“Nasihat untuk SBY” yang Membuat SBY Marah
Adnan Buyung Nasution ketika menghadiri peluncuran buku terbaru, Nasihat untuk SBY (Sumber: Tribunnews.com)
Waktu pertamakali melihat buku Nasihat untuk SBY oleh mantan anggota Dewan Penasihat Presiden (Wantimpres) periode pertama (2007-2009), Adnan Buyung Nasution, di Toko Buku Gramedia, Grand City, Surabaya, saya langsung tertarik untuk membelinya. Apalagi, setelah membaca sinopsis di bagian belakang cover-nya. Saya pikir buku tersebut pasti akan menimbulkan kontroversial dan kemarahan dari pihak SBY (yang kita semua sudah tahu karakternya bagaimana). Ternyata, benar. Pihak SBY merasa tersinggung dengan penerbitan buku tersebut. Kontroversial pun mulai menyeruak. Apalagi dilihat dari aspek hukum formal apa yang dilakukan oleh Buyung itu memang melanggar Undang-Undang. Yaitu, UU No. 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Pasal 6, ayat 1 UU itu mengatur: Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, anggota Wantimpres tidak dibenarkan memberikan keterangan, pernyataan, dan/atau menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangan kepada pihak mana pun.
Lalu, kenapa Adnan yang sudah tahu dan mengakui perbuatannya menerbitkan buku tersebut melanggar undang-undang, tetap saja nekad melakukannya? Inilah sisi menariknya. Tentu, yang lebih menarik lagi, kita menjadi sangat ingin tahu apa saja yang terjadi selama Wantimpres dengan Adnan sebagai salah satu anggotanya (bidang hukum) menjalankan tugasnya itu? Bagaimana terjadi interaksi dan komunikasi dengan Presiden SBY? Apakah Wantimpres tersebut berfungsi secara efektif?
Menurut Adnan memang UU melarang setiap anggota Wantimpres untuk memberi keterangan, pernyataan, dan/atau menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangan kepada pihak manapun. Tetapi, menurut Adnan juga, tiada suatu kerahasian yang sifatnya mutlak. Kemutlakan itu akan bersifat relatif, apabila ada kepentingan yang lebih tinggi darinya. Dalam hal ini adalah kepentingan rakyat Indonesia. Keberadaan Wantimpres dengan segala status, wewenang, dan privelege itu dibayar dari dan oleh uang rakyat, maka harus ada pertanggungjawaban kepada rakyat atas tugas konstitusional.
Dalam Kata Pengantar-nya di buku itu, Adnan menulis alasan dia memilih untuk mempublikasikan apa yang pernah dia (bersama anggota Wantimpres lainnya) lakukan dalam menjalankan fungsinya sebagai anggota Wantimpres 2007-2009.
Sepertinya, Adnan selama ini gundah, atau terjadi perang dalam bathinnya karena selama menjadi anggota Wantimpres itu merasa tidak berdaya, karena keberadaan mereka itu dirasakan hanya sebagai formalitas atau pencitraan bagi Presiden SBY. Padahal adalah SBY sendirilah sampai memohon-mohon kepadanya untuk mau menjadi bagian dari Wantimpres itu. Karena jangankan pertimbangan-pertimbangan mereka didengar, bertemu saja nyaris tak pernah. Selama masa 1,5 tahun menjalankan jabatan itu, efektif hanya tiga kali Wantimpres bisa komunikasi langsung dengan Presiden SBY. Selebihnya harus bergerilya, melalui Mensesneg, dan Mensekkab. Bahkan dalam satu tahun terakhir sama sekali tidak ada pertemuan. Jadi, hanya 6 bulan pertama saja keberadaannya terasa benar-benar ada. Setelah itu seolah-olah saja ada.
Adnan munlis:
Perlu dipertanyakan lebih jauh sampai di mana kerahasiaan itu berlaku? Apakah segalanya itu serba rahasia sehingga masyarakat tidak boleh mengetahui apapun? Kalau begitu masyarakat tidak tahu apa tugas dan tanggung Wantimpres. Lebih jauh lagi masyarakat juga tidak akan pernah tahu apakah Wantimpres sungguh-sungguh bekerja memberikan nasihat dan pertimbangan yang tepat kepada Presiden atau tidak? Kalau Presiden melakukan kesalahan dalam tindakan dan keputusannya,apakah karena sebelumnya Wantimpres tidak memberikan nasihat dan pertimbangan? Lalu kenapa pula Wantimpres tidak memberikan nasihat dan pertimbangannya? Bisa timbul berbagai pertanyaan seperti itu dari masyarakat.
