ARTIKEL PILIHAN

GOOGLE TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

ARTIKEL PILIHAN

Cerpen Cinta yang Sangat Sedih: Hujan Terakhir

Written By Situs Baginda Ery (New) on Sabtu, 01 Februari 2014 | 20.32

Oktober 2012, 00:25, hujan rintik.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDu7B0fdayYJLRV2Tj1bDVqkd30eAai-zBBBYwK8P6KBEQNT2vOTc4faVwUKhw64yRm5JzNpVGarDCLbXtsZf7rTQRaSMidBuNaTFBJFy-7A_hXPmJ9rlNo6-ecwG6ADtzAJriPJ5L8bw/s400/tetes+hujan.jpg
Sorotan lampu belajar masih memenuhi meja belajar nya, dia tidak peduli seberapa besar rasa kantuk yang menggelayuti kelopak matanya untuk segera turun mengantongi kedua bola mata cokelat itu. Masih menatap berbagai rumus bangun ruang di atas kertas putihnya, pythagoras yang tak pernah terpecahkan. Di kertas coret-coretan nya berbagai macam angka dari satuan hingga ribuan telah bertebaran dengan hasil operasi hitung nya, tidak juga ketemu. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, membenarkan posisi duduknya hingga bangku yang ia duduki berdecit, matanya memandang ke sebuah pigura yang terletak manis di atas meja belajar nya. Foto dirinya dan mantan kekasihnya yang tidak tahu ada di mana sekarang, tarikan nafas nya berat, entah ia merasa lega atau melepaskan beban di dadanya yang terkadang sulit ia lepaskan.
Ia melirik lemah berbagai rumus di depannya, tugas akhir dari dosen yang kadang tidak mampu ia pecahkan sendiri, tetapi jika belajar kelompok pun tidak akan membantu banyak, paling hanya mengobrol dan menghabiskan waktu untuk berdiskusi dengan topik pertandingan bola atau balapan motor, obrolan umum khas lelaki. Ini tugas akhir yang sangat menyita waktu, mengerjakan lima puluh soal yang diberikan dosen dengan waktu kurang dari satu minggu, belum lagi tugas akhir dari mata kuliah yang lain. Punggung nya tidak kuat lagi menahan pegal yang menggantung, ia hempaskan tubuhnya ke atas kasur single nya yang empuk, tak kurang sepuluh menit ia memejamkan mata, pikirannya sudah terbang jauh ke alam mimpi.
Lorong jurusan Teknik Elektro hari ini cukup ramai, UAS memang selalu menjadi momen yang membuat mahasiswa belajar. Yang tadinya hanya nongkrong-nongkrong di koridor kampus sambil mengotorinya dengan kulit kacang rebus, minimal sekarang ada buku yang dijepit di sela-sela jari mereka, walaupun sedikit yang terhapal.
“Ega!” seseorang memanggil lelaki yang memiliki postur tubuh jangkung dan berambut gondrong.
Ia menatap wanita mungil yang berlari kecil ke arah nya dengan menenteng buku di tangannya.
“Ada sesuatu buat lo” ucap wanita itu kepada Ega.
“Apa Wen?”
Wanita kecil yang bernama Wendy kemudian membuka tas ranselnya dan mengeluarkan undangan berwarna putih susu dan berpita cokelat manis di atasnya.
“Dari Keysha, sudah seminggu ada di gue, tapi baru sempat gue kasih ke lo hari ini. Maaf ya, Ga”
“Dia ulang tahun?” Tanya Ega speechless, hanya pertanyaan bodoh itu yang mampu keluar dari bibirnya. Wendy menepuk bahu kiri Ega tiga kali dan lanjut berjalan meninggalkan Ega yang belum berani membuka undangan yang di sampulnya bertuliskan inisial nama H&K. Hendri & Keysha .

10 Oktober 2010
“Happy Anniversarry yang ke tiga tahun ya, Key” ucap Ega sambil membawa strawberry cheesecake dengan lilin angka 3 yang tertancap cantik di tengah kue. Wajah sumringah wanita cantik yang mengenakan mini dress hitam dengan rambut ikal terurai itu kini menebarkan senyum yang manis dengan kedua lesung pipi yang dalam di kiri dan kanan pipinya.
“Egaaa, terimakasih banyak. Aku terharu.” Kemudian mereka sama-sama meniup api kecil yang tercipta di atas lilin angka 3 itu, waktu yang tidak sebentar.
Sebuah kecupan kecil didaratkan di kening Keysha, hal yang tidak pernah dilakukan Ega, mengingat Ega bukanlah sosok pria yang romantis, bahkan terkesan cuek. Pipi Keysha bersemu merah, dia tak mampu lagi menyembunyikan luapan rasa bahagianya.
“Semoga kamu gak banyak ngambek lagi ya, Key” Permintaan yang sederhana dari seorang Ega yang memang sesederhana sifatnya.
“Iya, semoga kamu juga gak sibuk terus ya”
Ega tersenyum manis sekali, setidaknya itu adalah hal yang paling disukai oleh Keysha, senyum manis dari lelaki yang selama tiga tahun ini ia kejar dan perjuangkan walaupun sesibuk apapun dan seegois apapun Ega.
“Gimana kalau kita bikin surat? suratnya kita tukar, nanti kita baca pas kita sudah sampai di rumah. Seperti surat-surat annive biasanya? Gimana? setuju?” Ajak Keysha yang kemudian disambut kernyitan dahi Ega, tetapi akhirnya ia mengangguk juga. Keysha meminta dua lembar kertas dan bolpoin ke waitress restoran dan memberi Ega satu buah keduanya.
Mereka bertatapan sejenak, dan mulai menulis. Ega lama berpikir sebelum akhirnya menulis beberapa kalimat yang mungkin akan mengubah air muka Keysha sesampainya ia di rumah.
“Aku sudah! Kamu sudah belum?”
Ega menatap wajah Keysha lama sebelum akhirnya ia melipat-lipat kertas itu hingga membentuk pesawat kecil dan memberikannya ke Keysha.
“Nah, janji ya bacanya kalau sudah di rumah? Hehe. Makan kue nya yuk? sepertinya enak”
Keysha tertawa lebar, Ega merekam semua itu, ketika itu mungkin menjadi tawa terlebarnya yang terakhir.
Keysha tak pernah sesedih ini, setelah diantar pulang oleh Ega sampai di depan gerbang rumahnya, ia segera naik ke lantai dua dan masuk ke kamarnya, mengeluarkan pesawat kertas kecil yang merupakan surat anniversarry nya yang ke 3. Dengan pelan dan amat hati-hati ia membuka lipatan-lipatan kecil itu hingga menjadi kertas utuh dengan tulisan Ega yang sangat ia kenali. Hanya ada beberapa kalimat, sedetik, dua detik, satu menit. Keysha membaca itu berulang kali, senyum yang terkembang di bibirnya memudar, berharap yang ia baca bukanlah surat annive nya, berharap surat yang ia baca bukan dari seorang Ega Putranto. Tetapi ternyata benar, berkali-kali Keysha mengulang kalimat yang ada di atas kertas itu, beberapa kalimat itu berputar-putar di otak nya. Bulir-bulir air mata pun menetes dari rintik hingga menderas, mengalahkan ritme rintik lain yang turun di luar sana.
Ega menatap kertas putih dengan tulisan rapi di depannya dengan nanar, perasaannya sudah kebal dengan rasa sesal, membayangkan wajah Keysha yang tak semanis tadi.
To: Ega Putranto
From: Keysha Melia
Selamat hari jadi ke tiga tahun ya, Ga. I’ll always be yours, forever and more. Jangan terlalu banyak cuekin aku ya, tadi itu kejutan paling membahagiakan dalam hidup aku. Thanks for being mine. Aku cinta kamu, Ega :)
Ega menyimpan kertas itu, di tempat tersembunyi yang tak ia harapkan akan ia lihat lagi. Maafin aku Key. Rintik hujan pertama di bulan Oktober yang kemudian menderas.

Hempasan tubuh Ega membuat per spring bed nya memantul lebih keatas dan mengguncangkan tubuh Ega seperti baru diterjunkan dari lantai sepuluh. Ujuan Akhir Semester kalkulus yang sangat rumit membuat pikiran Ega bercabang-cabang. Mahasiswa seperti Ega adalah seorang yang tak pernah main-main dengan kuliah, pekerja keras, sampai terkadang ia melupakan orang di sekitarnya. Tas ranselnya tergeletak di sampingnya, memandangnya sejenak, ada sesuatu yang belum sempat terbaca sejak siang tadi. Ia membuka resleting tas ranselnya, melihat sebuah undangan manis berwarna putih susu, membuka plastik pelindungnya dan mulai membaca isinya. Ada sesuatu yang tak beres berkecamuk dan mendidih di dalam dada nya.
Undangan pernikahan Keysha. Keysha akan menikah beberapa hari lagi, tanggal 10 Oktober 2012, sial! wanita yang ia cintai tapi selalu ia sia-siakan kebaikannya, selalu ia abaikan senyumnya, dan menganggap perhatiannya sebuah gangguan.
Ega mengetik sebuah nomor yang ia hapal di luar kepalanya, bukan rumus matematika, bukan rumus kalkulus, menekan tombol hijau dan berharap nomor itu masih menyambungkan dirinya ke orang yang dulu.

09 Oktober 2012, Skydinning. Angin kencang, mendung.
“Aku kaget begitu dengar suara kamu di telepon. Mendadak sekali minta ketemunya, hehe” Ujar Keysha sambil menyeruput strawberry milk tea nya. Ega berusaha terlihat tenang, gadis di depannya ini tambah cantik dengan bolero biru yang ia kenakan sebagai luaran.
“Mengapa secepat ini Key?” ucap Ega yang tertahan. Air muka Keysha tidak lagi setenang tadi, rahangnya mengatup, menahan sesuatu yang beberapa hentak lagi akan keluar.
“Ya, secepat itulah, Ga. Seperti pesawat bencana yang kamu kirim ke aku dulu, secepat itu juga kan kamu mengambil keputusan itu setelah kita bersama-sama meniup lilin anniversarry kita?. Seharusnya aku yang bertanya saat itu, tetapi aku tahu, egomu lebih besar, dan pertanyaanku pun akan kau jawab dengan berjuta alasan yang sering kali kudengar. Saat itu aku pasrah, mengapa? Karena tidak ada lelaki manapun yang tega memutuskan hubungannya di hari jadinya, tidak ada, kecuali lelaki brengsek seperti kamu, Ga.” tutur Keysha, matanya mulai berair dan terasa panas.
“Aku mencintaimu, Key. Aku hanya tidak ingin sesuatu menghambatku untuk mencapai cita-citaku” sergah Ega cepat.
“Aku sudah terlalu hapal dengan alasanmu, bahkan sebelum kamu menjawab pertanyaanku dulu. Kamu egois, lelaki paling egois. Telat Ga, kalau kamu selalu berpikir aku menghambat masa depanmu, maka malam ini, pertemuan ini sangat menghambat masa depanku. Aku mempunyai masa depan yang harus kutatap besok. Besok, jari manisku sudah tidak kosong lagi, sudah ada yang melingkar manis. Aku tidak ingin pertemuan ini merusak segalanya, seperti kau merusak semua mimpi-mimpiku bersamamu dulu.”
“Key, aku mohon.” Pinta Ega sekali lagi, matanya berair.
“Maaf Ga. Tidak seharusnya aku berada disini.” Keysha berdiri, hendak meninggalkan Ega, masa lalunya. Kemudian sesuatu hal menyeretnya kembali ke meja dan menemui Ega.
“Oh iya, ini pesawatmu. Selamat tinggal Ega”
To: Keysha Melia
From: Ega Putranto
Aku mencintaimu, Key. Tetapi, aku tidak bisa melanjutkan ini semua. Aku ingin mengejar masa depanku tanpa harus khawatir meninggalkanmu. Demi kebaikan kita berdua, agar kamu tidak selalu khawatir akan aku, aku meminta maaf, aku kira tiga tahun cukup waktuku untuk mengenal cinta yang kau berikan. Terima kasih, selamat tinggal.
Ega tertawa sinis, rasa sesal bukan lagi kebal untuknya. Tapi rasa sesalnya kali ini menguap dan berkondensasi sehingga merintikkan air mata. Rintik itu menderas dan menambah rintik lain yang kini turun membasahi tanah dan rumput, membuat setiap orang menyeduh kopi dan menarik selimut ke atas tubuhnya. Dan seseorang yang lain lagi memandang rintik hujan malam ini dari dalam mobil, matanya masih menatap jalan di depannya. Pertemuan pertama dan terakhir bersama seseorang yang pernah ia cintai, yang pernah ia kecup keningnya di hujan pertama bulan Oktober. Ia masih menanti, kapan tetes hujan terakhir turun dan meluruhkan semua rasa yang sesak di dalam dadanya.
Cerpen Karangan: Erna Cahyani
Blog: http://starersnew.blogspot.com
Facebook: Erna Cahyani
Mahasiswi yang mencintai Sastra Indonesia.

http://cerpenmu.com/cerpen-penyesalan/hujan-terakhir.html
20.32 | 0 komentar | Read More

Pelangi ( Agung bersemangat saat dirinya mengira Riana tersenyum padanya sore itu )

