Sore
yang kelam di rumahku di Jalan daeng Tata Raya tepatnya nomor 146.
Namun suasana kebersamaan di tempat yang lumayan besar ini. Aku anak
kedua, cuman 2 tahun lebih mudah dari kakakku Erni. Aku punya adik
perempuan bernama Raya. Aku sekarang berusia 20 tahun. Empat semester
Aku sudah lalui di kampus Universitas Negeri Sungguminasa atau sering
disingkat UNESA. Jurusan Pendidikan Biologi sudah menjadi pilihanku.
Sore itu aku membuka ruangan yang setahuku tak pernah aku masuki. Ada banyak kenangan masa lalu. Terlihat ada baju bayi, mainan yang sudah usang, foto kakakku, dan sebuah album foto. Kubongkar sebuah koper dan kutemukan diary milik ibuku. Ibuku memang buka orang suku Makassar. Dia besar di Bandung, Jawa Barat. Ayahnya berasal dari Pacitan dan ibunya asli suku Sunda.
Buku ini mempunyai kunci, kunci model lama. Aku berpikir ini pasti sangat rahasia. Karena Aku penasaran tentang kisah Ibuku ketika masih muda. Aku berniat membongkar diary-nya. Kuambil besi dan palu. Setelah lama berjibaku dengan kunci kuno ini. Akhirnya terbukalah diary ini. Tertulis lembar pertama, “Kelakuan yang tak mau Aku ingat lagi”. Aku semakin penasaran. Aku membaca bagian pertama diary ini.
Dear diary,
21 Juli 1986, Hari ini pertama aku masuk kuliah. Rasa takut dan bangga tercampur aduk menjadi satu. Rasa takut karena ospek senior yang begitu sadis. Tak segang menggertak dan menghantam, apabila ada mahasiswa baru yang lewat di depan mereka. Aku melihat Aidil, teman angkatan saya, mendapat bogem mentah dari sang senior. Ia langsung terkapar dan tak sanggup berdiri. Aku sontak histeris. Teman-teman lain semakin takut. Namun sehisteris dan sekencang kami berteriak, tak ada yang mendengar. Kami berada di ruangan gelap. Semua kaca ditutupi kertas. Tak ada dosen. Hari ini hari libur. Hari ini menjadi neraka untuk kami mahasiswa baru.
Aku semakin penasaran tentang kisah ibu ketika masih menjadi mahasiswa. Aku juga penasaran tentang pertemuan Ibu dengan Ayah. Aku lanjut membaca. Aku membaca bagian kedua tentang hubungan Ibuku dengan seniornya. Judul bagian ini Aku dan Seniorku.
Dear Diary,
28 Agustus 1986, Hari ini aku merasa bahagia sebab Arsyad, seniorku, menyatakan cintanya padaku. Dia mengatakan sudah lama memperhatikanku. Dengan bujuk rayuannya bisa meluluhkan hatiku. Cintanya pun Aku terima. Kami berdua jalan. Pertamanya malu-malu jalan berdua. Sebulan kemudian sudah bergendengan tangan. Semakin lama rasa cinta dan sayangku sama Arsyad semakin besar. Hingga suatu malam yang dingin dengan hujan deras di depan tempat kosku. Dinginnya hingga menusuk hingga tulang. Kami berdua kehujanan. Tak ada satupun bagian dari tubuh ini yang tak basah. Kami saling memandang hingga secara otomatis kepala kami saling berdekatan. Kepala kami saling miring. Ia ke kiri sedangkan Aku ke kanan. Mulut kami pun bertemu.
Akhirnya malam itu menjadi ciuman kami yang pertama. Ciuman itupun menjadi my first kiss. Sekejap kemudian Aku memaksa melepas. Aku berlari masuk ke kosku. Aku malu. Aku deg-degan. Ya Tuhan! Apa yang Aku lakukan tadi dengan Arsyad. Maafkan dosaku Tuhan.
Keesokan harinya, Arsyad sudah menunggu di depan kos. Ia tak henti-hentinya meminta maaf atas perlakuan Dia semalam. Aku pun luluh akan kata-katanya. “Iya Aku Memaafkanmu,” kataku dengan kepala tertunduk. Sebenarnya Dia tak sepenuhnya salah. Aku juga salah semalam. Namun inilah dosa ternikmat yang kami buat.
Akupun merasa marah atas kelakuan mereka. Perasaan banggaku, sayangku, dan hormatku pada Ibu semakin terkikis. Aku akan mengungkap kejadian ini kepada Ayah, Erni dan Raya. Namun Aku masih penasaran dengan kisah Ibu selanjutnya.
Ketakutanku terbantahkan setelah bisa mengirimkan surat padamu sekarang. Namun masa-masa sebelum surat ini sampai baikan neraka bagiku. Ainu, aku ingin menceritakan masa-masaku di penjara. Sangat kelam. Menyakitkan. Selama setahun aku dipenjara. Tak terhitung persidangan yang kulalui hingga tingkat Mahkamah Agung. Entah berapa uang yang kuhabiskan. Aku sempat merasa frustasi. Harapanku hancur berkeping-keping. Namun parcel harapan itu aku rangkai. Meski hancur kembali diterjang badai fitnah. Aku tak tahu energi apa ini, yang jelas hanya untuk melihat kamu walau yang terakhir. Aku pertaruhkan apa yang ada pada diriku.
Hidup di bui bagaikan masuk ke dalam neraka dunia. Tak ada kebebasan. Di sini berlaku hukum rimba. Siapa yang kuat dia yang bertahan. Uang dan pengaruh adalah rajanya. Aku mesti menjalani sebagai budak penjahat kelas kakap. Sungguh kisah hidup yang sangat pahit. Sampai pahitnya aku tak bisa lagi merasakan kesakitan yang lebih dari itu. Aku merasa beginilah mungkin siksaan di neraka nanti.
Tendangan. Sengatan listrik. Pukulan pentungan besi pun aku rasakan.
Aku sebenarnya ingin sekali menghilang dari duniamu. Namun rasa rinduku benar-benar sudah tak dapat ku bendung. Dua tahun aku menahan desakan melepas rinduku. Namun tubuh dan ragaku benar-benar kolaps.
Hingga akhirnya kesampaian juga melepas rindu. Meski hanya surat. Mungkin kamu masih ingin tahu kisahku tiga tahun belakangan ini. Aku tak mau menceritakannya lebih banyak. Ingin rasanya kuhapus dari memoriku. Aku pun bermunajat supaya diberikan penyakit Anterograde amnesia. Supaya semua ingatanku yang baru terjadi aku lupakan. Hanya ada kisah lama. Cerita kebersamaan kita berdua. Masa bahagia dan indah. Tak ada penderitaan batin seperti sekarang yang aku rasakan.
Mungkin ini saja dulu Ainulia. Terserah kamu mau menanggapi apa. Aku terima. Meski kamu tak mau balik lagi kepadaku. Sudah banyak penderitaan yang kamu alami. Aku tak mau lagi menambah dan membebanimu.
