Lama saya tunggu Kompas mengulas film Jagal/The Act of Killing yang sudah mulai membuat kontroversi ini (walaupun sayangnya kontroversi berputar soal remeh-temeh apakah film ini untuk publik atau sebagai tesis). Sementara, di luar, para sejarawan, pengamat masalah sosial, pengamat budaya, seniman, dan aktivis HAM sudah mulai ramai berkomentar dan penasaran ingin segera menonton film ini. Tak juga muncul resensi di Kompas, baiklah saya putuskan menulis review film yang penting dan bagus ini di Kompasiana.
Hampir semua bertanya-tanya, bagaimana bisa menonton film ini di Indonesia, kapan akan diputar di Indonesia, di mana? Sementara pihak pembuatnya belum bisa memastikan, namun sejauh ini menyatakan bahwa pemutaran film di Indonesia niscaya diselenggarakan, lagi pula mereka telah menyatakan bahwa film ini, seperti film manapun dari seluruh dunia yang dicari peminatnya, niscaya akan tersedia di lapak DVD bajakan.
Terlalu banyak lapis cerita dalam film ini, dari sisi psikologis pembunuh, dari peran media, pengaruh Amerika Serikat, film, metoda pembuatan film, peran imajinasi, dan banyak lapis-lapis lainnya. Film ini seperti sebuah bawang raksasa, yang kalau kita kupas satu lapis, maka kita akan menemukan lapis berikutnya, lapis lain, begitu seterusnya. Saya akan bahas mengenai satu aspek saja, peran imajinasi dalam membentuk pemahaman bangsa mengenai sejarahnya, dan bagaimana kemudian bersikap dan menjalani hidup.
Film ini bercerita tentang bagaimana para pembunuh massal, bukan hanya bisa berbangga dan mengumbar sesumbar mengenai bagaimana mereka membunuh korban-korbannya dengan rincian yang mengerikan, tetapi juga bagaimana perbuatan yang digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan itu justru oleh publik, oleh siaran talk-show televisi malah dianggap sebagai sebuah perbuatan heroik. Bagaimana mungkin?
Ini semua terjadi tentunya dari keberhasilan gencarnya propaganda hitam rezim Orde Baru yang segera dimulai ketika G30S, operasi militer yang amburadul itu, berhasil ditaklukkan. Berusaha menggulingkan Soekarno yang punya pendukung kuat, dari kelompok kiri, bukan hanya komunis, dan PKI, tetapi juga banyak organisasi massa yang berafiliasi dengannya, cikal bakal rezim Orde Baru di bawah Soeharto segera melancarkan kudeta merayap dengan menghabisi–tanpa kenal rasa perikemanusiaan–ratusan ribu sampai jutaan pendukung setia Soekarno tersebut.
Untuk membuat pembunuhan massal jadi ‘mudah’, film ini mengungkapkan, yang pertama-tama dilakukan adalah bermain dengan imajinasi dan fantasi masyarakat. Komunis harus dibuat kelihatan kejam, siap membantai orang Indonesia lain yang non-komunis. Mereka harus dibuat tampak seperti haus darah. Oleh karenanya orang bersiap untuk ‘membela diri’ dengan membunuhi mereka terlebih dahulu, banyak orang beralasan, “Pada saat itu, kalau tidak membunuh, ya kita yang dibunuh.”
Banyak yang tidak mempertanyakan situasi itu. Apakah betul situasinya seperti itu? Ataukah itu gambaran di kepala mereka yang dibentuk oleh propaganda hitam media (yang pada saat itu sepenuhnya dikontrol oleh Angkatan Darat)? Orang termakan hasutan dengan mudahnya. Dan beberapa minggu sesudah G30S yang menegangkan (tapi tanpa kerusuhan dan kekerasan) dipecah oleh dibantainya orang-orang yang dituduh terlibat G30S. Mereka dibunuh, dan mayatnya entah dibuang ke sungai, dikubur dalam lubang kuburan massal tanpa nisan.
Begitu banyak korbannya, sehingga sukar dikira jumlah persisnya. Kebanyakan peneliti bersepakat di seputar angka 500.000 jiwa yang dibunuh; sementara itu angka paling tinggi, dibanggakan oleh pelaku dan pengorganisasi pembantaian itu mencapai 3 juta orang lebih–lebih banyak dari korban perang Vietnam. Sedemikian buruknya pembantaian ini, sejarawan menyebut pembantaian 1965-66 di Indonesia adalah pembunuhan massal terburuk di paruh kedua abad ke-20.
