Menengok Kembali Cicak vs Buaya Jilid I, dan Menyaksikan Cicak vs Buaya Jilid II (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Membaca sikap Presiden SBY yang tetap diam, tak berbuat sesuatu terhadap perselisihan antara KPK dengan Polri terkait kasus dugaan korupsi pengadaan simulator mengemudi di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri yang semakin memanas, pantas membuat siapa saja yang perduli terhadap penegakan hukum di negeri ini merasa sangat gemas. Kita menjadi semakin bisa memahami kenapa Adnan Buyung Nasution menjadi sedemikian kecewa dan geram terhadap sikap Presiden SBY ketika menghadapi kasus-kasus hukum besar di negeri ini. Sebagaimana dia tulis di bukunya yang sempat membikin heboh, Nasihat untuk SBY.
Di dalam buku tersebut Adnan Buyung Nasution menulis pengalamannya ketika menjadi anggota Badan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bagian hukum, angkatan pertama (2007-2009). Selama dua tahun menjadi anggota Wantimpres itu Adnan lebih sering tersulut emosinya, merasa sangat kecewa dan geram terhadap sikap SBY dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum besar di masa itu. Selain sering tidak responsif, tidak menjawab berbagai surat, disposisi, dan sebagainya yang disampaikan Wantimpres kepada Presiden SBY. Presiden juga sangat lambat dan peragu dalam mengambil keputusan, padahal segala pertimbangan dan rekomendasi sudah disampaikan oleh Wantimpres, khususnya di bidang hukum itu.
Presiden SBY sendiri yang berinisiatif untuk membentuk Wantimpres (yang terdiri dari beberapa bidang kerja, salah satunya bidang hukum) dengan maksud untuk membantunya menangani dan mencari solusi terbaik dalam menghadapi setiap kasus. Tetapi ironisnya, ketika nasihat, pertimbangan, dan rekomendasi itu sudah disampaikan, SBY seperti tidak mau menganggapnya, dengan cara tidak meresponnya, lambat sekali meresponnya, atau malah mementahkan kembali pertimbangan tersebut dengan menyerahkan kepada instansi lain lagi untuk dipelajari kembali.
Sikap SBY di “Cicak versus Buaya” Jilid Pertama / Tim Delapan
Sikap Presiden SBY yang disebut terakhir itu adalah ketika SBY terdesak untuk harus segera mengambil sikap terkait kasus terjadinya perseteruan antara KPK versus Polri pada 2009. Perseteruan tersebut berawal dari isu yang beredar adanya penyadapan oleh KPK terhadap Kabareskrim Mabes Polri saat itu, Komjen Polisi Susno Duadji, terkait pencairan dana dari nasabah Bank Century, Boedi Sampoerna. Dalam wawancara Tempo dengan Susno Duadji yang dimuat di Majalah Tempo edisi 6-12 Juli 2009 itulah Susno menggoblok-goblokkan KPK yang dinilainya bodoh karena berani dengan Polri, khususnya dengan Kabareskrim. Padahal dia tidak bersalah. Dari sinilah muncul istilah Susno, “cicak” melawan “buaya,” yang kemudian sangat populer itu.
Ketika Tempo bertanya kepada Susno Duadji, “Menurut Anda, kenapa ada pihak yang berprasangka negatif kepada Anda?” Susno menjawab, “Kalau orang berprasangka, saya tidak boleh marah, karena kedudukan ini (Kabareskrim) memang strategis. Tetapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang nggak akan dapat apa-apa.”
Tak lama kemudian Mabes Polri melakukan gebrakan dengan menetapkan dua pimpinan KPK waktu itu Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah (Bibit-Chandra) sebagai tersangka dan kemudian ditahan dengan tuduhan menerima suap dari Anggodo. Ketika sangkaan itu lemah, diubah menjadi penyalahgunaan jabatan. Polri bersikeras meneruskan kasus tersebut sampai ke tingkat pengadilan. Padahal dasar hukum penahanan dan bukti-bukti yang mendukung dugaan tersebut sangat lemah. Maka, dengan mudah diduga bahwa langkah Polri ini merupakan serangan balasan terhadap KPK yang telah berani mengusik Kabareskrim-nya. Istilah kriminalisasi KPK pun merebak.
Polri sengaja mengkriminalkan Bibit-Chandra untuk memperlemahkan KPK. Penetapan tersangka dan ditahannya Bibit-Chandra itu diduga sebagai serangan balik Polri terhadap KPK yang waktu itu diketuai oleh Antasari Azhar. Dugaan itu semakin kuat dengan beredarnya rekaman percakapan antara Antasari Azhar dengan kakak Anggodo, yakni Anggoro di Singapura. Seolah-olah Antasari pula hendak menerima suap dari Anggoro. Sedangkan menurut pengakuan Antasari itu merupakan bagian dari proses penyidikannya.
