Tulisan
ini memang panjang, tapi teruskan membaca dari awal sampai akhir,
karena informasi di akhir tidak kurang penting dibandingkan yang di awal
atau tengah.
Indonesia
punya sejarah manis dalam olahraga bulutangkis dunia dan sampai
sekarang masih diakui sebagai salah satu raksasa bulutangkis meskipun
mungkin raksasa yang kehilangan pentungan. Secara umum Indonesia memang
punya peranan dan sejarah yang akan tercatat selamanya di dalam buku
besar bulutangkis dunia.
Indonesia adalah pemegang rekor juara terbanyak Thomas Cup dan
negara pertama yang mampu menjuarai Piala Thomas selama lima kali
berturut-turut, dan menjadi satu-satunya sebelum tahun 2012 China
menorehkan catatan yang sama. Pebulutangkis Indonesia Rudy Hartono
merupakan satu-satunya pebulutangkis yang mampu menjuarai All England sampai
delapan kali, tujuh kalinya secara berturut-turut. Indonesia juga
peraih medali emas pertama tunggal putera dan puteri Bulutangkis di
ajang olimpiade lewat Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti. Piala Sudirman
dan Piala Suhandinata adalah dua kejuaraan beregu senior dan junior
paling bergengsi yang setara Thomas dan Uber dan merupakan penghargaan
kepada tokoh bulutangkis asal Indonesia, Dick Sudirman dan Suharso
Suhandinata, dan hanya mereka berdua di dunia yang memperolehnya sampai
saat ini. Turnamen Indonesia Open juga merupakan satu dari lima turnamen
Super Series Premier dan merupakan turnamen Super Series terbaik 2012.
Saya
tidak akan menulis sejarah bulutangkis atau Persatuan Bulutangkis
Seluruh Indonesia (PBSI) di dalam tulisan ini, karena itu bisa ditemukan
di dalam blog lain ataupun situs resmi PBSI. Tapi perjalanan prestasi
para pebulutangkis lah yang perlu dibangkitkan kembali, semoga kita
kembali tergugah untuk mengembalikan zaman-zaman penuh emas itu.
Dia
bisa dibilang generasi pertama dari bulutangkis Indonesia yang ke
pentas international – kalau di dalam negeri sudah ada beberapa nama
sebelumnya – dan lansung membawa Indonesia ke jajaran atas bulutangkis
dunia. Mempunyai julukan yang sangat mengerikan, The Giant Killer atau Pembunuh Para Raksasa, karena keberhasilannya menundukkan unggulan-unggulan serta para jago bulutangkis saat itu.
Keberhasilan
Tan Joe Hoek dan tim Merah Putih mengalahkan Malaysia di final Piala
Thomas 1958 adalah pertama kalinya mereka berhasil mengarahkan perhatian
dunia kepada Indonesia. Tidak mengherankan karena status Malaysia saat
itu adalah juara bertahan dan Malaysia selalu menjadi juara sejak
pertama kali Piala Thomas digelar. Indonesia sendiri saat itu adalah tim
kecil yang sama sekali belum punya prestasi apapun. Bahkan menurut
pengakuan beberapa pemain saat itu, wartawan Singapura dan Malaysia
meremehkan mereka saat sebelum pertandingan final itu dimulai karena
ibaratnya kelinci yang menentang macan. Setelah pertandingan yang diluar
dugaan tersebut, tim Merah Putih saat itu lalu mendapat sebutanThe Magnificent Seven karena kebetulan anggotanya juga tujuh orang.
Tahun
1959 seolah puncak karir Tan Joe Hok, dimulai dari mempersembahkan
gelar All England pertama buat Indonesia setelah mengalahkan
kompatriotnya Ferry Sonneville yang tahun sebelumnya juga bersama-sama
meraih Piala Thomas. Tampilnya dua wakil Indonesia di final All England yang
bisa dikatakan kejuaraan tertinggi bulutangkis benar-benar membuka mata
dunia akan kekuatan baru dari Asia Tenggara. Tahun 1959 itu juga Tan
Joe Hok melengkapi gelarnya dengan US Open dan Canadian Open, ketiganya merupakan turnamen paling bergengsi saat itu.
Tapi
setelah merebut ketiga gelar itu, Tan Joe Hok memutuskan gantung raket
karena ingin melanjutkan studinya. Kebetulan saat itu dia mendapatkan
beasiswa untuk belajar di Baylor University, Texas, jurusanPremedical Major in Chemistry and Biology. Perjuangan
Indonesia dilanjutkan oleh teman-temannya seperti Ferry Sonneville,
Njoo Kim Bie, dan lain-lain. Ferry misalnya memborong 12 gelar antara
tahun 1956-1962 di Belanda, Jerman, AS, Kanada dan Perancis.
Namun
Tan Joe Hok tidak sepenuhnya pensiun, karena saat-saat tertentu dia
kembali ke tanah air memperkuat tim Indonesia di ajang-ajang seperti
piala Thomas 1961 dan 1964. Tahun 1962 dia juga akhirnya menjadi atlet
bulutangkis pertama yang meraih medali emas Asian Games.
Sumbangan-sumbangan yang sangat berarti bagi Indonesia muda saat itu.
