Islam mengajarkan kita agar hidup
sederhana. Dengan hidup sederhana, kita selalu akan merasa cukup,
bahagia, dan bersyukur kepada Allah. Sebaliknya Allah melarang kita
untuk hidup mewah dan boros.
”Bermegah-megahan telah melalaikan kamu” [At Takatsuur:1]
”Dan berikanlah kepada
keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang
yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu)
secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” [Al Israa’:26-27]
Allah
menyebut orang-orang yang mewah sebagai lalai dan masuk neraka. Allah
menyebut orang-orang yang boros dan menghamburkan harta untuk
kepentingan pribadi secara berlebihan sebagai “SAUDARA SETAN”. Mengapa?
Ini karena orang yang boros biasanya akan berlaku zalim. Meski
pendapatan besar, karena boros, dia akan selalu merasa kurang. Dia akan
mencuri, merampok, korupsi dan sebagainya untuk membiayai gaya hidupnya
yang boros itu.
Tak heran jika ada satu pejabat yang
lembaganya dikenal sebagai satu lembaga terkorup berkata: “Siapa sih
yang gajinya cukup untuk hidup?” Begitu katanya. Padahal selain punya
rumah dan mobil mewah, pejabat itu juga punya sepeda motor Harley
Davidson yang amat mahal.
Sebaliknya, seorang poisi yang jujur, pak
Bibit berkata: “Besar kecil gaji itu relatif. Kalau kita makan di
restoran hotel, seminggu juga sudah habis. Tapi kalau sekedar makan nasi
kecap dengan lauk tempe, 2 bulan juga masih cukup”. Jadi hiduplah
sederhana. Belajar bersikap Zuhud (tidak tamak pada dunia) dan Qana’ah
(merasa cukup atas apa yang ada).
Inilah kesederhanaan Nabi. Jika mau,
beliau bisa hidup mewah seperti Kaisar Romawi dan Kisra Persia. Tapi
beliau tidak mau melakukan itu. Sebagian besar hartanya diberikan untuk
ummatnya. Ulama sbg Pewaris Nabi harusnya mewarisi sikap Nabi seperti
ini:
Dari Abu Musaal-Asy’ari r.a., katanya:
“Aisyah ra mengeluarkan untuk kita -maksudnya agar kita dapat
melihatnya- sebuah baju dan sarung kasar, lalu ia berkata: “Rasulullah
s.a.w. dicabut ruhnya sewaktu mengenakan kedua pakaian ini.” (Muttafaq
‘alaih)
Dari Abu Hurairah r.a., katanya:
“Rasulullah s.a.w. bersabda: “Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga
Muhammad ini makanan sekadar menutup kelaparan.” (Muttafaq ‘alaih)
Dari Anas r.a., katanya: “Nabi s.a.w. itu
tidak pernah makan di atas meja sehingga beliau wafat, juga tidak
pernah makan roti yang diperhaluskan buatannya sehingga beliau wafat.”
(Riwayat Bukhari)
Dari Aisyah ra, katanya: “Tidak
pernah kenyang keluarga Muhammad s.a.w. itu dari roti gandum selama dua
hari terus menerus, keadaan sedemikian ini sampai beliau s.a.w. dicabut
ruhnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Selama 2 bulan dapur keluarga Nabi Muhammad tidak “ngebul”. Cuma makan kurma dan air belaka…
Dari
Urwah dari Aisyah ra, bahwasanya Aisyah pernah berkata: “Demi Allah, hai
anak saudaraku, sesungguhnya kita melihat ke bulan sabit, kemudian
timbul pula bulan sabit, kemudian timbul pula bulan sabit. Jadi tiga
bulan sabit yang berarti dalam dua bulan lamanya, sedang di rumah-rumah
keluarga Rasulullah s.a.w. tidak pernah ada nyala api.” Saya -yakni
Urwah- berkata: “Hai bibi, maka apakah yang dapat menghidupkan Anda
sekalian?” Aisyah ra menjawab: “Dua benda hitam, yaitu kurma dan air
belaka, hanya saja Rasulullah s.a.w. mempunyai beberapa tetangga dari
kaum Anshar, mereka itu mempunyai beberapa ekor unta manihah, lalu
mereka kirimkanlah air susunya itu kepada Rasulullah s.a.w. kemudian
memberikan minuman itu kepada kita.” (Muttafaq ‘alaih)
Dari Said al-Maqburi dari Abu Hurairah
r.a. bahwasanya ia berjalan melalui kaum yang di hadapan mereka itu ada
seekor kambing yang sedang dipanggang. Mereka memanggilnya, tetapi ia
enggan untuk ikut memakannya dan ia berkata: “Rasulullah s.a.w. keluar
dari dunia -yakni wafat- dan tidak pernah kenyang dari roti gandum.”