Kekasihmu,
Arsyad
Air mata dan penyesalan melingkupi setelah menamatkan surat Arsyad. Aku menangis sejadi-jadinya. Tak kusangka pengorbanannya begitu besar. Aku sangat bodoh tak mencoba mencari tahu lebih jauh lagi. Lebih detail lagi. Alasan Arsyad meninggalkanku. Aku cepat menyerah. Menyerahkan cintaku pada takdir. Andai aku tahu. Aku sangat menyesal perlakuanku kepada dia. Membenci orang yang sangat menyukaiku. Aku tak tahu harus berkata apa kepada Arsyad. Rasa terima kasih tak akan cukup. Meski aku ucapkan berjuta-juta kali.
Sehabis membaca suratnya, aku ingin langsung mencari Arsyad. Aku ingin meminta maaf karena salah menilainya.
Namun Raya justru berkata lain. “Ainu…jangan cepat percaya, telusuri dulu kebenarannya,!”
Aku sontak kembali berpikir. Jangan-jangan Arsyad bohong. Ia hanya merangkai cerita. Mengarang tentang kisahnya selama menghilang.
Aku pun tak lantas percaya. Aku pun bingung. Keluarga Arsyad sudah tak ada lagi di kota ini. Teman-temannya pun sudah lama hengkang dari kampus. Hatiku sudah lama beku. Beku akan namanya. Apalagi hatiku sudah punya Arif.
Namun untuk membuktikan prasangkaku benar. Aku pun mencari kebenaran tentang cerita Arsyad. Seminggu aku berputar-putar mencari informasi namun tak kudapat.
Sebulan berlalu. Tak ada apapun informasi yang kudapat.
Aku baru sadar ternyata bulan ini, Arif akan datang. Dalam suratnya bulan lalu, ia berjanji akan menemuiku. Aku pun ke kampus. Tak ada Arsyad. Memang akhir-akhir ini dia tak menemuiku. Aku pun mulai yakin, dia hanya mengarang cerita.
Tak lama aku sampai di kampus, Arif pun datang. Ia hanya sendiri. Tenyata tampangnya lebih gagah dibandingkan di fotonya. Maklum fotonya hitam putih. Kami pun bersalaman. Saling lirik. Tersipu malu. Dia mulai bercerita tentang dirinya, pekerjaanya dan keluarganya. Ia tak pernah punya kekasih. Katanya fokus dulu menjadi mapan. Sekarang dia sudah mapan. Katanya aku adalah perempuan pertama yang membuatnya tertarik untuk merajut kasih. Ia pun bertanya, “kamu pernah punya kekasih?” sontak aku gugup meski jawab apa.
“Iya…”jawabku pelan.
“Hem…,”sambil melepaskan senyum.
Kami menghabiskan waktu di bangku sudut jurusanku. Kami tertawa bareng. Aku tak menyangka begitu cepat akrab dengan Arif.
Tiba-tiba Arsyad muncul di hadapan kami. Air mukaku langsung berubah. Aku panik. Apa yang mesti aku perbuat? Apakah harus menghindari Arsyad? Aku harus memilih Arif atau Arsyad?
Dengan amarah yang membara, Aku lanjutkan membaca diary Ibu. Aku masih membaca kisah Ibu dengan Arsyad.
Dear Diary,
2 September 1986, Hari ini sudah sebulan Aku kuliah. Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris menjadi pilihanku. Aku berkenalan dengan teman-temanku yang berasal dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Ada juga dari tanah Papua. Aku sendiri adalah pendatang dari Tanah Pasundan, Bandung. Aku ikut bersama Ayah dan Ibu yang bermigrasi. Mereka sudah susah mencari uang untuk hidup di kampung halamanku. Sudah 10 tahun Saya di Kota Daeng, sebutan untuk Kota Ujung Pandang. Aku berteman dengan Erni dan Raya. Mereka sahabatku. Erni berasal dari Bone. Sebuah kabupaten terbesar di Sulawesi Selatan. Raya berasal dari Kepulauan Selayar. Erna orang yang saleh. Ia berasal dari keluarga muslim dan sederhana.
Setiap hari kami jalan sama. Mereka berdua belum mempunyai pacar. Hanya aku yang punya. Erni dan Raya berasal dari keluarga yang mampu. Saya hanya anak dari keluarga yang pas-pasan. Ibu seorang tukang cuci pakaian. Setiap hari Ibu keliling kompleks asrama polisi hanya untuk mengorder pakaian mereka. Seribu rupiah gaji Ibuku setiap minggu. Itupun disertai dengan protes sang klien. Bahkan suatu waktu Ibu mendapat musibah. Baju polisi yang Ia cuci ternyata terlumeri warna pakaian yang luntur. Akibatnya Ibu mesti mengganti pakaian tersebut. Ibu tak sanggup membayar dan Ia pun mesti mencuci pakaian selama 3 bulan tanpa dibayar. Aku merasa sangat sedih. Aku pun berniat untuk tak kuliah. Namun dorongan Ibu sangat kuat hingga akupun tetap kuliah. Ayah seorang pekerja kasar. Tiap hari dia menjadi pesuruh di Pasar Minasa Maupa, Sungguminasa, Gowa. Upahnya hanya cukup untuk makan saja. Membeli pakaian dan peralatan rumah tangga hanya menjadi angan-angan kami. Tiap ada perayaan besar umat Islam, agama kami, barang-barang dan makanan hanya berasal dari tetangga. Menunggu adalah kebiasaan mutlak kami. Menunggu kasihan dari orang lain. Menunggu punya uang untuk membeli selembar pakaian. Inilah mungkin cita-cita terbesar keluarga kami. Keluhan kami tak ada yang mendengar. Mungkin hanya buku ini tempatku untuk mengadukan semua keluh kesah.
Aku sangat beruntung berkenalan dengan pacarku sekarang, Arsyad. Bagaimana tidak semua mauku Dia turuti. Aku mau pakaian, sehari kemudian Dia sudah membawakanku. Orangtuaku pun Ia berikan pakaian di kampung. Ia tak protes dengan keluargaku yang serba tak memiliki. Setiap Aku kesulitan, Dia selalu ada disampingku. Aku merasa aman. Aku menjadi ratu atas perlakuan Arsyad. Semua keinginan dan angan-anganku menjadi nyata ketika Aku bersama Arsyad. Aku tak tahu apa yang mesti kulakukan untuk membalas semua kebaikan Arsyad. Nampaknya Aku benar-benar tak bisa hidup tanpa Dia. Hingga Aku pun berpikir untuk membalas kebaikan Arsyad. Namun dengan apa. Aku orang tak berada. Dengan uang Ia pasti sudah punya. Ayahnya seorang pengusaha besar. Dengan cinta, cintanya lebih besar daripada Aku. Apakah mesti dengan tubuh dan jiwa ini, sehingga menjadi impas untuk membalas semua kebaikannya. Hingga suatu malam yang dingin di tepi Pantai Losari, Makassar Aku mencoba menanyakan kepada Dia maksud perhatiannya.
“Arsyad, mengapa Kamu baik sekali kepadaku?” tanyaku kepadanya.