Kisah hidupnya bahkan sampai diulas khusus Sport Illustrated, sebuah
majalah olahraga berengsi di USA.
Tahun
1961 dia pulang dari Texas ke Indonesia khusus untuk mempertahankan
Piala Thomas. Dengan mengajak Ferry Sonneville yang saat itu juga sedang
melanjutkan studi di Belanda, mereka pulang ke Indonesia dengan biaya
sendiri. Begitu Piala Thomas berhasil dipertahankan, Presiden Soekarno
sempat memberikan check bernilai $1000 namun ditolaknya. Pendapatnya,
“Saya kan sudah mendapat beasiswa dari Baylor University (Texas). Kenapa
saya mesti menerima uang lagi? Kasihan, masih banyak mereka yang
membutuhkannya. Uang saku, saya pun sudah bisa mendapatkannya sendiri
dengan bekerja di kampus..”
Namun
setelahnya tidak lagi mudah bagi Tan Joe Hok. Sebagai keturunan
Tionghoa, dia ikut menjadi korban 1965, tidak peduli dengan statusnya
sebagai pahlawan bangsa (pernah menerima bintang jasa Satyalencana
Budaya juga). Harus antri di kantor pemerintah Indonesia agar
anak-anaknya bisa sekolah. Namun untunglah dia tidak memiliki dendam
sama sekali kepada Indonesia. Terbukti tahun-tahun setelahnya dia tetap
kembali ke bulutangkis Indonesia sebagai pemain dan pelatih Tim Thomas,
meski harus merelakan namanya diganti menjadi Hendra Kartanegara.
Kartanegara dipilihnya karena tidak ingin menghilangkan kata TAN dari
namanya.
Anyway, Tan Joe Hok belajar bulutangkis menggunakan bakiak dan shuttlecock yang
hanya tersisa tiga lembar bulu. Dan menurut pengakuan Tan Joe Hok
sendiri dia sama sekali tidak mengenal teknik permainan bulutangkis.
Rudy Hartono Kurniawan
Rudi
Hartono hadir beberapa tahun setelah era Tan Joe Hok sebagai pemain
berakhir. Diantara mereka sebenarnya ada beberapa nama seperti Ang Tjin
Siang atau Muljadi. Ang sendiri selain termasuk ke dalam Tim Thomas
Indonesia 1964, 1967, 1970 dan 1973 juga pernah merebut gelar Perancis
Terbuka dan Asian Games 1966. Namun kemunculan Rudy Hartono dengan
torehan prestasinya yang luar biasa sedikit mengalihkan perhatian dari
Ang, apalagi beberapa kesempatannya meraih gelar justru digagalkan Rudy
Hartono saat di final, misalnya All England 1971 dan AS Terbuka 1969.
Prstasinya
yang paling mencolok tentu saja di arena All England, meskipun
sebenarnya dia juga pernah merebut tiga gelar Denmark Open, dua Canadian
Open dan US Open. Tapi di All England lah dia yang benar-benar tak
terkalahkan hampir selama 10 tahun. Meraih gelar pertamanya di umur 18
tahun, Rudy mencatatkan namanya di Guinnes Book of World Record sebagai
pemegang gelar All England delapan kali dimana tujuh diantaranya
diraihnya beruntun dari tahun 1968. Sempat lepas di tahun 1975 setelah
final yang ketat melawan musuh bebuyutannya Svend Pri dari Denmark, dia
kembali merebutnya kembali tahun 1976 mengalahkan rekan senegaranya Liem
Swie King. Tahun 1978 adalah All England terakhir yang diikutinya
dengan status runner-up, kalah dari partai balas dendamnya Liem Swie
King.
Di
luar All England, keikut sertaannya di Thomas Cup juga mengangkat
namanya. Rudy tidak pernah absen membela Indonesia sejak 1967 dan
mempersembahkan empat tropi juara dan dua kali sebagai runner-up. Selain
itu dia juga menjadi juara dunia di tahun 1980. Semuanya ini
menggerakkan majalah Timemenganugerahkan gelar Asian Heroes kepada
Rudy Hartono Kurniawan tahun 2006. Agak mengejutkan memang karena
bulutangkis bukanlah olahraga utama saat itu, tapi tidak bila dilihat
dari keperkasaan seorang Rudy Hartono. Selain Time, UNDP juga
pernah menunjuknya menjadi duta untuk Indonesia. Dan Rudy Hartono
adalah orang Indonesia pertama yang menerima anugerah penghargaan
tertinggi Badminton Hall Of Fame di tahun 1997.
Sekarang
Rudy Hartono memang sudah tidak lagi bermain bulutangkis. Operasi
jantung tahun 1988 membuatnya tidak bisa lagi berolahraga selain jalan
kaki agar tidak membebani jantungnya. Tapi Rudy tetap memberikan
perhatian penuh kepada bulutangkis Indonesia lewat PBSI. Hal lain dari
Rudy Hartono adalah keikutsertaaanya di film Matinya Seorang Bidadari
tahun 1971.
Liem Swie King
Dia
adalah salah satu pahlawan besar lainnya dalam sejarah bulutangkis
Indonesia. Hampir semua kejuaraan yang ada saat itu pernah dimenanginya.