(Riwayat Bukhari)
Dari an-Nu’man bin Basyir ra,
katanya: “Sungguh-sungguh saya pernah melihat Nabimu s.a.w. dan beliau
tidak mendapatkan kurma bermutu rendahpun yang dapat digunakan untuk
mengisi perutnya.” (Riwayat Muslim) Daqal adalah kurma yang bermutu
rendah.
Dari Sahal bin Sa’ad r.a., katanya:
“Rasulullah s.a.w. tidak pernah melihat roti putih sama sekali sejak
beliau di utus oleh Allah Ta’ala sehingga dicabut ruhnya oleh Allah
Ta’ala. Kepada Sahal ini ditanyakan: “Apakah di zaman Rasulullah s.a.w.
itu engkau semua tidak mempunyai alat pengayak?” Ia menjawab:
“Rasulullah s.a.w. tidak pernah melihat alat pengayak itu sejak beliau
diutus oleh Allah Ta’ala sehingga dicabut ruhnya oleh Allah Ta’ala.”
Kepadanya ditanyakan lagi: “Bagaimana caranya engkau semua makan gandum
kalau tidak diayak?” Ia menjawab: “Kita semua menumbuknya dan
meniupkannya, kemudian beterbanganlah benda-benda yang dapat terbang
daripadanya itu lalu mana yang tertinggal, maka itulah yang kami basahi
untuk dijadikan adukan tepung -untuk membuat roti.” (Riwayat Bukhari)
Ucapannya Annaqi dengan fathahnya nun dan kasrahnya qaf serta syaddahnya
ya’ yaitu roti yang berwarna putih dan itulah yang disebut darmak.
Tsarrainahu dengan tsa’ mutsallatsah kemudian ra’ musyaddadah lalu ya’
mutsannat di bawahnya, lalu nun, artinya kita basahi dan kita jadikan
adukan tepung -guna membuat roti.
Dari Abu Hurairah r.a., katanya:
“Rasulullah s.a.w. pada suatu hari atau suatu malam keluar, kemudian
tiba-tiba bertemu dengan Abu Bakar dan Umar ra, lalu beliau bertanya:
“Apakah yang menyebabkan engkau berdua keluar ini?” Keduanya menjawab:
“Karena lapar ya Rasulullah.” Beliau lalu bersabda: “Adapun saya, demi
Zat yang jiwaku ada di dalam genggaman kekuasaanNya, sesungguhnya yang
menyebabkan saya keluar ini adalah sesuatu yang juga menyebabkan engkau
berdua keluar itu -yakni sama-sama lapar-, Ayolah pergi.” Keduanya pergi
bersama beliau s.a.w., lalu mendatangi seorang lelaki dari kaum Anshar,
tiba-tiba lelaki itu tidak sedang di rumahnya. Ketika istrinya melihat
Nabi s.a.w., lalu berkata: Marhaban wa ahlan. Selamat datang di rumah
ini dan harap mendapatkan keluarga yang baik. Rasulullah s.a.w. lalu
bertanya: “Di mana Fulan -suamimu?” Istrinya menjawab: “Ia pergi mencari
air tawar untuk kita.” Tiba-tiba di saat itu orang Anshar -suaminya
itu- datang. Ia melihat kepada Rasulullah s.a.w. dan kedua orang
sahabatnya, kemudian berkata: “Alhamdulillah. Tiada seorangpun yang pada
hari ini mempunyai tamu-tamu yang lebih mulia daripada saya sendiri.
Orang itu lalu pergi kemudian datang lagi menemui tamu-tamunya itu
dengan membawa sebuah batang kurma -berlobang- berisikan kurma berwarna,
kurma kering dan kurma basah. Iapun berkata: “Silahkanlah makan.”
Selanjutnya ia mengambil pisau, lalu Rasulullah s.a.w. bersabda: “Jangan
menyembelih yang mengandung air susu.” Orang Anshar itu lalu
menyembelih untuk tamu-tamunya itu, kemudian mereka makan kambing itu,
juga kurma dari batang kurma tadi serta minum pulalah mereka. Setelah
semuanya itu kenyang dan segar -tidak kehausan- lalu Rasulullah s.a.w.
bersabda: “Demi Zat yang jiwaku ada di dalam genggaman kekuasaanNya,
sesungguhnya engkau semua akan ditanya dari kenikmatan yang engkau semua
rasakan ini pada hari kiamat. Engkau semua dikeluarkan dari rumahmu
oleh kelaparan. Kemudian engkau semua tidak kembali sehingga engkau
semua memperoleh kenikmatan ini.” (Riwayat Muslim) Ucapannya yasta’dzibu
artinya mencari air tawar dan itulah air yang bagus. Al-’izdqu dengan
kasrahnya ‘ain dan sukunnya dzal mu’jamah, yaitu batang atau dahan
-kurma dan lain-lain. Almudyatu dengan dhammahnya mim atau boleh pula
dikasrahkan, yaitu pisau. Alhalub ialah binatang yang berisikan susu
dalam teteknya. Pertanyaan mengenai kenikmatan ini adalah pertanyaan
tentang banyak jumlahnya kenikmatan, bukan pertanyaan sebagai olok-olok
dan penyiksaan. Wallahu a’lam. Adapun orang Anshar yang didatangi oleh
Rasulullah s.a.w. serta kedua orang sahabatnya itu ialah Abul Haitsam
bin at-Taihan. Demikianlah dalam sebuah Hadis yang dijelaskan menurut
riwayat Tirmidzi dan lain-lain.
