لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابِهِ وَهُوَ يَكْتُبُ عَلَى نَفْسِهِ وَهُوَ وَضْعٌ عِنْدَهُ عَلَى الْعَرْشِ إِنَّ رَحْمَتِي تَغْلِبُ غَضَبِي
Ketika Allah menciptakan makhluk, Dia menulis dalam kitab-Nya, dan Dia menulis untuk diri-Nya sendiri, yang tetap berada di sisi-Nya di atas ‘arsy: “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku.”
Takhrij Hadits
Hadits di atas diriwayatkan dalam kitab berikut ini:
  1. Shahih al-Bukhari kitab bad`il-khalqi no. 3194; kitab at-tauhid bab qaulil-’Llah Ta’ala wa yuhadzdzirukumul-’Llah nafsahu no. 7404.
  2. Shahih Muslim kitab at-taubah bab fi sa’ah rahmatil-’Llah no. 7145.
  3. Sunan at-Tirmidzi kitab ad-da’awat bab khalqil-’Llah mi`ata rahmat no. 3543
  4. Sunan Ibn Majah kitab az-zuhd bab ma yurja min rahmatil-’Llah yaumal-qiyamah no. 4295.
  5. Musnad Ahmad bab hadits Abu Hurairah no. 9595.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5IU6hrP-oENOCG2lk2z1r4X7ZpAsz5aZddKYEcixP_t3A34Qe5Zfj7i3v4QPzNqQmaEPeo3oVvofs5QQMcrKowH2MgDjgnw_7A8dIch1DgQg7YQMaJTUlTv0GF6kDRPZ3TnWBrwf1r6I/s1600/sujud.jpg
Matan Hadits
Terdapat redaksi/matan lain yang sedikit berbeda dengan matan hadits yang ditulis di atas, yaitu:
إِنَّ رَحْمَتِي سَبَقَتْ غَضَبِي
Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului murka-Ku (matan seperti ini di antaranya diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari no. 7422, 7453, 7553, 7554, dan Shahih Muslim no. 7146).
Syarah Mufradat
Berkaitan dengan hadits di atas, terdapat diskusi di kalangan para ulama tentang makna kata “indahu” (di sisinya) yang disebutkan Nabi saw dalam hadits tersebut. Ibn Hajar mengutip penjelasan ar-Raghib terkait makna ‘inda sebagai berikut:
(عِنْدَ لَفْظٌ مَوْضُوْعٌ لِلْقُرْبِ وَيُسْتَعْمَلُ فِي الْمَكَان وَهُوَ الْأَصْلُ، وَيُسْتَعْمَلُ فِي الْاِعْتِقَاد تَقُولُ: عِنْدِي فِي كَذَا كَذَا أَيْ أَعْتَقِدهُ، وَيُسْتَعْمَلُ فِي الْمَرْتَبَةِ وَمِنْهُ (أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهمْ
‘Inda adalah lafazh yang difungsikan untuk makna dekat, digunakan dalam hal tempat, dan itu yang asal/pokok. Tapi digunakan juga dalam hal keyakinan, contohnya seseorang yang berkata: “‘Indi dalam hal ini seperti ini.” Maksudnya, “aku berkeyakinan (dalam hal ini seperti ini).” Digunakan juga dalam hal martabat/kedudukan, contohnya firman Allah swt: Mereka hidup di sisi Tuhan mereka (QS. Ali ‘Imran [3] : 169). (Fath al-Bari kitab at-tauhid bab qaulil-’Llah Ta’ala wa yuhadzdzirukumul-’Llah nafsahu no. 7404; uraian yang lengkapnya terdapat dalam Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur`an, hlm. 362).
Itu berarti bahwa makna ‘inda tidak selalu berarti “tempat”. Sebab, sebagaimana dijelaskan Ibn at-Tin, kalau kata ‘inda di atas dimaknakan “tempat” berarti Allah swt hulul; menempati sesuatu. Jika demikian maka Allah swt adalah sebuah bentuk yang baru (hadits) dan akan rusak (fana), seperti halnya manusia dan makhluk lainnya. Hal ini tentu sangat tidak layak untuk Allah swt. Maka yang mungkin, menurut Ibn at-Tin, makna ‘indahu di sana adalah ilmu/pengetahuan-Nya. Penguatnya adalah hadits qudsi: Saya di sisi prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, yang dimaksud tentu bukan berarti Allah menempatinya, melainkan sangat dekat pengetahuannya (Fath al-Bari kitab at-tauhid bab qaulil-’Llah Ta’ala wa yuhadzdzirukumul-’Llah nafsahu). Penggunaan kata ‘indahu tersebut juga menurut Ibn Hajar menunjukkan ketinggiannya dan ketersembunyiannya yang tidak mungkin terjangkau oleh makhluk (Fath al-Bari kitab bad`il-khalqi bab ma ja`a fi qaulil-’Llah Ta’ala wa huwa yabda`ul-khalqa).
