by: http://sosbud.kompasiana.com/2013/10/20/ketika-terpaksa-menyerobot-antrian-600653.html
Masalah
perilaku tak mau antri umumnya masyarakat kita bisa diatasi oleh
kantor-kantor atau instansi-instansi pelayanan umum, seperti kantor
pemerintah, bank, rumah sakit, dll. Mereka
menyediakan mesin khusus untuk mengambil nomor antrian atau sekedar
dengan cara manual. Petugas ataupun paramedis melayani sesuai nomor urut
antrian.
Terhadap
pasien-pasien yang perlu penanganan segera, rumah sakit menyediakan
unit gawat darurat dengan peralatan kesehatan yang lebih lengkap. Jadi
akan menyulitkan pasien sendiri, jika dalam keadaan kritis/darurat malah
antri kepada dokter praktek. Jika terpaksanya pasien sudah tak tahan
terhadap sakitnya, maka pihak rumah sakit akan mengarahkan ke unit gawat
darurat, seperti yang pernah saya alami.
Antri
berpotensi menjadi masalah jika tak ada pengaturannya. Tak selalu bisa
mengandalkan niat baik dan etika, apalagi jika pengantri merasa punya
kekuasaan. Kata Mama Syasya, ibu hamil, ibu yang membawa bayi dan balita, orangtua serta penyandang cacat boleh
menyerobot, maksudnya tak perlu ikut antri, karena memang termasuk yang
diperlakukan spesial dan diprioritaskan. Itu di Korea. Harusnya bisa
ditiru dan disosialisasikan di Indonesia.
Ketika
seseorang yang sedang antri, mempersilahkan orang lain masuk antrian di
depannya, terlihat ia baik hati, namun sebetulnya merugikan pengantri
di belakangnya. Seharusnya ia keluar dari antrian dan bertukar ke
antrian paling belakang, barulah layak disebut dermawan yang baik hati.
Kesadaran
itu sudah lama saya pahami. Di tahun 80-an, ketika bersama-sama dengan
teman-teman sekolah antri membeli formulir pendaftaran masuk perguruan
tinggi negeri (Perintis) di suatu PTN di Yogyakarta, saya sengaja
menolak permintaan seseorang yang mau nitip. Kami antri mulai pukul
20.00 wib, semalaman antri yang sekali-kali ditimpali hujan gerimis.
Pukul 07.00 wib pagi harinya loket penjualan baru dibuka. Yang semula
dekat dengan loket, pagi itu kami telah tergeser hingga lumayan jauh,
akibat banyak yang menyerobot antrian semalaman.
Pelan-pelan maju selangkah demi selangkah. Sekitar jam 09.30 kami
baru bisa mendekati loket penjualan formulir, ekor antrian masih
panjang, ratusan meter. Di pinggir antrian dekat loket banyak orang
berdiri berusaha mencari kesempatan masuk antrian atau nitip.
“Mas, bisa titip beliin formulir IPS untuk adik perempuan saya? Ia sakit, nggak bisa datang ke sini“,
begitu permintaan salah satu yang berdiri itu, yang sebelumnya
menanyakan dan tahu kalau saya cuma beli formulir pendaftaran untuk
bidang studi IPA saja.
“Nggak! sampeyan bisa antri di belakang!“,
jawab saya ketus. Dalam hati saya ngedumel, enak saja nitip, nggak tahu
capainya antri semalaman. Lagian, jika saya terima permintaannya, akan
lebih lama membelinya, sehingga merugikan antrian di belakang saya.
Selesai mendapatkan formulir rasanya lega sekali, saya membeli teh
botol, melepas sepatu yang basah dan duduk slonjor melepaskan penat sambil melihat antrian yang mengular. Alhamdulillah saya diterima di PTN, sehingga antrinya tak sia-sia.
Hampir
tiap saat saya menyaksikan pengendara motor atau mobil yang tak sabar.
Menyerobot antrian kendaraan dengan seenaknya. Mereka tahu peraturan
lalu-lintas, bahkan aparat yang nota bene harusnya menjadi contoh
penegakan hukum malah suka menyerobot antrian juga.