Dari Sa’ad bin Abu Waqqash r.a., katanya:
“Sesungguhnya saya itu pertama-tama orang Arab yang melempar dengan
panahnya -untuk- fisabilillah. Kita semua waktu itu berperang beserta
Rasulullah s.a.w. dan kita tidak mempunyai makanan sedikitpun melainkan
daun pohon hublah dan daun pohon samurini, sehingga seorang dari kita
itu sesungguhnya mengeluarkan kotoran besar sebagaimana keadaan kambing
kalau mengeluarkan kotoran besarnya dan tidak dapat bercampur dengan
lainnya -yakni bulat-bulat serta kering, karena tidak ada yang dimakan.”
(Muttafaq ‘alaih) Alhublah dengan dhammahnya ha’ dan sukunnya ba’
muwah-hadah, juga samur adalah dua macam pohon-pohonan yang terkenal di
daerah badiah yakni tanah Arab bagian pedalaman.
Dari Abu Hurairah r.a., katanya: “Demi
Zat yang tiada Tuhan melainkan Dia, sesungguhnya bahwa saya menyandarkan
hatiku ke bumi karena kelaparan dan sesungguhnya pula bahwa saya
mengikatkan batu pada perut saya karena kelaparan. Sebenarnya saya
pernah duduk-duduk pada suatu hari di jalanan orang-orang yang sama
keluar melalui jalanan itu -untuk mencari nafkahnya masing-masing.
Kemudian Nabi s.a.w. berjalan melalui tempat saya dan beliau tersenyum
ketika melihat saya, karena mengetahui keadaan dan hal ihwal yang ada
dalam wajahku dan diriku, kemudian beliau bersabda: “Abu Hir.” Saya
menjawab: “Labbaik ya Rasulullah.” Beliau bersabda lagi: “Mari ikut,”
dan beliau terus berlalu dan saya mengikutinya. Selanjutnya beliau
masuklah di rumah keluarganya, saya mohon izin lalu beliau mengizinkan
masuk untukku. Sayapun masuklah, di situ beliau menemukan susu dalam
gelas. Beliau bertanya: “Dari manakah susu ini?” Keluarganya berkata:
“Fulan atau Fulanah itu menghadiahkan untuk Tuan.” Beliau bersabda: “Abu
Hir.” Saya menjawab: “Labbaik ya Rasulullah.” Beliau bersabda pula:
“Susullah para ahlush shuffah, lalu panggillah mereka untuk datang
padaku.” Abu Hurairah berkata: “Ahlush shuffah itu adalah merupakan
tamu-tamu Islam, karena tidak bertempat pada sesuatu keluarga, tidak
pula berharta dan tidak berkerabat pada seorangpun. Jikalau ada sedekah
-zakat- yang datang pada Nabi s.a.w. lalu sedekah -atau zakat- itu
dikirimkan semuanya oleh beliau kepada mereka itu dan beliau sendiri
tidak mengambil sedikitpun daripadanya, tetapi kalau beliau menerima
hadiah, maka dikirimkanlah kepada orang-orang itu dan beliau sendiri
mengambil sebagian daripadanya. Jadi beliau bersama-sama dengan para
ahlush shuffah itu untuk menggunakannya.” Perintah Nabi s.a.w. memanggil
ahlush shuffah itu tidak mengenakkan hati saya dan oleh sebab itu saya
berkata: “Apa hubungannya susu ini untuk diberikan -kepada- ahlush
shuffah. Saya adalah lebih berhak untuk memperoleh susu ini dengan
sekali minuman saja, agar saya dapat merasa kuat tubuhku.” Kemudian,
jikalau orang-orang itu datang, Nabi s.a.w. tentu menyuruh saya agar
saya memberikan itu kepada mereka. Barangkali tidak akan dapat sampai
padaku -yakni bahwa saya tidak memperoleh bagian- susu itu, tetapi juga
tidak ada jalan lain kecuali mentaati Allah dan mentaati RasulNya s.a.w.
Oleh karena itu mereka saya datangi dan saya panggillah semuanya.
Mereka menghadap dan meminta izin, lalu Nabi s.a.w. mengizinkan mereka
masuk, juga sama mengambil tempat duduk sendiri-sendiri dalam rumah.