Agung bersemangat saat dirinya mengira Riana tersenyum padanya sore itu. Betapa Agung merasakan getaran cinta yang hebat dari perempuan yang diam-diam dicintainya selama ini. Jarang-jarang Agung bisa menikmati senyum seorang kembang desa yang paras kecantikan apalagi pamor namanya sudah terdengar sampai ke desa sebelah. Bisa melihat senyum Riana yang indah, apalagi gadis itu berkenan membalas, sungguh seperti mukjizat rasanya.
Dan tidak jarang pula banyak pemuda bahkan remaja dari desa tetangga yang sering bersilaturahmi ke kediaman orangtua Riana. Termasuk Agung yang tidak lain hanya ingin berbasa basi tanpa peduli harga diri. Niatan itu memang bukan bersilaturahmi, melainkan hendak menikmati paras Riana yang elok seperti bidadari. Gadis berusia 20 tahun itu memang sedang ramai dibicarakan penduduk sekembalinya ia dari sekolah tinggi di Jakarta.
Pun Riana gadis yang cerdas. Murah tersenyum dan menghormati siapa saja yang ditemuinya. Menjaga pandangan dan tutur kata. Bersosialisasi dan mengajarkan ilmunya pada anak-anak di desa tanpa pamrih. Hal itu yang membuat anak-anak muda mulai dari anak tukang pikul hingga anak orang berpangkat mencari simpatik gadis itu apalagi kalau bukan masalah, mendapatkan cinta.
Cerpen Pelangi
Malam ini Agung datang ke rumah. Dia bercerita padaku kalau kemarin sore dia menumpai Riana di ruas jalan dan mereka saling bertatap muka kemudian diakhiri dengan perpisahan dan senyuman. Senyum sederhana antara dua insan yang membuat Agung girang bukan kepalang. Senyum yang menjadikan Agung merasa menjadi laki-laki yang paling beruntung di dunia ini. Agung lupa diri. Dia terbawa indahnya paras Riana. Berkali-kali dia berbicara meninggi kalau Riana jatuh hati padanya. Aku diam saja.
“Jarang, War. Laki-laki ganteng di desa ini yang mau di lirik oleh Riana. Gadis itu nggak sembarangan membiarkan matanya melihat paras setiap orang. Aku termasuk beruntung karena Riana sudi memberikan senyumnya padaku…” ujar Agung sedikit pongah. Aku diam saja. Agung tersenyum berseri-seri dan aku melihat wajahnya tampak semakin cerah. Aku sadar, sejatinya Agung memang tampan.
Malam itu aku dan Agung bernostalgia hingga pagi menjelang. Ibu menyuguhi kami sepiring ubi goreng dan dua gelas kopi hitam yang tidak terlalu manis. Karena aku dan Agung memang tidak suka kopi yang terlalu manis. Malam terang benderang dan langit penuh bintang gemintang. Tak sedikitpun tampak awan di atas langit. Warna biru saja yang terlihat mendamaikan jiwa. Agung terus berbicara. Aku diam saja. Aku hanya berkata jika Agung bertanya. Selebihnya. Aku diam saja.
Ketika angin berhembus pelan. Beberapa nelayan sudah mulai menarik perahu mereka. Remaja-remaja tanggung yang putus sekolah biasa menjadi kuli tetap di tepi pantai desaku ini. Contohnya Tirta, remaja itu hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 2 SMP saja. Ia memilih menjadi kuli nelayan karena mendapatkan uang menurutnya sangatlah mudah ketimbang harus sekolah dan susah-susah belajar. Apalagi harus melihat orangtuanya mati-matian banting tulang mencari uang, toh besarnya kelak Titra juga seperti ayahnya. Profesi nurani alias panggilan jiwa, jadi buruh serabutan.
Angin bertiup semilir. Beberapa nelayan sudah melesat hingga ke tengah-tengah laut. Aku masih duduk sendirian di bawah batang nyiur sambil sesekali menggoyang selulerku mencari sinyal. Desaku belum ada tower Telkomsel. Kalau di Kabupaten sudah ada. Itu sebabnya aku jarang sekali menyentuh selulerku. Hanya sesekali saja. Itu pun kadang harus naik atap rumah di tambah kursi dan meja pula.
Menjelang siang hari, apa yang sejak pagi aku tunggu akhirnya datang juga. Satu pesan kuterima. Perasaanku langsung tak tekendali. Rasa rindu menderu-deru penuh emosi. Kegembiraan hati meluap-luap seperti deru ombak yang kian pasang. Kutarik napas pelan dan membuangnya penuh perasaan. Ku buka sms itu.
“War, lamaranmu di terima. Senin lusa kau sudah bisa berkerja. Selamat yah.” dari Dani. Sontak aku sujud syukur dan menangis saat itu juga. Berlari aku secepat kuda menuju rumah. kusampaikan pada ayah. Kusampaikan pada ibu. Kedua orangtuaku girang bukan kepalang. Saudaraku semuanya berlinang.
“Nanti malam kita syukuran. Kita undang orang satu kampong buat makan kambing guling…” ujar ayah berapi-api.
“Aih Abah ni, tak perlulah kita undang orang sekampong. Cukup kerabat dan tetangga dekat saja. Ini hanya syukuran kecil, tak perlu di sombongkan…” sela ibu tersenyum bahagia.
“Terserah kaulah, Fat. Aku mau ke rumah Pak Cik Dullah…” Ayah beranjak dan tampak tergesa-gesa.
“Abah ke rumah Pak Cik Dullah? Ada apa?”
“Nak beri tahu kabar gembira, Fat…”
“Ah, pegilah.” Sambung ibu tersenyum masih merasakan kebahagiaan.
Malamnya aku ke rumah Agung. Aku bercerita padanya dan keluarganya juga. Alhamdulillah, mereka sekeluarga turut bahagia. Aku dan Agung pun melanjutkan kebiasaan kami. Berceloteh sampai pagi membicarakan Riana. Bukan hanya Riana. Aku sempat menyinggung seorang gadis yang tak kalah cantik dari Riana. Gadis itu namanya Nurhaliza. Diam-diam Nur sering menjumpaiku dan kami pun bercerita panjang. Tentang harapan dan impian kami masing-masing.
Hari yang kunantikan tiba. Dengan bekal seadanya aku pun berangkat ke Bandung. Aku harus naik pesawat terbang agar tidak memakan waktu. Sebelum pamit aku sempat menemui seseorang. Aku katakan padanya aku akan kembali dan tetap mencintainya. Orang itu berjanji akan setia menunggu juga. Dialah cinta yang selama ini aku rahasiakan dari siapapun, termasuk sabahatku sendiri. Aku tidak ingin nantinya mereka salah sangka. Biarlah waktu yang mengungkap semuanya.
Aku sampai di Bandung. Seminggu aku berbaur. Sebulan aku bersungguh-sungguh. Setengah tahun aku pun mendapat tempat. Dua tahun aku naik pangkat. Tahun ketiga ini aku bisa cuti panjang dan pulang ke kampung. Kampung nelayan di pesisir pantai indah di Sumatera. Tak Sabar aku ingin menjumpai ayah, ibu juga saudara-saudaraku.
Malam purnama menyambutku tepat di tepi pesisir. Orang-orang pesta ikan dan kerang. Aku seperti orang asing dan selebriti. Setiap berjumpa selalu disanjung dan dipuji. Aih, aku benci pujian. Aku benci sanjungan. Tampak jelas penyanjung dan pemuji itu munafik. Hanya berbasa basi. Aku tidak peduli.
Di ujung karang aku menjumpai seseorang. Dialah Nur. Orang yang selama aku di Bandung sering mengirim sms melalui telefon kantor pos. Nur menceritakan semua apa yang ada di dalam hatinya kepadaku. Dia menangis dan menitikkan air mata rindu. Hanya aku yang mengertinya. Hanya aku yang peduli padanya. Itu kata Nur. Sewaktu kami curhat dulu.
Malam puncak pesta di akhiri dengan doa dan makan bersama-sama orang sekampung. Hingga pagi menjelang para Pak Gaek dan pujangga syair bersenandung dan berpantun ria. Beberapa pemuda bermain rebana dan seruling. Indahnya malam itu sulit aku lukiskan dengan tulisan. Masih di ujung karang aku dan Nur bercerita. Selang beberapa lama tampak Riana mendekati kami. Nur pamit diri.
Selama seminggu ini aku masih di kampung. Menghabiskan cuti bersama keluarga sangat menyenangkan. Tiga tahun tak bersua bersama keluarga rasanya begitu menyesakkan dada. Berat sekali kaki ini hendak melangkah kembali ke tanah rantau. Agung memanggilku ketika aku memberi makan ikan di tambak.
“Aku mau bicara penting sama kau…” kata Agung serius.
“Bicaralah…” sahutku datar.
“Soal Riana!”
“Ada apa dengan Riana?”
“Kau jangan pura-pura tak tahu…”
“Maksudmu?”
“Aih, munafik kau, War. Jahat kau. Pagar makan tanaman. Kau tusuk aku dari belakang!”
“Hei, ngomong apa kau, Gung?” kataku heran dengan celotehan Agung barusan. Ku dekati sahabatku itu. Dia menjauh. Bahkan Agung berlalu tanpa meninggalkan sepatah dua kata pun. Aku menggelengkan kepala heran.
Siang hari Pak Cik Dullah memintaku segera mengunjunginya. Pesan itu aku terima dari Soleh. Katanya ada hal penting. Sore itu aku pun pamit pada ayah dan ibu. Ku pakai sepeda ontel ayah menuju rumah Cik Dullah.
“Asalamualaikum… Ada apa, Pak Cik memanggilku…?”
“Wa alaikum salam,” sahut Pak Cik, “Mun… Buatkan minum, Zidwar sudah datang….” selang beberapa lama Mak Cik Maimun datang membawa nampan berisi dua gelas kopi hitam dan sepiring keripik balado. Keripik kesukaanku.
Tak butuh lama. Pak Cik Dullah pun mengutarakan maksudnya kepadaku. Maksud hati yang telah sekian tahun dia pendam katanya. Sebelumnya, Pak Cik Dullah sudah membicarakan semua perihal dengan kedua orangtuaku masalah yang agak serius ini. Sekarang keputusan ada di tanganku. Agak syok aku mendengar penuturannya itu.
“Kalau memang, Pak Cik dan yang lainnya sudah merestui. Insya Allah saya siap melamar dara Pak Cik. Besok saya akan datang bersama kedua orang tua saya dan keluarga serta kerabat buat melamar dara Pak Cik.”
“Alhamdulillah kalau begitu. Setelah kau melamar, apakah kau akan tetap pergi ke Bandung…?”
“Ya, Pak Cik. Saya masih ada kontrak kerja di sana.” Pak Cik Dullah hanya bersungut-sungut dan tersenyum menatapku. Gadis yang aku cintai pun keluar dari bilik. Ia membawa beberapa bungkus keripik balado buat ibuku di rumah. Aku berterima kasih padanya, dan sentuhan lembut tangan gadis itu membuatku melambung tinggi. Tangannya seperti sutra. Lembutnya terasa hingga ke hati.
Pagi menjelang pergi lamaran, aku menunggu Agung. Entah kenapa sejak sore kemarin Agung tidak tampak lagi ke rumah. Tidak biasanya dia seperti ini. Keluarga sudah siap semua. Karena Agung tak muncul juga, ibu meminta kami segera berangkat saja. karena tamu wanita sudah menunggu lama. Aku menyetujui. Tepat pukul sepuluh pagi kami sampai di kediaman Cik Dullah. Dan acara lamaran berjalan lancar. Setelah lamaran acara di lanjutkan dengan membicarakan masalah pernikahanku dengan Riana.
Malamnya, aku menemui Nur yang berjalan sendiri di dekat pesisir. Aku datang memenuhi panggilannya. Ku dekati gadis itu. Dan ku katakan kalau aku sedang agak terburu-buru. Nur mengerti. Malam itu dia hanya ingin memastikan janjiku padanya. Dia berharap aku tidak lupa.
“Aku sudah bicara pada Agung, Nur. Aku sudah menceritakan semua perasaanmu padanya. Tapi sampai saat ini Agung belum memberiku jawaban. Bahkan dia seolah menghindariku. Besok, kalau aku ketemu Agung, aku akan minta dia menemuimu segera. Kalau begitu, aku harus pergi sekarang, Riana dan lainnya masih menunggu di rumah Cik Dullah…” aku bergegas hendak meninggalkan Nur.
“Selamat ya, War. Kau akan menikah dengan Riana. Gadis impianmu…” kata Nur membuatku tersenyum. Tanpa basa basi aku pun pamit. Baru selangkah aku berjalan, tiba-tiba Nur berteriak dan memekik kesakitan. Sontak aku terkejut dan mendekatinya.
“Kenapa kaki kau, Nur…?” tanyaku panik.
“Aku di patuk ular itu…” Nur menunjuk seekor ular yang telah pergi ke celah batu karang. Kaki Nur berdarah. Aku segera membawanya ke klinik terdekat. Dalam perjalanan aku berharap Nur tidak kenapa-napa.
Sesampainya di klinik Nur langsung dirawat. Saat itu juga aku menghubungi keluarga Nur agar mereka mengunjungi Nur di klinik segera. Tak kusangka. Itu adalah awal dari bencana hidupku sesungguhnya.
Sebulan setelah menikah aku dan Riana tinggal di Bandung. Kembali aku teringat kisah cinta pertamaku bersama Riana di Jakarta – Bandung. Antara dua kota itu sewaktu kuliah dulu. Aku dan Riana sering bertemu ketika hari Minggu. Jika bukan aku yang ke Jakarta. Riana yang pergi ke Bandung. Hampir selama dua tahun kami seperti itu. Hingga akhirnya aku memutuskan pindah kuliah ke tempat di mana Riana tinggal. Sejak itulah kami diam-diam menjalin cinta. Kami yakin kedua orang tua kami belum setuju meski kami yakin kedua orang tua kami juga telah mengetahui hubungan kami yang intens.
Sedang bahagianya aku bulan madu bersama Riana. Sebuah surat mengejutkan datang dari kampung. Isi surat itu sangat privat dan penting. Di tulis langsung oleh pemangku adat kampung kami. Tanpa persiapan matang aku dan Riana pun segera terbang ke kampung. Setibanya di sana aku tidak sempat beristirahat. Penduduk langsung menggiringku ke rumah pengadilan adat.
Astaga. Ada apa ini? Kenapa orang-orang tampak membenciku. Tak kusangka. Nurhaliza menangis tersedu-sedu. Ibu Nurhaliza memintaku bertanggung jawab atas apa yang menimpa putrinya. Fitnah keji menyeruak kalau aku telah melakukan perbuatan tak senonoh pada Nurhaliza. Anak yang di kandung Nur menurut ibunya adalah anakku. Sontak aku sangat syok. Ayah dan ibuku bersedih. Keluargaku juga bersedih. Terlebih lagi Riana. Meski hatinya terluka, namun aku lega karena Riana masih tulus dan sangat mempercayai semua kesaksianku. Hal itulah yang mejadikanku kuat menjalani cobaan ini.
Sesuai hukum adat, aku di adili seadil-adilnya. Di persidangan aku mengatakan kalau aku tidak melakukan apa yang dituduhkan ibu Nurhaliza. Banyak orang yang tidak percaya kalau aku adalah pelakunya. Tapi beberapa saksi palsu mengatakan kalau aku adalah orang yang bersalah. Aku pasrahkan semuanya pada Tuhan. Aku yakin Tuhan tidak tidur. Dia lebih mengetahui apa yang akan terjadi.
Berminggu-minggu aku di bui. Hidupku berubah drastis. Kedua orang tuaku sangat terpukul. Istriku menderita. Sanak saudaraku semua kecewa pada fitnah keji itu. Setelah di pastikan bersalah yang ku tahu atas kelicikan seseorang. Hukum adat akan berbicara. Aku menerima hukuman karena telah menodai kaum hawa. Di kampungku, itu tindakan sangat terkutuk. Aku tak tahu kemana diriku di bawa. Terakhir yang ku tahu. Tubuhku dililit tambang bersama sebongkah batu besar hingga membawaku masuk ke dasar jurang. Jurang yang curam dan terjal.
Hari terus berlalu membawa sisa kenangan. Riana berdiri sambil tersenyum menggendong anaknya. Anak laki-laki yang tampan dan rupawan. Anak yang melipur laranya selepas ditinggal sang suami. Riana tidak pernah bimbang. Hatinya hanya untuk suaminya tersayang. Riana istri yang budiman, tak pernah mencemooh setiap kata orang. Riana adalah bidadari firdaus. Membuat semua orang takjub dan kagum padanya.
Riana pergi ke ladang. Membawa keranjang dan bubu di badan. Riana mengajak anaknya tersayang. Mencari sayur dan ikan. Riana terpana melihat keajaiban. Keajaiban yang selama ini ingin ia lihat atas kehendak Tuhan. Kini Riana semakin cinta pada almarhum suaminya. Riana mengucap syukur pada Tuhan. Hidupnya kini telah tenang. Karena sumpah suaminya benar-benar terjadi. Ingatan Riana kembali ke masa lampau. Tepat ketika suaminya di adili.
“Jika memang aku adalah pelaku seperti apa yang Nurhaliza dan ibunya tuduhkan. Bumi dan langit tidak akan meridhoiku hidup di muka bumi ini. Namun jika aku benar dan tidak bersalah, biarlah karma yang membuktikan kebenaran dan orang yang sudah memfitnahku akan mendapat ganjarannya.
Dan kalian semua perlu ingat. Barang siapa yang melihat langit berwarna gelap dan hitam, sedangkan cahaya pelangi indah dan benderang melengkung di bawahnya. Itu membuktikan aku adalah orang yang benar. Dan Nurhaliza beserta ibunya berdusta. Dan orang-orang yang memfitnahku akan mati dengan keji…” kalimat suaminya membuat Riana tertegun dan masih menyisakan air mata. Ia rindu pada suaminya. Suami tertampan dan termulia yang pernah ia miliki untuk selamanya. Riana masih menangis. Kebenaran pun terungkap.
“Bundo…,” Riana terkesiap, “Kenapa Bundo menangis?” Zidwar kecil bersedih. Riana mengusap air matanya. Ia pun tersenyum lebar dan melepaskan kesedihan Zidwar kecil. “Bunda menangis karena bahagia, Nak…” lirih Riana tak sanggup menahan air matanya.
“Apa yang membuat Bundo bahagia, tapi menangis?”
“Kelak Bundo akan ceritakan semuanya pada Zidwar…” Riana menuntun anaknya menapaki jalan setapak di tengah pematang sawah.
“Bundo. Bundo, lihat…” kata Zidwar menunjuk ke arah langit tinggi.
“Ada apa, Nak…”
“Kenapa di langit hitam ada pelangi, Bundo?” Zidwar kecil penasaran. Penasaran karena melihat pelangi terang dan melengkung indah di bawah gelapnya awan. Seakan ada sebuah keanehan yang belum pernah ia lihat selama ini. Riana bertasbih dan hatinya berdesir. Riana pun berujar lirih.
“Karena pelangi itu adalah pertanda, Nak. Bahwa kebenaran akan selalu terungkap. Dan kedustaan tak akan abadi.” suara Riana serak.
“Kebenaran itu apa, Bundo?”
“Kebenaraan itu adalah sesuatu yang tidak salah. Kebenaran itu adalah berbuat baik dan berbuat adil. Tidak berdusta apalagi memfitnah. Kebenaran itu seperti ayah Zidwar. Ayah Zidwar itu adalah contoh orang yang benar perkataan dan perbuatannya…”
“Ayah Zidwar? Memang, ayah Zidwar sekarang di mana, Bundo?”
“Ayah Zidwar, sekarang ada di atas pelangi itu…”
“Kalau begitu, Zidwar mau ke pelangi, Bun. Biar bisa bertemu ayah…”
“Kalau Zidwar mau pergi ke pelangi. Zidwar tidak boleh berkata dusta. Zidwar harus berani melakukan sesuatu yang benar. Zidwar juga harus bisa menjadi orang yang menyayangi sesama. Jika syarat itu terpenuhi, niscaya Zidwar akan mampu berjalan di atas pelangi…”
“Benarkah, Bundo?” Zidwar kecil tersenyum sambil melihat pelangi yang semakin terang itu. Riana menitikkan air matanya.
Seminggu setelah kejadian yang di saksikan orang sekampung pesisir waktu itu. Membuat semua penduduk mengerti dan yakin sejatinya Zidwar dulu memang di fitnah. Dan bukti semakin kuat ketika di temukan dua jenazah dalam satu liang di semak dekat sawah. Jenazah itu menurut kesaksian adalah jenazah Agung dan Nurhaliza. Tubuh kedua jenazah itu habis di makan buaya dan hanya menyisakan kepala mereka. Mungkin itu adalah sebuah bukti bahwa kematian mengenaskan masih berlaku untuk para pendusta dan pemfitnah keji.
SEKIAN
Cerpen karangan: Imuk Yingjun
Add Me: Imukyingjun[-at-]gmail.com
Follow Me: @_imuk
Jambi
19 September 2013
18:07 Wib