Gaya permainannya sangat khas, dengan jumping smash yang dilakukan
setelah melompat tinggi dan menghasilkan smash sangat keras sehingga
julukan King Smash pun dilekatkan padanya. Dia adalah Liem Swie King.
Kemunculan
pertamanya di pentas dunia lansung mencuri perhatian saat menantang
Rudy Hartono di final All England 1976, meskipun saat itu kalah. Menarik
perhatian karena dalam usia yang masih sangat muda menantang Rudy yang
penguasa All England. Dan kekalahannya itu akhirnya dia bayar dua tahun
kemudian di lapangan yang sama.
15
tahun di lapangan, sulit mengatakan mana prestasinya yang paling
mentereng. Yang jelas puluhan tropi sudah dibawanya pulang. 3 Piala
Thomas (dan 3 sebagai runner-up), 5 tropi SEA Games, 3 juara All
England, 4 juara dunia mungkin yang paling kelihatan, tapi diluar itu
masih ada puluhan piala grand prix dan kejuaraan bergengsi yang
dimilikinya. Apalagi saat itu, banyak kejuaraan-kejuaraan baru
diselenggarakan di seluruh dunia, termasuk Indonesia Open. Dan Oom Liem
pernah menjuarai sebagian besarnya, dan bahkan tidak cuma sekali.
Liem
memutuskan gantung raket di tahun 1988 dan sempat menganggur karena
tidak memiliki keahlian lain selain bulutangkis. Namun akhirnya dia
bergelut di bisnis perhotelan dan spa. Mengelola hotel milik mertuanya
adalah pekerjaan pertamanya setelah pensiun, sedangkan spa bermula dari
kebiasaan Oom Liem menggunakan jasa pijat saat masih aktif sebagai
atlet. Bisnis yang akhirnya berkembang dengan baik sampai mempekerjakan
ratusan karyawan. Dan seperti Rudy Hartono, Liem Swie King juga pernah
membintangi film Sakura Dalam Pelukan di tahun 1979. Film King yang
dirilis tahun 2009 juga bercerita tentang anak yang menjadi atlet
bulutangkis karena obsesi ayahnya terhadap Liem Swie King.
Menarik
mengetahui fakta bahwa Oom Liem sama sekali tidak memajang puluhan
tropi yang sudah dimenangkannya tersebut. Bahkan menurutnya,
anak-anaknya tidak mengetahui kalau ayahnya adalah seorang legenda hidup
bulutangkis Indonesia sampai saat mereka remaja. Mereka tahu pun saat
banyak orang tak dikenal menyapa ayahnya, dan reaksi pertama anak-anaknya adalah, “Lho, memangnya Papi bisa main bulutangkis?” What a humble person.
Liem Swie King menerima Badminton Hall Of Fame tahun 2002, dan menjadi orang Indonesia keempat yang memperolehnya.
Christian Hadinata
Beliau
adalah pemain bulutangkis spesialis ganda terbesar yang pernah dimiliki
Indonesia, dan mungkin juga dunia. Sangat panjang bila harus
menjabarkan satu per satu prestasinya di sini, namun dapat diringkas
kalau Oom Christian ini pernah merebut semua gelar yang bisa diraih oleh
seorang pemain bulutangkis putra saat itu, khususnya ganda. Dia bermain
sama baiknya saat ganda putra maupun campuran. Dan bahkan saat
pasangannya diganti pun tidak menemui kesulitan berarti. 15 tahun di
dunia bulutangkis sebagai pemain, Christian Hadinata mampu meraih
segalanya. Dan Badminton World Federation pun menganugerahinya
penghargaan tertinggi World Badminton Hall of Fame pada
tahun 2001, tidak hanya karena prestasinya sebagai pemain, tapi
dedikasinya yang juga tinggi saat pensiun dan menjadi pelatih.
Di
ganda campuran, keberhasilannya merebut gelar All England pertama buat
Indonesia di sektor ganda campuran bersama Imelda Wiguna menjadi
kenangan yang sangat berarti buat Indonesia. Apalagi mengingat tidak ada
lagi yang bisa mengulanginya sampai 33 tahun kemudian, tepatnya tahun
2012 kemarin Tantowi Ahmad/Liliyana Natsir mempersembahkan untuk kedua
kalinya buat Indonesia. Bersama Imelda, Christian merebut berbagai
kejuaraan bergengsi seperti SEA Games dan juga kejuaraan dunia tahun
1980. Tidak hanya bersama Imelda, Oom Christian juga pernah merebut
gelar Juara Dunia bersama Ivana Lie tahun 1985, dan itu dilakukannya
saat sudah berumur 35 tahun, usia yang bukan muda lagi bagi seorang
atlet.
Di
Ganda Putra prestasinya lebih berkilau lagi. Bersama Pasangannya Ade
Chandra, mereka berdua sukses merubah gaya permainan ganda . Saat itu,
permainan ganda identik dengan reli-reli panjang namun pasangan
legendaris ini sukses merubahnya dengan memperkenalkan permainan
bertempo cepat dan bertenaga keras. Selain pasangan ini, Indonesia juga
punya pasangan Tjun Tjun/ Johan Wahjudi. Kedua pasangan ini adalah
penguasa ganda putra di era tersebut, dan bila digabung dengan tunggal
putra Rudy Hartono dan Liem Swie King, Indonesia benar-benar penguasa
dunia saat itu.