Beliau lalu bersabda: “Abu Hir.” Saya menjawab: “Labbaik ya Rasulullah.”
Beliau bersabda lagi: “Ambillah susu itu dan berikanlah kepada mereka.”
Abu Hurairah berkata: “Saya lalu mengambil gelas, kemudian saya berikan
pada seorang dulu. Ia minum sampai kenyang minumnya lalu gelas
dikembalikan. Seterusnya saya berikan kepada yang lain, ia pun minumlah
sampai kenyang pula minumnya, lalu dikembalikanlah gelasnya, sehingga
akhirnya sampai giliran saya memberikan itu kepada Nabi s.a.w., sedang
orang-orang ahlush shuffah itu sudah puas minum semuanya. Beliau s.a.w.
mengambil gelas lalu diletakkan di tangannya, kemudian beliau melihat
saya dan tersenyum, kemudian bersabda: “Abu Hir.” Saya menjawab:
“Labbaik ya Rasulullah.” Beliau bersabda pula: “Sekarang tinggallah saya
dan engkau -yang belum minum.” Saya menjawab: “Benar Tuan, ya
Rasulullah.” Beliau bersabda: “Duduklah dan minumlah.” Saya pun duduklah
lalu saya minum. Beliau bersabda lagi: “Minumlah lagi.” Sayapun
minumlah. Beliau tidak henti-hentinya bersabda: “Minumlah lagi,”
sehingga saya berkata: “Tidak, demi Allah yang mengutus Tuan dengan
benar, saya sudah tidak mendapatkan jalan lagi untuk minum itu -artinya
sudah amat kenyang minumnya itu. Setelah itu beliau bersabda: “Kalau
begitu, berikanlah saya gelas itu.” Gelaspun saya berikan, kemudian
beliau memuji kepada Allah Ta’ala dan membaca bismillah di permulaan
minumnya lalu beliau minumlah sisanya itu.” (Riwayat Bukhari)
Dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah
r.a., katanya: “Sesungguhnya saya pernah mengalami diriku bahwa saya
jatuh tersungkur antara mimbarnya Rasulullah s.a.w. dengan biliknya
Aisyah ra sampai tidak sadarkan diri. Kemudian datanglah padaku seorang
yang datang, lalu ia meletakkan kakinya di atas leher saya dan ia
menyangka bahwa sesungguhnya saya adalah orang gila, padahal saya
tidaklah kejangkitan penyakit gila, tetapi jatuh saya tadi hanyalah
karena kelaparan.” (Riwayat Bukhari)
Dari Aisyah ra, katanya: “Rasulullah
s.a.w. wafat sedang baju besinya sedang digadaikan pada seorang Yahudi
dengan nilai tiga puluh sha’ -gantang- dari gandum.” (Muttafaq ‘alaih)
Dari Anas r.a., katanya: “Nabi s.a.w.
menggadaikan baju besinya dengan gandum dan saya berjalan ke tempat Nabi
s.a.w. dengan membawa roti gandum dan lemak cair yang sudah berubah
keadaannya. Sungguh-sungguh saya mendengar beliau s.a.w. bersabda:
“Tiada sesuatupun pada pagi-pagi ini melainkan hanya segantang untuk
para keluarga Muhammad dan tidak ada untuk sore harinya nanti kecuali
segantang pula.” Padahal seluruh keluarganya itu adalah sembilan rumah.”
(Riwayat Bukhari)
Dari Aisyah ra, katanya: “Hamparan Rasulullah s.a.w. itu terbuat dari kulit dan isinya adalah sabut.” (Riwayat Bukhari)
Dari Imran bin al-Hushain ra dari Nabi
s.a.w., sabdanya: “Sebaik-baik engkau sekalian adalah orang-orang yang
sekurun -semasa- denganku, kemudian yang mengikutinya -yang datang
sesudahnya- kemudian orang-orang yang mengikutnya.” Imran berkata: “Saya
tidak tahu, adakah Nabi s.a.w. mengucapkannya itu dua atau tiga kali.”
Nabi s.a.w. selanjutnya menyabdakan: “Kemudian akan datanglah sesudah
mereka itu sesuatu kaum yang menjadi saksi, tetapi tidak dapat dipercaya
kesaksiannya. Mereka juga berkhianat dan tidak dapat dipercaya
amanatnya, demikian pula mereka bernazar, tetapi tidak suka memenuhi
nazarnya dan tampaklah kegemukan dalam tubuh mereka. -yakni gemuk yang
disebabkan karena terlampau banyak makan, minum dan bersenang-senang dan
bukan gemuk karena kejadiannya memang gemuk.” (Muttafaq ‘alaih)
Dari Abu Umamah r.a., katanya:
“Rasulullah s.a.w. bersabda: “Hai anak Adam, sesungguhnya jikalau engkau
memberikan apa-apa yang kelebihan padamu, sebenarnya hal itu adalah
lebih baik untukmu dan jikalau engkau tahan -tidak engkau berikan kepada
siapapun, maka hal itu adalah menjadikan keburukan untukmu. Engkau
tidak akan tercela karena adanya kecukupan -maksudnya menurut syariat
engkau tidak akan dianggap salah, jikalau kehidupanmu itu dalam keadaan
yang cukup dan tidak berlebih-lebihan. Lagi pula mulailah -dalam
membelanjakan nafkah- kepada orang yang wajib engkau nafkahi.”