Dari pembantaian inilah para pelakunya kemudian membangun kekuasaannya dengan juga mempermainkan imajinasi rakyat secara umum. Pertama, yang didengungkan dan digaungkan selalu adalah korban di pihak mereka. Misalnya, jatuhnya korban 7 perwira tinggi di Jakarta akibat operasi G30S. Hampir di semua kota di Indonesia, nama mereka menjadi nama jalan. Setiap tahun diadakan upacara untuk menggaungkan peristiwa tersebut. Monumen didirikan di Lubang Buaya. Sebuah museum yang menggambarkan kekejaman penyiksaan para perwira tersebut dibangun di sebelahnya (sekalipun hasil pemeriksaan forensik dokter justru berkebalikan dan menyatakan bahwa tidak terjadi penyiksaan pada semua perwira yang dibunuh tersebut).
Kita tahu bahwa pembunuhan tujuh perwira tersebut tragis dan tidak patut, namun demikian, pertanyaannya, jika untuk kematian 7 orang tersebut dibuatkan museum dan monumen sebesar itu, serta diperingati setiap tahunnya, bagaimana dengan kematian dan pembunuhan yang menimpa ratusan ribu sampai jutaan orang yang dikait-kaitkan sebagai pembalasan atas kematian 7 orang tersebut? Seberapa besar monumen yang harus dibangun, jika perbandingan skalanya adalah 7:500.000? Lalu jika kematian yang 7 itu diperingati setiap tahun, seberapa sering selayaknya kita peringati kematian yang 500.000 itu?
Nyatanya, di sini imajinasi kembali berperan. Dalam imajinasi masyarakat Indonesia, kematian yang 500.000 itu tidak pernah ada. Itu sebabnya, rezim Orde Baru diterima keabsahannya mentah-mentah selama lebih dari 3 dasawarsa, bahkan sampai hari ini, masih ada yang mau mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional. Orang yang paling bertanggung jawab atas terjadinya pembunuhan massal terburuk di paruh kedua abad ke 20 ini?
Sebuah laporan jurnalistik mengatakan bahwa separo mahasiswa tidak pernah mengetahui bahwa di Indonesia pernah ada pembantaian massal yang menghabiskan nyawa ratusan ribu manusia pada 1965-1966. Ini juga keberhasilan propaganda rezim Orde Baru menghipnotis rakyatnya. Sebagai misal, pembunuhan perwira tinggi dan operasi G30S masuk dalam pelajaran sejarah dari SD sampai SMA, berulang-ulang, dan tak kurang di belakang nama operasi Gerakan 30 September (nama yang disebut oleh para organisatornya) ditambahi oleh sejarawan resmi Orde Baru dengan “/PKI” bagai vonis yang telak–walau tak pernah dibuktikan–bahwa seluruh anggota PKI, siapapun, di manapun, yang kurang lebih 3 juta jumlahnya, bersalah dan terlibat dalam sebuah operasi militer yang dirahasiakan dengan ketat. Buku teks sejarah yang tidak mencantumkan “/PKI” dibakar oleh pihak kejaksaan. Kita tahu bahwa ada beberapa pimpinan PKI yang terlibat dalam operasi G30S ini, tetapi menimpakan kesalahan pada semua anggota partai dan organisasi lain yang berafiliasi dengannya bukan hanya tidak masuk akal, tetapi juga merupakan pelanggaran prinsip keadilan yang fatal.
Daya kritis (berpangkal pada imajinasi) jutaan murid dipangkas dengan pelajaran ini. Tidak boleh dipertanyakan, bagaimana mungkin intelijen militer/aparat negara tidak mengetahui atau mengendus adanya rencana penculikan perwira tinggi pada dini hari 1 Oktober 1965, sementara ada 3 juta orang lainnya bukan hanya tahu, tetapi terlibat di dalam operasi tersebut. Ini tidak masuk akal. Kalau memang 3 juta orang ini tidak tahu dan tidak terlibat, mengapa mereka semua dipukul rata dianggap bersalah, lalu kenapa yang bukan PKI, tapi misalnya organisasi yang berafiliasi atau mendukung PKI, seperti Pemuda Rakyat, Lembaga Kebudayaan Rakyat, Serikat-Serikat Buruh, anggotanya juga ditangkapi, dibunuhi? Dan kenapa semuanya dilakukan tanpa pemeriksaan dan pengadilan yang memadai? Bagaimana ratusan ribu sampai jutaan bisa dibunuh, yang lainnya disiksa, dipenjara, dibuang, dirusak dan dirampas harta bendanya, tidak sedikit yang diperkosa, dan selama berpuluh tahun kemudian dicabut hak-hak sipilnya, didiskriminasi, dan diperhinakan? Bagaimana ini semua diorganisasi? Apa peran negara di dalamnya? Atau bagaimana sikap dan tindakan aparat dalam hal ini? Apakah mereka ikut melakukan pelanggaran HAM berat ini (by commission) atau mereka membiarkan pelanggaran itu terjadi (by omission). Menarik mencermati laporan Komnas HAM mengenai Pelanggaran HAM yang Berat 1965-1966, di situ bisa kita baca betapa negara ikut terlibat dalam 9 dari 10 jenis kejahatan terhadap kemanusiaan.
