ARTIKEL PILIHAN

GOOGLE TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

ARTIKEL PILIHAN

KISAH NYATA DARI JAWA TENGAH: Ajaibnya Sedekah (Diganti 1000 Kali Lipat)

Written By Situs Baginda Ery (New) on Sabtu, 23 Maret 2013 | 23.58

http://riyadhohayatkursi.files.wordpress.com/2012/05/sedekah-riyadhohayatkursi-wordpress-com1.jpg
Kisah nyata ini terjadi di Jawa Tengah. Hari itu, seorang lelaki tengah mengengkol vespanya. Tapi tak kunjung bunyi. “Jangan-jangan bensinnya habis,” pikirnya. Ia pun kemudian memiringkan vespanya. Alhamdulillah... vespa itu bisa distarter.

“Bensin hampir habis. Langsung ke pengajian atau beli bensin dulu ya? Kalau beli bensin kudu muter ke belakang, padahal pengajiannya di depan sana,” demikian kira-kira kata hati lelaki itu. Ke mana arah vespanya? Ia arahkan ke pengajian. “Habis ngaji baru beli bensin.”

Ma naqashat maalu ‘abdin min shadaqah, bal yazdad, bal yazdad, bal yazdad. Tidak akan berkurang harta karena sedekah, bahkan ia akan bertambah, bahkan ia bertambah, bahkan ia bertambah,” kata Sang Kyai di pengajian itu, yang ternyata membahas sedekah.

Setelah menerangkan tentang keutamaan sedekah, Sang Kyai mengajak hadirin untuk bersedekah. Lelaki yang membawa vespa itu ingin bersedekah juga, tetapi uangnya tinggal seribu rupiah. Uan g segitu, di zaman itu, hanya cukup untuk membeli bensin setengah liter.

Syetan mulai membisikkan ketakutan kepada lelaki itu, “Itu uang buat beli bensin. Kalo kamu pakai sedekah, kamu tidak bisa beli bensin. Motormu mogok, kamu mendorong. Malu. Capek.”

Sempat ragu sesaat, namun lelaki itu kemudian menyempurnakan niatnya. “Uang ini sudah terlanjur tercabut, masa dimasukkan lagi? Kalaupun harus mendorong motor, tidak masalah!”

Pengajian selesai. Lelaki itu pun pulang. Di tengah jalan, sekitar 200 meter dari tempat pengajian vespanya berhenti. Bensin benar-benar habis.

“Nah, benar kan. Kalo kamu tadi tidak sedekah, kamu bisa beli bensin dan tidak perlu mendorong motor,” syetan kembali menggoda, kali ini supaya pelaku sedekah menyesali perbuatannya.

Tapi subhanallah, orang ini hebat. “Mungkin emang sudah waktunya ndorong.” Meski demikian, matanya berkaca-kaca, “Enggak enak jadi orang susah, baru sedekah seribu saja sudah dorong motor.”

Baru sepuluh langkah ia mendorong motor, tiba-tiba sebuah mobil kijang berhenti setelah mendahuluinya. Kijang itu kemudian mundur.

“Kenapa, Mas, motornya didorong?” tanya pengemudi Kijang, yang ternyata teman lamanya.
“Bensinnya habis,” jawab lelaki itu.
“Yo wis, minggir saja. Vespanya diparkir. Ayo ikut aku, kita beli bensin.”

Sesampainya di pom bensin, temannya membeli air minum botol. Setelah airnya diminum, botolnya diisi bensin. Satu liter. Subhanallah, sedekah lelaki itu kini dikembalikan Allah dua kali lipat.

“Kamu beruntung ya” kata sang teman kepada lelaki itu, begitu keduanya kembali naik Kijang.
“Untung apaan?”
“Kita menikah di tahun yang sama, tapi sampeyan sudah punya 3 anak, saya belum”
“Saya pikir situ yang untung. Situ punya Kijang, saya Cuma punya vespa”
“Hmm.. mau, anak ditukar Kijang?”
Mereka kan ngobrol banyak, tentang kesusahan masing-masing. Rupanya, sang teman lama itu simpati dengan kondisi si pemilik vespa.

Begitu sampai... “Mas, saya enggak turun ya,” kata pemiliki Kijang. Lalu ia menerogoh kantongnya mengeluarkan sebuah amplop.

“Mas, titip ya, bilang ke istrimu, doakan kami supaya punya anak seperti sampeyan. Jangan dilihat di sini isinya, saya juga belum tahu isinya berapa,” bonus dari perusahaan itu memang belum dibukanya.

Sesampainya di rumah. Betapa terkejutnya lelaki pemilik Vespa itu. Amplop pemberian temannya itu isinya satu juta rupiah. Seribu kali lipat dari sedekah yang baru saja dikeluarkannya.

Sungguh benar firman Allah, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 261).

[Kisah Nyata Keajaiban Sedekah ini disarikan dari Buku “Kun Fayakun 2” karya Ust. Yusuf Mansur]
23.58 | 0 komentar | Read More

KISAH NYATA (LAKUKANLAH INI JIKA INGIN PUNYA ANAK)



image

“Jika belum adanya keturunan yang membuatmu gelisah di penghujung malam ini mintalah Allah ta’ala dengan do’a Nabi Zakariya.” Satu kalimat yang ditwitkan oleh Moh. Fauzil Adhim pada dini hari ini membuat saya termenung. Sebuah kebetulan bahwa pada malam itu saya ingin menuliskan sebuah cerita tentang kegundahan seorang teman akan hadirnya buah hati dalam umur perkawinannya yang baru mencapai lima bulan.
Sebuah waktu yang tidak bisa disetarakan dengan waktu sepi yang dimiliki oleh Nabi Zakariya dalam sebuah penantian yang panjang dan endapan keniscayaan kalau istrinya yang mandul tidak pernah mungkin akan punya keturunan. Maka hanya doa yang bisa terlantun: “Tuhanku, jangan biarkan aku sendiri. Dan Engkaulah sebaik-baik Waris (QS. 21: 89)”
Dalam sebuah percakapan maya, di pertengahan ramadhan 1433 H yang penuh keberkahan, tercetus sebuah kegalauan betapa pusing teman saya ini memikirkan istrinya yang juga belum mendapatkan tanda-tanda kehamilan.
“Kamu mau enggak saya beri solusi?” sebuah pertanyaan yang sebenarnya tak butuh jawaban. Karena dengan mengemukakan masalahnya pada saya saja setidaknya ia merasa sudah cukup gelisah itu terkurangi.
“Kamu dan istri kamu lakukan dua hal ini.”
“Apa?”
“Istighfar dan sedekah. Perbanyaklah. Misalnya saat mau berhubungan intim, saat kamu berdiri di dalam kereta, saat kamu bekerja. Insya Allah kita akan lihat hasilnya dalam sebulan ini.”
Hanya itu yang bisa saya sampaikan padanya persis seperti apa yang diriwayatkan oleh Abu Hanifah dalam Musnadnya, dari Jabir bin Abdullah ra, bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad saw sambil berkata: “Wahai Rasulullah! Aku tidak dikaruniai seorang anak pun dan aku tidak memiliki anak.” Maka Rasulullah saw bersabda: “Lalu di mana kamu dari banyak beristighfar dan banyak bersedekah, karena engkau akan diberi rizki anak karena sebab keduanya.” Lalu laki-laki ini memperbanyak sedekah dan istighfar. Jabir berkata, “Maka orang ini dikaruniai sembilan anak laki-laki.”1)
Saya meyakinkannya untuk melakukan dua hal itu. Apalagi sudah jelas kalau dalam Surat Nuh (71: 10-12) disebutkan tentang janji Allah kepada orang yang meminta ampunan kepadaNya, maka Ia akan memberikan banyak rupa kebaikan dan salah satunya adalah memperbanyak harta dan anak. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.
Kepada para jamaah shalat tarawih saya sampaikan cerita teman ini dan berharap ada keajaiban yang datang dalam sebulan ini. Pengharapan besar, doa yang terucap sepenuh keyakinan, sedekah yang seikhlas-ikhlasnya, permintaan ampunan tertuturkan dengan sebenar-benarnya permintaan, dari hati yang dilembutkan oleh madrasah ramadhan, pada waktu yang mustajabah, variabel manalagi yang akan membuat Allah tidak mewujudkan semua asanya?
Ramadhan usai, Syawal menjelang. Hiruk-pikuk mudik, lebaran, dan baliknya menyita perhatian semua. Tidak terkecuali saya. Tapi ada mekanisme takdir Allah yang sedang berjalan. Hari ke-9 Syawal sang teman memberitahu saya, “Aku mengucapkan terima kasih untuk saran dan doa kamu bulan puasa kemarin. Subhanallah walhamdulillah. Aku telah memastikan secara medis kalau kandungan istriku sudah berjalan kurang lebih lima minggu.”
Allah Maha Besar, nikmat mana lagi yang hendak diingkari. Allah tunjukkan keajaiban sedekah dan istighfar itu pada kami, walau baru sebatas janin. “Terus perbanyak sedekah dan istighfarnya, karena sedekah dan istighfarmu yang konsisten akan menjaga kandungan istrimu.”
Istighfar itu tanda kepasrahan dari hamba yang sesadar-sadarnya kalau dirinya lemah, membawa kedamaian, menjadikan lapang atas setiap kesedihan, jalan keluar atas setiap kesempitan, dan membuka datangnya rizki dari arah yang tiada terduga. Dan ia adalah sarana tarbiyah untuk menjadikan diri shalih secara pribadi sebagaimana shalat.
Sedekah berkelindan dengan istighfar. Sedekah itu pembuktian adanya iman di dada, ia menghapus kesalahan, menjauhkan dari kematian yang buruk, menghindarkan dari musibah, ia mengobati orang-orang yang sakit. Dan ia adalah sarana tarbiyah untuk menjadikan diri shalih secara sosial sebagaimana zakat.
Inilah ikhtiar. Dan setelah kawan saya itu, keajaiban apalagi yang akan muncul di hadapan Anda dari banyaknya istighfar dan sedekah yang tertunaikan?
***
Maraji’:
1) Musnad Abi Hanifah, syarah Mulia Ali al-Qari dalam Hasan bin Ahmad bin Hasan Hammam; Keajaiban Sedekah & Istighfar
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
30 Agustus 2012
Sumber Gambar diambil dari sini.
Diunggah pertama kali untuk: Citizen Fimadani
23.53 | 0 komentar | Read More

Artikel Singkat (Sedekah membawa berkah umur panjang)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimCfhg-pinF8ieNlyLEL3ihrKLy-4geqD6aC0eF0-V26fb68aaH0dGgrKP5nzneaVw1-L8fRbC1NMPvIY8D-Se-Mlu-nDn03xaeuzAVnFxKBVkYr5foK-kDjzwuN1IlmLlhdAQCTNmms4/s1600/umur.jpg
Dikisahkan bahwa malaikat Izroil pada suatu hari memberitahu kepada Nabi Musa tentang kematian seseorang yang tersisa lima hari lagi. Maka Nabi Musa senantiasa memperhatikan orang yang telah disebut oleh malaikat Jibril, sehari, duahari, lima hari bahkan sampai lima bulan beliau memperhatikannya namun dia tetep belum meninggal. Untuk menghilangkan penasaran Nabi Musa bertanya kepada Malaikat Izrail tentang hal itu, lalu malaikat menjawab : orang tersebut setelah mendengar kabar akan meninggal dunia, ia bertemu dengan pengemis yang meminta kepadanya uang, lalu ia memberinya uang, kemudian pengemis mendoakannya panjang umur, maka Allah SWT memerintahkanku untuk mengakhirkan mencabut nyawanya berkat shodaqohnya. Didalam riwayat yang lain : orang itu memberikan kepada pengemis lima dirham maka Allah menjadikan setiap satu dirham dijadikan satu tahun
23.52 | 0 komentar | Read More

Kontroversi Berdialog Dengan Roh (Artikel Spesial)

http://catatanristanto.files.wordpress.com/2012/03/roh-manusia.jpg?w=500
Kontrovesi tentang bisa tidaknya orang hidup berdialog dengan atau berkomunikasi dengan orang mati, telah menjadi perdebatan panjang yang nyaris tidak ada habisnya. Tidak hanya antara orang religius dengan orang sekuler saja. Para ulama sendiri, juga memiliki pandangan yang berbeda tentang pandangan hal tersebut.