Sebab itulah di dalam buku ini saya dengan sadar selaku mantan anggota Wantimpres membuka semua pengalaman dan pemikiran saya dengan niat dan tujuan yang bersih untuk memberikan pertanggungjawaban moral, hukum, dan politik, kepada masyarakat. Karena
Keberadaan Wantimpres dengan segala status, wewenang, dan privelege itu dibayar dari dan oleh uang rakyat, maka harus ada pertanggungjawaban kepada rakyat atas tugas konstitusional.
Rupanya, Adnan khawatir bahwa masyarakat akan menilainya selama bertugas sebagai anggota bagian hukum dari Wantimpres itu hanya makan gaji buta. Hanya demi popularitas, hanya demi menaikkan nilai jualnya saja, menerima jabatan tersebut dari Presiden.
Bahwa dia tidak sungguh-sungguh bekerja untuk memberi pertimbangan-pertimbangan yang sangat penting kepada Presiden. Padahal, menurut Adnan dia itu sudah bekerja dengan ekstra keras, sampai stres berat, capek, kehilangan banyak waktu dan uang (dengan rela untuk sementara meninggalkan firma hukumnya, karena ada larangan jabatan rangkap), tetapi semua upayanya itu tidak dihargai Presiden SBY. Sementara itu kebijakan-kebijakan Presiden SBY sangat bertolak belakang dari prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Jangan sampai masyarakat menilai bahwa semuanya itu juga akibat dari Wantimpres di masanya itu tidak pernah mengingatakn dan memberi nasihat-nasihat kepada Presiden SBY, atau malah memberi nasihat yang keliru, sehingga membuat Presiden SBY berperilaku seperti “pemerintahan yang sesat,” sampai seperti sekarang ini.
Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, yang juga adalah mantan anggota Wantimpres periode setelah Adnan, Jimly Asshiddiqie menilai apapun alasannya, Adnan tidak patut menyebarluaskan isi nasihat Wantimpres yang pernah disampaikan kepada Presiden itu, seperti yang telah dilakukan Adnan melalui bukunya itu. Itu melanggar etika dan UU Wantimpres.
Menurut Jimly, alasan Adnan itu juga tidak tepat. Tanggung jawab kepada rakyat adalah tanggung jawab politik, dan bukan tanggung jawab hukum. Biasanya, itu hanya dipakai sebagai jargon politik agar terlihat gagah dan heroik. (Kompas.com, 26/05/2012).
Secara hukum, lanjut Jimly, Wantimpres dan para anggotanya bertanggung jawab hanya kepada presiden yang mengangkatnya. Wantimpres tidak diangkat oleh rakyat, maka secara moral dan hukum harus tanggung jawab kepada presiden. Demikian Jimly.
Yang saya khawatirkan adalah jika pendapat Jimly itu dibenarkan secara mutlak, maka sangat mungkin presiden yang “tidak beres” itu akan berlindung di balik hukum tersebut, untuk menutup-nutupi fakta-fakta yang sebenarnya terjadi. Bahwa keberadaan Wantimpres itu sebenarnya hanyalah formalitas saja, hanya sebagai pencitraan saja. Sementara itu, untuk semua kebijakan yang dia putuskan dan lakukan hanyalah berdasarkan pertimbangannya semata. Keberadaan Wantimpres itu hanya berguna baginya agar masyarakat melihatnya sebagai seorang presiden yang demokratis, yang mau mendengar nasihat dan pertimbangn dari pihak-pihak lain. Padahal faktanya tidak begitu. Kalau kerahasian itu bersifat mutlak, dan secara kaku UU itu diterapkan, maka niscaya “kebobrokan” Presiden SBY itu pun akan tertutup rapat.
Jika Presiden SBY melakukan kesalahan, yang merugikan pencitraannya, dia bisa berbagi, atau menimpakan kesalahan kepada Wantimnpres. Atau membuat masyarakat melihatnya seolah-olah seperti itu. Padahal, Wantimpres sudah mengingatkannya untuk (jangan) memutuskan/melakukan sesuatu hal itu. Halmana, inilah yang dirasakan Adnan, sehingga dia akhirnya memutuskan membukanya ke publik lewat bukunya itu. Agar publik tahu segalanya, Bahwa Adnan sudah pernah mengingatkan, atau sudah pernah menasihatkan Presiden SBY, tetapi SBY tidak mau mendengarnya.