Saya
prihatin ketika kendaraan pribadi masuk lajur Busway, sebaliknya bus
Transjakarta pun tak mau kalah masuk lajur umum, saling serobot mencari
jalan yang kosong. Kadang saya mengalah ketika diserobot, namun kadang
kendaraan sengaja saya adu, jika hati sedang ‘panas’.
Sering
terjadinya penyerobotan pada jenis antrian seperti di atas boleh jadi
karena risikonya relatif kecil. Pihak yang diserobot masih bisa menerima
meski merasa terpaksa dan paling cuma bisa mengumpat dalam hati.
Bagaimana jika kondisinya mendesak atau urgen? Hal yang biasa dialami
oleh para jamaah haji reguler adalah antri untuk keperluan ke kamar
kecil/WC/toilet. Terhadap kebutuhan buang hajat, tak ada urusan lain
yang lebih mendesak yang bisa mengalahkannya.
Saya
mencatat sejak keberangkatan, selama penerbangan, selama di tanah suci,
hingga kepulangan dari beribadah haji, untuk urusan ke toilet mau tidak
mau para jemaah yang ribuan itu harus antri. Ada saatnya menunggu
dengan antrian pendek dan ada saatnya dengan antrian panjang. Meski
antrian sedikit, jika sudah benar-benar tak kuat menahan desakan isi
perut, bisa membuat seseorang menjadi tak sabar dan nekat.
Setelah
mabit/menginap semalaman di udara terbuka di Muzdalifah dan dalam
perjalanan menuju Mina yang macet parah, saya masuk angin plus gelisah
menahan buang hajat. Sampai di Mina sekitar pukul 12.00, tak
menghiraukan rombongan, secepatnya saya mencari tenda maktab untuk
meletakkan tas bawaan, selanjutnya bergegas ke toilet. Toilet pria yang
berderet berjumlah 10 itu masing-masing di depan pintunya sudah antri 2
hingga 3 orang. Saya mencari antrian yang paling sedikit. Meski sudah
antri sampai di depan pintu, tetap saja tak kuat menahannya. Ketika
pintu toilet sebelah terbuka segera saya menyerobot masuk sambil tetap
permisi kepada pemilik antrian, berharap kemaklumannya.
Selama
di dalam toilet saya tak tenang, merasa bersalah sudah menyerobot hak
orang lain. Saya berusaha secepatnya menyelesaikan urusan dan keluar,
namun orang yang menunggu sudah tak ada di tempat. Saya antri lagi untuk
menyelesaikan yang belum tuntas, karena keburu ada yang mendahului
masuk ke toilet yang barusan saya pakai.
Saya
berusaha mengikuti nasihat pembimbing manasik haji, jika hendak ke
toilet jangan menunggu sampai keadaan mendesak, baik untuk buang air
kecil maupun besar. Nasihat yang sangat bermanfaat. Beberapa kali pula
saya terpaksa mengalah, mendahulukan yang kebutuhannya lebih mendesak.
Macam-macam
tingkah laku orang yang sedang antri di depan toilet. Tindakan
menggedor-gedor pintu toilet dan adu mulut sudah biasa terjadi. Meski
urusan ‘ke belakang’ itu membuat pengantri cukup ‘garang’, namun tetap
toleran terhadap orang yang benar-benar tak kuat menahan buang hajat.
Itulah hebatnya keadaan mendesak itu yang bisa memungkinkan seseorang
mempunyai keberanian (tepatnya kenekatan) menyerobot antrian.
Sekarang
ini, jika sedang berkendara dan ada yang menyerobot antrian, maka mudah
saja agar tidak terjadi kontroversi hati (boleh juga istilah dari Vicky
Prasetyo ini) atau temperatur hati tak melonjak, maka cukup sekedar reframing, jangan-jangan itu sopir memang lagi kebelet, sambil mengingat kelakuan sendiri ketika menyerobot antrian toilet di tanah suci. (Depok, 20 Oktober 2013)
————-
Semua foto dokumen pribadi.
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com