Syarah Ijmali
Hadits di atas menjelaskan bahwa rahmat Allah swt lebih dahulu ada dan lebih luas daripada murka-Nya. Hal itu disebabkan rahmat Allah swt adalah sifat yang sudah melekat pada diri-Nya dan diberikan kepada makhluk-Nya tanpa sebab apapun. Dengan kata lain, walau tidak pernah ada jasa dan pengorbanan dari makhluk-Nya, pada prinsip asalnya Allah swt tetap sayang kepada makhluk-Nya; Dia menciptakannya, memberi rizki kepadanya dari sejak dalam kandungan, ketika penyusuan, ketika belum dewasa, walaupun belum ada amal darinya untuk Allah swt. Sementara murka-Nya timbul dengan sebab pelanggaran dari makhluk-Nya. Maka dari itu, rahmat Allah swt sudah tentu mendahului murka-Nya (Fath al-Bari kitab bad`il-khalqi bab ma ja`a fi qaulil-’Llah Ta’ala wa huwa yabda`ul-khalqa).
Sementara itu, Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan rahmat Allah swt mengalahkan murka-Nya adalah bahwa rahmat Allah swt itu lebih luas daripada murka-Nya. Kemungkinan Allah swt untuk memberikan rahmat lebih besar daripada kemungkinan-Nya untuk memberikan siksa. Maka dari itu tidak heran kalau kemudian dalam beberapa ayat dan hadits, Allah swt selalu mendorong hamba-hamba-Nya untuk tetap optimis dalam mengejar rahmat Allah swt ini:
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang adzab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.” (QS. Az-Zumar [39] : 53-55).
Berdasarkan ayat di atas, sepanjang Allah swt belum menurunkan adzab-Nya yang membinasakan, atau dengan kata lain selama kita belum binasa oleh adzab Allah swt, maka jangan pernah kita berputus asa dan memvonis diri kita akan menjadi penghuni neraka, karena di sana rahmat Allah swt sangat terbentang luas, dosa sebesar apapun akan diganjar oleh-Nya dengan rahmat dan maghfirah, asalkan kita betul-betul kembali kepada-Nya dan mengikuti aturan-Nya.
Untuk meyakinkan manusia agar tidak pernah berputus asa istighfar kepada Allah swt, Nabi saw menjelaskan dalam sebuah hadits qudsi:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ r فِيمَا يَحْكِى عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا فَقَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَذْنَبَ عَبْدِى ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ. ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ أَىْ رَبِّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَبْدِى أَذْنَبَ ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ. ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ أَىْ رَبِّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَذْنَبَ عَبْدِى ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw tentang riwayat dari Rabbnya, Dia berfirman: “Seorang hamba berbuat satu dosa, lalu ia berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku.’ Firman-Nya: ‘Hambaku telah berbuat satu dosa tapi ia sadar memiliki Rabb yang akan menghapuskan dosanya.’ Kemudian hamba itu kembali berbuat dosa lagi, lalu ia berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku.’ Firman-Nya: ‘Hambaku telah berbuat satu dosa tapi ia sadar memiliki Rabb yang akan menghapuskan dosanya.’ Kemudian hamba itu kembali berbuat dosa lagi, lalu ia berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku.’ Firman-Nya: ‘Hambaku telah berbuat satu dosa tapi ia sadar memiliki Rabb yang akan menghapuskan dosanya. Beramallah semaumu, karena sungguh Aku mengampunimu.’ (Shahih Muslim kitab at-taubah bab qabulit-taubah minadz-dzunub wa in takarraratit-taubah wadz-dzunub no. 7162)
Hadits ini tidak betentangan dengan firman Allah swt dalam QS. Ali ‘Imran [3] : 135: Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Karena sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits hasan, selama seseorang mengakhirinya selalu dengan istighfar, maka peluang rahmat selalu terbuka: Tidak termasuk ishrar (meneruskan perbuatan dosa/keji) orang yang beristighfar, walaupun ia mengulangi dosanya dalam satu hari sebanyak 70 kali. (Dikutip dari Tafsir Ibn Katsir QS. Ali ‘Imran [3] : 135)
Walaupun demikian, rahmat dan maghfirah Allah swt ini akan tertutup dan tidak berlaku lagi bagi seseorang yang: (1) binasa oleh adzab Allah, yang sebagaimana dijelaskan QS. Al-An’am [6] : 65 bisa berupa bencana; (2) seseorang yang sekarat [Sunan at-Tirmidzi kitab ad-da'awat bab fadllit-taubah wal-istighfar no. 3537]; dan (3) seseorang yang mengalami hari H kiamat [Shahih Muslim kitab al-iman bab bayaniz-zaman la yuqbalu fihil-iman no. 413]. Orang yang ketika mengalami ketiga hal ini sedang tidak mengejar rahmat-Nya pasti menjadi orang yang su`ul-khatimah.