Ulama hadis mempunyai anggapan mempunyai anggapan bahwa orang hidup tidak bisa berkomunikasi dengan orang yang sudah mati. Tetapi ulama sufi menyatakan sebaliknya bahwa orang hidup itu bisa berkomunikasi dengan orang yang sudah meninggal dunia. Termasuk bertemu dengan nabi Muhammad SAW, para auliya, para wali atau orang tua yang sudah meningga dunia.

Dan itu tentunya hanya bisa dilakukan oleh manusia yang beriman dan bertaqwa serta mendapatkan petunjuk dari Allah. Banyak dasar yang digunakan ulama sufi, sehingga mereka menyatakan kalau orang hidup bisa berdialog dengan orang yang sudah meninggal.

Salah satunya adalah ayat al-Quran pada surat Ali-Imron: 169: yang artinya, “ ….dan janganlah kamu mengira orang yang meninggal dijalan Allah ( fisabillilah suhada) itu mati. Mereka adalah hidup dan mendapatkan rejeki (kenikmatan dialam lain) disisi Allah dan hanya Allah yang mengetahui alam lain itu.

Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “ barang siapa yang melihatku diwaktu tidur maka sungguh melihatku, barang siapa melihatku disaat tidur maka sungguh-sungguh melihatku, sesengguhnya setan tidak bisa menyerupaiku ‘.

Untuk bertemu dengan ruh orang yang meninggal dunia, petunjuk dan ijin dari Allah adalah hal yang utama, karena ruh adalah milik Allah dan akan kembali kepada Allah.

Oleh karena itulah salah satu cara agar bisa mengetahui dan berdialog dengan ruh adalah dengan jalan tarekat. Karena setiap tarekat itu mengajarkan makrifatullah. Setiap makrrifatullah yang sudah matang, akan mengetahui hakekat Allah dan itu menjadi rahasia Allah.

Sebetulnya ruh yang dapat dijumpai tidak hanya ruhnya orang yang sudah meninggal saja. Ruh orang-orang yang belum lahir sekalipun sesungguhnya banyak pula dijumpai. Apabila ruhnya orang yang masih hidup akan lebih muida dijumpai. Dan semua ini hanya bisa dilakukan oleh ulama-ulama ahli sufi yang memiliki kedekatan dengan Allah.

Banyak bukti, yang menjadi landasan ulama sufi unutk menjelaskan bahwa dialog dengan ruh dapat dilakukan oleh manusia. Kisah perjalanan isra dan mi’rajnya nabi Muhammad SAW, yang bertemu para nabi dilangit adalah sebagai bukti kebenaran itu. Bahkan orang dengan derajat yang jauh dibawah nabi juga banyak mengisahkan cerita tentang adanya dialog dengan orang yang telah meninggal dunia.

Salah satunya adalah yang dikisahkan oleh haji Juri. Seorang tokoh agama di Desa geritayu, Kabupaten Pati. Dia mengetahui tentang derajat kewalian ayahnya, KH Mochtar, setelah diberi tahu oleh KH Hambali, seorang pengasuh pondok pesantren terkenal di Caruban Lasem.

Hai Juri sebetulnya tidak pernah menganggap bapaknya itu termasuk yang dikasihani oleh Allah. Rahasia itu terbongkar setelah tanpa sengaja ia bertemu dengan KH Hambali, yang datang ke Desa garit. Kiyai Hambali itu bisa menceritakan seluruh kebaikan dan sifat-sifat KH Mochtar. Bahkan bentuk fisiknya juga paham betul. Meskipun KH Hambali sendiri tidak pernah kenal dan berjumpa secara fisik dengan KH Mochtar.

Itu karena KH Hambali adalah ulama yang diberi ijin oleh allah untuk dapat berkomunikasi dengan kekasih Allah yang menurut sebagian orang telah mati. Dia memiliki kemampuan berdialog langsung dengan orang yang dikehendaki.

Menurut ajaran sufi, bertemu dengan ruh bisa melalui berbagai cara. Baik itu pandangan bathin, mimpi, atau melalui perasaan. Bahkan bertemu secara kasat mata dan berdialog langsung juga bisa. Banyak hadist yang menyatakan kalau ruh orang yang meninggal itu tidak mati. Apalgi yang digolongkan syuhada .

Orang yang telah meninggal dunia berada disuatu tempat, antara dunia dan akhirat. Yang akan masuk surga, dekat dengan surga. Demikian pula yang akan masuk keneraka, dekat sekali dengan neraka sehingga mereka merasakan siksaan Allah dialam barzah.

Banyaknya hal yang menjadikan seseorang yang disiksa dialam kubur, menjadikan ulama sufi menganjurkan kita yang masih hidup mmembuat kebajikan terhadap orang yang sudah meninggal dunia itu.

Mengikhlaskan doa sejak mengkafani, memandikan, menshalatkan, serta menguburkan, hingga mentahlilkan sangat dianjurkan. Itu karena orang yang telah mati bisa mengambil manfaat dari doa itu, khususnya doa anak yang soleh. Demikian menurut ulama sufi.

Untuk bertemu dengan ruh orang yang telah meninggal dunia, para sufi selalu menggunakan apa yang disebut dengan nama jalur malakut. Karena jalur malaikatlah yang diridhoi Allah. Meskipun begitu, adakalanya orang juga mampu berkomunikasi dengan ruh tanpa jalur malakut. Mereka itu menggunakan jalur jin atau syetan sehingga kita sulit apakah betul-betul ruh manusia atau hanya tipu daya Jin dan Syetan.

Lain kalau menggunakan jalur malaikat, karena malaikat tidak berani menipu. Karena mereka adalah makhluk Allah yang paling taat. Berbagai cara dilakukan orang untuk bisa bertemu dengan ruh. Meskipun kita bisa bertemu dengan ruh dengan berbagai jalur yang dikehendaki, namun kebanyakan orang bertemu dengan ruh karena mimpi. Untuk bermimpi dengan ruh orang yang sudah meninngal dunia alama sufi menggunakan amalan-amalan doa tertentu.

Sumber : kertegmuda.wordpress.com
23.46 | 0 komentar | Read More

Kontroversi Tentang Pemikiran Ibnu Arabi Ash-Shufi


Futuhat Makkiyyah, buku kotroversial Ibnu Arabi


Pengantar
Ibnu ‘Arabi adalah sosok sufi yang banyak mendapatkan kritikan dan tuduhan tajam. Bahkan, sebagian ulama ada yang mengatakan, “Ma Ikhtalafal ulama’u fi ahadin ka ikhtilafihim fi Muhyidin Ibnu ‘Arabi”, tak ada satupun seseorang yang lebih kontrovesional di kalangan para ulama yang melebihi Ibnu Arabi. banyak ulama yang telah berusaha menjelaskan peri kehidupan dari Ibnu Arabi, yang paling lengkap adalah Taqiyudin Al-Faasi dalam kitab ‘Al-‘Aqduts Tsamin fi Tarikh Al-buldan Al-Amin’ dan ia mengatakan “Saya telah menulis biografi paling lengkap tentang Ibnu Arabi yang belum ada di kitab manapun, dan sebagiannya saya rujuk dari orang yang hidup semasa dengannya’.
Secara ringkas namanya adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad Ath-Tha’i, Al-hatimi, Al-Mursi, Muhyiddin Ibnu Arabi. Lahir di Mursiyah pada tahun 560 H, ia tumbuh disana,  tahun 578 H pindah ke Asbelia setelah itu ia banyak mengadakan perjalanan menuntut ilmu seperti Syam, Romawi dan Baghdad.
Artikel ini berusaha mengetengahkan pemikiran-pemikiran kontroversial dari Ibnu Arabi dan selanjutnya kita bandingkan dengan Abdul Hamid Al-Ghazali dalam hal keterpengaruhan mereka terhadap sufi. Dan sebelumnya kita bahas dulu asal-usul nama Tasawuf, Definisi Tasawuf, dan Hakikat Tasawuf.
Asal usul Nama Tasawuf