http://cerpenmu.com/cerpen-kehidupan/pelangi-4.html
20.30 | 0 komentar | Read More

Sebuah Cerpen yang Sangat Menarik: Sepotong Senja Yang Hilang

http://ericamascalova.com/wp-content/uploads/2012/09/Pada-Sebuah-Senja.jpg
Tahun 2011
Senja memudar. Gerombolan pekat hitam menyembunyikan tirai-tirai jingga di pelukannya. Dikelilingi aroma kesunyian yang mengendap di celah-celah udara. Cakrawala telah berganti samudera gelap tak berujung. Malam bertahta.
Mata wanita itu juga tampak memudar. Senjanya baru saja berkemas dan pergi. Senja telah membaurkan diri bersama pasukan malam yang sengaja menjemputnya. Pertunjukan yang setiap sore disaksikannya itu telah berakhir dengan sangat cepat.
Wanita itu kemudian berdiri dan menutup jendela. Raut wajahnya berubah cemas. Berkali-kali dia melirik jam kuno yang menggantung di dinding rumahnya, lelah berdetak tak henti. Dia khawatir, anak-anak tumpuan harapannya belum juga pulang. Kemana mereka?.
“Bilqis pulang,” sebuah suara dengan intonasi datar membuat perasaan cemas wanita itu sedikit berkurang. Gadis berseragam putih biru itu tampak lelah.
Bibir wanita itu mengukir senyum, namun tidak dengan matanya. Matanya berkaca-kaca. Dia berusaha membungkam tangisannya dan terus berdiri di tempat memperhatikan gadis bungsunya yang kemudian menghilang di balik pintu kamar. Tidak membalas senyumnya, bahkan menoleh ke arahnya pun tidak. Wanita itu mengelus dada dan membiarkan air matanya tumpah. Dia pun menangis dalam diam.
“Ma, Hikko ke rumah teman,” belum sempat menjawab, sosok anak lelakinya itu telah berlari dengan cepat menuju pintu. Wanita itu kembali mengelus dadanya. Dia merenung. Anak lelakinya itu sudah dewasa rupanya. Tubuhnya yang telah tumbuh menjadi tinggi, serta bingkai wajahnya yang tampan. Semuanya telah berlalu dengan cepat, curahnya dalam hati.
“Nisa dari mana sayang?” tanya wanita itu kemudian ketika menyadari seorang anak perempuan manis memasuki rumah.
“Dari kampus lah ma, darimana lagi,” jawab Nisa ketus kemudian berlalu begitu saja.
Untuk kesekian kalinya wanita itu mengelus dada. Dia terduduk dan menangis sesegukan. Ketiga anak kebanggaannya tak lagi menghiraukannya. Mungkin masa lalu masih mengikuti mereka. Masa lalu masih menyelimuti setiap hari yang terlewati. Kisah lampau yang di setiap episodenya terselip duka, kecewa dan amarah. Cerita lalu yang mampu memisahkan satu dunia menjadi bagian-bagian dengan kejamnya. Membelokkan jalan orang-orang yang seharusnya melaju di jalur yang sama.
“Maafkan mama sayang,” ujarnya pelan.
Fachrunisa
Viroland Note’s
Seperti biasa, aku selalu menghabiskan waktuku di Café Diamond yang terletak di seberang kampus. Tempat yang menyimpan kisah-kisahku dengan seseorang, memotret dan mengabadikannya, serta menyuarakan lagu rindu setiap kali aku memasukinya. Ah, orang itu. Di café itu jugalah aku mengembangkan imajinasi menulisku. Aku bercita-cita menjadi penulis, tapi Ibuku mematikan keinginan itu dan memaksaku untuk kuliah di Jurusan Kedokteran. Ya, suka tidak suka. Lagipula penulis itu relatif kok. Dokter mau menerbitkan buku siapa yang melarang? Itulah mengapa aku mau menuruti pemaksaannya.
Aku tidak suka Ibuku dan tidak pernah bermimpi untuk menjadi orang seperti dia. Apalagi hampir seratus persen aku mewarisi bentuk fisiknya. Sungguh, aku tidak suka. Tubuh yang lumayan tinggi dengan kulit kuning langsat, rambut hitam panjang, serta lesung pipi yang tertanam di kedua ruas pipiku. Teman-teman bilang, aku cantik. Secara tidak langsung mereka juga memuji ibuku, karena wajah kami benar-benar mirip. Mungkin akulah sketsa wajah masa mudanya. Menjengkelkan.
Aku tidak terlalu suka dengan suasana rumah yang lebih tepat di sebut ruang hampa. Di sana benar-benar sunyi, dan aku benci kesunyian. Aku akan pulang ke rumah ketika senja telah menari-menari di permukaan langit. Barangkali, rumah itu seperti hotel bagiku. Pulang, makan, tidur, lalu pergi lagi. Begitulah setiap hari.
Ibuku itu, ah. Dulu dia membuat hidupku terasa kurang lengkap karena sering meninggalkan kami anak-anaknya. Lalu melakukan pemaksaan dengan jalan hidup yang kami pilih. Dia suka, tapi kami tidak. Kemudian menjadi malaikat maut dari sosok yang aku dan adik-adikku banggakan. Memisahkan kami dari Ayah dan dengan kejam mengambil alih hak asuh kami. Ibu jugalah yang membuat kami bertiga menjadi tidak akrab lagi. Ibu itu seperti bencana. Bukan, aku bukannya tidak menghormati Ibuku. Sebelum semuanya kacau balau seperti hari ini, aku selalu menaruh hormat padanya walaupun dia tidak pernah mau menghargai prinsip dan pendapat kami semua. Tapi sejak hari itu, aku benar-benar menjauh dan membuat tembok pemisah dengannya. Semua orang akan menganggapku anak durhaka dan tidak tau terima kasih. Terserah saja. Itu karena mereka semua tidak pernah tau apa yang terjadi dalam cerita masa lalu hidupku. Andai mereka tau, mungkin mereka akan mengerti. Termasuk kau kan? Tapi aku tidak pernah bisa menolak pengakuan hatiku. Meskipun aku mengatakan aku tidak suka Ibuku, tapi tetap saja diriku yang lain masih menyayanginya. Sampai hari ini, diriku yang lain itu masih mencintainya.
Hikko
Viroland Note’s
Sudah lama aku menyibukkan diri di luar rumah untuk melupakan semuanya. I can run, but I can’t hide. Ya, begitulah. Aku terus berlari dari semua masalahku. Berlari sejauh yang aku bisa. Tapi sayangnya, aku tak kan bisa bersembunyi. Masa lalu selalu mengikuti, bahkan sampai hari ini. Selalu menemukan keberadaanku. Aku dihantui kisahku sendiri.
Tujuan. Aku bingung dengan tujuanku. Apa yang akan aku lakukan esok tak pernah aku rancang hari ini. Ku biarkan semuanya berlalu begitu saja. Siapa yang harus aku salahkan? Diriku sendiri? Ya, akulah penjahat besar dalam kekacauan hidupku. Tetapi ada satu orang lagi yang ikut campur tangan dengan semua ini. Karena orang itulah aku begini. Aku kehilangan sosok berharga dalam hidupku. Motivator terbaik dan idola yang selalu menjadi panutanku. Aku tak terbiasa tanpa kehadirannya. Lalu tiba-tiba saja aku menyaksikan kepergiannya. Dan Ibuku, dia tiba-tiba menjelma malaikat maut dalam pandanganku. Dengan cepat arus kebencian mengalir di seluruh tubuhku. Virus amarah menyerangku dengan ganas. Aku berubah. Membangun dunia sendiri dan tembok-tembok besar dengan anggota keluargaku, terutama Ibu. Dia dalang kekacauan ini. Tokoh diktaktor dan ahli ultimaltum sepanjang sejarah hidup kami -aku dan saudara-saudaraku-.
Tapi kau jangan meremehkanku. Aku tidak akan merusak diriku sendiri dengan pergaulan bebas remaja masa kini. Aku memang paling rajin keluyuran. Tapi tidak untuk ngabsen ke diskotik atau sekedar kumpul-kumpul untuk menghisap rok*k dan pesta mir*s. Aku masih terlalu waras untuk melakukan semua itu. Aku pergi ke rumah teman-temanku yang pintar dan teladan, lalu di sanalah aku belajar dan menghabiskan waktuku. Aku juga sering mengikuti lomba dan olimpiade, dan tidak jarang juga aku menang. Tak seorang pun teman-temanku yang tau bahwa aku adalah seorang remaja laki-laki yang dilema. Berasal dari keluarga yang menurutku “aneh”, ya tentu saja sejak sosok panutanku pergi begitu saja.
Teman-teman hanya tau kalau orang tuaku sudah berpisah, hanya itu. Selebihnya menjadi rahasia keluarga saja. Bagiku, cukup dalam hati saja aku menemukan kehancuran. Biarlah di dunia luarku, aku menjadi pribadi yang biasa-biasa saja. Ibu, mungkin dia tidak akan pernah mengerti. Karena baginya, kami hanyalah robot yang diprogram untuk terus menerus mengikuti segala perintahnya. Aku boleh saja membencinya, tapi sampai kapanpun orang yang aku benci itu tetaplah ibuku yang dalam kodratnya untuk kucintai.
Bilqis
Viroland Note’s
Aku berbeda. Setidaknya itulah kata-kata yang sering di lontarkan kakak-kakakku. Dari bentuk tubuh saja sudah menggambarkan perbedaan. Mbak Nisa mewarisi gen fisik Ibuku dan Kak Hikko mewarisi gen fisik ayah. Aku? Campuran, mungkin. Entahlah. Mataku sipit sendiri, rambut ikal sendiri. Dengan kulit putih dan bertubuh kecil mungil. Berbeda dengan Mbak Nisa yang berkulit kuning langsat, rambut lurus, tinggi dan berlesung pipi. Atau Kak Hikko yang bertubuh tinggi atletis, tampan dan berkulit sawo matang. Pokoknya aku berbeda lah. Teman-teman bilang aku imut, lucu dan menggemaskan. Mirip cewek Japannes.
Di antara saudara-saudaraku yang lain, akulah yang paling ceria dan cerewet. Akulah si bungsu kerewil yang bikin heboh suasana. Mereka semua memanjakanku dan selalu memperhatikanku. Itu dulu, dan kini tidak lagi. Semuanya berevolusi dengan cepat, dan aku belum siap menerima semua perubahan yang terjadi. Aku terlalu bingung, karena tidak terbiasa dengan suasana seperti ini. Tidak ada tempat berbagi. Semua orang di rumah ini saling menjauh dan membuat kotak-kotak sendiri. Kotak penghalang komunikasi.
Akhirnya aku menyerah dan mengikuti permainan mereka. Sibuk sendiri dan tak saling bicara. Karena itu aku tidak betah di rumah. Aku lebih memilih berbaur dengan dunia luar dari pada kecewa karena setiap pertanyaan kenapa yang aku lontarkan tak seorangpun yang mau menjelaskannya padaku. Bahkan menjawab pun tidak. Semuanya terabaikan.
Ah, andai orang itu masih ada. Mungkin aku tak kan merasa bingung seperti saat ini. Dulu aku tidak terlalu mempermasalahkan kehadiran Ibuku yang sangat jarang. Aku hampir tidak pernah bicara dengan Ibu, tapi aku tetap bahagia karena aku masih punya kakak-kakak yang sayang dan perhatian padaku. Aku tidak pernah menangis ketika teman-temanku saling bercerita tentang orang tua mereka, bahkan ketika mereka dengan cerewetnya bertanya padaku kenapa aku tidak pernah membahas tentang orangtuaku. Sedikit pun aku tidak pernah merasa iri. Bagiku, tiap keluarga punya ceritanya sendiri. Dan inilah keluargaku.
Aku merasa semuanya normal-normal saja, sampai suatu hari aku terpaku menyaksikan kejadian itu. Aku pikir aku bermimpi, tapi sayangnya ini nyata. Tepat di depan mataku, aku menyaksikan kepergiannya. Dia tampak damai, tapi aku tau tubuh itu menyiratkan banyak luka dan penderitaan. Dia, sosok yang selama ini menjaga kami semua. Tiba-tiba saja semuanya menyalahkan Ibu. Waktu itu aku belum terlalu mengerti kenapa kakak-kakakku menyalahkan Ibu. Tapi kini aku sangat mengerti, kenapa Ibuku lah yang dipersalahkan. Kenapa semuanya saling diam. Dan surat itu, kini aku memahami isinya.
Hari ini langit melukiskan kebahagiaan. Setiap sudutnya dipolesi rona ceria. Memunculkan senyum mentari yang menghangatkan setiap insan. Senyumnya tak luput menyapa sebuah keluarga yang tengah sarapan di sebuah rumah berlantai dua. Sepertinya, senyum mentari tak memberi pengaruh bagi mereka semua, karena hati mereka tetap membeku.