Kasus perseteruan Polri melawan KPK inilah kemudian oleh media dengan meminjam julukan yang dibuat Susno Duadji sendiri, disebutkan dengan kasus “cicak versus buaya.”
Waktu itu, — seperti sekarang terulang — banyak tokoh masyarakat, termasuk pakar dan praktisi hukum yang mendesak Presiden SBY segera turun tangan menangani perseteruan KPK (“cicak”) versus Polri (“buaya”) yang sudah berlarut-larut tersebut.
Sekitar dua bulan Presiden SBY tak melakukan apa-apa atas terjadinya perseteruan KPK versus Polri itu. Alasannya, SBY menghormati hukum, maka itu dia tidak mau turut campur tangan dalam kasus itu. Padahal masyarakat bukan menghendaki SBY melakukan intervensi materi hukumnya. Tanpa harus melakukan intervensi pada materi hukumnya, SBY seharusnya segera berinisiatif minimal memanggil kedua belah pihak, bersama para pakar hukum independen untuk dicari solusinya secepatnya. Bilamanya perlu dilakukan pemeriksaan oleh tim independen untuk memeriksa sebenarnya apa yang terjadi. Tetapi itu tidak segera dilakukan SBY.
Sekarang, SBY sedang melakukan kesalahan yang sama untuk keduakalinya. Dia sebagai seorang Presiden dan atasan langsung dari Polri, kembali lepas tangan, lepas tanggung jawabnya, dengan terus membiarkan perseteruan Polri melawan KPK yang semakin memanas. Tetapi, bersamaan dengan itu pemerintahan SBY berseru agar jangan sampai terjadi “Cicak melawan Buaya” jilid II. SBY selaku kepala pemerintahan menyerukan itu, tetapi dia tak berani melakukan apapun. Menurut saya, sekarang juga sudah terjadi “Cicak melawan Buaya” jilid II. Dan, SBY kembali berlindung di balik alasan demi menghormati hukum, tidak mau turun tangan menengahi konflik itu.
Perseteruan “Cicak vs Buaya” jilid I pada waktu itu sudah sangat mengganggu kinerja KPK. Pada taraf itu saja sebenarnya telah membuat KPK menjadi lemah, karena sebelumnya Ketua KPK Antasari Azhar sudah ditahan Polri dengan tuduhan sebagai otak pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin. Dengan ditetapkan Bibit-Chandra sebagai tersangka dan ditahan, maka praktis pimpinan KPK hanya tersisa dua orang. Bayangkan, pada situasi genting begini, SBY hanya diam saja! Dengan harapan “Cicak” dan “Buaya” menyelesaikan persoalannya sendiri. Sekarang juga SBY bersikap sama. Dia mengatakan bahwa masih akan mendengar usulan dari masing-masing KPK dan Polri terkait konflik tersebut.
Setelah terus mendapat tekanan dari publik, akhirnya SBY memutuskan membentuk tim independen pencari fakta kasus Bibit-Chandra pada 2 November 2009. Tim ini kemudian diberi nama Tim 8 (karena terdiri dari delapan orang) dengan ketua Adnan Buyung Nasution. Tim ini diberi tugas untuk mencari fakta-fakta apa sebenarnya yang terjadi di kasus tersebut, hasil dan rekomendasinya kemudian wajib disampaikan kepada Presiden. Hal pertama yang dilakukan Tim 8 adalah upaya membebaskan Bibit–Chandra dari tahanan Polisi, dengan alasan dan bukti hukum tidak cukup.. Berhasil.
Tanggal 3 November 2009 Tim 8 langsung mulai bekerja dengan memanggil banyak orang dan saksi-saksi terkait, termasuk dan terutama Susno Duadji, Bibit dan Chandra, para penyidik dari Kepolisian.
Dalam melakukan pemeriksan kasus tersebut Tim 8 antara lain meminta para penyidik untuk melakukan gelar perkara di depan Tim 8 dengan direkam video. Pada waktu itu Tim 8 melihat banyak sekali lubang-lubang yang menunjukkan perkara itu tidak jelas/rekayasa. Dari hasil pemeriksaan sementara itu juga ditemukan pengakuan penyidik bahwa dalam menjalankan tugasnya mereka telah diarahkan oleh atasannya. Sehingga walaupun keterangan si A, B, dan C saling bertentangan, penyidik sengaja tidak melakukan konfrontir. Atau dengan sengaja tidak memeriksa orang-orang tertentu.
Sampai dengan 9 November 2009, Tim 8 sudah berhasil membuat kesimpulan sementara, yakni bahwa tidak cukup bukti bagi Kepolisian selaku penyidik untuk mengirim berkas perkara sebagai P21 (berkas berisi bukti-bukti lengkap dari suatu kasus) kepada Kejaksaan untuk diteruskan ke pengadilan.