Para ahli tasawuf sendiri mempunyai pendapat yang berbeda tentang asal-usulama tasawuf. Syaikh Sarraj Al-thusi menulis sebuah bab khusus yang berjudul “Babu Kasyfi ‘An Ismi Al-Shuffiyyah wa lima Summu Bihadzal Ismi, wa lima Nusibu Ila Hadza Al-libsati”.  Ia berkata, “Seseorang bertanya, “Para ahli hadits, dinisbatkan keahlian mereka pada ilmu hadits, para ahli fiqih dinisbatkan pada ilmu fiqih. Tetapi kenapa anda memberi nama “Shufiiyah” tanpa menisbatkannya pada sebuah keadaan atau suatu disiplin ilmu tertentu? Seperti zuhud dinisbatkan pada perilaku para ahli zuhud, tawakal terhadap perilaku orang-oarng yang bertawakal, sabar terhadap perilaku orang-orang yang bersabar?” Maka jawabannya adalah: karena orang-orang sufi sendiri tidak mendalami salah satu cabang ilmu tertentu, tanpa cabang-cabang yang lain. Dan mungkin masih dipersoalkan kenapa mereka malah dinisbatkan kepada pakaiannya? Jawabannya adalah karena pakaiandari wol kasar merupakan kebiasaan para Nabi as dan syiar para wali dan orang-orang yang disucikan.”[1]
Dari kutipan di atas, As-Sarrraj berpendapat bahwa tasawuf diambil dari kata ‘shuf’ yang bermakna wol kasar dengan melihat pakaian yang kebanyakan digunakan kaum sufi.
Tetapi Al-Qusyairi yang juga seorang sufi berbeda pendapat dengan As-Sarraj. Ia berkata: “ketahuuilah oleh kalian semua –semoga kalian dirahmati Allah swt- sesungguhnya umat islam setelah wafatnya Rasulullah saw tidaklah melakukan penamaan apa pun untuk menunjukkan keutamaan mereka di jaman itu, kecuali para pengikut setia Nabi saw, sebab tidak ada keutamaan yang melebihi mereka, maka golongan tadi disebut dengan nama “As-Shahabah”.
Tetapi generasi berikutnya, orang-orang yang menjadi pengikut sahabat mulai dinamai dengan istilah “Tabi’in”, dan tampaklah dalam nama itu keutamaan yang tinggi dan keagungan. Dan orang-orang yang mengikuti tabi’in juga dinamai dengan “Tabi’ut Tabi’in”. Kemudian umat Islam terpecah belah, dan terjadilah perbedaan tingkatan. Orang-orang tertentu yang dengan tekun dan rajin mengamalkan ajaran agama lalu dinamai dengan Az-Zuhhad (Ahli Zuhud) atau Al-Ubbad (Ahli Ibadah).
Selanjutnya bid’ah mulai merebak di tengah-tengah masyarakat, dan terjadilah saling klaim antar golongan. Setiap golongan di antara mereka mengklaim bahwa dirinyalah yang paling “zuhhad”. Lalu keluarlah dari kemelut ini orang-orang khusus dari golongan ahli sunnah, yang selalu menjaga dirinya agar selalu dekat dengan Allah swt dan selalu menjaga dirinya dari jalan yang membuat lalai kepada-Nya, mereka itu lalu dinamai dengan ahli tasawuf. Maka menjadi mashurlah nama itu di antara pembesar-pembesar mereka sebelum akhir abad kedua hijriyah.”[2]
Dr. Musa bin Sulaiman Ad-Duwaisy ketika memberikan komentar atas perkataan Qusyairi di atas mengatakan; Pendapat Al-Qusyairi itu tidak bisa diterima, sebab orang-orang khusus dari golongan Ahlus Sunnah adalah mereka yang konsisten mengikuti ajaran Rasulullah saw dan mempelajari dengan sungguh-sungguh agama Allah swt. Mereka juga merumuskan berbagai hukum ajaran agama, mereka beribadah kepada Allah swt dengan dasar ilmu pengetahuan. Mereka juga menentang para ahli bid’ah, menasehati mereka, dan mereka sendiri berhati-hai dari jalan para ahli bid’ah. Mereka juga tidak menamai dirinya dengan istilah-istilah yang agung dan muluk-muluk, seperti yang dilakukan oleh golongan-golongan lain yang menyimpang dari sunnah Rasulullah saw. Walaupun pada hakekatnya dalam diri mereka ada kebenaran”.[3]
Oleh karena itu , golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah selalu terkenal di setiap zaman dengan kemoderatannya serta kekonsistenannya dalam mengikuti sunnah Rasulullah saw, sahabat-sahabatnya, tabi’in dan para tabi’ut tabi’in.
Dari sini nampaklah, bahwa Al-Quyairi berlebih-lebihan dalam memberikan nama tasawuf, bahkan tidak cermat. Pendapatnya juga bertentangan dengan pendapat As-Saraj Al-Thusi yang hidup lebih awal dan lebih mengetahui golongan ini.
Kesimpulan ini juga diperkuat oleh Ibnu Taimiyah ketika beliau mendiskusikan asal penamaan kelompok tasawuf, ia berkata, “Kemudian mereka berselisih tentang asal muasal penamaan golongan ini. Sesungguhnya “Ash-Shufi” adalah “Isim Nisbat” sebagaimana nama Al-Quraisy, Al-Madani dan contoh-contoh lainya. Ada yang berpendapat, ia dinisbatkan ‘‘Ahlu Shuffah”, pendapat ini tentu keliru, sebab jika dinisbatkan padanya maka ia harus dibaca “Shuffiy”ada juga yang menisbatkannya pada “shof” yang utama di sisi Allah swt, ini juga salah, sebab seharusnya ia berbunyi “Shofi”. Nama ini juga dinisbatkan pada kata “Shafwah” di antara makhluk Allah, ini juga salah, karena seharusnya ia berbunyi “Shifawiy”. Ada juga yang berpendapat nama ini dinisbatkan pada Shufah bin Bisyr bin Adhan Thabikhah. Ia merupakan kabilah Arab yang tinggal di sekitar Makkahsejak zaman dahulu kala. Mereka identik dengan para ahli ibadah. Walau pun penisbatan terhadap mereka adalah benar dari segi lafadz, tetapi pendapat ini sangat lemah sebab mereka tidaklah terkenal di antara kaum ahli zuhud, dan jika penisbatan dilakukan terhadap mereka, maka tentunya istilah ini telah muncul sejak zaman sahabat dan tabi’in generasi pertama. Dan orang-orang yang sering menggunakan istilah “sufi” tidaklah mengetahui kabilah ini. Bahkan mereka tidak rela jika dinisbatkan pada sebuah kabilah jahiliyah yang tidak dikenal dalam agama islam. Nama ini juga dikaitkan –dan ini yang paling masyhur- pada pakaian wol kasar.
Abu Syaikh Al-Asbahani meriwayatkan dengan sanadnya dari Muhammad bin Sirin, bahwa ada beberapa kaum yang mengutamakan pakaian wol kasar. Ia berkata: “Sesungguhnya ada kaum yang memilih dan mengutamakan baju wol. Mereka mengatakan bahwa mereka menyerupai Al-Masih bin Maryam sedangkan petunjuk nabi kami lebih kami cintai, dan nabi Muhammad saw memakai pakaian dari katun atau yang lainnya.”
sumber: http://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2012/07/14/kontroversi-pemikiran-ibnu-arabi-ash-shufi/
23.43 | 0 komentar | Read More

Bacaan Menarik (Jangan Pernah Menilai Ucapan Orang Yang Sedang Jatuh Cinta)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFAXR4f0pdmVIoYUb98t-ebS7xXy_Y-Qc6Zl8q5hFqKPuL6Kw1X2l2nGLKf0Zav7c5D-TGvITScn1SMpdkbiNvUH4JWqkE3kFQCVJt74qF_3xUu5dFhO9XA3O4cb898kTD8p-spFZFbboL/s1600/jatuh-cinta.jpg
Sepanjang hidup seorang pecinta Tuhan yang difikirkan adalah bagaimana dia bisa menyenangkan Tuhannya, bisa melayani Tuhannya dengan sepenuh hati. Ketika yang berbicara adalah cinta maka tidak ada lagi ukuran salah benar, pahala dan dosa bahkan tidak ada juga surga dan neraka. Bagaimana mungkin seorang yang sedang jatuh cinta bisa kita tawarkan kenikmatan lain sementara dia sedang hanyut dengan cintanya. Sejuta kenikmatan yang ditawarkan tidak akan mempengaruhi sedikitpun khusyuk dia kepada Sang Kekasih.
Cinta tidak mengenal logika dan akal pun terkadang menjadi lumpuh. Lalu bagaimana mungkin kita bisa menghukum ucapan orang-orang yang sedang dimabuk cinta. “Engkau adalah wanita tercantik sedunia, tak ada yang bisa menandingi kecantikanmu” atau “engkau adalah pria paling ganteng sejagad raya, hanya orang gila yang mengatakan dirimu tidak ganteng”. Kita yang sedang tidak jatuh cinta kemudian dengan santai menilai ucapan-ucapan orang yang sedang tenggelam dalam lautan cinta memakai logika orang sehat, tentu saja kita menilai mereka dengan penilaian yang salah. Wanita yang dimaksud dia “paling cantik sedunia”, jangankan bisa bertanding di ajang Miss Universe, dipertandingan wanita paling cantik se kelurahan saja bisa kalah. Tapi apakah kita bisa menggugat penilaian orang yang dimabuk cinta?? Jawabannya TIDAK. Kalau ada yang menilai dengan penilaian orang normal maka yang menilai itu tergolong tidak Normal.
Begitu juga ucapan-ucapan dan tindakan orang yang sedang mabuk cinta dengan Tuhan atau mabuk cinta dengan Rasul maka logika tidak lagi bisa jalan. Saidina Abu Bakar Shiddiq ra menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya untuk orang yang dicintainya yaitu Nabi Muhammad SAW bahkan begitu cinta kepada Nabi, Aisyah anak kandung beliau pun diizinkan menikah dengan Nabi. Sahabat-sahabat Nabi menyerahkan seluruh hidupnya hanya untuk Nabi semata, bahkan nyawapun mereka berikan, semua bisa terjadi karena cinta.
Begitu asyiknya Nabi dengan Tuhannya, sehingga dalam sebuah riwayat pernah Nabi tidak mengenal sama sekali istri Beliau Aisyah. Berulang kali Aisyah memperkenalkan diri tetap Nabi tidak mengenalnya. Kemudian Aisyah sadar kalau Nabi sedang tenggelam dalam samudera cinta Tuhan, akhirnya Aisyah diam.
Rabi’ah al Adawiyah dengan cinta membara dan kondisi mabuk kepayang kepada Allah berdoa, “Ya Allah, jika aku beribadah kepadamu karena mengharapkan surga-Mu maka tutuplah pintu surga itu, seandainya aku beribadah karena takut neraka-Mu maka masukkan aku ke dalam neraka itu tapi kalau aku beribadah karena diri-Mu semata maka jangan palingkan wajah-Mu dari aku”. Lalu ada orang yang merasa pandai bukan pandai merasa kemudian menilai ucapan Rabi’ah dan menuduh Rabi’ah dan kaum sufi orang yang tidak menginginkan surga dan tidak takut neraka. Kemudian diciptakan fitnah dengan segudang argumen, dipakai ayat-ayat Al-Qur’an yang dipahami sejengkal pandangannya untuk menyalahkan ucapan Rabi’ah. Itu sama dengan orang mempertandingkan sosok yang disebut oleh orang jatuh cinta sebagai “wanita paling cantik sedunia” dalam ajang pemilihan wanita paling cantik. Inilah yang disebut orang bodoh yang tidak mengetahui kebodohannya.
Dalam kondisi mabuk Ketuhanan, Mansur al-Halaj berucap, “Aku adalah Kebenaran”, kemudian ucapan itu dijadikan bahan diskusi panjang dan rumit sepanjang zaman, padahal dalam kondisi sadar al-Halaj sendiri adalah seorang yang taat beribadah, paling takut dengan Allah bagaimana mungkin dia mau menyatakan diri sebagai Tuhan???. Al-Halaj bisa jadi hanya sekali mengeluarkan ucapan itu dalam kondisi mabuk cinta, artinya ucapan “Ana al-Haq” bukanlah ucapan keseharian dari al-Halaj. Sama juga dengan ucapan Nabi, “Aku adalah Ahmad tanpa Mim” serupa dengan ucapan Al-Halaj, apakah kita bisa menghukumi Nabi sebagai orang yang mengaku sebagai Tuhan?? Padahal dalam keseharian Nabi adalah seorang hamba yang sadar penuh sebagai hamba.
Itulah sebabnya Abu Yazid al-Bisthami memberikan nasehat, “Barangsiapa yang menuntun ilmu tanpa berguru maka wajib setan gurunya”. Ucapan-ucapan Sufi kita nilai dari sudut pandang ilmu diluar sufi maka tentu saja kita menganggap mereka sesat dan salah. Bagaimana mungkin seorang ahli hukum bisa menilai tindakan seorang dokter atau seorang insyiur karena memang kedua ilmu itu berbeda. Kalau ingin menilai kualitas seorang dokter maka harus memakai ilmu kedokteran. Kalau ingin menilai ucapan seorang pengamal tasawuf harus memakai ilmu tasawuf. Menuntut ilmu hanya dengan membaca tanpa memiliki Guru lebih banyak kelirunya dari pada benarnya.
Banyak ucapan-ucapan dari orang sufi yang dianggap keliru karena menilainya dengan menggunakan ilmu yang berbeda. Kadang dengan bangga mengatakan berdasarkan ayat ini, hadit riwayat ini ucapan sufi itu keliru dan sesat. Mereka yang menilai itu lupa bahwa kaum sufi itu adalah orang yang sangat paham Al-Qur’an dan Hadits bahkan atas izin Allah mereka sanggup memahami lapisan-lapisan yang tersirat dan tersembunyi dari tersuratnya Al-Qur’an. Alangkah bijaknya kalau ada ucapan tokoh Sufi yang tidak kita pahami atau tidak lazim jangan buru-buru menilai salah dengan ilmu kita yang terbatas, tanyakan kepada orang yang ahli dibidangnya agar mendapat bimbingan.
Menutup tulisan singkat ini saya memberikan saran, “Jangan pernah menilai ucapan  orang yang sedang jatuh cinta karena ucapannya tidak bisa dijadikan dasar hukum sebagai benar atau salah. Hanya orang yang tenggelam dalam cinta saja yang bisa memahami ucapan orang yang dimabuk cinta”. Demikian!
23.35 | 0 komentar | Read More

