Gunung Prau. Beberapa orang biasanya
mengernyitkan dahinya ketika kusebut destinasi ini. Sebagian lagi
tertukar pemahaman dengan Tangkuban Perahu di Jawa Barat. Gunung Prau
sebenarnya berada di perbatasan Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Kendal,
Jawa Tengah. Salah satu puncak dari deretan dataran tinggi Dieng.
Tingginya tidak seberapa, hanya terhitung 2565 mdpl, mendakinya pun
cukup mudah, dimulai pada kisaran elevasi 1900-an mdpl. Namun pesona
puncaknya mulai ramai mengundang kunjungan wisatawan lokal maupun luar
negeri.
Mimpi Prau terwujud ketika ajakan seorang teman menggugahku untuk berkemas;
“Yuk, mbak, sekalian libur Idul Adha, bisa sekedar light-trip,
sekalian pulang berlebaran”. Panji yang berdomisili di Jakarta, berniat
pulang kampung ke Salatiga mulai menggoyahkan keinginanku yang
sebelumnya ingin menuntaskan ‘obsesi’ Mahameru di hari libur lebaran
qurban. Ya sudah, karena ajakan mahameru belum bersambut, aku mengiyakan
kunjungan ke Prau. Kukontak Adhi yang berdomisili di Wonosobo, menagih
janji mengantar ke Prau. Dari anggota team yang bertiga, bergabunglah
pasangan Yanis-Devya, merembet ke team adeknya Devya; Ghulam, Budi dan
Satria. Fix berdelapan kami menunjuk Terminal Wonosobo sebagai tempat meeting point.
Aku datang dari Surabaya, tanpa
mampir pulang Magelang terlebih dahulu. 12 Oktober 2013, waktu belum
terlalu siang ketika kuinjakkan kakiku di Terminal Wonosobo. Budi,
Ghulam, dan Satria sudah sejak subuh standby di sini. Tidak
sulit menemukan dan mengenali mereka bertiga. Adhi langsung menyusul
begitu kukabarkan kedatanganku. Panji masih terlunta-lunta di jalur
Purwokerto-Wonosobo (atau bisa jadi malah belum beranjak dari
Purwokerto). Sementara Devya dan Yanis sepertinya menjadi korban PHP bus
Dieng Indah.
Hampir seharian penuh guling-guling tak
menentu di Terminal Wonosobo, bus Dieng Indah baru menampakkan diri
selepas Ashar. Alhamdulillah kami segera bisa beranjak menuju basecamp
Gunung Prau di Desa Patak Banteng. Dengan minibus seharga Rp15.000,00
per orang, dan waktu tempuh hampir satu jam, kami tiba di basecamp tepat
saat adzan magrib berkumandang. Hawa dingin Dieng Plateu menyapa kami.
suasana hiruk-pikuk karena ramainya oleh meningkatnya kuota pengunjung
yang antusias mendaki Prau. Kutitipkan barang-barang yang seharusnya
kubawa pulang kampung pada management basecamp, menjamak sholat magrib
dan isya, kemudian memulai pendakian.
Ide brilliant Adhi membeli segepok
pentol bakso untuk bekal di puncak. Devya dan Yanis juga membeli nasi
lima bungkus supaya di atas tidak perlu repot menanak nasi lagi.
Kami disambut trek yang cukup
mengejutkan; jajaran anak tangga yang menjulang cukup menguras fisik di
awal langkah. Physicly, aku merasa cukup fit mempersiapkan pendakian
ini, tetapi baru mencapai pos 1 (selepas permukiman) sudah sangat
kepayahan. Kesalahanku mendaki karena lapar, terakhir makan nasi sebelum
tengah hari tadi. Devya, Ghulam, Satria, dan Budi sudah jauh melangkah
di depan, sementara aku mulai dihasut para team penyapu; Adhi, Panji dan
Yanis untuk membuka nasi bekal Devya yang kebetulan tereksisting di
kerilku. Di bawah pos 2 (kalau boleh meminjam istilah Yanis; Pos 1,9)
aku semena-mena menyabotase bekal Devya, dihiasi untaian kembang api
yang tiba-tiba saja dinyalakan sekelompok orang di belakang kami,
menjadi sesi makan dan istirahat yang istimewa. Hanya sekitar lima
suapan nasi dengan quantity sebatas satu sendok teh per suapan, aku
mencukupkan makan malam dadakanku. Entah karena energi nasi, atau energi
indah kembang api, menurut ketiga team penyapu, kecepatan jalanku
melaju pesat seperti pesawat jet (padahal aku jalan pelan-pelan aja sih,
dengan asumsi bahwa mereka akan segera berhasil menyusulku kembali),
tapi kutunggu hingga ketemu dengan team di depan, mereka tak kunjung
menyusul. Nggak nyangka lima suap sendok teh nasi bungkus itu saktinya
bisa luar biasa kayak gini.
Tak lagi paham identitas pos
berikutnya, yang jelas target 3 jam pendakian berhasil kami tempuh dalam
waktu 2,5 jam. Angin dingin puncak menerpa kami sembari mencari tempat
datar yang terlindung dari cuaca untuk mendirikan tenda. Pilihan jatuh
pada area terbuka yang langsung dapat memandang Sumbing-Sindoro dalam
satu layering, meskipun kompensasinya harus sedikit berjibaku dengan
jalur angin. Tetapi karena pendakian malam itu begitu ramai, kami
berasumsi barisan tenda akan sedikit menahan angin gunung.