“Aku melakukannya kerana kamu begitu berarti buatku, Kamu seperti jiwaku. Jadi apapun yang terjadi padamu pasti Aku rasakan. Sedihmu, senangmu, dan marahmu, Aku bisa rasakan” jawabnya dengan menatap langsung ke mataku.
Aku hanya terdiam dan tak sanggup bertanya apapun lagi kepadanya. Malam itu kami tak berkata apapun. Hingga dia mengantarku ke kosku yang berada di belakang kampus. Malam itu Aku tak bisa tidur. Perkataan Arsyad terus terbayang dalam benakku. Aku semakin yakin Arsyad akan menjadi pendampingku untuk selamanya.
Tengah malam yang tenang di kosku. Aku bangun untuk salat tengah malam. Doaku hanya satu. Semoga Arsyad menjadi suamiku. Aku tak mau yang lain Ya Allah. Hingga Aku tertidur di sajadahku. Pagi pun menyingsing. Aku pun bersiap menuju kampus. Seperti biasa Arsyad sudah ada di depan gerbang. Erni dan Raya menggodaku karena selalu mendapat jemputan dari kekasihku Arsyad. Dalam perjalanan menuju kampus, Kami tak berkata apapun. Hingga Aku pun mengangis. Karena tak mendapat perhatian Arsyad.
“Mengapa Kamu tak berbicara apapun,” tanyaku kepadanya.
Pertanyaan ini Aku ulangi berkali-kali. Hingga sampai di kampus. Aku tepat turun di depan pintu gerbang kampus Unesa. Dia mencap motornya pergi entah kemana. Dia tak masuk kampus. Sejak hari itu Dia tak menghubungiku. Aku pun tak pernah melihatnya. Aku bertanya kepada teman-temannya. Namun tak ada yang tahu. Kucoba mencari informasi tentang keberadaan Arsyad di rumahnya. Orang tuanya tak mau memberi jawaban atas pertanyaanku.
Hingga suatu sore, sehabis pulang dari kuliah Aku melihatnya bersama seorang perempuan lain. Perempuan itu cantik. Seksi. Dia dan Arsyad saling bercanda dan merangkul. Aku hendak berlari menemuinya. Namun Arsyad dan perempuan itu terlanjur naik motor dan entah kemana. Akupun bertanya siapakah dia?Apa hubungan dia dengan kekasihku?Apakah Arsyad sedang selingkuh?
Hari itu Aku merasa sangat kacau. Semua perasaan marah dan cemburu tercampur menjadi satu. Aku merasa tak sanggup menahan pengkhianatan ini. Aku mau mengakhiri hidup ini saja.
Hingga suatu siang sehabis mata kuliah writing. Aku bertemu dengan pengkhianat cintaku, Arsyad. Ketika melihatku dia tak langsung menghindar. Aku pun mengejar Dia namun tak kudapati dirinya.
“Arsyad, Tunggu! Aku mau bicara denganmu” teriakku.
Namun Arsyad tetap tak peduli denganku. Ia tetap berlari. Menerobos taman kampus. Menabrak orang-orang yang berjalan di lorong kampus. Orang-orang di kampus memelototiku. “Sudah gila Dia? hingga berteriak histeris di tengah kampus,” bisik seorang mahasiswi.
Nafasku terasa sesak mengejar Arsyad. Apa daya Ia terlalu cepat. Kesempatanku berbicara dengan lelaki pengkhianat sirna sudah. Dia menghilang entah kemana. Bagaikan ditelan bumi.
Kecewa meliputiku. Benci semakin besar. Rasa cinta yang dulu ada kini telah pupus. Bagaikan tablet yang jatuh ke danau. Hilang tak berbekas. Tak mungkin kembali lagi ke wujudnya menjadi tablet. Aku sangat terpukul. Jiwaku kosong. Serasa ingin mati. Kiamat seakan sudah terjadi padaku.
Kejadian hari ini membuatku mengurung diri dalam kamar. Aku tak mau makan. Apalagi mengingat tingkah laku Arsyad yang drastis berubah. Setiap Aku memikirkannya. Air mata ini terus saja mengucur tanpa Aku sadari. Sangat menyakitkan. Aku sangat terpukul. Mungkin ini yang dinamakan sakit hati. Setiap Aku merasa tegar. Saat itu juga perasaan sakit hatiku terus menusuk. Hari ini Aku berjanji tak akan setia lagi dengan seorang lelaki. Lelaki semua sama. Mereka adalah pengkhianat. Tukang selingkuh. Aku bersumpah akan membalas perlakuan ini pada mereka.
Setelah Aku membaca diary Ibu pada bagian kedua ini. Aku merasa sangat kasihan pada kisah Ibu ketika masih kuliah dulu. Kisah ini memang tak pernah Ibu ceritakan kepada kami, anaknya. Mengapa Arsyad tega mencampakkan Ibu yang sangat cinta kepadanya? Mengapa Arsyad tak mau bertemu dengan Ibu? Bagaimana kelanjutan kisah Ibu selanjutnya? Mengapa nama teman Ibu sama dengan adik dan kakakku? Pertanyaan ini yang Aku mau cari tahu.
Tak terasa sudah sejam aku membaca kisah Ibu. Aku pun menyimpan kembali diary-nya di tempat semula. Biarlah Aku simpan rasa penasaranku terlebih dahulu. Besok Aku akan kembali membaca buku ini.
“Lisa, dimana kamu?”teriak Ibu kepadaku dari arah dapur.
“Iya bu, Saya datang,” sambutku dengan mengendap-endap, jangan sampai ada seorang yang tahu Aku dari ruangan ini.
“Nak, bantu Ibu menyiapkan makan malam,” pinta Ibu kepadaku.
Makan malampun tiba. Ayah, Ibu, Aku, Erni dan Raya duduk bersama di meja makan. Ayah dan Ibu kelihatan saling perhatian. Sangat mesra. Aku hanya terdiam dan menatap kosong akan kemesraan mereka. Ibu seperti tak pernah mendapat masalah dalam hidupnya. Everything is fine. Mungkin janjinya di diary-nya ia tepati. Ia tak akan mengingat kembali kisahnya saat masih kuliah dulu. Aku terus teringat diary ibu. Hingga ibu membangunkanku dari lamunan.
“Nak, ada apa, kamu mengkhayal yah?” tanya ibu.
“Kamu memikirkan siapa, pasti seorang anak laki-laki yah, Ayo mengaku!” goda ibu kepadaku.
“Tidak! ibu bercanda saja,” jawabku cepat.
Ibu memang benar. Aku memikirkan Arsyad. Mengapa ada seorang laki-laki begitu kejam ? Mudah-mudahan Aku tak mendapat lelaki seperti Arsyad.
Sehabis makan malam dengan keluarga kecilku, Kami pun langsung menuju kamar masing-masing. Kami bertiga mempunyai kamar pribadi. Rumah kami cukup luas. Hidup kami masuk dalam kalangan strata menengah ke atas. Ibu seorang guru SMA. Ayah seorang pengusaha sukses. Setiap minggu ayah bersama karyawannya keliling daerah. Ayah jarang di rumah. Cuman tujuh hari dalam sebulan ayah tinggal di rumah. Seminggu itu hanya untuk melepas kangen pada keluarga dan sisanya mengambil pakaian.