Manifestasi Roh (Bagian 1 , 2 dan 3)

http://sufimuda.files.wordpress.com/2013/01/ruh2.jpg?w=194&h=227Menurut sejumlah guru sufi, dari segi penciptaan, roh dan jasmani memiliki jarak hingga ribuan tahun. Eksistensi daripadanya terpisah dari akal serta pikiran, bahkan bertempat pada dimensi yang lebih tinggi dari akal, pikiran, mental, serta jasmani manusia. Roh tidak termasuk dalam unsur akal budi dan alam pikiran atau mental, tetapi menggunakan suatu unsur tersendiri, yang lebih tinggi kedudukannya. Roh adalah alat untuk dipakai menuju ke hadirat Allah SWT., sedangkan jasmani tidak karena sifatnya lebih kasar.
Dalam pandangan guru besar ilmu tasawuf/tarekat, YM. Prof. DR. H. S.S. Kadirun Yahya, M.A. M.Sc., roh manusia merupakan “zat” yang berasal dari karunia Allah, tidak berasal dari air, gas, atau tidak pula dari bumi. Roh dapat mengambil bentuk seperti rupa manusia, bila ia meliputi tubuh manusia itu sendiri. Seperti juga cahaya, air, atau gas mengambil bentuk dari bejana tempat di mana air atau gas itu dimasukkan. Roh ini berasal dari alam gaib/metafisika karena berasal dari anugerah Allah SWT., hingga tidak dapat dilihat dengan mata kepala, walaupun ia tidak bercerai-berai dengan jasmani manusia selama hayat dikandung badan.
Tetapi begitu dimasukkan sebagai jenazah ke bumi, tempat asal mulai jasmani itu jadi, maka sang roh bercerai daripadanya dan sang roh pun menyeberang kea lam baka. Maka mulailah sang roh harus mempertanggungjawabkan segala tidak tanduknya, segala gerak geriknya selama di dunia, selama ia diberikan alat jasmani serta akal yang komplit dengan segal organ/alat-alat tubuh yang sangat sempurna dan indah.
Sang Syekh mengibaratkan fungsi roh seperti computer. Roh bisa mendapatkan input dari alam gaib sebagai “wahyu” bila ia adalah seorang nabi, atau rasul, atau ilham bila ia adalah seorang manusia saleh dan taqwa. Tetapi selain getara wahyu/ilham yang positif, roh itu dapat pula dimasuki getaran-getaran yang berasal dari Iblis di alam gaib/metafisik. Input yang telah masuk ke dalam roh itu kemudian memprogram pula jasmani dan akal manusia.
Ini menurut sang Syekh yang perlu dipertanyakan pada diri masing-masing, apakah “program” yang diperintahkan roh kepada akal/pikiran manusia telah mengandung segala perintah Allah sepenuhnya, hingga manusia itu melaksanakan fitrah hidupnya dengan sebaik-baiknya? Apakah akal budi dan jasmani kita telah mengabdikan diri sepenuhnya dalam kehidupan untuk Allah SWT.? Apakah sempat pula roh itu tertipu oleh Iblis Laknatullah, yang juga merupakan suatu roh yang sangat pintar, sangat halus, dan hebat serta sangat sakti dan dahsyat, karena ia merupakan mantan malaikat yang termasuk sangat tinggi ilmunya? Tetapi sayang akibat menyeleweng Iblis itu kemudian menjadi musuh bubuyutan dari roh semua Bani Adam.
Di sinilah kata sang Syekh, letak kunci dari pada segala-galanya di alam jagad raya ini bagi hidup dan kehidupan manusia dari dunia hingga ke akhirat kelak. Karena manusia yang rohnya dikendalikan oleh Iblis, dia pasti akan merusak jagad raya ini!
Jika saja roh ini terisi dengan energy Ilahi maka akan jadi surgalah seluruh jagad raya ini, yang akan berkelanjutan terus bersambung sampai ke akhirat. Oleh karena itu, roh kita perlu sekali di isi dengan energy Ilahi. Untuk melaksanakan ini harus ada metode yang sesuai dengan hadist dan Qur’an dan sesuai pula dengan ilmu teknologi modern. Metode inilah yang dinamakan Tarekatullah.
Tak heran jika kemudian seorang murid senantiasa menempuh jalan tarekatullah. Mereka kerap menghubungkan rohaninya dengan rohani gurunya yang mursyid. Tujuannya agar mendapatkan Nuurun Alaa Nur, (cahaya di atas cahaya). Sekalipun misalnya jasad sang guru telah tiada (wafat) hal itu tetap bisa dilakukan. Bahkan justru lebih dapat diterima akal karea dengan tidak adanya jasad unsur manusianya lebih jernih dan bersih dari segala kotoran yang bersifat duniawi sehingga mempermudah proses hubungan itu.
Jika misalnya ada pada rohani guru mursyid sesuatu sentuhan dari muridnya, maka saat itu pula langsung sampai pada Allah, dan pada saat itu pula kembali dari Allah, melalui wasilah langsung pada si murid sebagai penyentuh tadi.
Para ahli tasawuf/tarekat adalah orang-orang yang mencari wujud tertinggi dan kepuasan spiritual dalam pengalaman personal bersatu dengan Tuhan. Mereka tidak menemukan kepuasan spiritual dengan sekedar mengikuti hukum syariat yang diturunkan Allah secara formal kepada manusia. Maka mereka terus mengejar melalui jalan spiritual agar memperoleh pengalaman personal dengan Allah SWT.



Bagian:2
Jalan itu salah satunya adalah dengan terus menghubungkan diri rohaninya dengan diri rohani gurunya yang senantiasa bergendengan dengan arwah suci Rasulullah. “Faainlam takun maallahi fakun ma’aman ma’allahi faa innahu yuusi luka ilallahi (Barang siapa belum beserta Allah, besertalah dengan orang (rohnya) yang beserta Allah. (Roh)) orang itulah (yang rohnya berisi wasilah Allah) yang menghubungkan (roh) engkau (langsung) dengan Allah”.
Hakikat daripada roh ia tidak berjarak, asal elemen dan unsur yang ada di dalamnya sama. Sebab dua sifat yang berbeda tidak mungkin terdapat oada sesuatu dalam waktu yang bersamaan. Apabila rohani yang diikuti (pertama) memiliki Nuurun Alaa Nur dari Rasulullah, maka otomatis pula rohani yang berikutnya yang telah menggabungkan diri, juga memiliki Nuurun Alaa Nur. Sebagaimana benda cair dengan benda cair, gas dengan gas, semuanya dapat menyatu. Benda padat dengan benda padat ia tidak dapat menyatu karena memiliki unsur yang berbeda dan berjarak.
Salah Kaprah
Dalam persoalan roh, manusia sering terjadi salah kaprah. Karena roh dikatakan urusan Tuhan dan manusia hanya diberi pengetahuan sedikit tentang itu, “Quli’ rruuhu min amri rabbi” (Katakanlah ya Rasul, bahwa roh itu adalah urusan Tuhan), maka mayoritas manusia beranggapan bahwa hal itu tidak perlu lagi dipikirkan, semua urusan Tuhan.
Pandangan yang demikian sebetulnya merupakan reduksi, pengurangan dari ajaran Islam yang ada dalam Al-Qur’an. Membuat orang semakin jauh untuk dapat mengenal Tuhannya. Bukankah sedikit menurut Tuhan berbeda dengan sedikit menurut ukuran manusia. Sedikit menurut Tuhan dalam soal roh, bukan manusia tidak perlu mengetahui, mengkaji, meneliti sedikit pun manifestasi daripada roh tersebut. Untuk apa Tuhan membicarakan persoalan roh kalau sedikit pun manifestasinya tidak bisa diketahui hamba-Nya.
Roh segala manusia, roh segala malaikat, roh segala jin, rohnya iblis, rohnya hewan, rohnya tumbuhan, dan segalanya itu benar urusan Tuhan. Akan tetapi, yang membersihkan dan menyucikan roh semua makhluk itu bukan lagi Tuhan tetapi masing-masing makhluk itu sendiri. “Ar waahinaa ajsaadinaa waajsaa dinaa arwaahinaa” (Roh kami adalah tubuh kami dan tubuh kami adalah roh kami).
Tuhan tidak akan menyucikan roh seseorang sebelum orang itu sendiri berusaha menyucikan rohnya sendiri (dirinya yang batin) dengan dzikrullah (dengan metode Tarekatullah). Karena seperti dikatakan di atas ucapan lidah yang zahir saja aja tidak akan tembus ke dalam roh yang berlainan dimensi dan substansinya. Itulah tujuan beribadah dalam rangka membersihkan jiwa/roh tersebut. Roh adalah cermin dari Dzat Allah, sebab Allah SWT tidak dzahir dengan Dzat-Nya melainkan dengan roh tersebut. Allah tampak pada semua makhluk yang lainnya hanya dengan sifat-Nya.
Allah tidak bersifat material (jasmani) tetapi bersifat spiritual (rohani). Oleh karena itu, untuk mencapainya harus melalui jalan rohani pula. Untuk kembali kepada Allah, jiwa/roh manusia harus dalam keadaan suci. Sebab tiap sesuatu yang memiliki sifat yang berbeda mustahil keduanya dapat menyatu. Sepotong magnet misalnya tidak akan pernah menyatu dengan sepotong kayu karena keduanya dipisahkan oleh ketidaksamaan elemen dan sifat yang terkandung didalamnya.
Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha baik, tidak dapat menerima melainkan yang baik pula”. (HR. Muslim).
Oleh sebab itu, jalan yang ditempuh manusia yang ingin kembali kepada Allah adalah jalan penyucian roh, jiwa/nafsu. Sebab pada gilirannya nanti semua akan kembali kepada asal (pangkalnya) masing-masing. Jasmani dia akan kembali kepada asalnya yakni tanah, sedangkan jiwa/rohani akan kembali ke asalnya yakni Tuhan.
Hai jiwa atau nafsu yang suci dan tenang kembalilah engkau kepada Tuhanmu dalam keadaan tenang”. (QS. Al-Fajr : 27-28).
Dalam ayat ini yang dipanggil adalah jiwa/nafsu yang suci dan tenang. Itu artinya hanya jiwa/roh yang suci dan tenang yang bisa kembali kepada Tuhan karena Tuhan sendiri Mahasuci.