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis
hasan shahih.
Dari Ubaidullah bin Mihshan al-Anshari
al-Khathmi r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa
diantara engkau semua telah merasa aman -dari musuhnya- dalam dirinya,
sehat dalam tubuhnya, memiliki keperluan hidup -makan, minum, obat dan
apa-apa yang dibutuhkan dalam kehidupannya- pada hari itu, maka ia telah
dikaruniai dunia dengan keseluruhan isinya.” Diriwayatkan oleh Imam
Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan.
Dari Abdullah bin ‘Amr bin
al-’Ash ra bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sungguh berbahagialah
orang yang masuk Agama Islam serta diberi rezeki cukup dan diberi sifat
qana’ah -suka menerima- dengan apa-apa yang telah dikaruniakan oleh
Allah.” (Riwayat Muslim)
Dari Abu Muhammad yaitu Fadhalah
bin Ubaid al-Anshari r.a. bahwasanya ia mendengar Rasulullah s.a.w.
bersabda: “Untung besarlah kehidupan seorang yang telah dikarunia
petunjuk untuk memasuki Agama Islam, sedang hidupnya itu adalah dalam
keadaan cukup dan pula ia bersifat qana’ah -suka menerima.” Diriwayatkan
oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan
shahih.
Dari Ibnu Abbas ra, katanya: “Rasulullah
s.a.w. dalam beberapa malam yang berturut-turut itu bermalam dalam
keadaan terlipat -maksudnya terlipat perutnya karena lapar, sedang para
keluarganya tidak mendapatkan sesuatu untuk makan malam, juga sebagian
banyak roti yang dimakan itu adalah roti terbuat dari gandum.”
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis
hasan shahih.
Dari Abu Karimah, yaitu al-Miqdad bin
Ma’dikariba r.a., katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Tidaklah seorang memenuhi sesuatu wadah yang lebih buruk daripada
perutnya. Cukuplah sebenarnya seorang itu makan beberapa suapan yang
dapat mendirikan -menguatkan- tulang rusuknya. Maka jikalau makanan itu
harus diisikannya, maka sepertiga hendaklah untuk makanannya dan
sepertiga untuk minumannya dan sepertiga lagi untuk pernafasannya.”
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah
hadits hasan shahih.
Dari Abu Umamah, yaitu Iyas bin Tsa’laba
al-Anshari al-Harits r.a., katanya: “Para sahabat Rasulullah s.a.w. pada
suatu hari menyebut-nyebutkan di sisi beliau itu tentang hal dunia
-yakni perihal kesenangan, kekayaan dan lain-lain. Kemudian Rasulullah
s.a.w. bersabda: “Tidakkah engkau semua mendengar, tidakkah engkau semua
mendengar bahwa badzadzah itu termasuk keimanan, bahwa badzadzah itu
termasuk keimanan.” Yakni taqahhul. (Riwayat Abu Dawud) Albadzadzah
dengan ba’ muwahhadah dan dua dzal yang mu’jamah artinya ialah keadaan
yang serba kusut dan meninggalkan pakaian yang indah-indah. Adapun
taqahhul, dengan qaf dan ha’ maka para ahli Lughat mengatakan bahwa
orang yang bertaqahhul ialah orang yang kering kulitnya karena keadaan
hidupnya yang serba kasar dan meninggalkan kemewahan dalam segala hal.
Dari Abu Abdillah bin Jabir bin Abdullah
ra, katanya: “Kita dikirimkan oleh Rasulullah s.a.w. -ke medan
peperangan- dan mengangkat Abu Ubaidah r.a. sebagai amir -panglima-
untuk memimpin kita, guna menemui kafilah orang-orang Quraisy. Kita
semua membawa bekal sebuah tempat berisi kurma dan kita tidak menemukan
selain itu. Abu Ubaidah memberikan kita sekurma demi sekurma. Kepada
kita ditanyakan -oleh orang lain: “Bagaimanakah engkau semua berbuat
dengan sebiji kurma itu.” Jawabnya: “Kita mengisapnya sebagaimana
seorang anak bayi mengisap tetek. Kemudian kita minum air setelah itu.
Keadaan sedemikian ini mencukupi kita untuk sehari itu sampai malam.
