paham. Ibn Taimiyah suhunya muslim puritan menerangkan bahwa sebagian ulama tabiin seperti Ibrahim al-Nakha’i, seorang ahli fiqh terkenal sezaman dengan Tsufyan Tsawri, memegang pandangan bahwa orang yang murtad dari Islam tidak boleh dihukum mati, namun harus diajak kembali menjadi Muslim. Sementara Abu al-Walid al-Bajji seorang ulama fiqh abad 12 dan merupakan penganut mazhab Maliki menjelaskan bahwa ’kemurtadan adalah dosa yang tidak ada hukuman hududnya’.
[13] Perdebatan berikutnya berkaitan dengan penjatuhan sanksi hudud bagi pelaku murtad adalah, apakah setiap tindakan murtad harus dijatuhi hukuman mati? Sebuah hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang kemudian oleh sarjana Muslim klasik dianggap sebagai hadits ahad menjelaskan ’
Siapa saja yang mengubah agamanya, bunuhlah dia’’.
[14] Namun dalam sejarah Nabi hidup menjelaskan tidak ada preseden dari Nabi memaksa masuk Islam atau menghukum mati orang yang murtad, kecuali dalam kasus di atas. Dari berbagai referensi yang kita temua ternyata dapat disimpulkan bahwa tindakan murtad atau
simpliciter, akan dijatuhi hukuman mati apabila bersamaan dengan tindakan kemurtadan itu diikuti dengan pembocoran rahasia atau mengancam dan atau membahayakan keberlangsungan ’’negara islam’’ atau yang dalam bahasa hukum Islam tradisional sebagai tindakan memburuk-burukan Islam, dan atau kemudian melakukan pemberontakan atas negara.
Mengahiri tulisan ini, menurut saya ada beberapa poin penting yang hendak disampaikan adalah pertama tidak ada perbedaan yang substantif antara HIHAM dan hukum Islam dalam pemberlakuan hukuman mati, dengan kata lain antara HAM dan hukum Islam dipertemukan dalam kasus penjatuhan sanksi hukuman mati. Kedua Sekalipun dalam hal definisi kejahatan serius terdapat perbedaan pandangan, akan tetapi tetap saja mekanisme penjatuhan sanksi hukum bagi pelaku kriminal seperti pembunuhan dan atau yang berkaitan dengan sanksi hukuman mati, tetap saja merupakan persoalan yang tidak mudah untuk diterapkan, selain itu panjangnya prosedur penjatuhan hukuman mati mengisyaratkan bahwa hukuman mati merupakan upaya terakhir dan karena memang tidak ada alternatif lain. Dengan kata lain, panjangnya prosedur penjatuhan hukuman mati seakan mengisyaratkan bahwa sanksi hudud berupa hukuman mati merupakan bahagian dari dialektika akomodatif secara persuasif menghadapi masyarakat yang baru belajar “berkeadaban”. Dan setelah Muhammad mencapai puncak kemenangan pada futh al-Makkah, beliau justru mengampuni oran-orang yang telah berbuat zalim pada dirinya, misalnya bagaimana beliau bisa mengampuni Hindun istri Abu Sofyan, seorang perempuan jahanam yang telah memakan mentah-mentah hati paman Nabi Hamzah bin Abdul Muthalib saat peristiwa perang uhud, sekaligus mengampuni Abu Sofyan. Ketiga atau terakhir, ayat yang dijadikan rujukan utama bagi kelompok muslim yang menyetujui atau bahkan bersemangat untuk memberlakuan hukuman mati adalah Hai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu menqishash atas pembunuhan. ‘nyawa’’ merdeka bayar nyawa merdeka,budak bayar budak, perempuan bayar Perempuan. Dan jika engkau memaafkan, maka lakukanlahDengan cara yang terbaik, sesungguhnya yang demikian (memaafkan itu) merupakan bentuk kasih sayang dan rahmat-Nya….. ingin saya katakan bahwa ayat tersebut hingga penggalan perempuan dengan perempuan adalah baru pada tahap keadilan retributif, sementara penggalan jika kamu memaafkan, hingga memaafkan itu merupakan bentuk kasih sayang dan rahmat-Nya secara implisit mengisyaratkan bahwa keadilan restoratif atau substantif lebih dianjurkan.
[1] ICCPR, pasal 6 ayat 2
[3] Abu Ishaq al- Syathibi adalah ulama fiqh pengikut mazhab Maliki yang hidup kira-kira abad ke 13 M
[4] Abu Ishaq al- Syathibi
“Muwafakat fi Ushuli al-Syari’ah” Dar-al-Kutub al-‘ilmiyah, beirut, Jillid 2 h 3-23. [8]HR. Bukhari Muslim dalam ‘’
al-Fiqh ala al- Mazahib al Arba’ah”, karya al-Jaziri, 1997. vol V, hal 218
[10]Wahbah Zuhayli,
Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, vol 7, hal 5037
[12]Muhammad Husain Haikal
, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta, PT. Mitra Karjaya Indonesia, cet ke xxxiv 2007, hal 475 – 476
[13]El-Hawa, M,S, Punishment is Islamic Law (1982) hal. 56.
[14]Abu Hajar As-Qalani, Bulugh al-Maram, (1983), hal. 339
Sumber : Kiyai Sudarto Blog.