Bagian:3
Ada sebuah kisah yang mengisahkan tentang tempat tinggal roh. Abu Bakar r.a. ditanya tentang ke mana roh itu pergi setelah ia keluar dari jasad. Maka Abu Bakar berkata : “Roh itu akan menuju ke tujuh tempat yakni : Roh para nabi ke surga Adnin, roh para ulama akhirat menuju ke surga Firdaus, roh mereka yang berbahagia menuju ke surga Illiyyina, roh para syuhada berterbangan seperti burung di surga sekehendak mereka, roh para mukmin yang berdosa akan tergantung di udara, tidak di bumi dan tidak dilangit sampai hari kiamat, roh anak-anak yang beriman akan berada di gunung dari minyak misik, dan roh orang-orang kafir akan berada dalam neraka Sijin, mereka disiksa beserta jasadnya sampai hari kiamat”.
Ikutan Setan
Sebagaimana uraian di atas wali mursyid merupakan teknokrat di bidang kerohanian. Syekh Abu Yazid Al-Bisthami berkata, “Barangsiapa menuntut ilmu tanpa Syekh (Guru Mursyid), maka setan lah sebagai Syekh (Guru Mursyid) nya”. Dalam sebuah hadist nabi bersabda: “Jadikanlah dirimu beserta Allah, jika engkau tidak bisa menjadikan kamu beserta Allah maka jadikanlah dirimu beserta dengan orang yang sudah beserta Allah”. Manusia yang sudah pasti beserta Allah tentu para Nabi dan para Auliya Allah.
Sekarang Nabi telah tiada secara zahir, tetapi rohnya tetap hidup bergandengan dengan Yang Maha Hidup (Allah SWT). Karena itu, manusia wajib mencari guru yang mursyid (ulama pewaris nabi) sebagai pengganti Rasul di muka bumi, sebagai juru selamat dunia dan akhirat. Karena rohani guru tersebut senantiasa bergandengan pula dengan rohani Rasulullah. Di situlah tempat bersandar diri bukan kepada ulama dunia yang kerap menjual ayat-ayat Tuhan. Ulama dunia malah diancam oleh Tuhandengan azab yang paling pedih.
Kembali ke soal roh, urusan roh memang tergolong urusan yang sangat pelik, maka jarang orang bisa memahaminya. Dekatnya jasmani misalnya dengan seorang guru mursyid, itu tidak berarti secara otomatis jiwa/roh kita pun ikut dekat. Bila si murid hendak berhubungan secara rohani dengan gurunya maka ia harus terlebih dahulu mensyucikan jiwa/rohnya. Menyucikannya bukan dengan air tetapi dengan dzikrullah secara sungguh-sungguh sesuai dengan petunjuk guru mursyid.

Sumber : “Guru Mursyid Sang Juru selamat” karangan Nuryaman Ibrahim.
sumber artikel: http://sufimuda.net/


23.32 | 0 komentar | Read More

Mendalami Tentang Wasilah dan Mursyid (Bagian 1 dan 2)

http://anung.sunan-ampel.ac.id/wp-content/uploads/2010/04/heaven-sky-bright-light.jpg
Rasulullah SAW di utus ke dunia bukan sekedar menyampaikan kebenaran dari sisi Allah atau hanya menyampaikan hukum-hukum yang dibolehkan atau di larang oleh Allah. Tujuan lebih hakiki dari keberadaan Nabi adalah agar manusia bisa mengenal Allah dan merasakan kehadiran-Nya dalam setiap saat. Rasul adalah pembawa wasilah dari sisi Allah dan melalui wasilah itulah manusia bisa berkomunikasi dengan Allah. Surat Al-Maidah 35 mewajibkan seluruh orang beriman untuk mencari wasilah agar menemukan kemenangan di dunia dan akhirat.
Wasilah bukanlah amal ibadah (shalat, puasa, zakat dll) seperti yang ditafsirkan secara syariat, karena seluruh amal ibadah hanyalah bentuk dari proses penyembahan terhadap Allah. Shalat, Puasa dan lain-lain hanya akan menjari ritual hampa, menjadi tradisi dan budaya saja kalau tidak mempunyai ruh dari ibadah itu sendiri. Ibadah mempunyai unsur zahiriah dan bathiniah dan keduanya harus ada agar ibadah diterima disisi Allah. Secara zahir anggota badan kita harus mengikuti aturan-aturan yang telah disampaikan Allah kepada Rasul-Nya tanpa melebihkan dan menguranginya. Aturan itu sudah menjadi standar sebagai contoh bentuk gerakan shalat, jumlah rakaat shalat, aturan-aturan puasa, itu semua sudah baku dan tidak bisa ditambah atau dikurangi. Disamping aturan aspek zahir, ibadah memiliki aspek bathin dan ini merupakan hal yang sangat pokok.
Fisik manusia harus diajarkan cara menyebut nama Allah begitu pula rohani manusia, harus diajarkan cara menyebut nama Allah. Di dunia ini sangat banyak orang yang bisa mengajarkan cara fisik manusia untuk menyebut nama Allah, dalam hal ini kita tidak kekurangan Guru, akan tetapi Guru yang bisa mengajarkan rohani kita untuk menyebut nama Allah itu sangat langka. Fisik manusia bisa diajarkan oleh Guru fisik, gerakan shalat, aturan puasa dan lain sebagainya, sementara rohani manusia harus diajarkan oleh rohani pula. Tidak mungkin rohani manusia diajarkan oleh Guru Jasmani, keduanya mempunyai unsur dan sifat yang berbeda. Rohani manusia diajarkan oleh rohani Rasulullah SAW yang telah berisi Kalimah Allah yang berasal dari sisi Allah. Unsur Kalimah Allah yang ada dalam diri Muhammad bin Abdullah inilah yang menyebabkan pangkat Beliau bisa menjadi Rasul. Nur Allah yang diberikan kepada Rasul dan orang-orang yang dikehendaki-Nya itulah yang kemudian disebut sebagai Wasilah.
Disinilah sebenarnya letak perbedaan antara pengamal tarekat/tasawuf dengan orang yang hanya memahami Islam secara syariat saja. Pengamal tarekat untuk bisa menapaki jalan berguru terlebih dulu memahami dan menjalankan aturan-aturan Allah yang kita sebut syariat dan aturan itu akan tetap dilaksanakan seterusnya. Pelaksanaan syariat oleh pengamal tarekat tidak lagi hanya sekedar memenuhi kewajiban ibadah akan tetapi mereka sudah masuk kepada alam hakikat dari ibadah itu sendiri.
Untuk bisa menyelami samudera hakikat yang maha luas, diperlukan seorang pembimbing yang ahli dibidangnya agar tidak tersesat dan pembimbing ini dikenal sebagai Guru Mursyid.
Dalam khazanah ilmu tasawuf Guru Mursyid mempunyai peranan besar dalam membentuk hierarki manusia untuk sampai ke tingkat realisasi tertinggi dalam menempuh perjalanan spiritual, karena dimensi Al-Qur’an telah tertanam dalam dirinya. Hanya saja persoalan ini jarang dikupas dan diteliti lebih dalam sehingga masih menjadi sebuah misteri dalam kehidupan manusia. Bahkan pemuka agama sekalipun banyak yang belum mengetahuinya. Guru Mursyid hanya dimengerti oleh hati yang terbuka dan jiwa yang telah disucikan.
Predikat mulia yang diberikan secara khusus oleh Allah kepada manusia pilihan ini sebenarnya secara gambling telah disebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-Kahfi ayat 17 dengan sebutan “Waliyam Mursyida” artinya wali yang mursyid. Kata “Wali” di sini dalam versi kaum Sufi diartikan sebagai figure manusia suci, pemimpin rohani, manusia yang sangat taat beribadah kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan kata “Mursyid” diartikan sebagai nul Ilahi, cahaya Ilahi, atau energy Ilahi.
Cahaya di atas cahaya, Tuhan akan menuntun kepada cahaya-Nya, siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. An-Nur : 35).
Jadi hakikat Mursyid itu tidak berwujud, akan tetapi setelah masuk ke dalam rumah wujud berulah ia memiliki wujud. Maka nur Ilahi atau energi Ilahi yang telah mewujud dlam rohani sang guru itulah yang disebut dengan Waliyam Mursyida. Dan Mursyid itu tidak banyak, yang banyak adalah badan ragawi yang disinggahi, hanya penampakan fisiknya. Ibarat pancaran sinar matahari yang masuk ke berbagai lobang, kelihatan banyak tetapi hakikatya hanya satu, sinar itu-itu juga.
Kata Nur (cahaya) yang bermakna mursyid, tidak diartikan sebagai cahaya dalam pegertian bahasa. Mursyid sendiri berasal dari kata “Irsyad” yang artinya petunjuk. Petunjuk yang bersumber dari nur Ilahi. Jika kata “Irsyad” ditambahkan “mim” di depannya maka petunjuk tersebut terdapat pada sesuatu (dimikili oleh sesuatu). Maka “mim” harus diartikan sebagai seseorang yang memegang kualitas irsyad.
Karena kata Waliyam Mursyida dalam surah al-Kahfi ayat 17 secara umum diartikan sebagai “pemimpin” maka di zaman sekarang pemimpin organisasi yang tidak ada hubungan dengan tasawuf  diberi gelar “mursyid” atau ada orang yang nama pribadinya itu mursyid. Karena mursyid hakikatnya adalah nur Allah, maka orang yang kita sebut Guru Mursyid itu benar-benar mempunyai kualitas sempurna sebagai pembawa wasilah dari Allah berubah Nur Allah bukan sekedar gelar saja.
Begitu langkanya Guru Mursyid yang benar-benar memenuhi kualifikasi sebagai mursyid sehingga imam al-Ghazali mengatakan, “Menemukan Guru Mursyid itu lebih mudah menemukan sebatang jarum yang disembunyikan di padang pasir yang gelap gulita”.
Pembahasan yang mendalam tentang Guru Mursyid diperlukan untuk memberikan keyakinan kepada pengamal tarekat khususnya betapa luar biasa orang-orang yang telah memiliki Guru Mursyid yang berkualitas sehingga hidup mereka benar-benar terbimbing ke jalan Allah SWT sehingga mereka selalu bersyukur kepada Allah dengan jalan berkhidmat kepada Guru nya dengan penuh adab dan cinta.
Saya sudahi dulu tulisan ini dan saya rencanakan tulisan ini akan dibuat bersambung mengupas lagi secara lebih mendalam tentang Guru Mursyid dan Wasilah agar kita semua bisa lebih memahaminya. Menyambut malam penuh berkah ini, mudah-mudahan tulisan ini menambah semangat kepada sahabat-sahabat sekalian yang akan mengikuti “tawajuh” setiap malam jum’at untuk menjolok karunia Allah sebagai kunci kemenangan dunia dan akhirat.
Wasalam!