Hari ini Aku berangkat ke kampus Unesa bersama ayahku. Kami banyak mengobrol tentang kisah pertemuan ayah dengan ibu. Ayah mengatakan pertemuan pertama dengan ibu terjadi setelah mereka sama-sama lulus dari tempat kuliah masing-masing. Ibu kuliah di Unesa, kampusku sekarang. Sedangkan ayah berasal dari Universitas Negeri Parepare. Waktu itu, ayah tinggal di Parepare sedangkan ibu tinggal di Gowa. Pertemuan mereka terjadi ketika ayah melancong ke Gowa 23 tahun silam. Ayah bertemu ibu di suatu pelatihan. Ayah sekelompok dengan ibu. Di sinilah benih-benih cinta mulai ada. Hingga tak membutuhkan waktu lama, mereka pun naik pelaminan. Ayah sampai sekarang memang tak tahu aktivitas ketika ibu masih kuliah. Dengan siapa ibu berhubungan? Siapa teman-teman Ibu? Ini semua tak pernah ibu ceritakan kepada ayah. Aku berpikir ayah memang tak tahu masa lalu ibu, termasuk diary yang Aku baca ini.
Tak habis ceritaku dengan ayah, akhirnya Aku sampai juga di kampus. Sebelum Aku turun dari mobil. Ibnu, my best friend, sudah menunggu. Ibnu memang sudah menjadi sahabat karibku sejak masih mahasiswa baru dulu. Perhatiannya kepadaku melebihi teman-teman lain. Aktivitas kuliah, tugas, kerja kelompok selalu kami kerjakan bersama. Bahkan teman se kampus menganggap kami pacaran. Padahal tidak. Justru setelah Aku membaca diary ibu, aku menjadi selektif terhadap lelaki. Aku tak mau bernasib seperti Ibuku yang dicampakan oleh lelaki yang baik padanya. Hingga Aku mencoba menolak semua kebaikan Ibnu kepadaku.
Kelas sudah bubar. Ibnu mengajak Aku ke kanting kampus. Kami cuman berdua. Canda tawa mengiringi makan siang kami. Tiba-tiba Ibnu melontarkan kata-kata ingin berpacaran denganku.
“Bagaiman kalau status hubungan kita ditingkatkan menjadi berpacaran,” kata Ibnu sambil tertawa lepas.
“Kamu serius Ibnu?”jawabkan mendesak.
“Iya, aku serius,” tegas Ibnu kembali.
Aku pun kembali teringat dengan diary ibuku. Ibnu mirip dengan Arsyad. Kebaikannya sama dengan kekasih ibuku ketika kuliah. Aku menolak ajakan Ibnu. Aku beralasan tak mau dulu berpacaran. Tapi sebenarnya Aku takut Ibnu seperti Arsyad. Aku tak mau bernasib seperti ibuku.
Aku sebenarnya mau menerima ajakan Ibnu. Aku cinta Dia. Namun Aku takut Ibnu menjadi Arsyad. Ibu mungkin sanggup namun Aku sangsi jika kejadian ini menimpa padaku. Aku sudah termakan kalimat-kalimat diary Ibu. Aku tak bisa membendung perasaan untuk menolak Ibnu. Meski hati ini mengatakan iya. Maafkan Aku Ibnu yang telah membohongimu.
“Maaf yah Ibnu, Aku belum siap, Aku mau sendiri dulu,” jawabku.
“Tak apa-apa Lis,” tanggap Ibnu dengan nada kecewa.
Ibnu tak memperlihatkan kekecewaannya dengan penolakanku. Dia tak memaksaku. Sikapnya membuat Aku tambah respect padanya. Perasaan cintaku padanya semakin besar. Tapi lagi-lagi kalimat-kalimat Ibu memaksaku untuk memendam rasa ini dalam-dalam. Sampai tak ada celah untuk meluapkan perasaan cintaku. Yang tak dapat Aku percayai sikap dan perhatian Ibnu tak berubah kepadaku.
Hari ini Ibnu berencana mengajakku mampir ke rumahnya. Tanpa berpikir panjang ajakannya Aku terima. Dalam perjalanan ke rumahnya Ibnu banyak bercerita tentang latar belakang keluarganya. Ayah Ibnu adalah alumni Unesa jurusan Bahasa Inggris angkatan 84.
“Ayah dulu kuliah di Jurusan Bahasa Inggris,” ungkap Ibnu
“Satu jurusan dong dengan Ibuku.”
“Memang Ibumu angkatan berapa?”
“Ibuku angkatan 86.”
“Berarti junior ayahku yah.”
“Benar. Siapa nama ayahmu?”
“Jalaluddin Rahmat.”
“Oh…Nanti Aku Tanya Ibuku, Apakah kenal dengan Ayahmu.”
“Iya. Ayahku sekarang tak berada di rumah. Dia keluar daerah.”
Andai Ayah Ibnu ada di rumahnya, Aku akan tanya tentang kisah Ibu dengan Arsyad. Mungkin saja Ayah Ibnu tahu kisahnya.
Tanpa terasa perjalanan kami serasa singkat. Aku dan Ibnu sudah sampai di rumahnya. Motor cross-nya Dia parkir di bagasi. Rumah Ibnu sangat besar. Bertingkat dua. Model rumahnya ala Eropa. Dari luar terlihat bak istana. Ada taman luas di depan rumah. Berbagai macam tumbuhan dan bunga tumbuh di halaman. Mobil keren dan mahal berjejer di parkiran. Honda City dan Toyota Fortuner dibiarkan begitu saja terparkir tanpa ada pelindung cahaya matahari. Penjaga rumah terlihat siap siaga selalu.
Memasuki rumah, Aku semakin takjub dengan interior rumahnya. Tengah rumah ini sangat luas. Perabotan rumah terlihat sangat mahal. Kursi tamu terbuat dari kayu hitam bercap made ini Jepara. Terdapat lukisan dengan nilai seni tinggi dengan tanda tangan tangan, Affandi, Maestro Seni Lukis Indonesia. Aku merasa minder datang ke rumah Ibnu. Aku tak pernah menduga Ibnu adalah anak orang sukses. Setiap hari Ibnu ke kampus dengan pakaian yang lusu, tak pernah disetrika. Memakai motor cross dengan body lecet sana-sini. Tak pernah dicuci. Suara bising. Asap tebal mengepul. Tak jarang motor Ibnu mendapat sindiran dan celaan. Dikatakan Obat nyamuk-lah. Fogging -lah. Kaleng bekas-lah. Banyak lagi yang tak bisa Aku ungkapkan. Ibnu santai saja menanggapi sindiran dan celaan mereka. Dia justru percaya diri saja memakai motor cross-nya.
“Emang, apa kerjaan Ayahmu?”
“Ayahku kerja sebagai konsultan di Dinas Pendidikan Sulsel.”
“Pantas.”
“Pantas apanya Lis?”
“Pantas rumahmu besar, ayahmu orang kaya.”