Misalnya, Adnan pernah memberi pertimbangan kepada Presiden SBY agar jangan mau ikut menandatangani UU Pornografi yang telah disetujui oleh DPR itu. Pertimbangannya adalah karena UU tersebut tidak mengakomodir aspirasi banyak kalangan, dan mengingkari kebhinekaan di dalam masyarakat Indonesia. Ada beberapa pasal yang mayoritas masyarakat tidak setuju, terutama seniman, kaum muda, dan kaum perempuan karena mengancam kebhinekaan di Republik ini.
Tetapi SBY tetap saja menandatanganinya. Menurut Adnan, sikap SBY yang tidak mau mendengar nasihatnya itu, karena SBY sudah terbawa arus kepentingan politik sempit dan sesaat dari elite politik di DPR yang dikendalikan oleh obsesi-obsesi politik identitas (terutama agama), yang mengancam kemajemukan NKRI.
Meskipun sesuai dengan ketentuan setiap UU yang telah disetujui DPR, meskipun tidak ditandatangani Presiden, tetap berlaku 30 hari setelah pengesahan oleh DPR itu. Tetapi, kata Adnan, dengan tidak ikut mengesahkan UU Pornografi itu, akan memberi makna atau pesan yang dalam kepada masyarakat tentang nilai-nilai moral yang harus dijunjung tinggi bersama dalam menghormati, menghargai, dan menjaga kebhinekaan yang hidup dan terus berkembang dalam masyarakat, sekaligus untuk menjaga keutuhan dan integritas bansa, sekarang, maupun masa depan.
Kini, buku Nasihat untuk SBY itu telah beredar luas. Ketersinggungan dan kemarahan pihak Presiden SBY, dan kontroversialnya malah akan membuat buku ini menjadi semakin laris, dan bersamaan dengan itu akan semakin membuat semakin banyak orang yang tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Wantimpres angkatan pertama (2007-2009) dengan Presiden SBY itu versi salah satu anggotanya, Adnan Buyung Nasution.
Sejak awal seharusnya SBY tidak mengajak, apalagi sampai memohon-mohon kepada Adnan untuk bergabung di Wantimpres ini. Karena karakter Adnan yang terkenal keras, blak-blakan tanpa kompromi ini tidak sinkron dengan karakter SBY yang halus, melankolis, menjunjung tinggi pencitraan diri, dan mudah tersinggung itu. Kini, SBY harus “menangung akibatnya”. Adnan yang merasa tidak bisa menerima cara Presiden memperlakukannya selama di Wantimpres itu pun “mengamuk” lewat bukunya itu.
Sejak awal saja, belum apa-apa sebetulnya keduanya sudah tidak cocok. Yaitu, ketika baru saja Presiden SBY, pada 29 Maret 2007 mengumumkan nama anggota-anggota Wantimpres, yang salah satunya adalah Adnan Buyung Nasution, Adnan sudah mendapat undangan dari Andy F. Noya untuk mengisi acara Kick Andy di Metro TV. Dalam acara itulah ada pernyataan Adnan yang membuat Presiden SBY tersinggung berat. Sampai-sampai sempat meminta iklan yang mempromosi acara tersebut, yang menayangkan kutipan pernyataan Adnan itu supaya dihentikan tayangannya. Tetapi, ditolak oleh Adnan, yang mengatakan dia tidak punya wewenang untuk itu. Yang punya wewenang adalah pihak Metro TV. Pihak Istana pun menelepon Andy Noya untuk keperluan tersebut. Apakah isi pernyataan Adnan yang membuat SBY marah itu?
Apakah benar ketika mengajak Adnan untuk bergabung di Wantimpres itu Presiden SBY sampai memohon-mohon? Kesan itulah yang saya dapatkan setelah membaca buku tersebut.