http://4.bp.blogspot.com/-056TVgUP778/UEX_BsyOLvI/AAAAAAAABvM/mUZIbdv7zAM/s1600/jalan-kebenaran-750504.jpg


Bagian:2
 
Dalam tulisan Lebih Dalam Tentang Mursyid dan Wasilah telah kita uraikan bahwa Guru Mursyid pada hakikatnya adalah nur (cahaya) dan pengertian nur disini adalah “irsyad” petunjuk kepada Allah SWT. Jadi definisi cahaya dalam hal ini adalah akibat balik dari sesuatu. Nur yang dimaksud disini bukan seperti cahaya yang kita lihat dengan panca indera lahir, melainkan nur yang relatif abstrak yang mempunyai kekuatan dan getaran tak terhingga. Dengan kekuatan nur itu manusia yang menempuh jalan spiritual di bawah bimbingan guru mursyid akan mencapai tingkat ma’rifat (kenal) dengan Allah Ta’ala. Dengan nur itu pula mereka dapat mengetahui hakikat dari sesuatu hal.
Sering muncul pertanyaan bagaimana supaya kehebatan nur (energi Ilahi) tersebut bisa membawa peranan dalam kehidupan manusia terutama dalam menghampirkan diri kepada Allah SWT?. Sebuah pertanyaan yang cukup baik. Nur itu harus dimasukkan ke dalam jiwa sampai ia meragasukma di dalamnya, bukan dimasukkan ke dalam akal atau pikiran. Kenapa? Alasan logisnya karena akal manusia bersifat lupa dan lalai dalam hidupnya.
Bila energy Ilahi tersebut masuk kemudian meragasukma di dalam jiwa, maka ia akan menjadi bagian dari jiwa atau sukma itu sendiri. Karena sukma mempunyai dimensi yang lebih tinggi dari pada akal dan pikiran. Bila nur itu dimasukkan ke dalam akal, jangankan bisa terbawa mati, di dalam tidur pun sudah pasti terlupakan. Akal termasuk katagori jasmani, maka ia tidak mempunyai kemampuan untuk menjangkau rahasia ketuhanan yang ada di alam mahahalus – alam metafisika. Derajat alam gaib dengan alam fisik terdapat perbedaan yang cukup besar.
Begitu pula meragasukmakan energi Ilahi di dalam diri, tentu tidak semudah yang dibayangkan, ada metodologinya. Metodologi itu ada dalam Tarekatullah yang haq dan harus melalui petunjuk seorang guru yang mursyid. Setelah itu barulah manusia dapat ber-tajalli dengan Tuhan, bukan hulul (menyatu diri). Mahatinggi Allah SWT dari menyatu dengan sesuatu yang selain dia.
Mengapa diperlukan petunjuk dari seorang guru mursyid? Jelas, karena guru mursyid adalah khalifah Rasul, sekaligus sebagai terompet Rasul, yang telah teruji secara historis dan dalam konteks ilmiah mewarisi nur/energy Ilahi langsung dari Rasulullah. Dengan nur itu maka rohaninya dapat berpengaruh seperti pencahayaan dari satu lampu ke berbagai lampu. Cahaya itulah yang membua tabir rahasia yang ditinggalkan tertutup oleh Rasulullah.
Para Nabi dan Imam dan Imam memang memiliki persepsi yang tinggi. Hanya mereka yang bisa melihat kemulyaan Allah. Itu satu keunggulan nyata yang diberikan Allah secara khusus kepada orang-orang pilihan-Nya. Orang pilihan Allah adalah manusia yang dilindungi dan dicintai-Nya, yang dicirikan secara khusus, serta ditunjuk untuk mewujudkan tindakan-tindakan-Nya. Mereka, secara istimewa dianugerahi bermacam-macam keajaiban (karamah), disucikan dari hawa nafsu, sehingga segenap pikirannya tertuju kepada Allah semata. Allah Ta’ala telah memuliakannya atas hamba-hamba yang lain.
Bukti kemulyaan itu oleh penganut ajaran sufi telah dikaji secara naqli dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka tak heran jika kemudian guru mursyid diyakini sebagai perwakilan dari wujud Allah, hidupnya adalah pengganti dari hidup Allah, sifatnya adalah pengganti dari sifat Allah, kekuasaannya adalah pengganti kekuasaan Allah, kehendaknya adalah pengganti kehendak Allah, pendengarannya adalah pengganti pendengaran Allah, penglihatannya adalah pengganti dari perkataan Allah, dan ilmunya adalah pengganti dari ilmu Allah.
Keyakinan kaum Sufi tersebut cukup normatif sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis Nabi berikut :
  1. Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka (QS. Al-Fath).
  2. Wajah Allah di atas wajah mereka (Hadist)
  3. Kalau mereka melihat Aku-lah matanya (Hadist Qudsi, HR. Bukhari)
  4. Kalau mereka berjalan, Aku kakinya (Hadist Qudsi, HR. Bukhari)
  5. Kalau mereka mengambil, Aku tangannya, (Hadist Qudsi, HR. Bukhari)
  6. Kalau mereka digempur musuh, Aku lawannya, (Hadist Qudsi, HR. Bukhari)
  7. Rahmat-Ku Aku titipkan padanya untuk ditaburkan pada ummat-Ku. (HR. Al Qudha’ie dari Abi Said).
  8. Mereka man-syafaati seperti Rasul mensyafaati mensyafaati (HR. Ibnu Majjah).
  9. Kalau mereka duduk, Aku temannya, (Hadist dalam Al-Atsar Ihya Ulumuddin).
  10. Mereka yang (rohnya berisikan Nuurun Alaa Nur bersama-sama) sederetan duduknya dengan para Nabi. (QS. An-Nisa : 69).
  11. Kalau namanya disebut, Ummat pun telah menyebut nama-Ku dan sebaliknya jika nama-Ku disebut ummat, telah turut disebut nama di dalamnya. (HR. Tabrani, Al Hakim dan Abu Naim).
  12. Bumi dan langit-Ku tak berdaya menjangkau Aku, namun Aku telah dijangkau oleh Ruh/Hati hamba-Ku yang Ku-kasihi (yang Ruhnya berisikan Nurun Ala Nurin) (HR. Ahmad).
Kemudian bukti signifikan bahwa guru mursyid sebagai ulama pewaris Nabi (al ulama warasatul ambiya), terlihat dari jejaknya yang menapaki jejak Nabi sendiri. Mulai dari bentuk alamanya sampai pada soal rupanya. Keduanya memiliki rupa yang qadim dan juga azali. Hidupnya berada dalam dua alam sebagaimana di isyaratkan oleh Nabi dalam sabdanya :
“al-mu’minu hayyun fiad-darin” (Orang-orang mukmin itu hidup di dua alam).
Namun demikian, keduanya tetap memiliki perbedaan dan pembatas yang jelas. Misalnya dalam hal kenaikan dalam pencapaian spiritual, nabi-nabi terjadi secara menyeluruh, sementara para wali-wali hanya terjadi secara bathiah atau dengan rohani saja. Badan seorang nabi menyerupai hati dan roh seorang wali mursyid dalam kesucian dan kedekatan dengan Tuhan. Inilah satu keunggulan nyata. Bilamana seorang wali terkuasai perasaannya ia lepas dari dirinya melalui tangga rohani dan didekatkan kepada Tuhan. Semua bukti itu terbentuk dalam pikirannya dan ia memperoleh pengetahuan tentang bukti-bukti itu.
Sebenarnya persoalan ini telah Allah tunjukkan dalam peristiwa isra’ dan mi’rajnya Rasulullah, tapi jarang manusia yang mau mendalaminya. Rasulullah tidak akan sampai kehadirat Allah SWT tanpa energi Ilahi, nur Ilahi, wasilah Allah, atau yang dikiaskan sebagai Al-Buraq. Energi Ilahi mempunyai kecepatan dan kekuatan yang tak terhingga. Energi inilah yang ditanamkan oleh Allah dalam diri Rasulullah.
Demikian uraian singkat tentang Guru Mursyid dan insya Allah pembahasan ini nanti akan saya lanjutkan lagi. mudah-mudahan tulisan ini bisa memberikan manfaat untuk kita semua dan saya pribadi selalu bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya berkenan memperkenalkan kekasih-Nya kepada saya sehingga dengan bimbingan yang penuh kasih sayang dari kekasih-Nya tersebutlah yang membuat saya bisa memahami tentang Tuhan. Pembahasan tentang mursyid beserta dalil-dalilnya dan keutamaan mempunyai Guru Mursyid serta pendapat para ulama tentang keutamaan berguru sudah pernah saya tulis di sini. Dibawa ini saya cantumkan 12 tulisan tersebut, silahkan dibaca semoga bermanfaat!

12 Tulisan Dibawah ini jika anda klik dengan sendirinya anda akan langsung menuju website milik Sufi Muda.
  1. Syarat dan Kriteria Mursyid Menurut Prof. Dr. S.S. Kadirun Yahya MA. M.Sc
  2. Pendapat Imam Al Ghazali Tentang Pentingnya Mursyid
  3. Rabithah MURSYID
  4. URGENSI KEMURSYIDAN
  5. Siapa Yang Tidak Memerlukan Pembimbing (Mursyid)?
  6. NUR MUHAMMAD
  7. Ber Wasilah kepada MURSYID
  8. Berguru Kepada MURSYID
  9. Wasilah, Cara Berkenalan Dengan Allah (Bag. 1)
  10. Wasilah, Cara Berkenalan Dengan Allah (Bag. 2)
  11. WASILAH, Cara Berjumpa Dengan Allah
  12. Siapakah Wali Allah itu?
sumber artikel: http://sufimuda.net/