Hari ini Aku seperti orang yang baru memasuki istana. Aku seperti orang bodoh melongok sana sini. Bertanya sesuatu yang tak penting. Kegirangan sendiri. Tak lama kemudian ibunya muncul.
“Ibnu siapa perempuan cantik ini,”
“Teman kelas Ibnu bu,”
“Kenalkan, aku Siska, ibu Ibnu,” dengan uluran tangan mengarah kepadaku.
“Lisa bu, teman kelas Ibnu,” sambutku.
Senyum hangat terpancar dari bibir ibu Ibnu. Ibu Ibnu pun mengajak kami menuju ruang makan. Semua makanan sudah tersedia. Sajiannya seperti restoran berbintang lima yang terlihat di televisi. Aku baru melihat makanan semewah ini. Paling tinggi yang pernah Aku tempati makan cuman di restoran cepat saji milik Negara Amerika Serikat. Itu pun bersama teman-teman. Ibu tak sempat membawa kami ke restoran. Ayah apa lagi, ia sangat jarang di rumah. Meski kami bisa juga ke restoran.
Suasana makan siang menjadi ajang nostalgia ibu Ibnu sewaktu masih kuliah. Aku hanya tertunduk. Menjawab jika ditanya. Habis itu kembali malu dan back to first position, menundukkan wajah. Tak terasa dua jam kami duduk bertiga di meja makan. Kami telah menyelesaikan santap siang satu setengah jam lalu. Selebihnya adalah cerita tentang kuliah ibu Ibnu, pertemuan ibu dan ayah Ibnu, masa kecil Ibnu. Hari ini Aku tahu banyak tentang keluarga dan Ibnu sendiri. Namun hal itu belum bisa menghancurkan bendungan rasa takutku untuk menyambut cinta Ibnu. Sehabis cerita panjang dengan Ibnu dan ibunya, Aku mohon diri.
“Sering-sering yah mampir ke rumah!”pesan ibu Ibnu.
“Pasti bibi,” jawabku sambil mencium tangannya.
Ibnu pun mengambil kembali motor cross-nya. Suara motornya sudah berderu. Aku sudah naik. Ibu Ibnu pun mengantar kami.
“Mengapa kamu tak naik mobil ke kampus?”
“Ah. Aku malas. Cewek-cewek kampus godain aku.”
“Kamu PD sekali akan digoda cewek-cewek kampus.”
“Lihat aja teman-teman yang pakai mobil ke kampus, mereka kan selalu digoda, uangnya diperas, terus ditinggalin oleh serigala-serigala berperawakan cantik bernama perempuan.”
“Kamu benar juga.”
“Saya juga melihat mereka masuk ke dunia hitam. Memakai obat-obatan, minum-minum hingga berakhir di panti rehabilitasi BNN. Akhirnya masa depan mereka hancur,”timpal Ibnu.
“Betul juga yah.”
Akhirnya kami tiba di depan rumahku. Tak ada seorang pun menyambut kami. Aku mengajak Ibnu masuk namun dia tak mau. Nanti ada fitnah katanya. Akhirnya Ibnu menancap motor cross-nya. Aku memperhatikannya pulang hingga menghilang di belokan kompleksku. Tak lama Ibnu beranjak. Erni datang bersama seorang lelaki. Mereka mengendarai mobil Toyota Avanza. Mereka terlihat akrab. Tak sempat Aku berkenalan, lelaki itu meluncurkan kembali mobilnya.
“Siapa itu kak?”
“Oh dia temanku di tempat kerja,”jawab kakak singkat.
“Kok tidak mampir dulu?”
“Katanya sedang buru-buru, jadi lain kali dia singgah.”
Aku tak bertanya lagi.
Sehabis mengganti pakaian Aku langsung menuju ruang rahasia. Aku mencari diary milik ibuku. Aku kembali membaca bagian selanjutnya. Judul bagian ketiga ini “Aku, Erni dan Raya”.
Dear Diary,
Hari ini, 28 Oktober 1986, hampir dua bulan Arsyad meninggalkan Aku. Selama itu pula sakit hatiku menusuk. Aku belum bisa melupakan Arsyad. Bayang-bayang wajah dan tingkah lakunya masih menghantuiku. Aku merasa tak berarti lagi hidup di dunia ini tanpa Arsyad. Aku masih tak percaya dengan keadaan ini. Aku selalu berharap ini adalah mimpi. Hingga Aku terbangun dan Arsyad sudah berada di sampingku.
Berulang kali Aku mencoba bunuh diri namun Erni dan Raya selalu menyelamatkanku. Dua Minggu lalu Aku melakukan tindakan gila, mengiris nadiku. Tak ada seorang pun di kos malam itu. Erni sedang tak ada di rumah. Raya keluar membeli makanan dan perlengkapan sehari-hari. Seketika pun darah mengucur. Kucuran darah semakin deras. Aku hanya menatap kosong waktu itu. Tak memedulikan nasibku akan berakhir. Hingga Aku tak sadarkan diri. Aku merasa telah mati.
Aku terbangun dan melihat jarum infus telah menusuk bagian tanganku. Bekas irisan pisau sudah diperbam. Raya dan Erni telah menungguiku di samping pembaringanku.
“Dimana Aku?”
“Kamu di rumah sakit Ainulia,”jawab Erni.
“Di mana Arsyad?”
“Ainu… Arsyad tak ada di sini.”
“Dimana kekasihku?” Suaraku semakin meninggi.
Semua orang menatapku. Erni dan Raya mencoba menenangkanku. Suaraku semakin keras saja. Aku menjerit. Histeris. Kamarku menjadi gempar.
“Nyebut Ainu, nyebut. Astagafirullah!” kata Raya seraya menenangkanku.
Beberapa saat Aku menjerit, datang seorang suster. Ia menyutikkan sebuah obat penenang. Aku kembali tak sadarkan diri.
Upaya bunuh diriku ini tak sampai ke telinga orang tuaku. Mungkin Erni dan Raya tahu mereka tak akan bisa menerima kenyataan ini. Aku pun tak akan menyalahkan mereka jika tak memberikan kabar kepada orang tuaku di kampung. Aku juga sadar akan membuat kecewa jika kabar memalukan ini sampai ke mereka.
Seminggu Aku rawat inap di rumah sakit. Uang perawatan dibayar oleh Erni dan Raya. Uang kiriman bulanan mereka gunakan untuk menuntaskan biaya rumah sakitku. Saat Aku keluar dari rumah sakit. Raya mengatakan kepadaku ada kiriman dari orang tuaku. Isinya sepuluh liter beras, ikan kering, pisang dua sisir dan uang saku sebanyak Rp10.000 serta sepucuk surat dari ibuku.
Untuk Anakku tersayang Ainulia,
Assalamu Alaikum Warahmatulahi Wabarakatuh
Bagaimana kabarmu anakku, semoga sehat wal afiat selalu. Kami di kampung baik-baik saja. Ayahmu sering menceritakan ananda kepada sanak keluarga di sini. Ia membanggakan ananda akan menjadi orang sukses yang akan mengangkat harkat dan martabat keluarga. Sampai-sampai Ayah menolak ajakan besan dari kepala desa. Katanya, “Anakku hanya akan aku kawinkan dengan pria yang ia cintai,” tolaknya.