Film “Pengkhianatan G30S/PKI” ikut memperkuat citra kejam dan kejinya komunis. Film ini selama 4 jam habis-habisan menceritakan tentang bagaimana (dalam rekonstruksi sejarawan resmi Orde Baru) terjadinya pembunuhan 7 perwira tinggi AD itu, tetapi segera berhenti dan layar ditutup dengan pemakaman para perwira tersebut. Sudah.
Bahwa ada pembunuhan dan penindasan terhadap jutaan orang beberapa minggu sesudahnya, dan berlangsung selama bertahun-tahun, tak satu frame pun termuat dalam film itu. Bahwa ada rezim yang dibangun di atas tumpukan mayat orang tak bersalah yang tersebar di berbagai kuburan massal tanpa nisan di seluruh Indonesia itu tak jadi film wajib yang harus ditonton semua pemirsa TV, anak sekolah di bioskop, selama bertahun-tahun.
Tidak heran kalau orang Indonesia lantas jadi tidak peka terhadap impunitas dan kekerasan yang melingkupi, dan terjadi di sekitarnya. Mereka terperangkap, karena imajinasi mereka menyetujui, bahwa ada kekerasan (pembunuhan, pembantaian) yang perlu dilakukan–demi kebaikan atau tujuan yang lebih besar. Yang perlu kita ketahui kejahatan yang diperlukan (necessary evil itu) seringkali, hampir setiap kali, sebetulnya hanyalah kejahatan, yang digembar-gemborkan, dipropagandakan sebagai “diperlukan/necessary.” Daya tangkal kita sebetulnya adalah kemampuan berimajinasi dan berpikir kritis. Sayangnya, amarah, provokasi, dan kebuntuan hati sering menumpulkan dan memangkas pikiran kritis. Manusia jadi gampang dihasut, lalu dihibur dengan berbagai propaganda yang menjustifikasi bahwa pembunuhan tersebut terpaksa, membela diri, demi ini dan demi itu.
Nah, kembali lagi ke film The Act of Killing/Jagal, kita dibawa ke alam fantasi para pembunuh itu. Bukan hanya bagaimana, serta fantasi apa yang mereka bangun dan sediakan untuk orang Indonesia, tetapi juga bagaimana fantasi/imajinasi seseorang berperan dalam perbuatan pembunuhan (act of killing) itu sendiri. Bagaimana film mengilhami seseorang untuk menggunakan tekniknya, bagaimana seseorang membayangkan dirinya sebagai bintang film yang berperan ketika membunuh orang lain supaya pembunuhan jadi lebih mudah dilakukan.
Film ini begitu menyentak. Mencubit penonton dengan sangat keras, apalagi orang Indonesia, untuk membangunkan kita dari mimpi buruk yang masih terus kita jalani begitu lamanya sehingga kita terbiasa dan menganggapnya sebagai realita. Menonton film ini membuat kita terjaga, membuat kita sadar bahwa realitas yang kita lihat sehari-hari sepenuhnya telah terbungkus oleh hiasan manis untuk menutupi borok-borok sejarah yang terbuka menganga penuh nanah dan belatung.
Kita perlu segera menyembuhkan luka itu. Cara terbaik adalah dengan pertama-tama, membongkar bungkus hiasan manis, fantasi yang disediakan oleh rezim Orde Baru itu. Kita harus lepas dulu dari propaganda itu. Kita harus bangun dari mimpi buruk ini. Tidak mungkin bangsa atau pemimpin bangsa ini memulai rekonsiliasi atau meminta maaf secara resmi dalam tidur, belum menyadari apalagi mengakui apa borok yang tersimpan dalam sejarah itu. Permintaan maaf yang disampaikan ketika bermimpi itu tidak ada bedanya dengan ngelindur. Tidak akan digubris, membawa perubahan berarti, apalagi diucapkan sambil lalu dalam pidato yang juga membahas keberhasilan pembangunan dan stabilnya harga beras.
Kalau kita termasuk yang sulit bangun, atau memang lebih menyukai tidur, saran saya: tonton film ini. Lalu mulailah berbagi cerita.
Karena perubahan, dimulai ketika orang berbagi cerita.
——————-
Facebook page untuk film Jagal/The Act of Killing
artikel by: http://hiburan.kompasiana.com/film/2012/09/28/jagalthe-act-of-killing-film-wajib-tonton-bagi-orang-indonesia-497378.html
10.38 | 0
komentar | Read More