Selain
gaya permainan dan prestasinya yang berkilau, Oom Christian Hadinata
juga dikenal sebagai pemain yang sportif. Salah satu yang paling menarik
perhatian adalah saat Final Piala Thomas 1984 melawan ganda China. Saat
salah satu smash keras dari pasangan China itu jatuh di luar garis,
wasit menyatakan poin menjadi milik Indonesia. Namun Oom Christian
mendatangi wasit dan menyatakan bahwa shuttlecocksempat menyentuh bahunya, dan pada akhirnya wasit meralat keputusannya.
Christian
Hadinata merasa bahwa bulutangkis adalah hidupnya, makanya setelah
gantung raket tahun 1986 dia kembali ke lapangan sebagai pelatih. Sukses
terbesar yang dipersembahkan buat Indonesia sebagai pelatih saat ganda
putra Chandra Wijaya/ Tony Gunawan mempertahankan tradisi emas Olimpiade
Indonesia di Sydney 2000.
Tjun Tjun/ Johan Wahjudi
Seperti
disebutkan sebelumnya, bersama pasangan Christian Hadinata/Ade Chandra,
pasangan ini adalah penguasa ganda putra tahun 70’an. Enam kali juara
All England jelas menunjukkan keperkasaan keduanya di lapangan, dan
tidak jarang di final mereka menghadapi pasangan Indonesia lainnya itu.
Bahkan tahun 1973 saat Tjun/Tjun/Johan Wahjudi gagal merebut All
England, Chridtian Hadinata/Ade Chandra lah yang mengalahkan mereka di
final.
Selain
itu, Tjun Tjun/Johan Wahjudi juga pernah merebut gelar juara dunia,
juara Asia, Swedia Denmark dan tentu saja Asian Games. Dan bersama-sama
Christian Hadinata, Ade Chandra, Liem Swie King, Rudy Hartono dan
beberapa orang lainnya, mereka tidak mengijinkan Piala Thomas sepanjang
1970-1980 pergi meninggalkan Indonesia.
Kiprah
mereka yang luar biasa di bulutangkis, salah satunya sebagai penguasa
All England membuat BWF akhirnya menganugerahkan penghargaan tertinggi Badminton Hall Of Fame kepada keduanya di tahun 2009.
Icuk Sugiarto
Prestasinya
mungkin tidak sementereng Liem Swie King, tapi perhatiannya kepada
bulutangkis Indonesia sangatlah besar. Setelah memutuskan pensiun, Icuk
menjadi pelatih bulutangkis di PB Pelita Bakrie dan menjadi pengurus
PBSI. Belakangan Icuk Sugiarto juga menjadi staf ahli Menteri Pemuda dan
Olahraga, aktif di persatuan atlet dan kampany anti doping.
Meski
saya bilang tidak semetereng Oom Liem,bukan berarti Oom Icuk bisa
diremehkan. Belasan penghargaan diterimanya dari berbagai pihak karena
aksinya di lapangan bulutangkis, termasuk Bintang Satya Lencana dan
Atlet Terbaik Asia. Meski tidak pernah menjuarai turnamen bergengsi All
England, puluhan tropi kejuaraan lain suskses dibawanya pulang. Selain
piala Thomas, Icuk pernah menjadi juara Asia dan Dunia, bahkan sampai
beberapa kali. Icuk juga pernah menjuarai Indonesia dan China Open yang
sekarang statusnya sudah menjadi Premiere Super Series. Icuk Sugiarto mengukuhkan diri sebagai juara Asia dengan memborong semua kejuaraan SEA Games, Asian Games dan Asia Cup.
Minarni Soedaryanto
Beliau
bisa disebut sebagai generasi pertama bulutangkis puteri Indonesia.
Diakui memang prestasi pebulutangkis puteri tidak semenyilaukan yang
putera, namun tetap saja kita harus memberikan penghargaan penuh kepada
para srikandi-srikandi yang telah membuat orang di belahan dunia lain
mengenal nama Indonesia.
Pada
saat Rudy Hartono meraih All England pertamanya, saat itu sebenarnya di
tunggal puteri, Minarni juga menjejak final namun akhirnya harus
menerima posisi runner-up. Namun di saat yang sama, berpasangan dengan
Retno Koestijah, Minarni merebut gelar ganda puteri. Dalam perjalanannya
memang tidak banyak yang memperhatikan, karena terlanjur tertutupi oleh
luar biasanya Rudy Hartono.
Minarni
dan kawan-kawan juga lah yang akhirnya sukses mempersembahkan Piala
Uber pertama untuk Indonesia pada tahun 1975, setelah tahun-tahun
sebelumnya selalu gagal saat di final. Dan jauh sebelumnya, Minarni
telah mempersembahkan medali Emas Asian Games 1962 dan 1966. Selain itu
masih ada 5 kali Malaysia Terbuka, beberapa kali AS dan Kanada terbuka,
baik sebagai tunggal, ganda puteri maupun ganda campuran.