Aku tak tahan lagi untuk tidak
segera masuk tenda. Setelah teman-teman makan malam, minum hangat dan
sebagainya, aku mulai mengabaikan keindahan bintang gemerlap yang malam
itu begitu bersahabat menghiasi langit kami, berjaga-jaga saving energy
untuk ‘katut’ opsi maraton yang dimunculkan tiba-tiba oleh Satria dkk
menuju puncak sebelah; Sindoro 3153 mdpl.
Belum penuh pukul 05.00 pagi. Pekat
warna malam yang membias tenda sudah berubah menjadi lebih cerah.
Bergegas berjamaah subuh dengan devya (dengan kostum sleeping bag yang
membalut pinggang hingga kaki, hehe). Bersyukur karena puncak Prau tidak
memiliki sumber air, kami diperbolehkan untuk tayamum, yah setidaknya
sholat subuh melawan hawa dingin di Puncak Prau masih jauh lebih mudah
ketimbang di Ranu Pane atau Ranu Kumbolo yang berlimpah air *muka
culas*. Suara Panji sudah ribut-ribut aja di luar tenda, kebelet pengen
jejepretan. Mbak Endah mana? Udah bangun belom sih? Pengen kukerasin
bacaan surat pendekku buat ngasi kode *halah kode*, tapi hawa dingin
cukup membuat serak dan gemetar desibel yang keluar dari mulut. Dan
lagi, karena nggak bawa jordon (baca : kamera gedhe), aku woles-woles
aja sih, menikmati semua keindahan cukup dengan rasa penuh syukur dari
alat optik tersempurna ciptaan-Nya; Mata.
Kubuka resleting tenda, menjumpai Panji
dan Yanis sudah ready go dengan alat kokang masing-masing lengkap dengan
tripod. Langit sedikit berawan hitam meski tidak berpotensi hujan.
Lukisan langit sebelum pagi tidak terlalu dramatis dengan pancaran
warna-warni. Hanya sekelebat efek rol menjadi penggembira karena range
ruang gelap-terang yang terlampau jauh oleh efek berawan. Bulatan
berwarna orange menyembul dari cakrawala membawa semangat baru setiap
manusia yang melihatnya, mengingatkan syukur akan kesempatan dan janji
kehidupan dari Allah SWT. Bentuknya selalu mengingatkanku pada kuning
telur asin. hehe! (nasi anget, mana nasi anget..)
Dan pemandangan satu layering
puncak-puncak daratan itu begitu istimewa dinikmati dari ketinggan dua
ribu lima ratus sekian meter ini. Sindoro yang cantik, dibayangi (atau
dilindungi) oleh kegagahan sumbing, bukit-bukit teletubbies pembentuk
kontur dieng plateu, duo puncak merbabu-merapi, di sisi Timur, dan
Puncak Gunung Ungaran di sisi Utara yang kebiruan indah. Lanscape
semakin lengkap oleh keunikan Puncak Prau dengan hamparan bunga daisy
yang kebetulan sedang musim mekar.
Adhi sudah membuka menu sarapan dengan
roti bakar yang enaknya nggak santai; isi keju-susu mesis. Selanjutnya
Devya meracik kentang merah hibahan admin basecamp, daun bawang super
hasil minta-minta di ladang penduduk sepanjang jalur pendakian, dan
bakso yang kemudian menjadi menu sup. tak ketinggalan telur dadar yang
dimasak Adhi penuh keterampilan atraksi membalik dari wajan teflon ala
chef. Sesi sarapan istimewa berlatar layering gunung-gunung ternyata
menuai ketertarikan pengunjung yang kebetulan lewat, kami pun secara
dadakan menjadi sasaran objek foto semacem penghuni gembira loka.
Perjalanan turun terasa ringan karena
medan yang compatible mengajak kaki untuk berlari. view semakin indah
dengan eksistensi telaga warna yang tampak dari kejauhan di antara
petak-petak lahan dan jajaran cemara yang menandai kompleks candi dieng.
Kami membutuhkan waktu satu jam menuruni jalur pendakian hingga
Basecamp, istirahat sejenak, menikmati hangatnya jajan tempe kemul khas
Wonosobo.
Opsi Sindoro kembali muncul, aku
kebingungan bagaimana harus menitipkan laptop dan segala uborampe yang
harus sampai kampung halaman (yang tidak diperlukan untuk kegiatan
pendakian) sementara jalur pendakian sindoro yang harus kami tempuh
dimulai dari Sigedang (Agrowisata Teh Tambi) menuju puncak dan turun di
Basecamp Kledung. Susah payah merayu Adhi untuk menitipkan
barang-barangku di rumahnya tetap tidak berbuah final. Yanis dan Devya
tampil sebagai penolongku, mereka berdua memang tidak akan melanjutkan
pendakian menuju Sindoro dan memutuskan pulang, menawarkan bantuan
titipan barang-barangku dengan kompensasi aku mengambilnya ke Ambarawa
lain hari. No other better option, jadi kuterima penuh haru bantuannya.
Kami berdelapan turun dari Dieng dengan kendaraan yang sama, tetapi
hanya berlima; adhi, ghulam, budi, satria dan tentu saja aku yang turun
di Desa Kejajar. Tiga lainnya Devya-Yanis dan Panji masih terus menuju
pusat Kota Wonosobo untuk kembali ke rumah masing-masing. Wahai Puncak
Sindoro, sebentar lagi aku datang.
**semua foto koleksi pribadi, kecuali foto team, diambil dari album kamera Panji
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com