Suasana rumah ini mendung. Tak seperti langit pagi ini.
“Kenapa nggak ada yang mau bicara dengan mama?” Wanita paruh baya itu menghentikan suapannya, kemudian menatap anaknya satu persatu.
“Nggak perlu mama tanya juga pasti udah tau,” jawab Nisa sambil terus menyuap sarapannya.
“Bukan itu jawaban yang mama minta, mama butuh alasan Nisa.”
Nisa hanya diam.
“Dulu waktu kami butuh mama, mama dimana? di Tokyo? di London? Apa mama pernah hitung, berapa kali mama bicara sama Bilqis? Dulu kami tetap bisa terima kesibukan mama, karena kami masih punya Papa dan Kak Nizzam. Tapi mama membunuh mereka berdua. Kami butuh mereka ma, dan kami nggak butuh mama,” Bilqis berkata dengan bergetar. Sebenarnya dia tidak tega berkata seperti itu pada Ibunya, tapi dia tidak bisa lagi memendam semuanya. Masalah ini harus cepat selesai. Kalau semuanya tetap saling diam, sampai kapanpun semuanya akan terus seperti ini.
“Bilqis…” Wanita itu berteriak. Jatungnya berdebar dengan cepat mendengar pernyataan Bilqis.
“Apa? mama butuh alasan kan? dan itu alasan Bilqis ma.”
Bilqis meraih tas sekolahnya dan dengan cepat melangkah keluar rumah.
“Mama dengar, anak sekecil Bilqis mampu ngasih mama alasan yang tepat. Itu aja udah bikin mama kaget. Apalagi alasan Nisa ma? Sedih banget ma, kehilangan kakak kayak Nizzam,” Nisa mendesah pelan. Air matanya hampir saja tumpah.
“Nisa…”
“Nizzam itu mau jadi pelukis bukan arsitek,” Nisa berteriak, air matanya tumpah juga. Kemudian dia ikut-ikutan pergi keluar rumah.
Wanita empat puluh tahunan itu menelan ludah dengan susah payah. Bagaimana caranya untuk berdamai dengan anak-anaknya? Sebesar itukah kesalahannya hingga anak-anak yang dilahirkannya membencinya dengan sangat?
“Hikko..” wanita itu tergugu menyaksikan putranya masih duduk di meja makan. Sedari tadi hanya diam mendengar penjelasan kedua saudara perempuannya.
“Kami nggak membenci mama. Nggak akan bisa membenci mama.”
Wanita itu terdiam, Hikko menarik napas panjang.
“Mungkin mama nggak pernah lihat, gimana kedekatan kami berempat. Ya, Mama kan sibuk. Kami maklum. Kami masih punya Kak Nizzam. Dia pengganti Mama di rumah ini. Tapi Mama membuat Kak Nizzam pergi,” Hikko berusaha agar air matanya tidak jatuh.
“Dia yang membunuh dirinya sendiri,” wanita itu berkata dengan napas memburu.
“Ya, tapi mamalah alasan dia melakukan semua itu.”
“Kenapa kalian hanya menyalahkan mama? kenapa papa tidak?” wanita itu semakin terisak dan air matanya tak henti-hentinya mengalir.
“Karena papa adalah Ayah yang baik,” Hikko tetap berusaha menahan air matanya.
“Bohong. Papa kalian selingkuh masih dibilang baik? Gimana dengan perasaan mama?”
“Papa selingkuh bukan urusan kami. Itu urusan kalian berdua. Mungkin bagi mama, Papa bukan suami yang baik. Tapi bagi kami papa adalah Ayah yang baik.”
“Hikko..” wanita itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
“Papa selalu sempat melihat kami, walau hanya lima menit. Dan mama nggak pernah melakukan itu,” Hikko menarik napas panjang.
“Kak Nizzam yang paling sedih waktu tau kalian bercerai dan kami semua ikut mama. Apalagi setelah dia tau papa meninggal sehari setelah perceraian kalian. Dan dia memilih pergi bersama papa sebulan setelah papa meninggal.” Hikko menambahkan.
“Hikko cukup..” wanita itu lagi-lagi berteriak, kedua tangannya berpindah menutup telinga. Air mata masih membasahi pipinya.
“Kami semua kehilangan dua orang yang kami sayangi. Lalu entah sejak kapan kami bertiga menjadi tidak akrab lagi. Kami menjauh. Kami terlalu kecewa untuk menerima semuanya,” Hikko kemudian berjalan menuju pintu meninggalkan Ibunya yang terduduk dan menangis sesegukan. Hikko terus berjalan dan membiarkan air matanya tumpah. Ia menangis dalam diam.
Tahun 2009
“Gue mau jadi pelukis Nis,” ungkap Nizzam pelan pada saudari kembarnya yang duduk persis di sebelahnya.
“Apa bedanya sih lo sama gue, gue itu dulu mau ngambil jurusan Bahasa bukan IPA. Gue suka nulis, dan lo tau itu. Gue juga suka bahasa inggris, apalagi bahasa jepang. Pokoknya bahasa gue suka lah. Tapi mama kan designer masa depan kita. Dan Mama bilang gue harus jadi dokter,” Nisa mengangkat bahu.
“Tapi kan IPA lo juga suka?”
“Mungkin nilai itung-itungan gue tinggi, tapi tetap aja gue nggak suka pelajarannya.”
“Gue juga gitu Nis. Gue maunya kuliah di Fakultas Kesenian. Lagian gue juga suka musik. Kan nanti lo juga yang bangga kalau gue bisa jadi composer terkenal, pelukis terkenal, pencipta lagu, woow..” Nizzam menerawang sendiri.
“Dan Mama bilang lo harus jadi Arsitek handal,” Nisa menepuk bahu Nizzam.
“Dan gue nggak mau jadi Arsitek. Huh.”
“Terima aja lagi. Arsitek kan nanti juga ngelukis kerjaannya. Ngelukis rumah tapi,” Nisa tertawa kecil.
“Lo pikir ngelukis rumah asal jadi aja. Matematikanya juga jalan,” Nizzam menjitak jidat Nisa. Nisa hanya meringis kecil.
“Gue mau aja jadi arsitek. Tapi asal mama jangan mengatur hobby gue. Enak aja mama ngebakar property melukis gue. Semuanya dibakar habis.”
Nisa terdiam. Dia merasakan perubahan dari nada suara Nizzam. Suara itu menyiratkan kekecewaan yang teramat dalam. Wajah tampan itu dengan cepat berubah menjadi sendu. Wajah itu menggambarkan kesedihan yang tidak bisa diterobos oleh siapapun, termasuk Nisa.
“Mbak Nisa, Kak Nizzam,” gadis kecil berseragam merah putih itu berlari menghampiri kedua kakaknya yang sedang asyik bercerita di ruang keluarga.
“Hallo bidadari cantik,” Nizzam memeluk adik bungsunya itu.
“Gimana tadi di sekolah? seru?”
“Tadi teman-teman Bilqis pada cerewet lagi. ‘besok yang jemputin rapor kamu siapa?’ Pengen tauuu aja.” Bilqis tersenyum dengan sangat manis.
Nisa dan Nizzam saling bertatapan.
Keduanya terenyuh mendapati adik kecil mereka yang bisa bersikap tegar dan menerima semua keadaan dengan senyuman. Tidak pernah mengeluh dengan keadaan keluarga mereka. Tidak pernah bertanya kenapa hanya Orang tuanya yang berbeda, tidak seperti orang tua teman-temannya yang lain. Gadis itu selalu ceria dan cerewet. Ia benar-benar gadis bungsu yang berbeda. Bersikap lebih dewasa dari usianya yang sebenarnya.
“Eh, besok Kak Nizzam kan yang jemputin rapor Bilqis?” mata sipitnya yang bercahaya menatap Nizzam.
“Iya, besok Kakak ke sekolah kamu,” Nizzam tersenyum sambil mengelus-ngelus kepala Bilqis.
“Yess,” Bilqis bersorak kemudian berlari ke kamarnya yang terletak di lantai atas.
“Bolos lagi dong?” tanya Nisa.
“Terpaksa. Lagian ngambil rapor nggak perlu pagi-pagi amat kok. Gue masih bisa masuk jam pelajaran pertama, abis itu baru gue cabut.”
“Hikko besok juga Kak.”
Nisa dan Nizzam menoleh secara bersamaan. Seragam putih biru yang dikenakan Hikko terlihat berantakan. Dasinya sudah acak-acakan. Menyadari kedua kakaknya memperhatikan keadaan seragamnya, Hikko hanya menyengir kecil.
“Tadi habis main futsal kok.”
“Oke, jadi besok kamu juga ngapain?” tanya Nisa
“Rapat Ortu. Kan udah kelas tiga. Rapat minta sumbangan lah, masalah nilai lah. Tau ah.”
“Oke oke, besok Kakak ke sekolah kamu. Tapi Kakak ke sekolah Bilqis dulu.”
“Sip deh Kak,” Hikko mengedipkan matanya dan dengan riang melangkah ke lantai dua menuju kamarnya.
“Lo yakin? biar gue yang ke sekolah Hikko deh,”
“Nggak, daripada bolos berdua mending gue aja. Besok kalau ada anak kelas gue tanya kenapa gue ngilang aja, lo bilang gue sakit. Herpes, kanker, apa kek.” Nizzam tertawa kecil.
“Sekalian aja gue bilang lo Panuan. Terus lo pulang soalnya gatelnya minta ampun.”
Mereka pun tertawa bersama. Ruangan itu penuh dengan gema tawa mereka. Hangat oleh keakraban yang mereka ciptakan.

Langit seperti biasa melukiskan eloknya jingga. Berbaur cahaya mentari yang berjalan pulang ke peraduannya. Senja bermetamorfosa. Lagi. Sedetik, dua detik, sampai akhirnya senja menghilang. Malam kembali berkuasa.
Wanita itu dengan tergesa menutup jendela dan berlari merapikan meja makan. Sebuah kue tar berukuran lumayan besar telah tertata rapi di sana. Wanita itu tersenyum. Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke-45. Ia ingin merayakannya dengan anak-anaknya.
Wanita itu terlihat semangat dan bahagia, walaupun di wajahnya tampak kelelahan yang amat sangat. Tubuh itu semakin hari terlihat semakin kurus. Kerutan di wajahnya semakin tampak. Kecantikannya kian memudar ditelan waktu.
Wanita itu terus menunggu hingga larut malam. Namun tak seorang pun dari anaknya yang turun ke lantai satu. Tak seorang pun yang ingat akan hari ulang tahunnya. Wanita itu tetap tersenyum, walau sebenarnya dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Tepat lima menit sebelum pergantian tanggal, wanita itu membuat permohonan dan meniup lilin berangka empat puluh lima yang bertengger di atas kue tar-nya. Wanita itu termenung selama beberapa detik, kemudian ia menangis tanpa suara dengan seluruh tubuh bergetar.
Dari depan pintu kamarnya, Nisa menyaksikan semuanya. Tangan kanannya terangkat membekap mulutnya sementara air matanya terus berjatuhan. Dengan susah payah ia menyeret langkahnya untuk kembali masuk ke kamar. Tak lama setelah Nisa masuk ke kamarnya, Hikko juga keluar dari kamar dan menyaksikan hal yang sama. Hatinya tercabik-cabik melihat Ibunya sesegukan di depan kue ulang tahunnya. Ia pun ikut menangis. Namun Ego-nya terlalu dominan untuk sekedar menghampiri Ibunya itu. Akhirnya Hikko pun memilih masuk ke kamarnya kembali.
Tanpa keduanya sadari, Bilqis telah berdiri menyaksikan semuanya lebih dulu. Dan juga menyaksikan air mata mereka berdua yang berusaha di bungkam.
“Nizzam, gue kacau banget,” Nisa sesegukan di kamarnya setelah melihat Ibunya di lantai bawah barusan.
“Gue harus gimana?” Ia berkata pada selembar lukisan yang pernah diberikan Nizzam padanya. Nisa tersenyum di sela tangisannya. Teringat bagaimana dulu ia rela tampil norak demi mendapatkan lukisan ini.

“Kalau lo mau dukung gue di festival besok, gue kasih hadiah bagus deh,” Nizzam merayu Nisa untuk menjadi pendukungnya.
“Lo gitaris ya? Perform lo nanti nggak malu-maluin kan? Kalau jelek gue kan malu juga.”
“Tenang aja. Pokonya lo sorakin aja nama gue, ajak temen-temen lo juga kalau perlu.”
“Bilang aja lo nggak ada supporter. Ya udah, ada imbalannya ya? awas kalo lo boong,” Nisa memelototi Nizzam.
Sesuai kesepakatan, Nisa pun menjadi supporter Nizzam yang paling heboh. Berteriak memanggil nama Nizzam sambil memegang kertas karton besar bertuliskan nama Nizzam.
“Mana hadiahnya?”
Nizzam menyerahkan sebuah lukisan.
“Gue teriak-teriak cuma buat lukisan ini aja?” Nisa manyun.
“Nanti kalau lo kangen gue, lukisan ini berguna juga kok,” Nizzam hanya cengengesan. Nisa kesal-sekesal-kesalnya mengingat kenorakannya tadi hanya untuk sebuah lukisan.