Imelda Wiguna
Imelda
benar-benar dikenal sebagai pemain spesialis ganda. Masuk ke dunia
bulutangkis satu dekade setelah Minarni Soedaryanto mereka akhirnya
bersama-sama berjuang merebut Uber Cup pertama
Indonesia di tahun 1975. Bersama pasangannya Theresia Widiastuti,
Imelda menyumbangkan dua poin saat mengalahkan Jepang 5-2. Dan meski
gagal merebut All England bersama-sama Theresia tahun 1975 itu, namun
Imelda mewujudkan impiannya tahun 1979 bersama pasangan barunya Verawati
Fajrin. Bahkan luar biasanya, di ajang yang sama Imelda mempersembahkan
gelar ganda campuran pertama buat Indonesia bersama Christian Hadinata.
Selain
bersama Theresia dan Verawati, Imelda juga pernah berpasangan dengan
nama lain seperti Rosiana Tandean saat mempersembahkan medali emas SEA
Games tahun 1985. Sedangkan di ganda campuran, Imelda hampir selalu
bersama Christian, kecuali saat merebut emas SEA Games 1981 dengan Rudy
Heryanto.
Imelda
juga pernah mengibarkan bendera Indonesia di ajang-ajang lain seperti
Kanada dan Belanda Terbuka dan tentu saja gelar juara dunia tahun 1980
saat bersama Christian Hadinata.
Ivana Lie
Ibu
cantik satu ini bisa bermain di semua kategori dengan sama baiknya.
Deretan tropi yang dimenangkannya sebagai pemain tunggal nyaris sama
banyaknya dengan saat dia bermain berpasangan, baik ganda puteri maupun
campuran.
Ivana
Lie merupakan pasangan ganda Christian Hadinata setelah Imelda Wiguna
menarik diri. Bersama Christian, Ivana pernah menjuarai ajang-ajang
paling bergengsi Indonesia Open, US Open, SEA Games, Asian Games dan
World Cup. Dia juga pernah menjuarai Indonesia dan China Open baik
sebagai ganda puteri maupun tunggal. Selain itu, Ivana bersama tim
beregu puteri menjadi pengusa SEA Games dalam rentang 1979-1985.
Setelah
gantung raket, Ivana Lie tetap berkecimpung di dunia bulutangkis dengan
mendirikan sekolah bulutangkis dan mencari bibit-bibit baru
pebulutangkis Indonesia. Ivana Lie juga yang memperkenalkan istilah
badmini, modifikasi badminton supaya lebih sesuai untuk anak-anak.
Sekarang ini Ivana menjadi staf ahli Menteri Pemuda dan Olahraga.
Susi Susanti
Kalau
yang ini pasti sudah sangat dikenal, bahkan meskipun oleh orang yang
sama sekali bukan pemerhati bulutangkis atau olahraga. Sukses
mengumandangkan Indonesia Raya untuk pertama kalinya di arena olimpiade
sementara matanya basah menatap Sang Merah Putih yang digerek lebih
tinggi dari bendera Korea Selatan dan China. Adegan yang tidak akan
pernah dilupakan oleh anak bangsa. (Ssst, saya sendiri masih merasakan
sesak dan mata memanas setiap kali adegan ini ditayangkan).
Untuk
rangkaian prestasi, mungkin Wikipedia bisa menjabarkan dengan lebih
lengkap, saking banyaknya medali dan penghargaan yang pernah dia terima.
Dan semua dimulai saat usia 14 tahun dia menjuarai World Championship Junior dan
luar biasanya dia merebutnya di tiga kategori sekaligus, yaitu Tunggal
Puteri, Ganda Puteri dan Ganda Campuran. Saya jadi bertanya-tanya, kalau
diizinkan bermain di tunggal dan ganda putera mungkin diapun akan
membawa pulang gelar juara. Prestasi yang sama diulanginya di tahun
1987, dua tahun kemudian, kali ini di tunggal dan ganda puteri.
Tahun pertamanya bergabung di kejuaraan senior di tahun 1989 di usia 18 tahun, Susi lansung merebut gelar bergengsi World Cup dan Indonesia Open serta sukses menjadi finalis All England. Prestasi yang sama diulanginya lagi setahun setelahnya, bahkan ditambah dengan World Badminton Grand Prix dan All Englandpertamanya. Dan bertambah lagi di tahun berikutnya.
Susi
Susanti adalah salah satu atlet terbesar Indonesia dan mungkin juga
dunia, khususnya bulutangkis. Dari 313 kali pertandingan yang pernah
diikutinya, Susi hanya kalah 37 kali. Dan sulit sebenarnya di arena mana
dia yang terbaik. 4 kali All England, 6 Indonesia Open, 6 World
Badminton Grand Prix, 5 Malaysia Open dan 4 Japan Open. Itu masih kurang
banyak bila dihitung kejuaraan lain yang hanya diikutinya satu atau dua
kali seperti, Denmark, China atau Korea Open. Seperti tadi saya bilang,
lengkapnya bisa dilihat di Wikipedia atau google saja.