Kita juga memukul daun-daunan dengan tongkat-tongkat kita, lalu kita
basahi dengan air, kemudian kita makanlah itu. Seterusnya kita berangkat
ke pantai laut, lalu tampaklah di atas kita di pantai laut tadi,
seolah-olah seperti tumpukan pasir yang besar, lalu kitapun
mendatanginya. Tiba-tiba yang tampak itu adalah seekor binatang yang
dinamakan ikan lodan -hiu. Abu Ubaidah lalu berkata: “Bangkai,” kemudian
ia berkata lagi: “Oh tidak -maksud-nya tidak haram diambil dagingnya
untuk dimakan-. Bahkan kita ini adalah utusan-utusan dari Rasulullah
s.a.w. dan dalam berjuang fisabilillah. Engkau semua adalah dalam
keadaan terpaksa. Maka dari itu makanlah olehmu semua.” Kita semua
berdiam -sambil makan ikan tersebut- dalam waktu sebulan lamanya dan
jumlah kita seluruhnya adalah tiga ratus orang, sehingga kita semuapun
menjadi gemuklah. Sesungguhnya saya melihat bahwa kita semua menciduk
dari lobang matanya itu dengan beberapa gayung akan minyaknya dan kita
memotong daripadanya itu beberapa potongan daging sebesar lembu atau
kira-kira selembu-selembu besarnya. Sungguh-sungguh Abu Ubaidah menyuruh
seorang dari kita sebanyak tiga belas orang, diperintah olehnya supaya
duduk dalam lobang matanya dan supaya mengambil tulang rusuknya, lalu
ditegakkan dan dimuatkan pada unta yang terbesar yang ada beserta kita.
Ia berjalan di bawahnya. Kita juga mengambil bekal dari dagingnya yang
telah dikeringkan -dijadikan dendeng. Setelah kita semua datang di
Madinah, kita mendatangi Rasulullah s.a.w., lalu kita ceritakanlah hal
itu kepada beliau, lalu beliau bersabda: “Itu adalah rezeki yang
dikeluarkan oleh Allah untukmu semua. Adakah engkau semua membawa
sedikit dagingnya, supaya dapat memberikan sedekahnya untuk makanan
kita?” Kita semua mengirimkan kepada Rasulullah s.a.w. sebagian
dagingnya itu, kemudian beliau s.a.w. memakannya.” (Riwayat Muslim)
Aljirab ialah wadah dari kulit yang sudah dapat dimaklumi. Lafaz ini
dibaca dengan kasrahnya jim atau boleh pula dengan fathahnya, tetapi
dengan kasrah adalah lebih fashih. Namashshuha dengan fathahnya mim.
Alkhabath ialah daun-daunan dari pohon yang dikenal dan dimakan oleh
unta. Alkatsib ialah timbunan dari pasir. Alwaqbu dengan fathahnya wawu
dan saknahnya qaf dan sesudahnya itu ialah ba’ muwahhadah, ialah lobang
mata. Alqilal ialah gayung. Aifidar dengan kasrahnya fa’ dan fathahnya
dal yaitu beberapa potong. Rahala ba’ira yaitu memberikan beban pada
unta. Alwasyaiq dengan syin mu’jamah dan qaf ialah daging yang
dipotong-potong untuk dikeringkan. Wallahu a’lam.
Dari Asma’ binti Yazid ra, katanya:
“Ujung lengan baju gamisnya Rasulullah s.a.w. itu adalah sampai di
pergelangan tangan.” Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan
bahwa ini adalah hadits hasan shahih.
Dari Jabir r.a., katanya: “Sesungguhnya
kita semua pada hari khandak -menggali tanah untuk perlindungan diri
sebelum timbulnya peperangan dan peperangan di waktu itu disebut perang
khandak, artinya parit-, kita semua menggali. Kemudian pada penggalian
itu terhalang oleh adanya gumpaian tanah yang keras. Para sahabat
sama-sama mendatangi Nabi s.a.w., lalu berkata: “Tanah keras ini
menghalang-halangi untuk kelanjutan penggalian parit.” Beliau s.a.w.
lalu bersabda: “Saya akan turun.” Selanjutnya beliau s.a.w. terus
berdiri, sedang perut beliau itu diikat di situ dengan sebuah batu
-karena kelaparan. Kita semua memang sudah selama tiga hari itu tidak
merasakan rasa makanan apapun. Nabi s.a.w. lalu mengambil cangkul, terus
memukulnya, maka kembalilah tanah keras itu bagaikan tumpukan pasir
yang hancur lebur. Kemudian saya berkata: “Ya Rasulullah, berilah saya
izin untuk pulang ke rumah.” Seterusnya saya lalu berkata kepada
istriku: “Saya telah melihat sesuatu dalam diri Nabi s.a.w. -yakni
pengganjalan perut dengan batu itu- yang tidak dapat disabarkan lagi.