“Lo bener, kalau gue kangen lo lukisan ini aja yang gue liatin. Yang ini lo, ini gue, ini Hikko, dan yang ini Bilqis,” Nisa menunjuk satu persatu orang-orang yang terdapat dalam lukisan Nizzam. Lukisan Nizzam satu-satunya yang masih tersisa. Lukisan empat orang dengan berbagai ekspresi yang dengan jelas adalah mereka berempat.
“Gue tau, gue harus bisa menerima masa lalu. Gue nggak boleh terus-terusan terikat. Gue masih punya masa depan. Oke, gue akan mulai lagi dari awal.”

Tahun 2010
“IP lo berapa?” tanya Nisa pada Hikko ketika mereka berada di depan gerbang kampus, langkah mereka seperti biasa menuju café diamond.
“IP lo 3,43 ya? Selamat ya Nis,” Nizzam mengabaikan pertanyaan Nisa.
“Iya Nizzam, makasih ya? tapi kan gue nanya IP lo bukan ngomongin IP gue.”
“Nih,” Nizzam menyerahkan selembar kertas yang dipenuhi nilai-nilainya pada Nisa.
Nisa mengerutkan kening dengan mata melotot.
“E E E E, Nizzam! 2,1?” Nisa berteriak tak percaya.
Nizzam mengangkat bahu cuek dan terus berjalan di sebelah Nisa.
“Nizzam, ini kayak bukan lo deh. Jangankan IP lo sama kayak gue, di atas gue juga lo bisa. IP 4,0 aja gue yakin lo mampu. Lo itu pinter tau nggak. Lo kenapa sih?” Nisa menggoyang-goyangkan lengan Nizzam.
“Nggak kenapa-kenapa kok Nis,” Nizzam tertawa kecil sambil mengacak-acak rambut Nisa. Nisa mengamati wajah yang sedang tertawa itu. Matanya berbeda. Ada yang tidak beres dengan Nizzam, pikir Nisa.
“Lo sakit? gue perhatiin lo kurusan? biasanya kan lo cerita ke gue?” Nisa berkata pelan.
“Eh, lo tungguin gue di café aja ya? gue ada perlu dulu nih. Nanti gue sms ya? Nggak lama kok,” Nizzam berkata cepat dan berlari meninggalkan Nisa.
Nisa hanya bisa ternganga, menarik napas lalu menghembuskannya kembali. Langkahnya tetap menuju café diamond, tempat dimana Nizzam dan dirinya sering menghabiskan waktu berdua.
Nisa memilih duduk di café bagian pojok. Suasananya lebih tenang, apalagi kacanya transparan sehingga bisa melihat pemandangan segar yang disuguhkan taman di sebelah cafe. Berkali-kali Nisa melirik ponselnya, berharap ada pesan masuk dari Nizzam.
Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya ponsel Nisa bergetar. Benar saja, pesan dari Nizzam.
“Nisa, gue di rumah. Gue sayang lo”.
Singkat. Hanya itu yang tertera di layar ponselnya. Tiba-tiba saja jantung Nisa berdegup lebih cepat, pikirannya kacau. Nisa merasakan kesakitan yang tidak bisa diungkapkannya dengan apapun. Dadanya berasa nyeri. Namun Nisa terus berlari dan menaiki bus. Dia terus berdoa agar dengan segera bisa sampai di rumah.
Hening!!
Hanya tubuh kaku Nizzam yang ditemukannya. Wajah tampan itu telah pucat. Jiwanya telah berjalan menuju langit. Kini hanya raganya yang tergolek tak berdaya. Dengan mulut dipenuhi busa, serta pergelangan tangan yang dipenuhi darah. Jarum suntik dan obat-obatan berserakan.
“Nizzam,” Nisa berkata lirih. Dibelainya tubuh Nizzam dengan air mata.
Di sudut kamar Nizzam, tampak Hikko yang dengan erat merangkul Bilqis. Gadis kecil itu hanya diam menyaksikan kepergian Kakaknya dengan cara yang tidak seharusnya. Entah dia mengerti, entah tidak.
“Ini kak,” Bilqis menyerahkan selembar kertas pada Nisa. Kertas itu penuh dengan bercak-bercak darah, namun tinta hitam yang tertera di atasnya masih bisa dibaca dengan jelas.
Mungkin dengan cara seperti inilah Kak Nizzam bisa membuat mama sadar. Sadar, bahwa mama telah mengabaikan kita, telah melupakan kita anak-anaknya. Lebih baik Kak Nizzam saja yang menyadarkan mama, lalu kalian tidak akan seperti biasanya lagi. Setidaknya setelah ini mama akan bersama kalian. Ini lebih adil bukan? Daripada kita terus berempat, namun kalian nggak pernah merasakan kehadiran sosok mama dalam kehidupan kalian. Kalian nggak usah cemas, Kakak akan baik-baik saja. Kak Nizzam berjanji, akan mencari papa dan mengatakan bahwa kalian juga akan baik-baik saja tanpa Kakak. Kak Nizzam sayang kalian semua.
Buat Nisa,
Lo jagain Hikko sama Bilqis ya?. Sekarang jabatan anak tertua gue serahin ke lo. IP lo jangan sampai rendah, jangan kayak gue. Mudah-mudahan lo bisa jadi dokter yang membanggakan. Gue berdoa buat lo. Nisa, makasih atas waktu yang udah kita lewatin selama ini. Nggak ada satu detik waktu pun yang gue lupain. Lo adalah saudara kembar terbaik, teman yang paling pengertian, serta kekasih yang perhatian dan mau mencintai gue dengan tulus. Love u.
Buat Hikko,
Kamu harus jadi pelindung kedua saudara perempuanmu. Jangan bikin Mbak Nisa jengkel, juga jangan jahil lagi sama Bilqis. Belajarnya yang rajin. Mudah-mudahan kamu lolos seleksi olimpiade Fisika tingkat Nasional itu ya? Kak Nizzam do’ain. Hikko, makasih untuk semuanya. Kamu adalah adik lelaki terbaik Kak Nizzam sepanjang masa. Teman yang paling semangat menghibur kalau Kak Nizzam lagi ada masalah, walaupun lelocon yang kamu kasih kadang-kadang rada garing. Nggak apa, yang penting niatnya. Satu lagi nih, biasanya kan Kak Nizzam yang paling ganteng, sekarang gelar ‘paling ganteng’ kakak kasih ke kamu. Love u.
Buat Bilqis,
Bidadari cantik Kak Nizzam harus tetap ceria dan cerewet ya? Kalau sedih, cerita sama Mbak Nisa atau Kak Hikko. Mudah-mudahan kamu tetap jadi juara kelas. Kakak selalu do’ain kamu sayang.
Bilqis, makasih untuk semuanya.. Kalau Kak Nizzam lagi marah-marah, ngeliat kamu aja kak Nizzam udah mau ketewa. Kamu bikin gemes, imut. Oh iya, dulu kamu pernah bilang kalau kamu pengen ketemu sama bidadari. Nanti kalau kak Nizzam ketemu, kakak bakal bilang kalau kak Nizzam punya adek perempuan yang idola banget sama bidadari. Love u.
Buat Nisa, Hikko, dan Bilqis
Kak Nizzam sayang kalian semua. Jangan pikirin kak Nizzam, karena di sini masih ada papa. Selamat tinggal adek-adekku tersayang. -Nizzam-
Tepat dibaris terakhir, ketiga bersaudara itu menangis tanpa terkendali. Di luar rumah, ambulance juga terdengar membahana. Lalu dimulailah mimpi buruk mereka. Tanpa Nizzam.

Nisa, Hikko, dan Bilqis berkumpul di kamar Nisa siang harinya. Nisa berjanji akan meruntuhkan tembok-tembok yang memisahkan mereka selama setahun terakhir ini. Ia sadar bahwa sekarang anak tertua adalah dirinya. Ia lah yang seharusnya menjaga dan membimbing adik-adiknya.
“Hikko berubah cuek, Bilqis berubah pendiam. Mbak Nisa bingung. Nggak tau mau ngapain. Makanya Mbak Nisa ikutan kalian.”
“Nggak ah, Hikko mau nyapa mbak tapi wajahnya sinis aja. Hikko pikir nanti juga baik lagi mood-nya, eh ternyata terus-terusan serem. Bilqis juga, pulang sekolah di kamar aja. Pokoknya semuanya kayak punya dunia baru. Ya udah, Hikko mau ngapain lagi,” Hikko mengangkat bahu.
“Bilqis yang paling bingung. Semuanya pada diem-dieman. Kalau ngomong sama mama pada ketus semua. Pulang ke rumah marah-marah nggak jelas. Bilqis kan takut juga.”
“Ya udah, kita mulai semuanya dari awal lagi. Kak Nizzam pasti juga marah kalau kita diem-dieman. Ya Ampun, betah banget ya setahun nggak pernah ngomong,” mata Nisa berkaca-kaca.
“Kita maafan ya?” Bilqis mengangkat jari kelingking ke udara, diikuti Nisa dan Hikko.
“Nanti kita minta maaf sama mama juga, Oke? Kita sujud kalau perlu. Pokoknya kita nggak boleh benci lagi sama mama. Mama yang sekarang sama yang dulu kan beda. Mama udah berubah,” Hikko ikut memberi saran.
“Iya, cukup setahun aja kita kayak orang asing,” Nisa tersenyum kemudian merangkul kedua adiknya itu.
“Kemaren malam Bilqis lihat kok Mbak Nisa sama Kak Hikko. Ngeliatin Mama kan? Bilqis udah lihat duluan. Nanti juga harus ngucapin selamat ulang tahun sama Mama. Nggak apa telat.”
Semuanya mengangguk setuju sambil terus berangkulan. Mimpi buruk itu hampir berakhir.
Langit kembali diselimuti jingga yang menawan. Arak-arakannya mengantar mentari pulang ke ufuk barat. Dari tadi sore, Nisa, Hikko, dan Bilqis menanti kehadiran Ibu mereka. Biasanya, setiap sore Ibu mereka duduk di depan jendela dekat ruang keluarga menyaksikan gumpalan-gumpalan jingga, pertanda senja telah tiba. Ibu mereka begitu menyukai senja. Entah apa yang menarik dari suatu jeda waktu antara sore dan malam itu. Yang mereka tau, Ibu mereka selalu menanti senja. Tak ada satu hari pun yang terlewati tanpa senja. Agaknya, senja telah seperti kekasih yang selalu dinanti wanita paruh baya itu.
“Hallo?” Nisa mengangkat gagang telepon. Disimaknya kata demi kata yang dikatakan orang di seberang sana.
Hening, Nisa terduduk.
Salah seorang karyawan Ibunya yang bekerja di toko roti, memberitahu Nisa bahwa tadi sore Ibunya ditemukan pingsan. Sejak kematian Nizzam, karir ibunya hancur. Lebih tepatnya Ibunya menghancurkan karirnya sendiri. Kemudian Ibunya membuka usaha toko roti yang sekarang sudah sangat maju.
Lalu tiba-tiba saja Nisa mendengar Ibunya pingsan dan dilarikan ke rumah sakit. Semuanya serba mendadak. Kenapa harus hari ini? Disaat dia dan adik-adiknya ingin memulai sebuah kehidupan normal lagi dengan Ibu mereka? Kenapa tidak besok? Sebulan lagi atau sepuluh tahun lagi? Nisa terus terdiam selama beberapa menit sampai akhirnya lamunanya buyar.
Dengan cepat Nisa mengajak adik-adiknya ke rumah sakit.
Ruangan serba putih dengan aroma obat-obatan. Tubuh yang mulai menua itu tergeletak lemah di atas ranjang. Hanya gerakan dadanya yang masih menyatakan bahwa tubuh yang tak bereaksi itu masih bernyawa.
Nisa, Hikko dan Bilqis mengucapkan ribuan permintaan maaf mereka. Mengatakan apapun apa yang ingin mereka katakan. Air mata yang terus mengalir membasahi pipi mereka. Mengingat setumpuk dosa dan kesalahan yang mereka lakukan pada wanita yang telah melahirkan mereka.
If you go away
this world will be full of solitude
All these stories, will be faded,
We love you,
We promise you that,
we’ll not leave you
we want to live for you
we won’t get angry to you
No matter you take for our life
we’ll not let you go.
“Maafin Nisa ma, Nisa sayang mama. Selamat ulang tahun ya ma?” bisik Nisa di telinga Ibunya.
“Hikko juga sayang mama. Hikko minta maaf buat semuanya. Happy birthday mama?” Hikko melakukan hal yang sama.
“Bilqis juga ma. Maafin Bilqis ya ma? Bilqis sayang mama. Selamat ulang tahun ma?” Bilqis berkata lirih sambil terus menggenggam tangan kanan Ibunya.
Tak lama setelah itu, genggeman tangan Bilqis terlepas. Tubuh itu menjadi kaku. Memucat. Namun tampak sisa-sisa air mata di antara kelopak matanya yang terpejam. Wanita itu menangis. Wanita itu pergi setelah semua anak-anaknya menyampaikan permintaan maaf mereka. Senjalah yang membawa jiwanya pergi. Senjalah yang menjemputnya. Kenangan tentangnya pun ikut terbawa dan menguap bersama senja. Sepotong senja yang telah menghilang.
if mom here, then this place is always blissful
we’re a part of your soul
and everything about you is close to our heart
always and forever,
as long as the stars twinkle in the night
as long as about you
will stay in our hearts.