Tapi
semua mungkin sepakat kalau Olimpiade Barcelona 1992 adalah yang akan
paling diingat semua orang. Selain itu adalah medali emas pertama
Indonesia, olimpiade Barcelona juga pertama kalinya mempertandingkan
bulutangkis secara resmi sebagai cabang olahraga. Di ajang yang sama
wakil Indonesia lainnya, Alan Budi Kusuma juga mempersembahkan emas
kedua buat Indonesia. Media international di seluruh dunia menjuluki
keduanya sebagai Pengantin Olimpiade karena berhasil mengawinkan dua
medali emas bulutangkis. Dan keduanya mewujudkan dalam kehidupan pribadi
mereka dengan menikah di tahun 1997.
Selain
itu, Susi Susanti dan tim Merah Putih lainnya juga membawa pulang piala
Sudirman pertama kalinya di tahun 1989 dan tidak pernah terulang lagi
sampai saat ini, agak ironis mengingat kejuaraan ini adalah penghormatan
untuk tokoh Indonesia, Dick Sudirman. Susi Susanti juga sukses
mengembalikan Piala Uber kembali ke Indonesia tahun 1994 setelah hampir
20 tahun, dan juga berhasil mempertahankannya dua tahun kemudian. Dan
seperti piala Sudirman, Uber juga belum pernah lagi kembali ke Indonesia
setelahnya. Kalau SEA Games tidak perlu dipertanyakan lagi, emas tidak
pernah lepas dari Indonesia sejak 1987-1997.
Yang
paling mencolok dari Susi Susanti adalah sikap rendah hatinya,
disamping gaya permainannya yang memang sangat khas. Lihat saja figurnya
di luar lapangan, tidak terlihat sama sekali kalau dia adalah atlet dan
bintang kelas dunia. Dan Susi juga sangat memperhatikan bulutangkis
Indonesia meski tidak pernah duduk sebagai pengurus, sampai tahun 2012.
Susi lebih memilih mengurus keluarganya, suami dan tiga orang anak, dan
bisnis raket dibawah label ASTEC (Alan Susi Technology). ASTEC sendiri
akhirnya rutin menggelar turnamen bulutangkis yang sekarang sudah masuk
kalender BWF.
Selain
piala dan tropi kejuaraan, Susi Susanti juga pernah mendapat
penghargaan lain. Presiden Soeharto menganugerahkannya Tanda Kehormatan
Bintang Jasa Utama setelah dia membawa pulang medali Olimpiade 1992. Dia
dianugerahi penghargaan tertinggi World Badminton Hall Of Fame tahun 2004, penghargaan yang juga pernah diterima Rudy Hartono, Christian Hadinata, Liem Swie King dan Dick Sudirman.
Kalau Liem Swie King dijuluki King of Smash, maka Hariyanto Arbi mendapat kehormatan digelari Smash 100 watt.
Smash mereka berdua memang sangat keras dan bertenaga, dan Hariyanto
yang memang mengidolakan Liem Swie King disebut-sebut sebagai
reinkarnasinya Oom Liem meskipun orangnya sendiri masih hidup. Tapi jumping smash Hari memang sangat ditakuti lawannya.
Prestasi
yang dicatatkannya pun cukup beragam, namun sayang dia gagal mengoleksi
satu pun piala Indonesia Open. Kurang beruntung baginya karena berada
di era yang sama dengan Ardy B Wiranata. Ardy sukses memegang rekor enam
kali juara Indonesia Open, sama dengan Susi Susanti di tunggal puteri.
Namun Hariyanto tetap tidak kurang bersinarnya di ajang lain. All
England, Asian Games dan Kejuaraan Dunia adalah beberapa yang paling
bergengsi di antaranya. Dan tentu saja kesuksesan tim Merah Putih
bersama Hari mempertahankan piala Thomas empat kali, tahun 1994, 1996,
1998 dan 2000.
Hariyanto
Arbi pernah menerbitkan sebuah biografinya yang ditulis Broto Agung
tahun 2006 berjudul “Hariyanto Arbi Smash 100 Watt”. Peluncurannya
dihadiri para pengurus PBSI dan juga rekan-rekannya sesama atlet. Dan
Ardy juga pernah memenangi World Chinese Badminton tahun
2010 di Pattaya Thailand, meskipun usianya tidak muda lagi. Sementara
Ardy B Wiranata memilih menjadi pelatih di Kanada dan Amerika Serikat.
Bukan tidak mau mengembagkan negeri sendiri, tapi Ardy ingin
memperkenalkan bulutangkis di benua Amerika. Sementara Alan Budi Kusuma
yang berasal dari generasi yang sama, mengembangkan bisnisnya bersama
sang istri Susi Susanti.
Alan
sendiri dan Ardy seolah dipertemukan takdir. Alan dikalahkan Ardy di
All England 1991, dan berikutnya Ardy yang justru kalah saat final
Olimpiade 1992. Dan rekor Indonesia Open Ardy dari tahun 1990-1997
dirusak oleh Alan yang mengalahkannya di final 1993.
Ganda
Putera asal Indonesia ini juga pantas disebut penguasa 90’an. Hampir
semua jenis pertandingan pernah mereka menangkan berdua. Pasangan yang
hampir tidak pernah berganti pasangan ini menjadi legenda hidup
bulutangkis Indonesia. All England, Juara Dunia, Asian Games, Indonesia
Open dan China Open hanyalah sebagian dari deretan kejuaraan yang pernah
mereka menangkan. Seperty Hariyanto Arbi, keduanya juga memperkuat Tim
Thomas Indonesia dan memberikan gelar juara dari tahun 1994-2000.