Oh iya, Bagaimana kabar pacar ananda, nak Arsyad? Semoga dia juga sehat. Sampaikan rasa terima kasih kami kepadanya atas kiriman pakaian dan kebutuhan pokok lainnya. Ayahmu juga selalu membanggakan pacarmu itu. Ia menceritakan kepada hampir semua orang kampung bahwa ananda menjalin kasih dengan anak orang kaya. Ibu malu karenanya. Tapi entah mengapa ayahmu masih saja percaya diri akan ucapannya.
Sudah dulu yah Ainu, kalau ananda sempat balas surat ini! Jaga kesehatan! Banyak belajar! Doa kami mengiringimu selalu.
Assalamu alaikum Warahmatulahi Wabarakatuh
Ibu dan Ayah
Air mataku mengalir sejadi-jadinya setelah membaca surat ibu. Aku semakin terpukul. Merasa bersalah. Ibu masih menganggap Aku dan Arsyad masih bersama. Aku tak akan bisa melihat reaksi ibu dan ayah jika melihat keadanku saat ini. Apalagi jika mereka mengetahui bahwa Aku sudah tak menjalin lagi hubungan dengan Arsyad. Pasti Ayah akan syok dan bias-bisa mengikuti jejakku untuk bunuh diri. Aku tak mau mereka mengetahui keadaanku ini. Aku pun mengatakan kepada Raya dan Erni untuk tak memberitahukan keadanku kepada mereka.
Tak ada yang berubah setelah Aku keluar dari rumah sakit. Hatiku tetap gundah gulana. Wajah Arsyad masih terlukis dibenakku. I still remember my lovely. Apalagi kata-kata ayah yang membanggakan Arsyad semakin menggerus hatiku. Sejak saat itu, hatiku tak lagi mempunyai ruang untuk lelaki lain.
Raya dan Erni mencoba mengobati luka batinku dengan mengajakku jalan, menyibukkanku dengan aktivitas kuliah, mengajakku masuk ke lembaga kemahasiswaan, hingga mengenalkanku dengan lelaki lain.
“Ainu…besok kita jalan-jalan ke Air Terjun Takapala, Malino yuk,” ajak Erni.
“Benar Ainu, aku juga mau berwisata nih, apa lagi libur akhir semester ganjil,” sambung Raya.
Aku hanya terdiam dan menganggukkan kepala. Pertanda setuju.
Hari libur yang dinanti Erni dan Raya pun tiba. Mereka mempersiapkan keberangkatan kami. Bekal perjalanan, pakaian ganti, akomodasi, dan carter mobil pun mereka sudah urus. Aku tinggal berangkat. Biaya tak ada yang kutanggung. Semua mereka yang bayar. Setelah menempuh perjalanan selama dua jam. Akhirnya hawa dingin Malino menyambut kami. Kabut menghalangi pemandangan. Rendahnya suhu memaksa kami memakai baju berlapis tiga. Kami bermalam di penginapan dekat Air Terjun Takapala. Dua hari kami di Malino. Hawa dingin Malino mampu membekukan traumaku. Aku sudah dapat tersenyum. Keceriaanku kembali sedikit demi sedikit. Aku sudah dapat mengobrol lepas dengan sahabatku Erni dan Raya.
Sepulang dari Malino, Aku kembali beraktivitas seperti biasa.
Upaya mereka sejengkal demi sejengkal membuahkan hasil. Aku sudah tak mengurung lagi di dalam kamar. Aku sudah tak mau lagi bunuh diri. Tapi untuk urusan membuka hati pada lelaki lain belum bisa Aku lakukan.
Aku pun tak pernah lagi melihat Arsyad. Kata teman-temannya, ia pindah kuliah ke Jakarta. Aku juga tak terlalu memedulikan dia. Rasa ketergantunganku kepada Arsyad sudah sirna. Untuk memenuhi kebutuhanku Aku mulai kerja paruh waktu. Mengajar privat untuk anak SD hingga SMA, Aku ambil. Bekerja kasar di rumah makan pun, Aku sambar. Hasil dari kerjaan ini sudah mampu membiayai kuliahku dan kebutahanku sehari-hari. Aku mulai berpikir untuk bekerja lebih keras lagi untuk mengirimi orang tuaku uang.
Dear Diary
16 September 1987, Setahun berselang, setelah Aku merasakan pedihnya ditinggal kekasih tanpa alasan yang jelas. Aku sudah menjadi orang yang baru. Tahun ini memasuki satu setengah tahun Aku menjadi mahasiswi di kampus Unesa. Kesibukkanku semakin bertambah. Aku juga menjadi fungsionaris di lembaga kemahasiswa yang bergerak di bidang HIV/AIDS.
Kuliahku selesai sore ini. Aku, Erni, dan Raya berencana akan pulang bersama. Namun entah mengapa Erni membatalkan pulang bersama. Katanya dia akan ke toko serba ada (Toserba) untuk membeli sesuatu.
“Kalian duluan aja pulang, ada yang mau saya beli di Toserba dekat kampus,” kata Erni.
“Kami temani yah,” timpal kami bersamaan.
“Tidak usah, saya hanya sebentar,”selah Erni.
Entah mengapa hari ini Erni bertingkah aneh. Tak biasanya dia pergi sendiri. Biasanya bersama Aku atau Raya. Tadi pagi memang Erni lama sekali mandi. Biasanya dia paling cepat mandi. Mukanya pun pucat.
“Kemarin saya melihat Erni marah-marah di telpon, tapi saya tak mengetahui sebab dia marah,” ungkap Raya.
Aku dan Raya sudah berada di rumah. Erni belum pulang. Dia masih belanja di toserba dekat kampus. Lama kami menunggu namun Erni tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya. Kami sudah tidur. Suara teriakan terdengar dari dalam WC.
“ Itu suara Erni,” kataku pada Raya.
“Benar, Ayo bergegas ke sana,” jawab Raya.
Setelah tiba di depan pintu WC. Tiba-tiba Erni memeluk kami berdua. Ia menangis. Kami tak tahu sebabnya.
Tangannya memegang alat pemeriksa kehamilan. Hasilnya positif. Kami kaget. Pelukan kembali kami eratkan kepada Erni. Dia sangat menyesal akan perbuatan yang ia lakukan bersama pacarnya.
“Aku sangat menyesal, aku sangat malu, ” ungkapnya Erni sambil memukul perutnya.
“Sudahlah Erni kamu jangan menyiksa dirimu, siapa lelaki yang berbuat demikian kepadamu?” tanya Raya.
“Razak, pacarku, Ia membujukku, celakanya aku terjerumus dalam rayuannya,” sesalnya.
***
Tiga bulan lalu
Malam yang temaram di bioskop. Malam ini pemutaran perdana film Pernikahan Dini. Film ini dibintangi oleh Mathias Muchus dan Gladys Suwandhi. Heru (Mathias Muchus) dan Dini (Gladys Soewandhi) kawin terlalu muda karena terlanjur hamil. Meski sudah punya anak kelakuannya masih kekanak-kanakan. Heru yang calon insinyur lalu jadi sopir taksi. Dini diam-diam sering menerima bantuan uang dari ibunya tanpa memberi tahu suaminya. Kemudian mereka sering cekcok sampai Dini pulang kerumah orang tuanya hingga ayahnya yang sebetulnya tak setuju perkawinan ini cekcok dengan ayah Heru yang juga menyesalkan perkawinan terpaksa ini.