Fachrunisa
Viroland Note’s
Selamat jalan Mama. I Love you. Mungkin kau akan menertawakanku. Bagaimana mungkin seorang calon dokter membiarkan Ibunya pergi begitu saja. Ya, takdir. Hanya itu jawabanku. Aku tak pernah tau tentang apapun yang dialaminya. Tapi biarlah, biarkan saja tubuh itu tenang di sana. Bersama papa dan Nizzam. Semoga mereka bertemu.
Hikko
Viroland Note’s
Aku bahagia, karena aku bisa mengucapkan maaf dan selamat ulang tahun untuk Ibuku walau hanya untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Aku bahagia. Kau dengar itu? bahagia. Semoga dititik inilah mimpi buruk kami berakhir, semoga hari esok menyambut kami dengan berjuta kebahagiaan.
Bilqis
Viroland Note’s
Penyesalan selalu datang di akhir. Ya, karena di akhirlah maka namanya penyesalan. Andai dari dulu saja aku berdamai dengan Ibuku. Tapi tak apalah. Inilah jalan yang telah aku lalui. Pasti ada hal baik yang akan terjadi di masa depan. Aku berharap masa depan kami semua, penuh dengan kejutan yang membahagiakan. Cukup masa lalu saja yang membenamkan kami pada kerancuan, kebuntuan, dan kekecewan. Biarkan masa depan memberikan rancangan terbaiknya.
Nisa, Hikko, Bilqis.
Maafkan kesalahan mama ya sayang? mama mengabaikan anak-anak mama. Anak-anak yang cantik-cantik, ganteng, pintar-pintar pula. Semoga mama dimaafin ya? Mama udah memaafkan kalian jauh sebelum kalian minta maaf. Tapi rasanya anak-anak mama nggak pernah punya kesalahan sama mama. Sebenarnya mama sudah sakit sejak lama, tapi mama takut periksa. Takut mama menderita penyakit serius. Akhirnya ya seperti ini. Penyakit yang semula kecil itu, menyebar dengan cepat. Menggerogoti seluruh tubuh mama. Awalnya memang gejala kecil pada kerusakan hati, tapi lama-lama menyerang organ lain. Tapi percaya sama mama, walaupun hati mama berlubang, membusuk, atau hilang. Mama akan selalu mencintai kalian. Karena tak hanya hati mama yang hafal akan rasa cinta untuk anak-anak mama. Seluruh tubuh mama, telah hafal bagaimana caranya untuk mencintai kalian. Lihat bukan? mama tetap bisa mencintai kalian sampai kapanpun walaupun hati mama sudah tak ada. Karena begitulah seorang Ibu diciptakan. Maafkan mama atas semua kesalahan masa lalu, sekali lagi. Mama sudah menyiapkan semua biaya masa depan kalian. Biaya kuliah Nisa, Pernikahan Nisa, kuliah Hikko, pernikahan Hikko, Sekolah Bilqis, Kuliah bilqis, serta biaya pernikahan Bilqis. Mama sudah menabung dari dulu untuk semua ini. Semua biaya itu bisa kalian gunakan. Jadi kalian tidak akan kekurangan apapun walaupun mama sudah
tak ada. Mama mencintai kalian, sayang.
Cerpen Karangan: Sahila Daniara
Facebook: Sahila Daniara
Nama Sahila Daniara or nick Shasa :)

http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/sepotong-senja-yang-hilang.html
20.22 | 0 komentar | Read More

Cerpen Terbaik Tentang Cinta yang Romantis: Kekasih Adikku

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiltIoeVioKDobLbMmlUd_D4NdXqPeKbPcXnBpeqtLflmYzjQg8kOMrfN952Ho5NrvvPTap8xQKpLe4bPHmppzy45YmN1tJamxp1ohtuXrvU2Tk3POsjt_IdxSUysa3ZXIy_Z8SVEPG_pkg/s1600/Menyatukan+dua+hati.jpg
Dulu kukira cinta itu indah. Memberi mimpi yang penuh tawa. Tanpa mengenal kesedihan. Tapi kini kurasakan bagaimana cinta itu mampu membuat mimpi yang indah tergores luka yang amat perih.
Bukan aku tak tahu cinta itu telah berdua. Namun hati tak bisa mengelak bahwa aku mencintainya. Hatiku jatuh dalam pesona sosok lelaki yang rupawan dan cuek. Kalau aku boleh memilih, aku ingin lenyap seketika itu juga, saat kedua pasang mata kami beradu. Ada desiran halus merayap di hatiku. Namun aku tersadar, aku tak boleh mempunyai perasaan yang lebih dari sekedar teman. Karena kenyataannya, lelaki rupawan dan cuek itu adalah kekasih adikku sendiri. Aku tak ingin dicap sebagai cewek perebut cowok adik sendiri.
Hatiku pedih saat Juno, lelaki itu datang ke rumah dan menemui Azka. Mereka selalu tertawa bersama, bahkan bermesraan di ruang tamu ataupun di teras rumah. Dengan nanar, aku menatapnya sembari mengelus-elus dada untuk menguatkan hatiku. Tanpa terasa, mataku panas, hingga air mata merembes, lewat sudut-sudut mataku yang bulat besar.
“Andaikan aku yang bertemu dulu dengan dia, mungkin sekarang aku yang bercanda bersamanya. Tapi kenyataannya tidak.” Lirihku dalam hati.
Aku kembali masuk ke dalam kamar dan menguncinya. Berharap aku juga bisa mengunci hatiku untuk lelaki itu.

Aku tengah menyelesaikan tulisanku saat Azka mengetuk pintu.
“Ya masuk saja. Tidak dikunci kok.” Seruku dari dalam kamar.
Detik kemudian kepala Azka nongol di ambang pintu.
“Lagi sibuk nggak, Mbak?”
Sebenarnya aku ingin menyelesaikan tulisanku saat ini juga. Dan mengirimnya ke majalah siang ini sebelum berangkat kuliah.
“Nggak. Kenapa?”
Azka masuk dengan langkah dan senyum cerianya. Pantatnya dihempaskannya pada kasur.
“Mbak, nanti malam aku sama Juno mau makan malam. Mbak ikut ya. Kan kalau aku sendirian pasti nggak diijinin sama mama.” Azka melihat keraguan di wajahku. “Tenang Mbak, Mbak nggak akan jadi kambing congek kok. Nanti Juno bawa teman kok. Cowok lagi.” Azka memperlihatkan wajah polosnya, membuatku tak tega untuk menolak permintaannya. Dengan enggan, aku mengangguk dan tersenyum.
Melihat ekspresi wajahku yang setuju, Azka langsung bersorak riang dan berlari keluar kamar sambil berteriak pada mama. “Ma! Mbak Zhila mau ikut makan malam…” suaranya lenyap di ruang keluarga. Kudengar tawa papa dan mama yang menyambut putri kesayangan mereka berjingkat bahagia.
Namun di sudut kamarku, tertera luka yang mendalam. Seraut wajah sedih tengah menatap nanar pada setangkai bunga lili putih, yang bertengger indah di dalam pot dekat jendela. Seberkas keraguan menelusup hatinya tentang makan malam nanti. Ia harus mencari Antibiotik dulu, untuk bertahan dari penyakit cinta yang menyakitkan.

Azka terus ribut dengan penampilannya. Tiap detik ia terus bertanya pada mama, entah soal rambutnya, riasannya, gaunnya, ataupun sepatunya. Padahal ia sudah sangat-sangat perfect. Apalagi untuk gadis seumurannya. Rambut hitam sebahu dibiarkan tergerai, dengan hiasan mutiara perak di atas poni hingga menyamping. Gaun merah muda selutut dengan lengan pendek dipadukan dengan sepatu high heels yang serupa. Membuat gadis enam belas tahun itu terlihat aura kecantikannya.
Aku duduk tenang di kursi. Sesekali aku terlihat resah. Bukan karena jemputan lama datangnya. Tapi karena sosok cowok itu. Apa yang harus aku perbuat untuk hati yang tak tahu diri ini, mencintai kekasih dari adikku sendiri.
Malam ini dibandingkan kecantikan Azka denganku, sangat jauh berbeda. Azka terlihat cantik dengan background merah muda yang menampakkan keceriannya. Sedangkan aku terkesan elegant dan santai dengan balutan gaun putih selutut yang dipadukkan dengan sweater cream kesayanganku. Rambutku pun hanya digelung sederhana menggunakan copstic berwarna putih dengan tangkai lili putih. Untuk sepatu, kupadukan senada dengan gaunku.
Setelah sepuluh menit menunggu, dari halaman terdengar deru mobil Juno. Ternyata benar, Juno tidak sendirian. Ia membawa temannya yang terlihat cute. Malam ini Juno terlihat ganteng dan dewasa dengan balutan kemeja putih panjang, yang ia gulung hingga pergelangan tangannya. Teman Juno yang bernama Yoga, juga terlihat cute dalam balutan kemeja biru bergaris.
Juno berpamitan pada papa dan mama. Azka dan aku pun berpamitan pada papa dan mama.
“Hati-hati Sayang.” Seru mama pada Azka. Yang sudah duduk di kursi penumpang. “Zhila, jaga adikmu.” Aku tersenyum dan masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Azka. Juno duduk di belakang setir, dengan Yoga duduk di sebelahnya.

Juno memesan kursi untuk empat orang. Azka duduk di samping kanan Juno. Dan di sebelah kiri Juno ada Yoga. Sedangkan aku duduk di seberang meja Juno. Sungguh saat itu juga, aku merasa tak nyaman. Apalagi setiap kali melihat tatapan Juno penuh arti mengarah pada Azka. Atau perhatian kecil cowok itu pada adikku.
Semua memesan steak sapi, terkecuali aku. Aku meminta loabster laut. Padahal makanan yang kupesan adalah makanan kesukaanku. Tapi entah kenapa aku tak bisa menghabiskannya malam itu. Mungkin karena perasaan tidak nyamanku.
Aku tak banyak bicara. Aku lebih pasif daripada yang lainnya. Sering Yoga bertanya padaku dan kujawab singkat kata. Diam-diam aku melirik ke arah Juno dan Azka. Betapa bahagianya mereka. Sedikit perasaan bersalah menelusup ke dalam hatiku.
Tegakah aku menghancurkan tawa bahagia itu? Tegakah aku melihat wajah mendung Azka kalau aku merebut kekasihnya?
“Zhil, gue denger dari adik elo, katanya elo kuliah di jurusan jurnalistik ya? Hebat dong. Dari dulu gue pengin banget masuk dunia jurnalistik. Tapi sama nyokap gak diijinin. Katanya gak bikin sukses.” Kelakar Yoga dan aku menanggapinya dengan senyuman tanpa menyerobot ceritanya dengan berbagai pertanyaan tak penting. “Ngomong-ngomong elo diijinin ya, sama ortu elo?” Tanya Yoga yang melihatku diam saja.
“Sebenarnya Papa sama Mama gak setuju, mbak Zhila ambil jurnalistik.” Serobot Azka yang membuatku terkejut. “Papa-Mama, maunya mbak Zhila ambil broadcasting. Tapi mbak Zhila langsung gagal waktu tes masuk broadcasting. Jadi deh mba Zhila masuk jurnalistik dengan ijin terpaksa dari Papa-Mama.” Lanjut Azka tanpa rasa bersalah telah memalukanku di hadapan Yoga dan Juno.
Aku langsung bangkit selesai kalimat terakhir Azka.
“Mau kemana?” Tanya Yoga lembut.
“Tuh kan. Mbak Zhila emang suka gitu. Bentar-bentar ngambek. Makanya Mama gak sayang sama dia.” Seloroh Azka yang sudah kelewatan.
Ingin rasanya aku membekap mulut ember Azka dengan sepatu yang kukenakan. Cukup ia membuat aku malu dengan pernyataan pertama, tidak untuk pernyataan yang kedua. Dia benar-benar berhasil membuatku kehilangan muka. Lebh baik aku pergi dari tempat itu sekarang juga sebelum kulayangkan tamparan keras di mulutnya.
“Aku ingin ke toilet bentar.” Sahutku tenang. Aku langsung melesat pergi dari tempat itu, bahkan meninggalkan mereka di restoran itu. Aku tak peduli dengan mereka yang mungkin khawatir mencariku. Tapi yang kubutuhkan sekarang adalah ketenangan dan jauh-jauh dari Juno serta Azka.
Aku menelusuri jalan yang masih terlihat ramai walau malam sudah semakin larut. Kurasakan tungkai kakiku pegal. Kulihat sekeliling dan mataku berhenti pada pinggir air mancur. Kulangkahkan kakiku dengan terseok-seok menuju pinggir air mancur, dan duduk di sana. Kujulurkan kakiku agar tidak kaku, setelah kulepas sepatuku.
Kuhirup bau lembap rerumputan basah yang bercampur dengan angin malam yang menggigilkan kulit. Kupejamkan mataku sejenak untuk mengatur perasaanku yang galau. Meski aku pernah merasakan sakit, tapi rasa sakit ini tak sesakit seperti hari-hari sebelumnya.
Aku terkejut mendengar dering ponselku di dalam saku sweater creamku. Tertera nama “Juno” di layar. Tak kuangkat. Ada rasa sakit saat mengucapkan nama itu di hatiku. Dering ponsel berhenti. Kubuka ponsel dan terlihat lima belas panggilan tak terjawab, diantaranya Azka, Yoga, Juno dan Papa.
Duduk lama di tempat dingin seperti itu, lama-lama membuatku pusing. Aku bangkit dari duduk dan berniat untuk pergi dari tempat itu, sebelum seseorang memanggil namaku.
“Zhila!” pemilik suara itu sudah berada di depanku. Matanya terlihat khawatir. Penampilannya sedikit awutan. “Kemana saja kamu? Apa kamu baik-baik saja? Papa dan Mamamu mencarimu. Azka dan Yoga juga. Mereka semua khawatir padamu.” Ucapnya dengan nada riang.
“Aku baik-baik saja. Ngapain kamu ke sini?” nadaku ketus dan membuat Juno mengernyitkan alisnya.
“Tentu saja mencarimu dan mengembalikanmu pada keluargamu, BODOH!” Juno ikutan ketus mendengar ucapanku.
“Aku bukan anak kecil yang harus bilang dulu kalau mau pergi. Dan aku tak sebodoh yang kau ucapkan.” Aku berniat pergi sebelum tangan Juno menahan lenganku dengan kuat. “Lepaskan tanganku.” Teriakku.
“Diam saja, kalau tak ingin dikira macam-macam.” Bisik Juno di telingaku sambil menatap ke sekeliling diikuti pandanganku. “Sekarang kau ikut aku.” Juno melihat keraguan di mataku, “Tenang. Aku tidak akan membawamu pulang.” Lanjutnya.
Aku menurut saja mengikuti perintah Juno. Tangan Juno menggenggam erat tanganku dan menyeretku ke sebuah restoran. Juno menyuruhku duduk di kursi pojok, ia sendiri duduk di sebelahku. Ia memanggil pelayan dan memesan banyak makanan dan minuman. Beberapa menit kemudian, dua orang pelayan bolak-balik mengantarkan makanan dan minuman yang jumlahnya kurang lebih sepuluh macam. Setelah pesanan terakhir diantarkan, Juno mengucapkan terima kasih.
Aku ternganga menatap begitu banyak makanan tersaji di hadapanku, tanpa sadar aku berteriak, “Astaga! Apa kau akan makan semua ini, Juno?!” aku menatap Juno dengan tatapan tak percaya.
“Tentu saja. Mengapa tidak? Tapi kau juga harus ikut makan kalau tak ingin semua makanan ini sampai kuhabiskan semuanya.” Ucapnya dengan seringai senyum manisnya.
Dengan sekejap aku melupakan rasa sakit yang bercokol di dadaku. Dengan sekejap aku melupakan siapa sebenarnya Juno. Dengan sekejap aku melupakan perasaan Azka, adikku. Dengan sekejap aku melupakan papa dan mama yang cemas dan khawatir, karena aku tak kunjung pulang. Dengan sekejap aku melupakan semuanya.
Kurasakan begitu bahagia malam ini. Perasaan yang menyenangkan hadir setelah sekian lama menjauh dariku. Tawa yang kukira tak penah muncul lagi di sudut bibirku, kini tergores dengan indahnya.
Aku mengambil daging kerang dengan saus lada hitam yang menggugah lidahku, apalagi ditambah dengan lobster dengan saus mayones.
“Emmm… nyummi…!” lirihku. Aku makan hidangan itu dengan lahap. Tanpa kusadari, sepasang mata tengah memperhatikanku.
“Ternyata kau doyan makan juga, ya?” Tanya Juno sambil menyendokan kepiting ke dalam mulutnya.
“Baru tau ya, kamu. Gini-gini aku makannya banyak. Bahkan semua makanan di meja ini bisa kuhabiskan sendiri, tapi mengingat ada kau, jadi kubagi dua untukmu.” Ucapku dengan mulut penuh makanan. Juno tertawa melihat tingkahku.
Malam itu aku dan juno bergembira. Kami menghabiskan banyak makanan. Bahkan sampai kami sakit perut.
“Aduh perutku sakit nih.” Keluh Juno. Tangannya memegang perutnya sambil berjalan membungkuk.
“Aku juga nih.” Timpalku. “Sebaiknya kita cari toilet yuk, sebelum semua ampas makanan ini keluar.” Usulku kemudian.
“Ayo. Oh ya, di dekat sini ada hotel. Siapa tahu kita diperbolehkan untuk ke toilet.”
“Kalau begitu ke sana saja. Aku sudah tidak tahan nih.”
Akhirnya aku dan Juno pergi ke hotel terdekat. Sesampainya di sana kami tak diperbolehkan meminjam toilet. Kalau ingin ke toilet, kami harus memesan kamar, dan kami bisa pergi ke toilet di kamar tersebut. Itu yang dikatakan Juno setelah bertanya pada recepsionis. Sementara Juno bertanya, aku duduk menunggu di lobi hotel.
“Ah lega.” Seru Juno begitu keluar dari kamar mandi di salah satu kamar hotel sambil mengelus-elus perutnya.
Melihat Juno keluar dari kamar mandi, aku yang tengah duduk resah menunggu, langsung berlari menyongsong kamar mandi.
“Pelan-pelan saja. Kita punya banyak waktu kok.” Seru Juno dari luar.
Sepuluh menit kemudian aku keluar dari kamar mandi. Ternyata setelah ke belakang, membuat tenaga kita berkurang. Melihat kasur empuk, aku langsung berjalan menujunya dan merebahkan diriku di atas kasur empuk itu.