Pasangan
ini juga melanjutkan perjuangan Susi-Alan dengan membawa pulang emas
dari ajang Olimpiade Atlanta 1996, dan merupakan satu-satunya emas
Indonesia saat itu. Ricky-Rexy juga selalu memperkuat Tim Piala Sudirman
Indonesia, meskipun akhirnya selalu gagal membawa pulang.
Sama seperti seniornya Tjun Tjun/ Johan Wahjudi, pasangan ini juga diganjar dengan Badmintton Hall Of Fame tahun
2009 karena prestasi dan dedikasi mereka yang tinggi untuk bulutangkis.
Sebagai tambahan, Ricky dan Rexy keduanya menjadi pelatih sampai saat
ini. Bahkan Rexy sudah menjadi langganan tim luar negeri, dan terakhir
tercatat sebagai pelatih Tim Nasional Filipina. Dan dikepengurusan PBSI
yang baru dibawah pimpinan Gita Wirjawan, Ricky, Rexy dan Susi Susanti
diserahi tugas membina atlet dan meningkatkan prestasi atlet bultangkis
Indonesia.
Milenium Ketiga
Mundurnya
kuartet Hariyanto Arby, Ardy B Wiranata, Alan Budi Kusuma dan Joko
Supriyanto hampir bersamaan dengan munculnya Taufik Hidayat, sehingga lost generation tidak
terjadi di sektor tunggal putera. Di saat bersamaan, di ganda putera
pasangan Ricky/Rexy juga tergantikan dengan munculnya Chandra
Wijaya/Tony Gunawan.
Mereka
bertiga merupakan pahlawan olimpiade yang meneruskan tradisi emas
Indonesia dari tahun ke tahun. Di Sydney tahun 2000, pasangan Chandra
Wijaya/ Tony Gunawan kembali mengibarkan bendera Merah Putih. Di luar
itu, pasangan ini juga meraih berbagai macam medali bergengsi lainnya
seperti All England, Kejuaraan Dunia, SEA Games, kejuaraan Asia dan
tentu saja Piala Thomas.
Taufik
sendiri juga benar-benar menyambut apa yang sudah diwariskan para
pendahulunya. Taufik, seperti juga Ardy memegang rekor juara enam kali
Indonesia Open. Meski tidak pernah berhasil merebut All England, namun
kejuaraan Asia dan Dunia pernah dirasakannya. Puncaknya tentu saja saat
merebut medali emas Olimpiade Athena 2004. Dan Taufik juga pernah
merasakan nikmatnya menjadi pebulutangkis nomor satu dunia. Sampai saat
ini Taufik masih aktif sebagai pemain dan berniat gantung raket setelah
Indonesia Open Super Series Premiere 2013, namun terakhir kali dia
meraih juara adalah di India 2011. Usia yang tidak lagi muda membuatnya
mulai fokus ke pembinaan atlet-atlet muda.
Emas
Olimpiade selanjutnya direbut oleh pasangan ganda putera Markis
Kido/Hendra Setiawan di 2008. Pasangan ini juga merebut China Open dan
Juga Denmark Open dua tahun berturut-turut. Saat ini, China, Indonesia,
Denmark, All England dan Korea Adalah turnamen bulutangkis paling
bergengsi. Pasangan ini juga merebut peringkat satu dunia dari 2007
sampai 2008.
Selain
itu masih ada nama Liliyana Natsir yang cukup patut mendapat perhatian.
Pemain ganda campuran ini bermain sama bagusnya saat berpasangan dengan
Nova Widianto ataupun saat sekarang dengan Tontowi Ahmad. Setelah
meraih juara Asia Junior bersama Markis Kido di 2002, Liliyana
berpasangan dengan Nova Widianto dan meraih dua kali juara dunia dan
juga merasakan peringkat satu dunia. Sedangkan bersama Tontowi Ahmad,
meskipun belum pernah ranking satu, tapi Liliyana meraih All England
yang sudah 33 tahun tidak pernah direbut ganda campuran Indonesia dan
mempertahankannya lagi tahun berikutnya (2013).
Meskipun
terlihat masih cukup banyak prestasi yang diraih, namun sangat jelas
kalau bulutangkis Indonesia di millennium ketiga mengalami penurunan.
Terakhir kali Indonesia merebut Piala Thomas adalah tahun 2002, dan
setelahnya hanya sekali tahun 2010 Indonesia bisa mencapai final. Tahun
2012 bahkan Indonesia membuat torehan baru, pertama kalinya sejak
keikutsertaan di Piala Thomas gagal masuk babak semifinal. Piala Uber
lebih parah lagi, selesainya Susi Susanti di 1996, tidak pernah lagi
piala Uber menetap di Indonesia. Pemain-pemain puteri pun tidak ada lagi
yang menonjol. Bahkan sepertinya hanya Liliyana Natsir, dan diapun
bermain sebagai ganda campuran. Di Olimpiade 2012 tradisi emas
bulutangkis Indonesia juga terhenti, bahkan Indonesia tidak membawa
satupun medali dari cabang bulutangkis.