Maka adakah engkau mempunyai sesuatu -yang dapat dimakan?” Istrinya
menjawab: “Saya mempunyai gandum dan kambing perempuan. Kambing itu lalu
saya sembelih, sedang istriku menumbuk gandum, sehingga dagingnya itu
kita letakkan dalam periuk. Kemudian saya mendatangi Nabi s.a.w.,
sedangkan adukan makanan itu telah pecah -yakni sudah lumat dan halus-
dan kuali yang ada diantara batu-batu itu telah hampir masak isinya.
Saya berkata kepada beliau s.a.w.: “Saya mempunyai sedikit makanan ya
Rasulullah, maka dari itu silakan Tuan berdiri -yakni pergi ke tempat
saya- bersama seorang atau dua orang saja. Beliau bertanya: “Berapa
banyaknya itu?” Saya menyebutkan sebagaimana adanya -yakni kambing
dengan gandum yang cukup untuk beberapa orang saja. Beliau s.a.w. lalu
bersabda: “Banyak itu dan enak sekali, katakanlah kepada istrimu,
janganlah diangkat dulu periuknya, juga jangan pula diambil roti itu
dari dapur, sehingga saya datang nanti.” Seterusnya beliau s.a.w.
bersabda: “Berdirilah engkau semua,” maka berdirilah semua kaum
Muhajirin dan Anshar -yang ikut membuat parit-. Saya masuk kepada
istriku lalu saya berkata: “Celaka ini. Nabi s.a.w. datang dengan semua
kaum Muhajirin dan Anshar, jadi semua yang menyertainya.” Istrinya
berkata: “Adakah beliau menanyakan banyaknya makanan?” Saya berkata:
“Ya.” Seterusnya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Masuklah engkau sekalian
dan jangan berjejal-jejalan.” Beliau s.a.w. mulai memotong roti dan
diberikanlah pula di situ dagingnya dan selalu menutupi periuk dan dapur
itu apabila beliau mengambil daripadanya dan mendekatkan kepada
sahabat-sahabatnya itu, kemudian ditariklah kualinya itu -sesudah
diambilkan isinya. Tidak henti-hentinya beliau s.a.w. memotong roti itu
dan menciduk kuah sehingga sekalian sahabatnya itu kenyang semua dan
masih ada pula sisanya dalam kuali. Kemudian beliau s.a.w. bersabda:
“Makanlah ini dan berikanlah hadiah -kepada orang-orang lain seperti
tetangga, sebab sesungguhnya para manusia itu terkena bencana
kelaparan-. (Muttafaq ‘alaih)
Dari Anas r.a., katanya: “Abu Thalhah
berkata kepada Ummu Sulaim: “Saya mendengar suara Rasulullah s.a.w. itu
lemah sekali dan saya mengetahui bahwa beliau adalah dalam keadaan
lapar. Maka dari itu, apakah engkau tidak mempunyai sesuatu untuk
dimakan?” Ummu Sulaim lalu mengeluarkan beberapa bulatan dari gandum,
kemudian ia mengambil kerudungnya, kemudian ia melipatkan roti dengan
sebagian kerudung tadi, lalu memasukkannya di bawah bajuku dan
mengembalikannya padaku dengan sebagian lagi -maksudnya bahwa Ummu
Sulaim itu melipat roti dengan sebagian kerudung dan dengan sebagiannya
lagi dilipatkan untuk Anas-. Seterusnya Ummu Sulaim menyuruh saya -Anas-
untuk menemui Rasulullah s.a.w., lalu saya pergi dan saya menemui
Rasulullah s.a.w. sedang duduk di dalam masjid disertai oleh orang-orang
banyak. Seterusnya lalu saya berdiri di muka orang-orang itu, kemudian
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Adakah engkau diutus oleh Abu Thalhah.”
Saya menjawab: “Ya.” Beliau bersabda lagi: “Apakah untuk sesuatu
makanan?” Saya menjawab: “Ya.” Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda
kepada sahabat-sahabatnya yang ada di masjid: “Berdirilah engkau semua
dan berangkatlah.” Saya juga berangkat mengikuti mereka itu, sehingga
datanglah saya kepada Abu Thalhah, lalu saya memberitahukan padanya
-bahwa Nabi s.a.w. mengajak orang banyak. Abu Thalhah berkata: “Hai Ummu
Sulaim. Rasulullah s.a.w. telah datang dengan orang-orang banyak,
sedangkan kita tidak mempunyai sesuatu untuk memberi makanan kepada
mereka semuanya itu.” Istrinya berkata: “Allah dan RasulNya adalah lebih
mengetahui itu.” Abu Thalhah lalu berangkat sehingga bertemu dengan
Rasulullah s.a.w., kemudian berhadapanlah Rasulullah s.a.w. dengannya
sehingga keduanya itu masuk rumah. Selanjutnya Rasulullah bersabda:
“Bawa saya kemari apa yang engkau punyai, hai Ummu Sulaim.” Wanita itu
datang dengan roti tersebut di atas, lalu Rasulullah s.a.w. menyuruh
supaya dipotong-potongkan dan Ummu Sulaim memeraskan di atas roti itu
suatu tempat berisi samin, maka itulah yang merupakan lauknya. Kemudian
Rasulullah s.a.w. bersabda sekehendak yang beliau sabdakan, selanjutnya
lalu bersabda pula: “Izinkanlah masuk sepuluh orang.” Orang sepuluh itu
diizinkan masuk lalu mereka semuanya makan sehingga kenyang, lalu
keluarlah setelah itu. Seterusnya beliau bersabda lagi: “Izinkanlah
masuk sepuluh orang lagi.” Orang sepuluh itu diizinkan lalu mereka makan
sehingga kenyang kemudian keluarlah mereka itu pula. Beliau s.a.w.