Masalah ini selesai, muncul masalah lain. Dini ingin melanjutkan sekolahnya , Heru tak setuju, meski akhirnya mengalah. Suatu hari Dini pulang terlambat hingga Heru kesal dan menyerahkan anaknya pada tetangga yang memang sering mereka titipkan bayi. Melihat itu Dini lari dan kebetulan di temui kakaknya dan diajak pulang kerumah kakaknya itu. Yang jadi korban anak mereka yang harus dirawat di rumah sakit.Peristiwa inilah yang mendamaikan Heru dan Dini.
Hari ini juga pertama kali aku berkenalan dengan Razak. Ia kerja di sebuah bank swasta. Kami datang cuman sendiri. Razak duduk berdampingan denganku. Cerita pun dimulai. Dari masalah kerjaan hingga masalah paling pribadi, asmara. Aku merasa nyaman mengobrol dengannya. Ia suka music rock. Aku dulunya kurang suka. Namun dari pembahasannya tentang musik ini. Aku tertarik kemudian ikut suka. Aku sangat tertarik dengan lagu Power Metal berjudul Memori Jinggah. Mendengar lagu ini aku semakin cinta Razak saja. Liriknya menyentuh jiwa. Lagu favorit kami.
Tutur bahasa dan gaya Razak membuat aku suka hingga tak mampu memendam rasa. I’m falling in love. Realy falling in love. Aku harap ia juga suka dan cinta padaku.
Tak butuh waktu lama, kami pun sering jalan bareng. Ketemu di pasar malam. Duduk berdua di Pantai Losari. Saling puja dan puji. Perasaan kami memang semakin menggelora. Belum siap aku ke kampus. Surat berwarna pink dan sekuntum bunga mawar sudah ada di depan kamarku. Surat dan bungannya dari Razak. Romantis. Cinta mati. Semua ada pada sosok lelaki satu ini.
Hingga suatu malam yang dingin. Razak mengajakku berlibur ke Malino. Kami hanya berdua. Tak ada Lisa dan Raya. Aku segera mengatakan setuju. Tak ada kecurigaan. Aku sangat senang. Keesokan harinya kami berangkat. Kami menggunakan mobil sewa. Kemesraan kami semakin bertambah. Dari berpegangan tangan berlanjut ke berpelukan, dari berpelukan kemudian berciuman. Hingga kami pun saling memaduh kasih dengan cara saling menyetubuhi. Kami berdua senang.
Hingga penyesalan pun terjadi di kemudian hari. Aku hamil. Malu. Masa depanku terancam buram. Aku tak tahu di mana keberadaan Razak sekarang. Ia berhenti kerja. Aku dengar dia pindah ke Papua. Belakangan terungkap ia sudah punya istri dan anak. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Aku berpikir 100 kali untuk melapor ke polisi. Aku takut orang tuaku mendengar. Mereka pasti sangat malu. Aku pasti diusir. Tak dianggap anak lagi. Apalagi ayahku orang terpandang.Ia pemuka agama di kampungku. Aku serasa pelacur yang dengan gampang memberikan kesuciannya kepada lelaki asing. Aku sangat tolol.
****
Cerita Erni ini membuat kami sangat sedih sekaligus kecewa dengan sikapnya. Erni dengan gampang memberikan kesuciannya pada lelaki yang ia baru kenal. Namun aku tak terus menyalakan sahabatku, Erni. Aku akan membantunya menyelesaikan masalahnya. Aku ingin membalas budi. Aku pernah dalam kondisi sama. Dikhianati. Aku bersama Raya mulai menasehati Erni untuk tak menggugurkan kandungannya.
“Erni dosa jika kamu membunuh anakmu!” tegas Raya.
“Iya anakmu tak punya salah. Jika kamu membunuhnya kamu hanya akan menambah penderitaanmu,” kataku menasihatinya.
Erni tak bergeming. Ia hanya menunduk. Kami tak membiarkan Erni sendiri. Kami akan mencegah dia untuk melakukan perbuatan bunuh diri. Seperti aku dulu.
Informasi tentang kehamilan Erni telah tersebar luas. Mungkin teman satu kos yang menyebarkannya. Bagaimana tidak. Perutnya tiap bulan semakin membesar. Hingga informasi ini tersebar ke telinga orang tuanya. Anggapan Erni benar. Orang tuanya murka. Erni diusir. Mulai hari itu Erni putus kuliah. Ia bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta.
Hari yang dinanti pun tiba. Erni ingin melahirkan. Kami pun bergegas membawanya ke rumah sakit. Tiga jam Erni bertarung antara hidup dan mati. Anaknya pun lahir. Jenis kelamin laki-laki. Tak mirip Erni. Mungkin mirip Razak. Ayahnya. Bapak yang mencampaknya. Aku semakin benci dengan lelaki. Mereka bukan manusia. Tapi binatang. Hanya mau menikmati tubuh wanita. Selebihnya hanya bisa lari. Tak mau bertanggung jawab. Banci. Semua lelaki banci. Aku kembali memperkuat janjiku. Akau akan membalas semua lelaki tanpa kecuali.
Malam itu kami diliputi perasaan sedih dan senang. Senang karena anaknya lahir dengan semangat tak kurang satu pun. Sedih karena tak ada yang mau mengakui anak ini sebagai cucu dan putra. Hanya Erni yang bertaruh seorang diri. Malang benar nasib sahabatku.
Seorang lelaki tiba-tiba muncul. Perawakan tinggi. Misterius. Memang sejak tadi lelaki ini mondar mandir. Kami tak tahu siapa dia. Mungkinkah ini Razak. Ah…jika ini dia, mengapa lelaki itu tak bertemu Erni. Tidak mungkin. Ia bukan Razak. Siapa lelaki ini? Suruhan orang tua Erni? Kami tak tahu.
Seminggu kemudian Erni pindah rumah. Kami tak tahu alamatnya sekarang. Menghilang tanpa kabar. Tak pamit pada kami, sahabatnya. Aku dan Raya bertanya-tanya. Mengapa Erni melakukan hal demikian?Apakah ada hubungannya dengan kedatangan lelaki misterius ketika Erni melahirkan?
Dugaan kami memang tak salah. Lelaki yang datang erat kaitannya dengan Erni. Lelaki yang datang di hari kelahiran anak Erni adalah Razak. Lelaki yang menghamili Erni. Aku tak habis pikir mengapa Erni kembali ke pelukan Razak. Mungkin cinta Erni begitu besar, meski Razak sudah mempunyai anak dan istri. Memang cinta selalu tak bisa ditebak.
Mulai hari itu kami tak pernah lagi bertemu dengan Erni. Aku pun mulai melupakan Arsyad sedikit demi sedikit meski tiap malam wajah dan perhatiannya masih menghantuiku.