Tim 8 sangat terkejut ketika malah Susno Duadji menyatakan bahwa berkas perkara akan diserahkan kepada Kejaksaan pada hari Senin, 9 November itu juga. Mereka bertambah terkejut ketika Jaksa Agung Hendarman Supandji pada hari yang sama mengatakan bahwa telah dapat dipastikan berkas perkara Bibit-Chandra sudah lengkap, dengan bukti-bukti yang cukup untuk diteruskan ke pengadilan. “Saya bisa memastikan berkas perkara ini sudah lengkap dengan bukti-bukti dan akan diserahkan nanti malam oleh Kepolisian ke Kejaksaan.” Kata Hendarman
Oleh karena itu Tim 8 segera melakukan rapat kilat bagaimana caranya untuk bisa mendahului Jaksa Agung sebelum dia mengumumkan kepada publik bahwa berkas perkara telah lengkap dan bukti-bukti telah cukup untuk disampaikan ke pengadilan. Karena kalau itu sudah terjadi, maka sia-sialah kerja Tim 8 dengan kesimpulan sementaranya itu. Hasilnya, rekomendasi sementara yang hendak disampaikan kepada SBY yang isi intinya mengatakan bahwa hasil kesimpulan sementara Tim 8 adalah tidak alasan hukum yang cukup untuk terus menahan dan memidanakan Bibit-Chandra, dan bahwa pernyataan Jaksa Agung itu tidak benar.
Rekomendasi sementara itu lalu diserahkan kepada Menkopolkam Djoko Suyanto untuk segera diserahkan kepada Presiden SBY. Tim 8 juga meminta agar segera bisa bertemu dengan SBY. Namun tunggi punya tunggu, ternyata rekomendasi itu tidak segera mendapat respon dari SBY. SBY tak juga menampakkan dirinya. Tidak mau didahului Jaksa Agung, setelah menunggu SBY belum juga memberi respon, Tim 8 terlebih dahulu, segera mengumumkan kepada publik bahwa kesimpulan sementara hasil pemeriksaan Tim 8 terhadap perkara Bibit-Chandra adalah tidak terdapat bukti yang cukup dan berkas perlkara tidak bisa dinyatakan telah lengkap.
Jangan-jangan sikap tidak segera merespon dan menemui Tim 8 itu disengaja oleh SBY, untuk memberi waktu kepada Jaksa Agung untuk mempersiapkan pengumumannya itu lebih dulu daripada Tim 8?
Indikasinya, seperti yang ditulis Adnan di bukunya itu, tindakan Tim 8 itu membuat pihak pemerintah kaget dan marah. Tetapi, semua sudah terjadi, maka Jaksa Agung dan Kepolisian pun tak bisa berbuat banyak. Publik telah tahu bahwa ternyata tidak terdapat bukti yang cukup untuk meneruskan perkara Bibit-Chandra.
Selanjutnya, pada akhirnya, dari hasil kerja marathon selama 2 minggu non-stop, Tim 8 berhasil menyelesaikan tugasnya, dengan mengambil kesimpulan akhir bahwa dasar hukum dan bukti-bukti hukum yang dipakai oleh Polri untuk mempidanakan Bibit-Chandra adalah sangat lemah. Oleh karena itu memberi rekomendasi kepada Presiden untuk menghentikan proses hukum tersebut. Secara hukum, mekanisme penghentian perkara pidana dapat dilakukan dengan penghentian penyidikan di kepolisian; atau penghentian penuntutan oleh Jaksa penuntut umum; pengenyampingan perkara pidana demi kepentingan umum oleh Jaksa Agung; atau peniadaan penuntutan demi kepentingan negara (abolisi) oleh Presiden. Keputusan akhir ada di tangan Presiden SBY.
Namun di luar dugaan Tim 8, SBY bukannya segera memutuskan sesuai dengan rekomendasi tersebut, dia malah membawa rekomendasi tersebut kepada Kapolri dan Jaksa Agung untuk dikonsultasikan lagi. “Bola sudah ditaruh di depan gawang oleh Tim 8, Presiden tinggal menendang masuk (gawang), ternyata dioper dulu kepada Kapolri dan Jaksa Agung,” tulis Adnan di bukunya tersebut mengutip perumpamaan Dr. Komaruddin Hidayat.
Beberapa hari kemudian dengan terpaksa Jaksa Agung mengeluarkan SKP2 (Surat Keterangan Penghentian Penuntutan), perintah penghentian perkara Bibit-Chandra. Tetapi alasannya bukan demi hukum, melainkan dengan alasan karena faktor sosiologis dan adanya tekanan publik. Suatu alasan yang tidak ada dalam sistem hukum Indonesia, demikian menurut Adnan.