Selanjutnya silakan disimak di
“Nasihat untuk SBY”, “Kick Andy” pun Mau Dicekal
Pengacara Senior Adnan Buyung Nasution menyampaikan kata sambutan saat peluncuran bukunya, Nasihat untuk SBY (Sumber: Mediaindonesia.com)
Belum apa-apa, sebenarnya, hubungan antara Presiden SBY dengan Adnan Buyung Nasution itu sudah kurang bagus. Karena karakter keduanya tidak cocok. Kalau di kepercayaan tradisional Tiongkok tentang shio, mungkin bisa dikatakan shio kedua orang ini ciong (tidak cocok, menimbulkan kesialan). Adnan mempunyai karakter yang keras, tegas, blak-blakan, dan tanpa kompromi. Sedangkan SBY terkenal dengan kelambah-lembutannya, peragu, tidak percaya diri, melankolis, mementingkan pencitraan, kompromis, dan mudah tersinggung. Tetapi tetap dipaksakan agar keduanya bekerja sama, ketika Adnan diminta untuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) periode pertama (2007-2009). Maka, tak heran terjadilah ketidakcocokan di antara mereka selama dalam periode tersebut. Yang kemudian terungkap luas ketika Adnan Buyung Nasution menerbitkan bukunya dengan judul Nasihat untuk SBY (Penerbit Buku Kompas, 2012). Terbitnya buku tersebut pun melahirkan perseteruan baru antara kubu SBY dengan Adnan. Pihak SBY marah dan tersinggung atas apa yang diungkapkan oleh Adnan di buku tersebut. Adnan dinilai telah melanggar UU tentang Wantimpres, yang melarang setiap anggotanya menyebarluaskan isi nasihat Wantimpres kepada siapapun juga. Selain itu Adnan dinilai telah berperilaku tidak etis.
Di awal start saja ketika Adnan diminta untuk bersedia bergabung dalam tim Wantimpres sudah ada tanda-tanda ketidakcocokan tersebut. Kesan itulah yang bisa didapat ketika kita membaca buku Nasihat untuk SBY itu.
Awalnya, Adnan yang waktu itu (Jumat, 21 Maret 2007) berada di Singapura, ditelepon oleh Menteri Sekretaris Kabinet (Menseskab) Indonesia Bersatu, Sudi Silalahi. Sudi memberitahu kepada Adnan bahwa Presiden akan membentuk Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang beranggota sembilan orang. Salah satunya adalah Adnan untuk Bagian Hukum.
Adnan mengaku kaget namanya dimasukkan begitu saja oleh Presiden SBY, tanpa menanyakan lebih dulu kepadanya. Adnan tambah kaget, ketika Sudi mengatakan lagi bahwa besoknya, Presiden SBY akan langsung mengumumkan nama-nama tersebut. Surat Keputusannya sudah dibuat.
Adnan pun protes, tidak terima. Dia bilang, tidak bisa begini caranya. Dia harus bertemu dulu dengan Presiden, untuk mengetahui terlebih dulu apa visi dan misi Presiden SBY tentang Wantimpres itu. Setelah itu baru bisa dia mengambil keputusan, terima atau tidak jabatan itu.
Sudi membujuk, “Begini saja Bang, nama Abang sudah dimasukkan di dalam SK yang akan diumumkan besok, hari Sabtu. Boleh tidak kita umumkan saja dulu nama Abang? Nanti setelah Sabtu baru kita atur pertemuan dengan Presiden.”
Adnan menolak usulan yang bernuansa formalitas seperti itu. Dia merasa di-fait a compli. Dia tetap bersikeras untuk bertemu dulu dengan Presiden SBY. “Baiklah, nanti saya bicara dulu dengan Bapak Presiden,” kata Sudi mengalah.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Sudi telepon lagi. Kata dia, SBY bersedia bertemu dengan Adnan pada Senin, 24 Maret 2007 (Adnan pulang ke Indonesia pada Minggu, 23 Maret 2007), tetapi SBY tetap meminta Adnan menyatakan bersedia dulu untuk menerima jabatan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden karena SK-nya sudah dibuat, dan akan diumumkan keesokan harinya.
Adnan tetap tidak mau. Penjelasan Sudi ini pada intinya sama saja dengan sebelumnya. Hanya kalimatnya saja yang berbeda.
“Tidak bisa Sudi, Abang tidak mau fait a compli begitu. Abang merasa dipaksa tanpa tahu visi dan misi Presiden. Kalau sudah diumumkan ternyata Abang tidak setuju, bagaimana? Nanti nama Abang jelek. Serba sulit nantinya. Abang tidak mau. Bilang saja kepada Presiden, Abang tidak bersedia kalau caranya begitu. Lebih baik tidak usah saja dimasukkan nama Abang.”
Sudi menyerah. Telepon yang ketiga masuk, kali ini Sudi mengatakan kepada Adnan bahwa Presiden SBY sendiri yang bicara langsung dengannya.