23.26 | 0 komentar | Read More

Suatu Ketika Perut Rasulullah Sedang Berbunyi

http://lazisgarudaindonesia.or.id/wp-content/uploads/2011/09/Sayap-Sayap-Rasulullah-Salman-Sayap-Kesederhanaan-dalam-Dakwah1.jpg
Suatu ketika Rasulullah SAW menjadi imam shalat. Para sahabat yang menjadi makmum di belakangnya mendengar bunyi menggerutup seolah-olah sendi-sendi pada tubuh Rasulullah bergeser antara satu sama lain.
Sayidina Umar yang tidak tahan melihat keadaan baginda itu langsung bertanya setelah selesai shalat, ”Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah tuan menanggung penderitaan yang amat berat, apakah Anda sakit?” Namun Rasulullah menjawab, ”Tidak. Alhamdulillah, aku sehat dan segar.”
Mendengar jawaban ini Sahabat Umar melanjutkan pertanyaannya, ”Lalu mengapa setiap kali Anda menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh tuan? Kami yakin engkau sedang sakit…”
Melihat kecemasan di wajah para sahabatnya, Rasulullah pun mengangkat jubahnya. Para sahabat amat terkejut. Ternyata perut Rasulullah yang kempis, kelihatan dililiti sehelai kain yang berisi batu kerikil untuk menahan rasa lapar. Batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali tubuh Rasulullah bergerak.
Umar memberanikan diri berkata, ”Ya Rasulullah! Adakah bila Anda menyatakan lapar dan tidak punya makanan, lalu kami hanya akan tinggal diam?”
Rasulullah menjawab dengan lembut, ”Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu ini. Tetapi apakah yang akan aku jawab di hadapan Allah nanti, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban bagi umatnya?”
Para sahabat hanya tertegun. Rasulullah melanjutkan, ”Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah Allah buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di Akhirat kelak.”
Dari kisah di atas banyak hikmah dan pelajaran yang bisa kita teladani dan kita jadikan contoh dalam kehidupan sehari-hari antara lain :
Pertama, gaya hidup Rasulullah yang sederhana dan bersahaja di saat sebenarnya Beliau bisa saja hidup dengan kemewahan. Kecintaan para sahabat kepada Rasulullah sungguh luar biasa sehingga secara kehidupan duniawi tidak mungkin Beliau berkekurangan. Sikap hidup sederhana yang merupakan pilihan hidup Nabi ini kemudian menjadi contoh bagi pemimpin-pemimpin hebat dalam sejarah Islam.
Kedua, sikap empati Rasul terhadap ummat saat itu. Sebagai pemimpin, Beliau ingin menunjukkan rasa cinta kepada ummat dengan memilih gaya hidup sederhana karena memang hampir sebagian besar ummat Beliau saat ini hidup dalam keterbatasan. Beliau mau mengorbankan kesenangan demi ummat, bahkan Beliau rela menanggung lapar dengan harapan biarlah hanya Beliau saja yang lapar dan ummat Beliau kelak tidak akan lapar di dunia dan akhirat kelak. Sungguh Kita semua sangat merindukan sosok pemimpin yang meniru akhlak Rasulullah, pemimpin yang mengutamakan kepentingan orang-orang yang dipimpinnya diatas kepentingan pribadi.
Ketiga, bisa juga kita mengkaji secara ilmiah apakah memang ada hubungan antara mengikat kerikil di perut dengan menghilang rasa lapar. Lalu kerikil yang dipakai Rasul apakah hanya sekedar kerikil biasa atau kerikil khusus yang telah Beliau doakan. Apakah Rasul hanya pada saat lapar saja mengikat batu kerikil di perut atau memang itu kebiasaan Rasul, dalam keadaan lapar dan kenyang tetap batu kerikil tersebut ada di perut Beliau yang diikat dalam kain. Bisa jadi kebiasaan mengikat kerikil diperut yang dilakukan Rasul ini yang kemudian menjadi tradisi dikalangan Sufi, dalam keadaan lapar melaksanakan puasa-puasa khusus batu itu berbunyi (karena batu tersebut bergesek antara satu dengan lainnya seperti batu Rasulullah) ketika shalat dan bergerak akibat kainnya yang sudah agak kendor dan dalam keadaan normal batu tersebut tidak berbunyi karena lilitan kainnya pas melingkar di perut. Wallahu’alam!
23.18 | 0 komentar | Read More

Sikap-Sikap Yang Perlu Di Teladani Oleh Kita

Apa yang anda lakukan kalau suatu saat uang anda dibawa kabur orang atau anda ditipu orang sehingga anda rugi dan lebih sial lagi kita tidak mengetahui siapa yang mencuri uang kita.  Mungkin salah satu dari kita pernah mengalami hal seperti itu, mengalami kesialan hal yang diluar dugaan kita. Kesal, marah kemudian timbul benci bahkan dendam kepada orang yang membuat kita rugi, kalau perlu kita sumpahi dia agar celaka sehingga tidak bisa menggunakan uang yang dia ambil adalah sikap yang umum dari orang yang mengalami perlakuan tidak menyenangkan.
Itulah yang membedakan orang awam dengan orang khusus dalam hal ini wali Allah atau orang-orang yang telah dekat dengan Allah, mereka tidak pernah mendoakan orang dengan doa buruk bahkan untuk musuh sekalipun karena mereka tahu segala sesuatu terjadi atas izin dan kehendak Allah. Bahkan ketika harta mereka diambil, rasa syukur mereka kepada Allah menjadi bertambah.
http://www.hadila.com/images/16kehilangan-sifat-baik.jpgSuatu hari sepeda motor milik Guru saya yang biasa dipakai murid Beliau untuk memudahkan urusan sehari-hari dicuri orang. Dengan rasa takut dan was was si murid melaporkan kejadian itu kepada Guru. Dalam hatinya mengatakan pasti Guru memarahi dia bahkan bisa jadi dia akan di usir dari rumah Gurunya. Ketika dia melaporkan tentang kehilangan sepeda motor, diluar dugaan Gurunya malah tersenyum dan mengatakan kepada muridnya, “Tidak usah kamu khawatir, janji Allah setiap segala sesuatu yang diambil akan diberi ganti dengan yang lebih baik bahkan kalau kurang akan ditambah oleh Allah”.
Sikap yang dimiliki oleh seorang Wali Allah itu perlu kita teladani sehingga kita tetap dalam kondisi bahagia, senang, tenang walaupun hal yang terburuk menimpa hidup kita.
Kisah menarik tentang kehilangan uang dialami oleh  ‘Abdullah ibn Mas’ud seorang sahabat Nabi yang terkenal. Ia memang bukan sahabat biasa. Ia juga seorang ulama. Tentangnya, Rasulullah saw pernah berkata : “Sesungguhnya kaki ( Ibnu Mas’ud ) di timbangan Allah pada hari kiamat itu jauh lebih berat daripada gunung Uhud.”Bagaimanakah gerangan perilaku beliau sehingga mendapatkan karunia itu ? Inilah salah satu di antaranya…
Suatu hari, beliau pergi ke pasar dengan membawa beberapa keping dirham untuk membeli sedikit makanan. Tanpa diduga, ada seorang pencuri yang mencuri dirham-dirham itu. Orang-orang yang mengenal ‘Abdullah ibn Mas’ud lalu mendoakan kesialan untuk pencuri itu. Namun beliau justru mengatakan : “Kalian jangan mendoakan kesialan untuknya. Akulah pemilik dirham-dirham itu, aku akan berdoa untuknya, dan harap kalian mau mengaminkan doaku…”
Beliau kemudian  berdoa : “Ya Allah ! Bila engkau mengetahui bahwa orang yang mencuri dirhamku adalah orang berhajat padanya, maka berkahilah ia dengan dirham itu, dan bila Engkau mengetahui bahwa ia sebenarnya tidak berhajat padanya, maka Ya Allah ! Jadikanlah ini sebagai kemaksiatan terakhir yang ia lakukan dalam hidupnya.” 
23.16 | 0 komentar | Read More

Sebuah Sisi Keajaiban dan Kekuatan Do'a

http://djadja.files.wordpress.com/2008/09/iraqi_children_praying.jpg?w=330&h=253
* Dari acara tabligh akbar oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qodir Jawas di Masjid Baitul Kamal – Balai Kota Depok, Ahad 7 Oktober 2012 – dengan beberapa pelengkap.
Bismillahirrohmanirrohim. Alhamdulillaahilladzi arsala Rasulahu bil huda wa diinil haqq. Wa sholaatu wa salaamu ‘ala Nabiyinaa Muhammadin, wa ‘ala aalihi wa as-haabihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yawmiddin.
Setiap kita tentu pernah berdo’a. Tetapi pernah kah kita mempelajari bagaimana sunnah berdo’ a (tata cara berdo’a) yang diajarkan Nabi Shollallaahu ‘alayhi wa sallam? Bagaimanakah agar do’a kita dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan menjadikannya pahala yang besar bagi kita di akhirat kelak? Berikut kita akan membahas secara ringkas mengenai do’a sebagai berikut:
> DEFINISI
Asal kata do’a berasal dari kata Du’a – Yad’uu yang artinya menyeru. Secara istilah maka do’a adalah menampakkan diri kepada Allah atas kebutuhan seorang makhluk kepada Rabb-nya.