Walaupun demikian agar muncul kehati-hatian, sebagaimana sudah menjadi metode pengajaran al-Qur`an kepada manusia, selain adanya sikap optimis (raja`), seorang muslim juga dituntut untuk mempunyai sikap waspada dan takut (khauf/wajilah). Agar ia menjadi stabil dalam beramal, mampu saddidu wa qaribu. Tidak terbuai dengan luasnya rahmat Allah swt, tapi juga tidak berputus asa dengan siksa-Nya. Sebagaimana diajarkan oleh Ibn Syihab az-Zuhri berikut ini:
أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ قَالَ قَالَ لِىَ الزُّهْرِىُّ أَلاَ أُحَدِّثُكَ بِحَدِيثَيْنِ عَجِيبَيْنِ قَالَ الزُّهْرِىُّ أَخْبَرَنِى حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ r قَالَ أَسْرَفَ رَجُلٌ عَلَى نَفْسِهِ فَلَمَّا حَضَرَهُ الْمَوْتُ أَوْصَى بَنِيهِ فَقَالَ إِذَا أَنَا مُتُّ فَأَحْرِقُونِى ثُمَّ اسْحَقُونِى ثُمَّ اذْرُونِى فِى الرِّيحِ فِى الْبَحْرِ فَوَاللَّهِ لَئِنْ قَدَرَ عَلَىَّ رَبِّى لَيُعَذِّبُنِى عَذَابًا مَا عَذَّبَهُ بِهِ أَحَدًا. قَالَ فَفَعَلُوا ذَلِكَ بِهِ فَقَالَ لِلأَرْضِ أَدِّى مَا أَخَذْتِ. فَإِذَا هُوَ قَائِمٌ فَقَالَ لَهُ مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ فَقَالَ خَشْيَتُكَ يَا رَبِّ – أَوْ قَالَ – مَخَافَتُكَ. فَغَفَرَ لَهُ بِذَلِكَ. قَالَ الزُّهْرِىُّ وَحَدَّثَنِى حُمَيْدٌ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ r قَالَ دَخَلَتِ امْرَأَةٌ النَّارَ فِى هِرَّةٍ رَبَطَتْهَا فَلاَ هِىَ أَطْعَمَتْهَا وَلاَ هِىَ أَرْسَلَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الأَرْضِ حَتَّى مَاتَتْ هَزْلاً. قَالَ الزُّهْرِىُّ ذَلِكَ لِئَلاَّ يَتَّكِلَ رَجُلٌ وَلاَ يَيْأَسَ رَجُلٌ.
Telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dia berkata; Az Zuhri berkata kepadaku; maukah kamu aku ceritakan dua hadits yang menakjubkan? Az Zuhri berkata; telah mengabarkan kepadaku Humaid bin ‘Abdurrahman dari Abu Hurairah dari Nabi saw beliau bersabda: “Seorang laki-laki telah melampui batas atas dirinya. Tatkala dia hendak meninggal, dia berwasiat pada anaknya seraya berkata; ‘Apabila aku mati, maka bakarlah aku lalu buanglah aku ke udara, dan buanglah sebagiannya di laut. Demi Allah, jika Rabbku berkehendak, pasti Dia akan menyiksaku dengan suatu siksaan yang tidak pernah ditimpakan kepada seorang pun.’ Lalu mereka melakukan wasiat tersebut. Kemudian Allah berfirman kepada bumi: “Tunaikan apa yang telah kamu ambil, lalu dia pun berdiri. Setelah itu Allah bertanya kepada orang tersebut: kenapa kamu melakukan hal tersebut? Dia menjawab, karena takut kepada-Mu wahai Rabbku. Karena hal itu maka Allah pun mengampuninya.” Az Zuhri berkata; dan telah menceritakan kepadaku Humaid dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw dia berkata: “Seorang wanita masuk neraka karena seekor kucing yang diikatnya hingga akhirnya mati. Dia tidak memberinya makan, dan tidak pula membiarkannya lepas hingga mencari makan dari serangga-serangga bumi.” Az Zuhri berkata: Hal itu supaya seseorang tidak berdiam diri tanpa beramal (pasrah), dan tidak pula berputus asa (Shahih Muslim kitab at-taubah bab fi sa’ah rahmatil-’Llah no. 7157-7158). Wal-’Ilm ‘indal-’Llah.
sumber: http://pemikiranislam.net/2010/12/mengejar-rahmat-allah-swt/