Kudengar suara bisik dering ponsel. Kuraih ponsel yang semalam kuletakkan di meja samping tempat tidur. Pada layar ponsel tertera nama Vira.
“Halo Vir. Ada apa pagi-pagi gini, elo nelpon gue?” tanpa beranjak dari kasur empuk bahkan tetap memejamkan mata, aku mengangkat telepon.
“Apa elo bilang?! Pagi?!” suara cempreng nan keras terdengar seperti loudspeaker di tengah kantukku. “Ya ampun non, sekarang udah jam berapa? Elo lupa apa kalau hari ini kita ada ulangan Pak Purwa! Dosen tergalak di kampus!” Suaranya terus menggema di seberang.
“Itu kan nanti jam sebe… Aaaargggh…!” jerit histerisku begitu melihat jam beker di atas meja yang menunjukkan jam setengah sebelas.
“Gimana non? Sudah sadar sekarang? Sudah sana mandi dan siap-siap ke kampus. Kalau tak mau tahun depan ngulang lagi.”
Begitu telepon ditutup aku langsung menarik tubuhku ke posisi duduk. Rasa kaget karena kesiangan belum hilang, kini ditambah shock baru. Aku menatap heran pada kamar yang kutempati. Ini bukan kamarku. Sepenggal memori mulai tersusun rapi di kepalaku. Tiba-tiba aku menjerit.
“Ya ampun! Jadi semalam aku tidur di sini?! Bersama Juno?!” begitu mengucapkan nama Juno, yang empunya nama langsung nongol dari kamar mandi.
“Oh kau sudah bangun.” Terdengar nada datar di mulut Juno. Tak ada ekspresi apapun yang terlintas di wajahnya.
Seketika aku menarik selimut untuk menutupi tubuhku dan mengintip apakah pakaianku masih lengkap atau tidak. Terdengar desah lega saat aku tahu pakaianku masih lengkap, dan aku tidak merasakan perubahan apapun pada diriku.
“Tenang saja. Semalam kau tidak aku apa-apakan. Semalam aku tidur di sofa kok. Sebaiknya kau mandi. Kudengar hari ini kau ada ulangan? Dan kau tak ingin terlambat, kan?”
Aku langsung bangkit dan berlari menuju kamar mandi. Sepuluh menit kemudian aku keluar dengan wajah yang lebih fresh, daripada wajah kusut sehabis bangun tidur tadi.
“Ini.” Juno melemparkan blus biru dan rok berbunga tulip padaku. “Pakai itu. Setelah itu kuantar kau ke kampus. Aku tunggu di lobi.” Setelah menyelesaikan kalimatnya yang terakhir, Juno pergi keluar dan menutup pintu.
Aku terbengong sesaat.
Benarkah dia Juno kekasih Azka? Benarkah dia Juno yang cuek? Benarkah dia Juno yang diam-diam aku cintai? Kalau dia benar Juno, tapi kenapa sikapnya lain dari biasanya? Dia terlihat lebih perhatian sekarang. Ya ampun Zhil, mikir apaan sih kamu? Dia itu kan cowok adikmu sendiri.
Aku bergegas ke kamar mandi untuk mengganti pakaian yang lebih pantas ke kampus daripada gaun putih yang terlihat lebih santai. Selesai berganti baju, aku bergegas menemui Juno yang tengah menunggu di lobi. Begitu melihatku datang, ia tersenyum manis padaku. Saat melihat senyuman lelaki itu, aku merasa ada angin besar yang berhembus ke arahku. Membuat goyah tubuhku yang hampir tumbang dan jantung berdetak tak keruan.
Di dalam mobil kami tak banyak bicara. Sekeluar dari hotel tadi, Juno kembali pada Juno yang cuek. Aku jadi risih melihat sikapnya yang cuek itu. Dan aku merindukan sikap ramah dan hangat sewaktu di hotel tadi.
“Aku ingin tahu apa yang akan kau katakan pada Azka jika dia tahu kejadian ini.” Aku membuka percakapan. Dia tetap diam dan fokus pada setirnya.
“Aku tak ingin Azka berpikir yang tidak-tidak tentang aku. Apalagi aku ini kakaknya.” Lanjutku, dan lelaki itu masih tetap pada diamnya.
Aku mulai kehilangan kesabaranku. Aku memilih diam daripada ngomong dengan patung hidup. Selama lima belas menit kami seperti orang yang tak saling kenal. Kami saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesampainya di kampus, aku langsung turun dari mobil Juno dan melesat pergi begitu mengucapkan terima kasih.

Suara ramai dan riuh memenuhi ruang tamu. Acara pertunangan Azka dan Juno ternyata sudah disiapkan matang oleh mama dan papa. Buktinya, dekorasi ruangan terlihat mewah dan banyak tamu yang diundang. Aku merasa kecut untuk turun ke bawah. Setengah jam lagi pertunangan akan dimulai. Dan aku hanya bermalas-malasan di dalam kamar. Sudah sejak siang tadi aku mengurung diri dan tiduran di atas kasur, tanpa berniat untuk beranjak ke bawah. Sesekali bik Ijah mengetuk pintu dan membawakan jus untukku. Katanya mama yang nyuruh. Baik bener mama, biasanya cuma inget sama Azka.
Kali ini terdengar ketukan pintu. Paling-paling bik Ijah yang membawakkan makanan. Aku tak beranjak dari tidurku Aku tetap memejamkan kedua mataku yang terserang kantuk.
Tok! Tok! Tok!
Terdengar ketukan pintu lagi.
“Masuk Bik. Pintunya nggak dikunci kok.” Seruku masih terpejam.
Terdengar suara pintu dibuka.
“Taruh saja di meja, Bik.” Seruku masih terpejam dan tak menoleh pada bik Ijah.
Tak terdengar suara. Mungkin bik Ijah sudah keluar. Tapi, detik berikutnya, pernyataan itu disanggah dengan belaian lembut di kepalaku. Spontan aku membuka dua kelopak mataku dan menarik tubuhku ke posisi duduk. Aku tertegun menatap Juno tengah duduk di tepi ranjang sembari menatapku.
“Juno.” Kata pertama yang keluar dari mulutku. “Sedang apa kau di sini?”
“Apa kau akan terus bermalas-malasan di sini? Sementara para tamu sudah berdatangan.” Suara lembut Juno, bagai cahaya yang menyinari kegelapan di kamarku.
Aku kembali merebahkan tubuhku di atas kasur. Memeluk bantal guling dan membelakangi Juno.
“Untuk apa aku turun? Lagipula tak ada yang peduli padaku.” Nadaku terdengar ketus.
“Apa kau tega membiarkan adikmu sedih karena ketidakhadiranmu?”
“Biarkan aku di sini. Lagipula tidak ada yang peduli padaku. Hari ini, semua orang hanya akan melihat Azka.”
“Kau salah, Zhil. Ada yang peduli padamu. Dan hari ini justru kau yang akan menjadi pusat perhatian semua orang…”
“Pusat perhatian orang karena memalukan!”
“Zhila! Bangun!” Juno mulai kesal melihat sikap dan suara ketusku.
Namun ia tak menyadari, setetes air mata telah mengalir, membasahi luka yang tak terobati. “Bodoh! Ayo bangun!” bentaknya dengan menarik lenganku hingga tubuhku ke posisi duduk. Ia langsung tertegun, begitu menatap mataku yang telah basah oleh air mata.
Tangannya terjulur ke pipiku dan menghapus air mata yang terlanjur mengalir tanpa bisa ku cegah. Mulutku terkatup lama. Mata kami saling beradu. Kurasakan desiran halus merayap ke tubuhku. Seolah kami berbicara lewat bahasa kalbu.
Air mataku terus mengalir, bahkan semakin deras.
Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi dengan perasaanku. Kupeluk tubuh Juno. Tak ada reaksi dari lelaki itu. Ia membiarkan aku menangis dalam pelukannya. Tangannya membelai lembut kepalaku.
“Kenapa kau begitu jahat padaku?” lirihku di tengah isakku. “Apa kau tahu, betapa sakitnya aku menahan rasa yang begitu menyiksaku?” semakin erat aku memelukknya. Tak ingin sekalipun terlepas dari pelukannya. “Jujur, aku sangat mencintaimu.” Sempat terbesit rasa sesal di hatiku, karena telah mengatakan kata-kata itu. Dan masih tak ada respon dari Juno. “Dan aku tak ingin kau bertunangan dengan Azka.” Aku terpana ketika Juno mendorong tubuhku dan menatapku lekat.
“Apa kau bilang? Bertunangan dengan Azka? Aku?” tanyanya dengan nada ditekankan.
Aku menatapnya lekat, tak menjawab pertanyaannya. “Ha… ha… ha…” terdengar suara tawa Juno yang ringan, menggema di udara.
“Kenapa kau tertawa?” sungutku.
“Ya ampun, Zhil. Kau ini…” Juno menghentikan kata-katanya. Ia tak menyelesaikan kalimatnya, karena tak kuat menahan tawanya hingga matanya berair. “Kau ini nggak tahu, apa bodoh sih?” Tangan kekarnya mengacak rambutku.
“Apa maksudmu aku bodoh.” Aku menggeram dengan melototkan mataku dan berkacak pinggang.
“Dengar ya, Zhila yang BODOH, memang benar Azka akan bertunangan. Tapi itu dengan Yoga. Bukan denganku.”
Juno tertawa keras begitu melihat ekspresi wajahku dengan pipi yang memerah.
“Jadi Azka akan bertunangan dengan Yoga? Berarti Azka menghianatimu?”
“Siapa bilang dia menghianatiku?”
“Lho bukannya selama ini kau dan Azka berpacaran? Dan sekarang Azka bertunangan dengan Yoga! Berarti mereka berdua telah menghianatimu.”
Tangan Juno kembali mengacak rambutku dan tertawa lebih keras dari sebelumnya.
“Bodoh! Bodoh! Siapa yang bilang kalau aku dan Azka berpacaran? Dia memintaku untuk membantunya mendekati Yoga. Dan aku meminta bantuannya untuk mendapatkan… kakaknya.”
Aku melongo kaget, mendengar kata-kata Juno.
Juno mendekatkan wajahnya pada wajahku. Detik berikutnya, kurasakan bibir hangat dan lembut mengecup keningku.
“Yah, kau yang aku cintai. Bukan adikmu.” Ucap Juno yang langsung membuat tubuhku lemas. Juno meraih tubuhku ke dalam dadanya.
“Jadi kau tidak mencintai adikku?” tanyaku menggoda.
“Tidak.” Sahutnya sembari menggeleng.
“Dan kau tidak berpacaran dengan adikku?”
“Juga, tidak.” Juno kembali menggeleng.
Aku memeluk dada bidang Juno dengan erat.
“Jadi, sekarang kau mandi dan kita turun. Kau tak ingin terlambat menyaksikan pertunangan adikmu dan juga… tak ingn ketinggalan untuk menyusul bertunangan. Papa dan mamamu sudah menunggu kita.”
“Apa…” sebelum aku selesai protes, Juno membopong tubuhku dan membawaku ke kamar mandi.
“Mandi yang bersih dan dandan yang cantik.” Serunya sambil menutup pintu kamar mandi.”
Selesai mandi, aku langsung dirias oleh penata make-up. Aku memilih mengenakan gaun berwarna putih, warna favoritku. Setelah di make-up over, aku langsung turun ke bawah.
Kurasakan bahagia. Ternyata perasaan cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Karena Juno juga mencintaiku. Selama ini ia tahu kalau aku mencintainya. Tapi aku kesal padanya, karena dia sengaja bermesraan dengan Azka untuk membuatku cemburu. Dan semua yang dilakukannya sudah cukup membuatku cemburu, bahkan hampir membunuh perasaan cinta yang bercokol di hatiku.
~ The end ~
Cerpen Karangan: Mia
Facebook: www.facebook.com/der.laven3

http://cerpenmu.com
20.19 | 0 komentar | Read More

Cerpen Horor Menyeramkan: Jerat Cermin

Aku berdiri di depan cermin besar. Tubuhku tidak tampak disana. Hanya seorang wanita cantik yang selalu membuatku iri. Aku menatap sinis wanita di balik cermin itu.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgCU1wJCDfDlV18l3JkZUlDHG_pJwt0qSp-tKnWOgEfxVxHb_uP2bG0J4WvyIKJphm96yixRDT-GafpyAKrwVoFMoFTHFN44rx8W8y60cVKRe9QR2VD9PT15hDtxSA6JSSFCnlF9gP1nD6z/s1600/cermin.jpg
Ketika lenganku bergerak, ia selalu mengikuti apa yang kulakukan. Seperti saat ini, ketika aku tersenyum, ia membalas senyumanku. Kugenggamkan jari-jari tanganku dengan kuat. Aku mengepal ke arah cermin.
Wanita itu mengikuti apa yang kulakukan. Hanya tangannya lebih halus dan putih dari tanganku. Bahkan kuku-kuku indahnya berbanding terbalik dengan punyaku yang tajam dan hitam.
Rambutku yang terburai tidak teratur, berbeda sekali dengannya yang tertata rapi bahkan hitam tergerai indah. Aku tidak berani membandingkan tubuh dan wajahnya. Semua seperti langit dan bumi.
Aku yang keriput dengan cekungan mata besar dan hitam. Ditambah bola mata kemerahan dan hidung pesek. Berbeda sekali dengan kulit wajahnya yang halus. Mata sayu dengan bulu mata lentik, serta hidung mancungnya yang menggemaskan. Bibirnya yang tipis dan barisan gigi rapi nan menawan. Seakan menertawakanku yang bermulut sumbing dengan gigi tak beraturan serta sepasang taring di sudutnya.
“Sialan!” aku mengutuk diri sendiri.

