by: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/10/20/jika-pemulung-dilarang-masuk-603238.html
Terpaksalah Anis putus sekolah,
Neng. Rijal nggak ada yang jaga kalau Anis ikut sekolah. Kesian juga,
SD juga dia belum lulus. Tapi kalau Gilang nggak ada yang jaga, Teteh
nggak bisa kerja.
Jeritan Rijal dari kamar sebelah memekakkan
telinga. Jeritan anak usia hampir tiga (3) tahun itu menyaingi suara
mengaji anak-anak dari masjid yang selalu menggunakan load speaker. Usia
Rijal hampir tiga tahun, itu yang dikatakan Teh Titin, ibu Rijal
padaku. Tidak pula kupertanyakan lebih lanjut usia RIjal tiga tahun itu
kurang berapa bulan atau berapa hari.
“Diam! Ceurik wae (nangis saja).” Suara keras ayahnya justru membuat jeritan Rijal semakin menjadi.
“Mama kerja, Adek. Eta sore uih (pulang).
Cep,” suara lembut gadis belia. Sesaat kemudian jeritan Rijal malah
semakin keras. Suaranya berpindah persis di depan pintu kamarku. Dug dug
dug, kakinya pun ikut mengamuk. Ia tidak terima ibunya pergi tanpa
mengajaknya.
Hari-hari sebelumnya, ibu lima anak ini hanya
bekerja satu hari di hari Jumat. Pekerjaan yang sama, menjadi pembantu.
Menurutnya, bekerja satu hari dalam satu minggu tidak menguntungkan.
“Rugi Neng. Buat ongkos angkot saja genep (enam) ribu
bolak-balik. Bawa pulang uang hanya sembilan ribu. Teteh dikasih gaji 15
ribu. Kalau setiap hari kerja mah jadi banyak hasilnya kan.”
Pemulung Dilarang Masuk
Suatu sore, Teh Titin bercerita padaku tentang
pengalamannya bekerja menjadi pembungkus krupuk di Desa Nasol, Kecamatan
Cikoneng, Ciamis. “Sebelum kerja tiap hari Jumat eta, Teteh kerja ikut
orang bungkus krupuk. Berangkat pagi-pagi pulang bedug maghrib, dapatnya
delapan ribu. Kalau beruntung bisa lah bawa uang 10 ribu. Dapatnya
sedikit, tapi juragan Teteh mah baik orangnya. Tiap hari Teteh sama
–orang-orang- yang kerja dibawain sisa yang dibungkus.”
Suami Teh Titin bekerja sebagai pemulung. Dulu,
kata Teh Titin, suaminya pernah menjadi pemulung di Kota Bandung. Hasil
yang diperoleh dari memulung lebih banyak ketimbang menjadi pemulung di
Ciamis.
“Sekarang mah Aa’ paling besar bisa pulang bawa Rp. 30 ribu dari memulung. Itu juga pulang sampai malam. Orang-orang mah makin banyak yang jahat, Neng. Gara-gara ada orang maling, sekarang di kampung-kampung, di perum dikasih tulisan ‘Pemulung dilarang masuk.’ Anu eta bikin Aa’ makin susah cari makan. Orang
cari barang buangan buat makan saja dilarang,” keluh Teh Titin. Mata
yang berkaca-kaca menatap tembok depan kamar kos kami.
Perempuan berperawakan kurus ini tidak bisa hanya
berpangku tangan menuunggu suami pulang memulung, lalu membelanjakan
hasilnya. Teh Titin bekerja menjadi pembantu rumah tangga di salah satu
keluarga. Ia dibayar Rp. 17 per hari untuk mencuci, memasak,
bersih-bersih rumah, dan mengasuh menjaga Gilang sang bungsu.
”Terpaksalah Anis putus sekolah, Neng. Rijal nggak ada yang jaga kalau Anis ikut sekolah. Kesian juga, SD juga dia belum lulus. Tapi kalau Gilang nggak ada yang jaga, Teteh nggak bisa kerja. Ngandalin uang dari Aa’ buat makan nggak cukup. Belum jajan anak-anak. –anak- Yang sekolah juga kalau nggak dikasih jajan kesian.”
Kakak Anis, anak sulung yang lupa saya tanyakan
namanya, diserahkan neneknya untuk dipesantrenkan di Bandung. Anak
laki-laki kakak Anis lebih beruntung karena ia kini sudah kelas 3 SMP.
Namun, terasa nyeri terasa ketika Teh Titin mengatakan padaku begini,
”Anis mah anak perempuan, Neng. Kalau ayak (ada) uang sekolah, kalau nggak ada uang nggak sekolah nggak apa-apa. Biarlah Santi dan Gilang (adik Anis) yang sekolah.”
# # #
Suatu kali kubaca tulisan postingan karikatur
tentang perempuan miskin yang beranak banyak meminta derma pada kepada
perempuan kaya beranak satu. Si kaya tidak memberikan uang tetapi
memberikan pil KB.
Ingatanku melayang pada keluarga pengamen di
seputar Jalan Pramuka di Jakarta, lima tahun lalu. Anak-anak yang masih
balita memiliki adik lagi dan terus begitu. Seraya menunggu bis,
kutanyai perempuan berkulit legam itu, mengapa tidak berKB saja.
Jawabnya enteng khas orang jalanan. “Kalau ada KB gratis saya akan KB,
Dik. Kan KB juga bayar. Kalau bisa KB, kami nggak bisa makan.”
Aku tersenyum kala perempuan berbocah empat itu
menertawaiku. “Orang kaya kalau bosan bisa cari hiburan,
sekurang-kurangnya nonton tv. Kalau kami apa? Rumah tidak punya apalagi
tv. Apalagi untuk mengusir kebosanan hidup selain bercinta, Dik? Tapi ya
jadinya begini, bunting terus macam tikus,” tukas perempuan asal
Jombang itu.
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com