Dari
data BWF saat tulisan ini dibuat, hanya pasangan Tontowi/Liliyana yang
berada di tiga besar dunia, lalu Sony Dwi Kuncoro di peringkat empat
dunia. Kategori lain bahkan tidak mencatatkan namanya di sepuluh besar.
Ada juga skandal yang dibuat ganda puteri utama Indonesia saat
olimpiade, Greysia Polii/Meliana Jauhari yang membuat mereka di skors
beberapa waktu, sebab mengalah supaya bertemu lawan yang lebih ringan.
Regenerasi
ditengarai menjadi penyebab paling utama. Pengurus dan pelatnas gagal
dalam mewujudkannya. Mengejar perolehan medali dan point, PBSI memilih
menurunkan pemain senior dan mengabaikan usia muda, sehingga saat pemain
senior sudah mulai ‘tua’, mereka tidak memiliki calon pengganti,
sehingga untuk pertama kalinya ada generasi yang hilang dari bulutangkis
Indonesia.
Beberapa
waktu lalu pengurus PBSI akhirnya diganti, semoga pergantian pengurus
juga berarti perubahan manajemen dan pembinaan pemain. Bulutangkis
adalah olahraga rakyat dan kebanggan Indonesia, dan seseorang (suatu
bangsa) hanya bisa hidup bila memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan.
Berdasarkan
situs resmi Badminton World Federation (BWF), terdapat empat level atau
tingkatan kejuaraan-kejuaraan yang diselenggarakan oleh BWF. Selayaknya
kasta atau level yang kita kenal, level yang lebih tinggi akan
memberikan point yang lebih besar juga, dan tentunya juga prestige yang
lebih bagi pemenangnya.
Level
teratas diisi oleh kejuaraan-kejuaraan beregu, dan situs BWF secara
spesifik menyebutkannya sebagai Thomas Cup, Uber Cup, Sudirman Cup dan
Suhandinata Cup. Thomas dan Uber Cup tentunya sudah dikenal oleh sebagai
pencinta bulutangkis sebagai turnamen beregu untuk putra dan putri.
Sudirman Cup juga beregu, namun tidak memisahkan antara putera dan
puteri. Cabang yang dipertandingkan di Sudirman Cup (Piala Sudirman)
adalah tunggal putera, tunggal puteri, ganda putera, ganda puteri dan
ganda campuran. Piala Suhandinata sendiri lebih mirip Piala Sudirman,
tapi untuk kelas junior.
Yang
menarik di sini adalah, Sudirman Cup dan Suhandinata Cup merupakan
turnamen yang merupakan bentuk penghargaan kepada Indonesia, atau
orang-orang Indonesia yang berperan sangat besar dalam bulutangkis. Dan
fakta bahwa selain Thomas dan Uber Cup hanya ada dua turnamen ini yang
berada di kasta tertinggi tentunya sangat membanggakan bagi kita bangsa
Indonesia.
Bukan
asal-asalan saja kedua tokoh Indonesia ini dipilih untuk diabadikan
namanya di dalam turnamen paling bergengsi sejagat bulutangkis. Sudirman
yang dimaksud di sini adalah Dick Sudirman (awalnya sih saya mengira
Jendral Sudirman), salah satu pendiri PBSI dan pernah memimpinnya selama
22 tahun. Selain itu dia juga pernah menjadi wakil presiden International Badminton Federation (IBF). Dan pada tahun 1997, Dick Sudirman mencatatkan namanya di Badminton Hall of Fame.
Sementara
Suharso Suhandinata adalah tokoh sentral di balik penyatuan WBF dan
IBF. Jadi dulu ada dua induk bulutangkis dunia yang tidak terikat satu
dengan yang lainnya, dan setiap negara hanya memilih salah satunya.
Sebagai contoh China memilih World Badminton Federation (WBF) sementara Indonesia memilihInternational Badminton federation (IBF).
Makanya sebelum tahun 1980an Indonesia dan China hampir tidak pernah
bertemu. Keberhasilan Suharso Suhandinata menyatukan keduanya, yang saat
itu menjadi Ketua Bidang Luar Negeri PBSI membuatnya dijuluki Mr Diplomat.
Selain itu, Suhandinata juga sukses mengantarkan bulutangkis menjadi
salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan di olimpiade. Di dalam
negeri sendiri Suhandinata adalah pendiri Klub Tangkas yang sampai saat
ini selalu rutin menghasilkan pemain-pemain terbaik Indonesia seperti
Liliyana Natsir.
*tambahan:
Sebenarnya
selain nama-nama yang dituliskan di atas, masih sangat banyak
pahlawan-pahlawan bangsa dari lapangan bulutangkis. Saya tidak
menuliskannya di sini bukan berarti mengecilkan prestasi dan usaha
mereka.
gambar ditambahkan oleh: http://bagindaery.blogspot.com/ lewat google gambar berdasarkan kata kunci
gambar ditambahkan oleh: http://bagindaery.blogspot.com/ lewat google gambar berdasarkan kata kunci
20.37 | 0
komentar | Read More