*
Menyaksikan “Cicak vs Buaya” Jilid Kedua
Kini, perseteruan KPK melawan Polri kembali merebak. Perseteruan “Cicak vs Buaya,” jilid II bukan lagi akan terjadi, tetapi sudah terjadi. Bahkan lebih panas daripada sebelumnya. Hal ini berawal dari pada 30 Juli 2012, KPK melakukan penggeladahan dan penyitaan barang bukti di Kantor Korlantas Lalu Lintas Polri, Jalan M.T. Haryono, Jakarta Selatan. Kemudian mengumumkan penetapan dua jenderal Polri, yakni Irjen Djoko Susilo dan Brigjen Didik Purnomo sebagai tersangka. Ini adalah pertamakali dan langkah paling berani KPK karena merasuk masuk sampai ke “sarang Buaya” dan menetapkan dua jenderalnya yang masih aktif sebagai tersangka.
Begitu KPK mengumumkan Irjen Djoko Susilo dan Brigjen Didik Purnomo sebagai tersangka, terjadilah rentetan kejanggalan yang dilakukan oleh Polri. Tiba-tiba mereka mengumumkan bahwa mereka juga sebenarnya sedang menyidik kasus korupsi yang sama. Berbareng dengan itu mengumumkan lima tersangka versi mereka. Padahal, sebelumnya, berkaitan dengan laporan investigasi Majalah Tempo (edisi 23-29 April 2012: “Sim Salabim Simulator SIM”) tentang dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi di Korlantas Polri, Mabes Polri telah mengirim hak jawabnya dan dimuat di Majalah Tempo edisi berikutnya.
Surat jawab yang ditulis oleh Kadiv Humas Mabes Polri saat itu, Irjen Pol. Saud Usman Nasution membantah bahwa ada korupsi di proyek tersebut. Di dalam surat itu antara lain disebutkan bahwa Tim Irwil V pada Inspektorat Pengawasan Umum Mabes Polri telah mengadakan audit investigasi. Hasilnya, tidak ada korupsi. “Tidak ada bukti telah terjadi tindak pidana korupsi di Korps Lalu Lintas Polri sebesar Rp 196 miliar terkait dengan pengadaan driving simulator roda dua dan empat …,” demikian Mabes Polri mengawali hak jawabnya yang dimuat Tempo itu.
Tetapi, “sim salabim” juga, begitu KPK menggebrak, eh, tiba-tiba Polri bilang ada korupsi di sana. Bahkan mereka sedang menyidiknya, mungkin lupa pernah kirim surat bantahan itu di Tempo. Segera mengumumkan tersangka versi mereka, dan segera menahan Brigjen Didik Purnomo. Polri juga bersikeras merebut kasus ini dari KPK. Kabareskrim Komjen Sutarman juga mengatakan bahwa tidak akan menyerahkan tersangka KPK yang berasal dari Polri (Djoko dan Didik) kepada KPK. Langkah-langkah aneh Polri ini jelas membuat publik sangat curiga bahwa gebrakan Polri yang terkesan sedang panik dan kalap itu sebenarnya adalah demi mencegah sesuatu yang lebih busuk lagi, yang ada di tubuh Polri.
Bahkan sebelum KPK melangkah lebih lanjut, Polri secepat kilat telah menahan lebih dulu Didik Purnomo. Mungkin lebih tepat ini bukan penahanan murni, melainkan suatu langkah mengamankan Didik dari potensi dia buka mulut kalau sampai ditahan KPK terlebih dahulu. Sama dengan Polri yang ngotot mempertahankan barang bukti sitaan KPK supaya tidak keluar dari kompleks Kantor Korlantas. Membuat KPK “disandera” selama hampir satu hari di sana, tidak diperbolehkan keluar dengan barang-barang bukti itu yang hendak dibawa ke Kantor KPK.
Setelah dilakukan perundingan yang alot antara Ketua KPK Abraham Samad dengan Kabareskrim dari Mabes Polri, Irjen Sutarman, dilanjutkan dengan Kapolri Jenderal Timur Pradopo, barulah KPK diizinkan membawa keluar barang-barang bukti itu. Tetapi, ternyata sampai sekarang, KPK tidak bisa mengaksesnya, karena barang-barang bukti yang telah disimpan di dalam sebuah gudang kontainer KPK itu dijaga terus-menerus oleh beberapa oleh polisi dari Mabes Polri, dengan perintah tidak memperbolehkan KPK atau siapapun menyentuhnya. Mabes Polri bersikeras meminta kembali barang-barang bukti itu, atau memaksa KPK harus mau bekerjasama dengan mereka. Bahkan pihak Polri sempat mengancam akan mengambil paksa barang-barang bukti tersebut jika KPK tidak kunjung mau menyerahkan kembali secara sukarela.. Polri juga mengancam akan menuntut KPK ke pengadilan perihal ini.
…
BERSAMBUNG
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com