Presiden SBY menjelaskan kepada Adnan tentang latar belakang dan maksudnya membentuk Dewan Pertimbangan Presiden itu, serta membujuk Adnan agar bersedia menjadi anggotanya, yang akan diumumkan keseokan harinya. “ … Saya mohon Bang Buyung bersedia menjadi anggotanya. Abang ‘kan tokoh yang amat kami hormati. Saya sudah kenal Abang begitu lama, sebagi pejuang dan aset bangsa kita.”
Tetapi Adnan bergeming. Dia tetap bersikukuh dengan prinsipnya bahwa dia harus bertemu empat mata dengan Presiden SBY terlebih dahulu (di Jakarta), agar bisa tahu cocok atau tidak. “Jangan sampai saya menerima suatu jabatan tapi tidak cocok, lalu kita berantem,” kata Adnan.
Ternyata, meskipun kelak sudah bertemu empat mata, dan sudah jelas visi dan misi Presiden SBY membentuk Wantimpres itu, tetap saja mereka berdua berantem. Karena rupanya, SBY mengkhianati sendiri visi dan misinya itu. Sekarang, perseteruan mereka bertambah seru lagi, dengan terbitnya buku Nasihat untuk SBY itu.
Setelah tak berhasil membujuk Adnan. Presiden SBY pun mengalah, dan bersedia menunda pengumuman pembentukkan Wantimpres berserta nama anggota-anggotanya itu, sampai setelah ada pertemuannya dengan Adnan Buyung Nasution.
Sepulangnya dari Singapura, kembali ke Tanah Air, Adnan masih meminta masukkan dari keluarganya, dan lawyers di Adnan Buyung Nasution and Partners (ABNP) tentang permintaan Presiden SBY iru. Dia juga meminta asistennya, Ali Nurdin untuk mengumpulkan data-data tentang Dewan Pertimbangan Presiden itu. Guna dipakai dalam dskusi pertemuannya dengan SBY kelak.
Setelah tertunda beberapakali, akhirnya Adnan bertemu juga dengan Presiden SBY di Istana Negara, pada Rabu, 28 Maret 2007. Seperti permintananya, pertemuan tersebut hanya dilakukan di antara mereka berdua. Empat mata. Dalam pertemuan itu SBY menjelaskan panjang lebar tentang visi dan misinya membentuk Wantimpres itu. Sesudah mendapat penjelasan itu, Adnan memutuskan menerima tawaran SBY itu. SBY menjabat tangannya erat-erat, memeluknya dan cipika-cipiki pun terjadi. Besoknya, Kamis, 29 Maret 2007, Presiden SBY mengumumkan pembentukan Dewan Pertimbangan Presiden berserta nama-nama sembilan anggotanya.
Baru saja pengumuman itu disampaikan, datanglah undangan kepada Adnan Buyung Nasution dari Andi F. Noya untuk mengisi acara Kick Andy di Metro TV. Acara tersebut direkam terlebih dahulu sebelum ditayangkan dua minggu kemudian.
Di dalam acara Kick Andy yang terkenal dengan pertanyaan-pertanyaannya yang kritis, spontan, dan penuh kejutan itu terlontar pertanyaan pertama dari Andi Noya yang langsung membuat Adnan merasa terpojok, “Bang Buyung oleh publik Abang dikenal selama puluhan tahun berjuang di luar struktur pemerintahan, kenapa sekarang Abang mau masuk, padahal ibarat kapal, pemerintahan sekarang yang nahkodanya SBY sudah mau karam, kok Abang malah masuk?”
Adnan menjawab, “ Memang benar, selama ini saya berjuang dari luar, memberikan kritik, komentar, masukkan, bahkan berdemonstrasi. Sekarang saya diminta masuk ke dalam pemerintahan yang bagai kapal yang hampir karam, justru karena saya merasa wajib masuk untuk menyelamatkannya. Saya tidak tega dan tidak rela melihat kapal ini atau bahkan negara ini karam. Saya sebagai pejuang harus turun tangan membela kapal ini jangan sampai tenggelam, supaya kita bisa terus berlayar mencapai cita-cita berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini dengan memberi nasihat dan pertimbangan kepada Presiden. Diminta, maupun tidak diminta.”
Andi kemudan bertanya lagi, “Di dalam memberikan arahan kepada Kapten supaya kapal jangan tenggelam, kalau bentuknya nasihat, apa ukurannya nasihat Abang diterima atau tidak? Bagaimana Abang mengukur berhasil atau tidaknya nasihat Abang itu, atau percuma saja Abang memberi nasihat?”