Doa merupakan ibadah sebagaimana Rasulullah Shollallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
Artinya: Do’a adalah ibadah, Rabb kalian berfirman: ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya Aku akan memperkenankan untuk kalian.”
(Hadits Riwayat Abu Dawud No. 1479, At-Tirmidzi No. 3247, Ibnu Majah No. 3828).
> WAJIBNYA BERDO’A
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Surah Al-Mu’min:60 :
Artinya: “Dan Rabb-mu berfirman: ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah (berdo’a) kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dan dina.”
Dengan dasar dalil di atas maka wajib bagi kita untuk berdoa karena berdoa kepada Allah merupakan perintah-Nya yang bahkan Allah murka jika kita tidak mau berdoa kepada-Nya.
> SYARAT-SYARAT DO’A
Di dalam berdo’a maka kita harus memperhatikan faktor-faktor yang menjadi sebab diterimanya / dikabulkannya do’a. Diantaranya adalah sbb:
1) Ikhlas karena Allah
Yaitu meluruskan niat (di hati) dengan menujukan ibadah (termasuk di antaranya adalah do’a) hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala saja dan meninggalkan kesyirikan.
- Surah Al Mu’min ayat 14:
Artinya: “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).
- Surah Al Bayyinah ayat 5:
Artinya: “mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.
- Surah Al Jin ayat 18:
Artinya: “Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah”
- Surah Al Ahqaf ayat 5:
Artinya: “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyeru tuhan-tuhan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doanya) sampai hari Kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka.”
2) Mutaba’ah
Yaitu ittiba’ (mengikuti) tata cara maupun redaksi do’a yang dicontohkan / diajarkan Nabi Shollallaahu ‘alayhi wa sallam . Rasulullah adalah orang yang paling mengenal Allah dan paling tahu bagaimana caranya berdo’a agar dikabulkan oleh Allah.
- Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Surah Ali Imran ayat 31:
Artinya: “Katakanlah (kepada mereka): Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”
3) Yakin
Bersungguh-sungguh dalam berdo’a dan yakin akan dikabulkan. Keragu-raguan akan dikabulkannya do’a berarti menyangsikan Allah.
- Rasulullah Shollallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
Artinya: “Sesungguhnya Rabb kalian Yang Mahasuci lagi Mahatinggi itu Mahamalu lagi Mahamulia, Dia malu terhadap hamba-Nya jika dia mengangkat kedua tangannya kepada-Nya untuk mengembalikan keduanya dalam keadaan kosong (tidak dikabulkan).”(Hadits riwayat Abu Dawud No.1488, At-Tirmidzi no.3556, Ibnu Majah no.3865. Ibnu Hajar sanadnya Jayyid).
4) Menghadirkan hati
Yaitu menghadirkan hati dalam berdo’a, tidak lalai dari mengingat Allah. Jangan sampai kita berdo’a tetapi hati kita mengingat yang lain / tidak khusyu’.
- Rasulullah Shollallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
Artinya: “Berdo’alah kalian kepada Allah dengan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan do’a dari hati yang lalai dan lengah. (Hadits riwayat At-Tirmidzi No. 3479, Al Hakim I/493. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani).
5) Dengan Jazm / pasti
Berdo’a dengan pasti dan optimis. Tidak boleh berdo’a misalnya dengan mengatakan, “Ya Allah ampuni aku jika Engkau mau.”
Rasulullah Shollallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
Artinya: “Janganlah sekali-kali seseorang dari kalian mengatakan; ‘Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau mau! Ya Allah, kasihanilah aku jika Engkau mau! ‘ Berdoalah kamu dgn sungguh-sungguh, karena Allah akan berbuat menurut kehendak-Nya tanpa ada yg dapat memaksa-Nya.‘ (Hadits riwayat Muslim no.4837).
6) Wajar dan tidak ghuluw (berlebihan)
Berdo’a dengan wajar, artinya tidak meminta yang berlebihan misalnya: Ya Allah berikan aku kekebalan.” Atau juga misalnya berdoa: Ya Allah aku mohon istana di surga yang pintunya dari emas, lantainya dari intan, luasnya 1000 hektar,” dan seterusnya.  Jadi cukup katakan, ‘Ya Allah masukkanlah aku ke dalam surga.’
Artinya: “Berdo’alah kepada Rabb-Mu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’raaf: 55)
7) Tidak terburu-buru
Berdo’a dengan sabar dan tidak berputus-asa.
- Rasulullah Shollallaahu ‘alayhi wa sallam  bersabda:
Artinya: “Dikabulkan do’a seseorang dari kalian selama ia tidak terburu-buru, ia berkata: ‘Aku sudah berdo’a tetapi do’aku belum dikabulkan.”   (Hadits riwayat Al Bukhari No. 6340, Muslim |No. 2735).
- Juga beliau Shollallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
Artinya: “Do’a seseorang hamba akan senantiasa dikabulkan selama ia tidak berdo’a untuk berbuat dosa atau memutus silaturahmi, selama ia tidak meminta dengan isti’jal.” Ada yang bertanya: Ya Rasulullah, apa itu isti’jal (tergesa-gesa) ? Jawab Beliau: “Jika seseorang berkata : ‘aku sudah berdo’a memohon kepada Allah, tetapi Allah belum mengabulkan do’aku. ‘  Lalu ia bosan / putus asa dan akhirnya meninggalkan do’a nya tersebut.  (Hadits riwayat Muslim No. 2735).
8) Berdo’a dengan kebaikan
Tidak mendo’akan sesuatu yang buruk terlebih terhadap keluarga, harta, anak dan diri sendiri.
- Rasulullah Shollallaahu ‘alayhi wa sallam juga bersabda:
Artinya: “Tidaklah seorang Muslim berdo’a kepada Allah dengan suatu do’a yang di dalamnya tidak mengandung dosa dan pemutusan silaturahmi, melainkan Allah akan memberikan kepadanya salah satu dari tiga kemungkinan: (yaitu) dikabulkannya segera do’anya itu, atau Dia akan menyimpan baginya di akhirat kelak, atau Dia akan menghindarkan darinya keburukan yang semisalnya.” Maka para shahabat pun berkata: “Kalau begitu kita akan memperbanyaknya.” Beliau bersabda: “Allah lebih banyak (memberikan pahala).” (Hadits riwayat Ahmad III/18, Al Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no.7101, Al Hakim I/493 dari Abu Sa’id Al Khudri)
9) Baiknya Makanan/Minuman
Meninggalkan makanan/minuman yang haram baik dari sisi zatnya maupun dari sisi memperolehnya.
- Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.”
- Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah Shollallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
Artinya: “Wahai manusia! Sesungguhnya Allah adalah Mahabaik, tidak menerima kecuali yang baik.”
Kemudian Nabi Shollallaahu ‘alayhi wa sallam menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu lalu menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berkata, ‘Ya Rabb..ya Rabb..’ sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya dari yang haram, dicukupi dari yang haram, maka bagaimana mungkin dikabulkan do’anya?”(Hadits riwayat Muslim II/703 No.1015)
Dengan demikian, do’a sulit terkabul jika kita masih banyak melakukan yang diharamkan Allah dan tidak bertaubat atas dosa dan kesalahan.
10) Tadharu’ (Merendahkan diri) dan Merendahkan suara
Yaitu berdo’a dengan suara pelan antara samar dan keras.
- Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surah Al A’raaf ayat 205:
Artinya: “Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.
- Dalam hadits ‘Tujuh golongan yang Allah akan menaungi mereka pada hari yang tiada naungan melainkan naungan-Nya’ yaitu salah satunya:
artinya: “..Seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sendiri / sepi, lalu mengalirlah air matanya…” (Hadits Riwayat Al Bukhari No. 660, Muslim No. 1031, lihat Riyadhus Shalihin no. 376)
- Hadits dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiyallaahu ‘anhu ia berkata: “Orang-orang mengangkat suaranya ketika bertakbir dan berdo’a, kemudian Rasulullah Shollallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
Artinya: Wahai manusia sekalian, kasihanilah diri kalian, sesungguhnya kalian tidak berdo’a kepada Rabb yang tuli dan tidak juga jauh. Sesungguhnya kalian berdo’a kepada Rabb Yang Mahamendengar lagi Mahadekat, dan Dia bersama kalian.” (Hadits Riwayat Al Bukhari no. 2992, 4202, 6384, 6610, 7386, Muslim no. 2704, Ahmad IV/402).
> BOLEHKAH BERTAWASSUL?
Tawassul adalah menjadikan sesuatu sebagai wasilah / perantara antara seseorang dengan Rabb-nya
dalam memperoleh suatu manfaat atau dikabulkannya suatu do’a.
Bertawassul diperbolehkan asalkan sesuai dengan syariat yaitu melalui apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam dan yang dicontohkan oleh para Shahabat mulia setelah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam wafat.
Adapun tawassul yang disyariatkan adalah sebagai berikut:
a) Tawassul dengan Asmaa-ul Husna (Nama-nama Allah yang baik) dan tawassul dengan Sifat-sifat Allah yang tinggi dan mulia.
Dalil:
- Surah Al- A’raaf ayat 180:
Artinya: “Hanya milik Allah Asmaa-ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaa-ul Husna itu.”
- Contoh Do’a dari Nabi Shollallaahu ‘alayhi wa sallam dengan tawassul:
1) Artinya: “… Aku memohon dengan setiap nama-Mu, yang Engkau memberi nama diri-Mu dengannya, atau yang Engkau ajarkan kepada salah satu makhluk-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau sembunyikan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu…” (Hadits riwayat Ahmad, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih, Silsilah Ash Shahihah no. 199).
2) Yaa Hayyu yaa Qoyyum, birohmatika astagi tsu ashlih lii sya’nii kullahu, wa laa takilnii ilaa nafsii thorfata’ain.
Artinya: Wahai Rabb Yang Mahahidup, Wahai Rabb Yang Mahaberdiri sendiri, dengan rahmat-Mu aku meminta pertolongan, perbaikilah segala keadaan dan urusanku dan jangan Engkau serahkan kepadaku meski sekejap mata sekalipun. (Hadits riwayat An-Nasai dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no.575, Al-Hakim I/545, Derajat hadits ini hasan). Do’a ini dibaca 1x saat pagi dan saat petang.
b) Tawassul dengan amal shalih kita yang dilakukan dengan ikhlas.
Dalilnya ialah kisah tiga orang yang terperangkap dalam gua bertawasul dengan amal shalih yang mereka lakukan berupa berbuat baik kepada kedua orangtua, meninggalkan perbuatan zina, dan menunaikan hak orang lain. Allah mengabulkan doa mereka sehingga mereka dapat keluar dari goa karena sebab tawasul dalam doa yang mereka lakukan. Kisah ini tercantum dalam Hadits riwayat Al-Bukhori No. 2102 dan Muslim No. 2743, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
c) Tawwassul dengan do’a orang shalih yang masih hidup.
Dalil diperbolehkannya hal tersebut adalah contoh dari Shahabat Umar ibn Khotob Radhiyallahu ‘anhu yang meminta paman Nabi Shollallaahu ‘alayhi wa sallam yaitu Abbas bin Abdul Mutholib Radhiyallaahu ‘anhu untuk berdo’a kepada Allah agar segera diturunkan hujan di musim paceklik (lihat Hadits riwayat Bukhori).
Adapun tawassul dengan selain di atas maka tidak disyariatkan. Bahkan dapat menjatuhkan diri kita pada kemusyrikan yaitu bila bertawassul melalui kubur-kubur orang shalih, wali dan sebagainya.
Bila dilakukan dengan keyakinan si orang mati bisa menyampaikan hajat kita kepada Allah maka ini adalah bid’ah (sesuatu yang diada-adakan dalam syariat) sedangkan bila dengan keyakinan si orang mati bisa mengabulkan do’a maka jatuh dalam syirik besar / keluar dari Islam.
Atsar (riwayat) dari Umar Radhiyallaahu ‘anhu yang tidak datang ke kubur Nabi Muhammad Shollallaahu ‘alayhi wa sallam untuk bertawassul ini menunjukkan tidak ada dari para sahabat yang bertawassul kepada orang mati walaupun itu adalah Rasulullah Shollallaahu ‘alayhi wa sallam.
Sabda Rasulullah Shollallaahu ‘alayhi wa sallam juga menjelaskan bahwa sholat atau membaca al-Qur’an di kuburan-kuburan adalah terlarang.
Artinya: “Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah). (Hadits riwayat Al Bukhari no. 435, 1330, 1390,
3453, 4441, Muslim no. 531, Ahmad I/218, VI/21, 34, 80, 255, dari ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anha).
> Bagaimana bila do’a belum terkabul?
Pada dasarnya setiap do’a terkabul hanya saja Allah mempunyai kehendak lain..
Rasulullah Shollallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
Artinya: “Tidaklah seorang Muslim berdo’a kepada Allah dengan suatu do’a yang di dalamnya tidak mengandung dosa dan pemutusan silaturahmi, melainkan Allah akan memberikan kepadanya salah satu dari tiga kemungkinan: (yaitu) dikabulkannya segera do’anya itu, atau Dia akan menyimpan baginya di akhirat kelak, atau Dia akan menghindarkan darinya keburukan yang semisalnya.” Maka para shahabat pun berkata: “Kalau begitu kita akan memperbanyaknya.” Beliau bersabda: “Allah lebih banyak (memberikan pahala).” (Hadits riwayat Ahmad III/18, Al Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no.7101, Al Hakim I/493 dari Abu Sa’id Al Khudri).
Demikian, semoga bermanfaat, Wallaahu a’lam bisshowab.
23.13 | 0 komentar | Read More

BACA JUGA

DAFTAR LENGKAP ARTIKEL BLOG BAGINDAERY

Ikuti situs Bagindaery

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...