"Diam pada saat yang tepat merupakan
karakter orang-orang besar, sebagaimana berbicara pada saat yang tepat
merupakan tabiat termulia." (Abul Qasim Al Qusyairi)
Alkisah, ada seekor burung tekukur
yang hidup aman dalam sarangnya di atas pohon yang tinggi dan berdaun
lebat. Suatu hari datang seorang pemburu, tapi ia tidak menemukannya.
Ketika pemburu itu hendak pergi, keluarlah sang burung dari sarang dan
bersiul-siul dengan suara merdu. Tanpa membuang waktu, si pemburu
tersebut mencarinya, melihatnya, lalu menembaknya.
Setelah jatuh ke tangan pemburu itu,
sang burung berkata pada dirinya, "Keselamatanku terletak pada diamku,
maka andaikata aku menggunakan logikaku, tentu aku akan tetap menguasai
nafsu dan lisanku."
Malang benar nasib burung tekukur itu.
Ia mati karena tergelincir lidahnya, bukan mati karena tergelincir
kakinya. Ali bin Abi Thalib pernah bersyair, "Orang sering binasa karena
tegelincir lisannya, dan sangat jarang binasa karena tergelincir
kakinya. Rasa sakit karena tergelincir lisan dapat menyerang kepalanya;
sementara rasa sakit karena tergelincir kaki perlahan-lahan akan
sembuh."
Keutamaan diam
Diam adalah perbuatan yang paling mudah dilakukan. Untuk melakukanya,
kita tidak perlu mengeluarkan tenaga dan biaya. Namun sedikit sekali
orang yang istikamah melakukannya. Padahal, dalam diam terkandung banyak
keutamaan. "Diam itu kearifan tetapi sangat sedikit orang yang
melakukannya," demikian sabda Rasulullah SAW Juga, "Barangsiapa yang
diam, dia pasti selamat."
Berikut ini beberapa atsar tentang
keutamaan diam. Suatu hari seseorang datang menemui Rasulullah SAW.
"Wahai Rasulullah, ceritakan kepadaku tentang Islam, yang setelah engkau
tiada aku tidak akan bertanya lagi kepada siapa pun". Nabi menjawab,
"Katakanlah: Kamu beriman kepada Allah lalu beristikamahlah kamu". Orang
itu bertanya lagi, "Ya Rasulullah, dari hal apa aku harus
berhati-hati?" Rasulullah SAW menjawab dengan isyarat tangan yang
menunjuk kepada lidahnya.
Uqbah bin Amir pernah bertanya kepada
Rasulullah, "Wahai Rasulallah, apakah arti dari keselamatan itu?" Nabi
SAW menjawab, "Kendalikanlah lidah kamu; jadikanlah rumahmu sebagai
tempat yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan ketentraman dengan
kehadiran orang-orang saleh dan menangislah akan kesalahan kamu."
Juga, "Tidak akan lurus iman seseorang
sebelum lurus hatinya dan tidak akan lurus hati seseorang sebelum lurus
lidahnya. Dan tidak pernah masuk surga seseorang yang tetangganya tidak
aman dari gangguan lidahnya."
Seorang Arab dari dusun pernah datang
menemui Nabi SAW seraya berkata, "Wahai Rasulullah, tunjukanlah aku
kepada satu amal yang bisa memasukkan aku ke dalam surga." Rasul
menjawab, "Berikanlah makanan kepada yang lapar, berikanlah minuman
kepada yang dahaga, perintahkan kebaikan, dan larang keburukan. Jika
engkau tidak mampu melakukan itu semua, tahan lidahmu kecuali untuk yang
baik saja."
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW
bersabda, "Selamatnya manusia adalah karena ia memelihara lidahnya.
Ketergelinciran lidah lebih berbahaya daripada luka-luka di dalam
tubuh." Ketergelinciran lidah adalah kebinasaan yang paling berat.
Abdullah bin Mas�ud berkata, "Demi Allah Yang tiada Tuhan kecuali Dia,
tidak ada yang kita perlukan untuk kita penjarakan selama-lamanya selain
lisan kita."
Seorang sufi besar Thawus Al Yamani
berkata, "Lidahku adalah binatang buas. Kalau aku lepaskan dia, dia akan
memakanku." Wahab bin Munabbih menyebutkan, "Wajiblah buat orang yang
berakal untuk bertindak arif dalam mengetahui keadaan zamannya dan
menjaga lisannya serta memperhatikan urusannya." Sedangkan Hasan Al
Bashri berkata, "Belum sempurna agama seseorang sebelum dia menjaga
lisannya."
Dalam Nahjul Balaaghah, Imam Ali berkata, "Al lisEn mzEnul insEn.
Lidah itu ukuran manusia." Dalam riwayat lain, Imam Ali menyebutkan,
"Lisan itu adalah penerjemah hati." Imam Ali juga berkata, "Betapa
banyaknya darah tertumpah karena lidah; betapa banyaknya manusia yang
binasa karena lidahnya; dan betapa banyaknya ucapan yang menyebabkan
kamu kehilangan kenikmatan. Maka simpanlah perbendaharaan lidahmu
seperti engkau menyimpan perbendaharaan emas dan uangmu."
Kapan diam, kapan bicara
Semua orang pasti bisa diam. Tapi diam dengan alasan tepat dan pada saat
yang tepat itulah yang menjadi sulit. Di sini tingkat kecerdasan dan
penguasaan diri seseorang diuji. Rasulullah SAW bersabda, "Di antara
tanda kecerdasan seseorang adalah sedikit berbicara dalam perkara yang
tidak berguna baginya." Sedangkan Abul Qasim Al Qusyairi mengungkapkan
bahwa diam pada saat yang tepat merupakan karakter orang-orang besar,
sebagaimana berbicara pada saat yang tepat merupakan tabiat mulia."
Walau demikian, diam pun bisa berubah
menjadi sesuatu yang buruk bila dilakukan pada saat tidak tepat dan
tidak mendasarkannya pada ilmu. Abu Ali Al-Daqqaq mengungkapkan bahwa
orang yang tidak mau mengatakan yang benar adalah setan yang bisu." Na�udzubillah.
Bagaimana caranya agar kita bisa diam
secara tepat atau berbicara secara tepat? Imam Syafi�i memberikan jalan
keluar. "Apabila seseorang akan bicara, maka ia harus berpikir terlebih
dulu. Apabila telah jelas bahwa ucapannya tidak akan memudharatkan, maka
berbicaralah. Dan apabila telah jelas bahwa ucapannya akan membawa
kemudharatan, atau dia ragu tentang bahaya tidaknya, maka diamlah."
Jadi, berbicara atau diamnya kita harus
disandarkan pada aspek kemanfaatan dan kemudharatan. Bila itu bernilai
baik, bicaralah. Bila bernilai buruk, maka diam lebih utama. Di sinilah
kualitas keimanan seorang Muslim akan terlihat. Sebab di antara tanda
baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak berguna.
Rasul bersabda, "Di antara (ciri) sempurnanya keislaman seseorang adalah
meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya." (HR Tirmidzi). Wallaahu a�lam.
http://cored.abatasa.co.id/