Adnan menjawab begini, “ … Tidak ada parameter atau ukuran yang pasti. Taruhlah dengan berpikir sederhana, ada sepuluh point of interst kepentingan bangsa dan negara yang dipertaruhkan, dan saya memberikan nasihat. Kalau sembilan dari sepuluh nasihat saya diterima, berarti berhasil nasihat saya itu. Tetapi kalau dari sepuluh nasihat saya hanya satu yang diterima, berarti gagal, tidak ada gunanya saya kasih nasihat. Lebih baik saya keluar, saya cabut saja dari situ, buat apa saya ada di situ.”
Pernyataan Adnan Buyung Nasution yang saya jadikan huruf tebal itu kemudian dijadikan cuplikan untuk iklan acara Kick Andy itu itu setiap hari di Metro TV sebelum penayangannya. Iklan yang gencar dengan kutipan kalimat-kalimat yang keras dan pedas dari Adnan itu rupanya sampai di telinga Presiden SBY. Membuat telinganya memerah. SBY tidak terima. Dia tersinggung dan marah.
Lewat T.B. Silalahi, Adnan ditegur melalui telepon: “Bang, saya ini dekat dengan Presiden, saya tahu perasaannya terpukul sekali dengan pernyataan Abang itu. Abang ‘kan belum dilantik, belum mulai bekerja tapi sudah ngancam mau keluar, kenapa sih Abang begitu?”
“Lho, itu memang sikap Abang,” jawab Adnan tegas, “Abang mau masuk ke situ memang niatnya seperti itu. Mesti didengar dong nasihat kita. Kalau tidak, buat apa kita ada di situ, sama saja dengan DPA zaman dulu.”
“Tapi ‘kan belum dilantik, Abang sudah ngancam-ngancam mau keluar.”
“Bukan ngancam, tapi memberitahusikap Abang dari awal, supaya semua orang tahu. Menangnya kenapa? Apa salahnya?”
Adnan mengaku dia dengan T.B. Silalhi pun ribut, bertengkar di telepon gara-gara tayangan iklan Kick Andy itu.
Akhirnya, T.B. Silalahi bilang kepada Adnan, “Tolong, Bang, stop itu advertensinya, jangan terus-terusan!”
Tentu saja Adnan menolaknya, “Lho, tidak bisa. Bukan hak sayauntuk menghentikan, itu haknya pers, haknya Metro TV.”
Rupanya, pihak Istana belum mau menyerah. Ternyata SBY sangat gerah dengan ucapan keras Adnan itu. Tetapi seperti biasa, tidak berani bersikap tegas. Watak dan jurus Orde Baru pun dikeluarkan. Mereka pun menelepon Andy Noya untuk menghentikan iklan tersebut. Andi Noya menghubungi Adnan, minta pertimbangannya.
Adnan menjawab Andy, “Abang tahu, Abang tidak keberatan, kok. Bukan Abang yang minta dihentikan. Abang senang saja. Terserah kalianlah, bagaimana mengatasinya.”
Entah bagaimana cerita selanjutnya, yang pasti iklan acara Kick Andy dengan tokoh utamanya Adnan Buyung Nasutiuon itu tetap disiarkan terus-menerus. Sampai pada waktu acaranya ditayangkan. Rupanya, pihak Istana tidak berdaya untuk menaklukkan Andy Noya, atau lebih tepatnya Metro TV. Mungkin kalau pemilik Metro TV itu bukan Surya Paloh, ceritanya lain lagi. Tetapi, menurut Adnan inilah buah dari perjuangan reformasi terhadap kebebasan berekspersi yang tidak mampu ditaklukan oleh pemerintah lagi. Dalam momen-monen seperti ini mungkin pimpinan-pimpinan seperti SBY rindu dengan cara memerintah dengan sistem diktaor dan otoriter. Rindu dan ingin cara-cara rezim Orde Baru memerintah bisa diterapkan kembali.
Apabila Adnan tidak menulis buku Nasihat untuk SBY ini, kita tentu tidak bakal tahu kejadian-kejadian seperti ini. kejadian-kejadian yang membuat kita bisa menilai macam apakah rezim yang sedang memerintah sekarang ini. ***
Sumber: Nasihat untuk SBY, oleh Adnan Buyung Nasution (Penerbit Buku Kompas, April 2012)