Apa yang kulihat bukanlah diriku lagi. Aku kini jelek, dengan bentuk tubuh tak beraturan. Tidak yakin dimana jantungku hinggap. Bahkan sobekan di punggung membuat tulang rusukku menyeruak.
Kakiku bengkok dan pincang. Sebagian masih lengkap dengan tulang dan daging, sebagian lagi hanya tersisa tulangnya saja. Telapak kaki kananku hilang, kini kuganti dengan tongkat kayu yang mulai lapuk. Jangan berpikir tentang keindahan tubuhku saat ini. Sangat kontras dengan wanita yang berdiri tegak di balik cermin.
“Tidak lama lagi aku akan kembali.” Aku mendengus kencang.
Kusentuh cermin itu. Kedua tangan kami saling bertautan. Aku bisa melihat pundaknya yang halus. Ia memakai pakaian yang sudah pasti membuat laki-laki terjerat oleh tubuhnya. Bahkan hanya dengan kerlingan mata, tidak ada yang bisa menolak ajakan nakalnya.
Itulah yang tampak pada dirinya. Wanita idaman dan pujaan kaum laki-laki. Semua yang tampak padanya sangat sempurna untuk sekedar menjadi seorang wanita di bumi.
Ia adalah jelmaan bidadari dari langit. Itulah yang sering kudengar dari mulut-mulut kotor di tepi jalan. Aku tahu dia bukan wanita murahan seperti apa yang mereka pikirkan. Hanya saja, aku juga tidak bisa menampik, kalau dia telah berpredikat kotor. Bukan karena tingkah lakunya, namun sebuah jerat yang menimpa dirinya puluhan tahun silam.
Kini aku yang jelek dan tidak dianggap oleh siapapun, tetapi aku akan menjadi dirinya. Aku akan membalaskan setiap kebencian yang terpancar dari matanya. Aku juga dipenuhi dendam, sama seperti dirinya.
Aku kembali menyeringai. Kupandangi jemari hitam yang kini berdampingan dengan telapak halus miliknya di balik cermin. Aku ingin merasakan jemari lembut itu itu mengusap tubuhku. Sudah lama sekali sejak kejadian yang membuatku harus hidup di antara dua dunia.
“Aku ingin kembali cantik!”
Dia mengangguk untuk menunjukkan persetujuan terhadap apa yang akan kulakukan.
“Lakukan apa yang kamu inginkan! Kamu akan menjadi diriku. Menjadi Jehan, sang bidadari. Membuat iri para wanita karena laki-laki lebih memilihmu. Balaskan kebencian dan dendamku! Aku dan kamu adalah satu,” kata wanita itu dengan mata tajam.
Kami saling beradu. Aku bisa melihat garis yang menghubungkan tatapanku dengan bola mata indahnya.
Aku mengangguk dengan mantap. Sebuah persetujuan telah terjadi di antara kami.
“Kamu akan menjadi cantik kembali!”
Aku tidak peduli. Apapun yang terjadi, aku harus menjadi cantik dan akan kubuat semua laki-laki merasakan dendamku.
Aku menjulurkan lidah panjang yang basah dengan air liur. Kujilat tubuhnya dari balik cermin. Aku kembali mendengus. Tatapan mata penuh kebencian menyerangku. Aku tidak peduli dengan tingkahnya yang juga ikut bergerak seiring alur jilatan yang kubuat.
Dis tertawa terbahak. Sebuah gelas pecah akibat tawa kerasnya. Kuambil pecahan gelas itu. Kugoreskan tepat di pergelangan tangan secara perlahan. Tidak ada darah yang muncul disana. Hanya kulit terbuka penuh nanah yang terburai.
Aku tersenyum getir. Kulempar kembali pecahan itu dan kali ini menimpa cermin besar itu. Kuambil tongkat hitam di belakangku, lalu diayunkan ke arah cermin.
‘Prang,’ Suara pecah yang keras timbul akibat hantamanku.
Cermin itu pecah berkeping-keping. Jatuh ke lantai tanah. Kuambil serpihan paling besar. Kutatap wajah cantik itu yang diraut oleh goresan retak akibat hantamanku. Aku tersenyum, begitu juga dirinya.
Beberapa saat kemudian, tidak ada lagi wajah cantik di balik pecahan cermin. Hanya bayangan mengerikan yang penuh luka. Semua terselimut oleh darah yang menetes. Bahkan di balik matanya, aliran darah mengalir lembut seolah seperti ar mata. Namun lebih kental dan tidak bening.
“Akan kulakukan semuanya untukmu!”

Jo, kucing kesayanganku, terkejut dengan kehadiranku. Ia segera melompat kembali ke meja. Dengan kepala tegak, ia melihat aku yang duduk di samping Adi. Kubiarkan mata itu tak terpejam.
Aku mengusap lembut leher Adi. Tidak ada penolakan darinya, lebih tepat lagi ia telah pasrah oleh tingkahku. Kubuka jaket yang menutupi tubuhnya.
Aku mulai meraba dadanya yang masih berdetak.
“Kamu baik sekali! Bersedia menjadi milikku selamanya. Jangan khawatir, semuanya akan berjalan cepat. Tidak ada rasa sakit. Hanya ketenangan dan kenikmatan. Kamu pasti suka!” kataku lembut tepat di samping telinganya.
Tangan kananku segera bergerak dan meloncat lepas dari pergelangannya. Ia merayap di sekujur tubuh Adi dari kepala hingga kaki. Aku merasakan apa yang ada di dalam tubuh laki-laki ini.
Sesuai dengan keinginanku, semua berjalan lancar. Sejenak kupandangi wajah polos itu. Inikah wajah yang setiap saat bisa berubah. Dari polos tak berdosa menjadi siap memangsa.
“Aku tahu yang kamu inginkan. Namun keberuntungan tidak bersamamu. Saatnya aku menjadikan dirimu korban n*fsuku,”
Mendadak tubuh Adi bergetar. Tangan kiriku sudah ada di lehernya. Ibu jari menusuk dan darah segar mengalir di sela-sela kulit. Kubiarkan darah itu mengalir hingga membasahi dadanya. Terlihat segar.
Aku tahu malam akan segera usai, jadi semua kulakukan dengan cepat. Kudekatkan wajahku kelehernya. Tubuh Adi semakin bergetar hebat. Ia tidak berteriak ketika darah di tubuhnya semakin berkurang. Hingga ia terkulai lemas.
Matanya menutup perlahan. Dengan nikmat kuhirup wangi bekas gigitanku di lehernya. Semua berlangsung cepat. Kubersihkan sisa-sisa darah yang masih menempel di mulutku.
“Sekarang giliran kamu!” kataku kepada Jo.
Kucing itu melompat sigap dan melakukan apa yang baru saja dilihatnya dan melakukan persis seperti diriku.
Ada jemari yang menggelitik tengkukku. Aku segera menangkap jemari itu dan menyatukan lagi di tangan kanan. Sesuatu berada di genggaman tangan kananku. Aku mengerutkan dahi. Sangat berbeda. Mungkin Adi ini masih polos sehingga tidak seperti laki-laki lain.
“Sepertinya lebih lezat!” Aku berdecak dan menelan ludah.
“Biar kusimpan buat besok malam. Sekarang lebih baik tidur. Cukup untuk hari ini! Ayo Jo! Besok diteruskan lagi,” aku berseru kepada Jo yang masih asyik dengan Adi.
Jo melompat ke pangkuanku. Aku segera menggendongnya.

“Jadi siapa tadi namamu, aku lupa?” tanya Gio. Ia merasa pernah mengenalnya tapi kapan dan dimana. Ia tidak ingat apakah benar mengenalnya atau hanya sekedar khayalan saja.
“Namaku Jehan Saraswati. Panggil saja Jehan!” kata wanita itu.
Gio tidak menampik kecantikan Jehan. Sungguh sempurna. Bahkan lebih dari sekadar bidadari. Perlahan ia mendekatkan duduknya agar bisa mencium aroma parfum khas yang keluar dari tubuh Jehan.
“Kamu berlibur disini? Yang jelas kamu bukan rombongan dari kampus kami. Karena aku baru pertama kali melihatmu,” ucap Gio dengan nada meyakinkan.
Jehan tersenyum. Ia terbiasa oleh tingkah laki-laki ketika berhadapan dengannya.
“Aku menginap disana, itu milik pamanku,” kata Jehan sambil menunjuk sebuah bangunan di atas bukit kecil.
Gio terperajat ketika mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Jehan. Ia tidak melihat apapun sedari kemarin di bukit sana. Dan kini tiba-tiba sebuah vila megah berdiri di atas bukit itu.
“Aneh kenapa aku gak liat, ada vila disana. Kemarin sempat jalan-jalan lewat bukit itu,” desah Gio.
Namun pikiran itu segera disingkirkannya. Ia merasa mungkin penglihatannya terganggu atau ia kurang teliti memperhatikan sekitar.
“Kamu sendiri disana?” tanyanya lagi kepada Jehan.
Udara dingin pegunungan menambah sesuatu yang lain dipikiran Gio. Ia sadar wanita secantik Jehan akan menjadi rebutan laki-laki dimanapun dia berada. Tetapi tidak untuk sekarang, hanya ada Gio seorang. Jadi sebuah kesempatan terpampang di depan mata.
“Ya, aku sendiri! Ayahku pulang pagi ini karena urusan kantor. Sedangkan liburanku masih panjang, jadi aku menikmati kesendirian disana,” jawab Jehan sambil tersenyum lebar.
“Oh begitu!” Gio menanggapi ucapan itu dengan penuh maksud.
“Eh udah dulu ya! Aku harus kembali! Gak enak ditinggal lama-lama!” sergah Jehan membuyarkan lamunan sejenak Gio yang belum tuntas.
“Silahkan, senang bisa berkenalan denganmu!” sahut Gio dengan senyuman lebar.
Jehan segera meninggalkan Gio yang masih terpaku oleh langkah kaki wanita itu. Pandangan matanya mengekor setiap tubuh Jehan yang semakin menjauh. Ia terus melihatnya hingga di ujung jalan tepat di samping vilanya.
Tidak ada yang aneh disana, hingga sebuah angin tiba-tiba mendesak tubuh Gio untuk berlindung. Gio segera berdiri di balik pohon besar. Angin itu terus berhembus dan semakin besar. Dahan dan daun-daun pohon itu beterbangan.
Gio membungkukkan badan. Ia berpindah di sisi lain pohon agar tidak terkena secara langsung terpaan angin itu.
“Auw,” teriaknya ketika sebuah ranting besar menimpa punggungnya.
Angin itu telah berlalu. Gio melihat sekeliling. Matanya terperajat dan seolah tidak percaya pada apa yang baru saja terjadi.
Tidak ada bekas ranting maupun daun yang jatuh tertimpa angin. Bahkan pohon tempat dirinya berlindung, ternyata lebih kecil dari perkiraannya. Pohon itu tidak mampu menutupi tubuhnya jika terjadi angin kencang.
Gio mengedarkan pandangan matanya. Ia masih mengenal jalan tempat vila dimana rombongannya menginap. Namun ada yang aneh. Dimana vila megah di bukit itu? Ia tidak melihatnya lagi. Tidak ada vila yang baru saja ditunjuk oleh wanita bernama Jehan.
Gio menatap kosong bukit itu. Matanya tidak salah. Masih seperti ketika ia pertama kali tiba kemarin. Tidak ada bangunan apapun disana.
“Jehan,” mulutnya tergerak menyebut nama itu.

Aku tersenyum melihat laki-laki yang bernama Gio. Di atas sebuah pohon aku bisa melihat dia dengan jelas. Aku tertarik olehnya. Namun Adi yang baru saja menjadi korbanku sudah sangat berlebih.
“Lebih baik aku tidak mengganggunya dulu!”
Kuhembuskan sebuah angin besar yang keluar menerpa tubuh Gio. Terpaannya cukup untuk menggoyahkan tubuh laki-laki itu. Aku melihat dia berlindung di bawahku.
Dia tidak menyadari kehadiranku. Aku hanya tersenyum. Sungguh lucu memandang tingkahnya yang sedang membungkuk seolah angin itu ingin menghamburkan tubuhnya.
Kuambil sebatang dahan yang lumayan besar lalu kujatuhkan tepat di punggungnya. Dia terkejut dan menatap ke atas pohon. Aku tersenyum dan membalas tatapannya. Mungkin dia tidak melihatku di atas sini.
Kutinggalkan Gio yang masih penasaran oleh kejadian angin yang baru saja menimpanya. Aku menatap ke vila di bukit itu. Sudah lama tidak berkunjung kesana. Berbeda dengan vilaku yang lusuh dan kotor. Vila itu sangat rapi dan bersih. Pamanku memang merawat vila itu dengan baik.
“Terimakasih Gio!” Aku berkata lembut di telinganya sebelum pergi menjauh.
Kujatuhkan sepucuk kertas untuk memberitahu keberadaan temannya, Adi.


Semua panik dan cemas oleh penemuan mayat Adi di sebuah gubuk tua. Gio hanya tertegun, tangannya meremas gemetar kertas yang telah mempertemukan sahabatnya dalam kondisi tak bernyawa.
Polisi yang menyusuri tepat itu tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Namun kematian Adi serasa aneh. Tubuhnya masih utuh padahal telah seminggu dia menghilang dan tidak ada bekas luka apapun.
Semua tampak wajar dari luar, namun tidak dengan bagian organ dalam tubuhnya. Jantung Adi tidak berada di tempatnya. Seolah ia hanya robot berbentuk manusia. Tidak ada darah yang membeku. Semua kosong.
Gio semakin takut oleh peristiwa ini. Dua hari yang lalu tanpa sengaja dia melihat wanita yang mirip Jehan. Tepat di dalam rombongannya sebelum beranjak meninggalkan daerah ini.
Ia membaca isi kertas itu untuk ketiga kalinya.
“Lima puluh meter sebelum tikungan dari vilamu, ada sebuah gubuk tua. Sahabatmu ada disana. Aku tidak janji, dia masih bisa tersenyum. Sebaiknya kamu segera kesana, sebelum terlambat.
Dan jangan lupa, kalau aku selalu melihatmu. Tersenyumlah ketika aku menemuimu. Aku kesepian, mungkin aku akan membawamu ke vila megah yang pernah kutunjukkan padamu. Tentu saja, tidak sekarang. Karena aku masih menikmati darah dan jantung segar dari sahabatmu.”
Tangan Gio bergetar hebat. Kertas itu jatuh terinjak oleh kerumunan orang yang mengerubuti penemuan mayat sahabatnya. Ia sadar mengapa jantung Adi tidak berada di tempat semestinya.
Cerpen Karangan: Ken Surya

http://cerpenmu.com/cerpen-horor-hantu/jerat-cermin.html
20.15 | 0 komentar | Read More

BACA JUGA

DAFTAR LENGKAP ARTIKEL BLOG BAGINDAERY

Ikuti situs Bagindaery

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...