bersabda lagi: “Izinkanlah masuk sepuluh orang lagi.” Demikianlah
sehingga seluruh kaum -yakni yang menyertai Nabi s.a.w. dari masjid-
dapat makan sehingga kenyang semuanya, sedangkan jumlah kaum itu ada
tujuh puluh atau delapan puluh orang.” (Muttafaq ‘alaih)
Nabi tidak mau memakai pakaian sutera meski beliau mampu:
Hadis riwayat Uqbah bin Amir ra., ia berkata:
Rasulullah saw. diberi hadiah
sejenis pakaian luar dari sutera. Beliau memakainya untuk mendirikan
salat. Ketika selesai salat, beliau segera menanggalkannya dengan keras
seperti tidak menyukainya kemudian bersabda: Tidak pantas pakaian ini
untuk orang-orang yang bertakwa. (Shahih Muslim No.3868)
Hadis riwayat Anas bin Malik ra. berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Barang
siapa mengenakan pakaian sutera di dunia, maka ia tidak akan memakainya
di akhirat. (Shahih Muslim No.3866)
Hadis riwayat Anas bin Malik ra.:
Dari Qatadah ia berkata: Kami bertanya kepada Anas bin Malik: Pakaian
apakah yang paling disukai dan dikagumi Rasulullah saw.? Anas bin Malik
ra. menjawab: Kain hibarah (pakaian bercorak terbuat dari kain katun).
(Shahih Muslim No.3877)
Nabi juga membuang cincin emas yang dia
pakai dan menggantinya dengan cincin perak yang lebih murah. Itu pun
untuk keperluan stempel negara:
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Dari Nabi saw., beliau melarang memakai cincin emas. (Shahih Muslim No.3896)
Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra., ia berkata:
Bahwa Rasulullah saw. menyuruh untuk membuatkan cincin dari emas. Beliau
meletakkan mata cincinnya pada bagian dalam telapak tangan bila beliau
memakainya. Orang-orang pun berbuat serupa. Kemudian suatu ketika,
beliau duduk di atas mimbar lalu mencopot cincin itu seraya bersabda:
Aku pernah memakai cincin ini dan meletakkan mata cincinnya di bagian
dalam. Lalu beliau membuang cincin itu dan bersabda: Demi Allah, aku
tidak akan memakainya lagi untuk selamanya! Orang-orang juga ikut
membuang cincin-cincin mereka. (Shahih Muslim No.3898)
Selain cincin perak, perhiasan lain yang menyerupai wanita seperti gelang, kalung, dan anting itu haram dipakai oleh lelaki.
Nabi melarang kita memakai emas dan perak
untuk perabot rumah seperti gelas, bejana, atau kloset. Emas dan perak
itu harus dipakai untuk kebaikan masyarakat. Bukan untuk sombong
berlebih-lebihan!
Hadis riwayat Ummu Salamah ra., istri Nabi saw.:
Rasulullah saw. bersabda: Orang yang minum dengan wadah yang
terbuat dari perak, sesungguhnya menggelegak dalam perutnya api neraka
Jahanam. (Shahih Muslim No.3846)
Hadis riwayat Hudzaifah bin Yaman ra.:
Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: Janganlah kalian minum dalam wadah
emas dan perak dan jangan mengenakan pakaian sutera sebab pakaian sutera
itu untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kalian di
akhirat pada hari kiamat. (Shahih Muslim No.3849)
Nabi hidup sederhana. Meski demikian,
tidak berarti negara Islam yang beliau pimpin jadi lemah. Justru segala
harta itu sebagian besar dipakai untuk mensejahterakan rakyatnya,
membiayai dakwah dan jihad sehingga kaum kafir Musyrik, Yahudi, Kerajaan
Romawi, dan Kerajaan Persia tidak mampu menyerang Negara Islam.
Sebaliknya, merekalah yang bertekuk lutut.
http://maulinalin.blogspot.co.id