23 Januari 1988, Saat ini Aku dan Raya sudah semester enam. Akhir semester ini kami akan berangkat Kuliah Kerja Nyata (KKN). Hal ini berarti kami akan segera menyelesaiakan studi. Kami sudah mempersiapkan semua persiapan menuju tempat KKN. Aku sudah membeli koper, hasil jerih payahku mengajar sebagai tentor lembaga bimbingan belajar. Raya! jangan ditanya, dia sudah membeli perlengkapan dari awal semester enam lalu.
Hari yang dinanti pun tiba. Aku dan Raya siap untuk menuju rimbah pengabdian. Kami berdua ditempatkan di daerah yang sama. Kotamadya Parepare. Kata orang-orang Parepare ini dijuluki Bandar Madani karena di kota ini hampir sepanjang pantainya adalah pelabuhan. Banyak barang luar negeri melalui pelabuhan ini. Baik yang legal hingga ‘barang gelap’ alias ilegal. Aku dan Raya ditempatkan di area perbukitan Parepare, LemoE nama daerah ini. Saya juga heran kok bisa sama dengan Raya. Mungkin takdir yah. Suasana alam di kawasan ini pedesaannya masih terasa. Tak sama dengan daerah lain di Parepare. Beton-beton yang mendominasi. Tak jauh beda dengan Makassar. Namun Parepare sangat bersih.
Rumah staf kelurahan LemoE pun menjadi posko kami. Kami berlima di sini. Aku dan Raya dari Bahasa Inggris. Helmi dari Pendidikan Bahasa Indonesia. Budi dari Pendidikan Sejarah. Terakhir Anti dari Pendidikan Matematika. Kami memilih Helmi jadi Koordinator KKN tingkat Kelurahan atau lebih keren dipanggil Korlu. Aku menjadi bendahara. Tak butuh waktu seminggu kami sudah akrab. Tempat KKN bukan hanya ajang bersosialisasi tapi juga ajang memadu kasih. Namun aku tak mau lagi menjaling kasih dengan orang lain. Aku sudah merasakan perih dari lelaki. Aku tak mau merasakannya dua kali.
Hampir dua minggu kami menempati daerah ini. Hampir semua rumah tokoh masyarakat kami sudah sambangi. Setelah dua minggu kami berada di posko ini. Tiap pagi seseorang meletakkan bunga Edelweis. Bungan kesukaanku. Di sana terdapat sepucuk surat. Untukku. Tertulis dari pengagum rahasia. Romantis sekaligus misterius. Kenapa ada orang yang menerorku di pagi buta. Aku tak tahu betul siapa dia. Aku sangat penasaran. Siapa dia. Hatiku seakan kembali terbuka untuk lelaki. Bunga Edelweis pemberian lelaki misterius itu aku simpan. Aku senang. Sangat senang. Serasa hatiku ikut berbunga.
Namun semua bunga di hatiku terasa layu ketika memikirkan Arsyad. Hancur. Aku langsung membuang semua bunga Edelweis yang diberikan oleh pengagum rahasiaku. Dan meninggalkan pesan untuknya supaya tak mengirimkan aku bunga lagi. Namun ia bandel dan tak menghiraukan perkataanku. Dia tetap mengirimi aku bunga. Bahkan hampir setiap hari. Hingga suatu hari ia menuliskan sebuah surat. Entah ini puisi atau memang curahan hatinya. Isi suratnya berbunyi:
Pertama aku mengenalmu, kamu terlihat pendiam, pemalu, jutek dan ada hal yang engkau takutkan dan benci dari lelaki. Hal ini terlihat dari pandanganmu yang sangat tajam dan sinis kepada tiap lelaki yang menatapmu. Tak terkecuali aku. Saya pernah memperhatikanmu dan melempar senyum dan kamu membalasnya dengan muka datar, pandangan sinis, dan membuang muka. Ada apa denganmu? Aku merasakan kamu pernah terluka oleh kaum kami. Kaum Adam. Aku pernah mencoba menanyakan namun kamu seakan melihat kami sebagai musuh dan harus dihindari. Dari tingkahmu itu membuat hati aku tergerak. Kamu sedang sakit. Kamu perlu ditolong. Inilah yang menyebabkan aku mengirimkanmu bunga Edelweis. Supaya kamu kembali ceria. Aku sangat senang melihatmu tersenyum mendapati bunga ini. Meski setelah itu kamu murung dan kembali sinis pada lelaki. Aku sangat senang. Saking senangnya. Hingga melompat dan berteriak. Aku tak tahu ini cinta atau apa. Yang jelas aku suka kamu ceria. Aku tak akan berhenti mengirimkan kamu bunga Edelweis. Hingga kesedihan kamu benar-benar hilang. Dari pengagum rahasiamu.
Aku sangat kaget membaca surat ini. Mengapa dia bisa membaca pikiranku. Aku langsung menanyakan kepada Raya. Aku curiga ia yang mempermainkan aku dengan menaruh bunga Edelweis. Hanya dia yang tahu sifatku dan kebencianku pada lelaki. Namun Raya benar-benar tak tahu. Ia sudah bersumpah bukan dia yang menaruh bunga dan menulis surat untukku. Teman-teman yang lain juga tak ada yang mau mengaku. Aku makin bingung dengan surat ini. Entah siapa yang mengirim. Mengapa ada orang asing yang langsung bisa mengetahui perasaanku. Mana mungkin seorang lelaki baru, bisa mengetahui perasaanku. Aku malah curiga itu adalah Arsyad.
Malam itu hawa malam terasa menusuk hingga tulang. Badanku kututupi hingga tiga lapis selimut. Aku tak bisa memejamkan mata hingga subuh. Hanya bunyi suara jam dinding bagaikan langkah seseorang menemani. Sepeti orang yang ingin mencabut nyawaku. Membuat aku takut. Kututup telinga namun tetap terdengar suara jam ini. Hingga suara azan terdengar, aku masih terjaga bersama suara seram jam dinding.
Suara hentakan kaki terdengar di bawah kolom rumah. Terdengar suara kaki yang sedang mengendap-endap. Aku berpikir itu suara ambo, bapak pemilik rumah. Tempat kami tinggal. Aku pun coba mengintip. Aku melihat sosok lelaki berbadan tegak. Wajahnya samar. Karena kondisi masih gelap. Ia berlari ketika aku berteriak. Ia menjatuhkan sesuatu. Aku mendekat. Kudapati bunga Edelweis. Bunga yang sering aku dapati dari orang misterius belakangan ini. Aku pun menduga, orang inilah yang mengirimkanku bunga selama ini. Teriakanku membangunka seisi rumah.
“Kenapa kamu berteriak Ainu?” Tanya Helmi.
“Seseorang tadi mengendap-endap di kolom rumah, sepertinya dia ingin melakukan hal tidak benar,” jawabku cepat.
“Sekarang di mana dia, kamu tidak dilukai?tanya Raya.
“Tidak. Aku baik-baik aja, ia sudah lari pas aku berteriak.”ujarku dengan menyembunyikan bunga Edelweis di belakangku.
Selain bunga Edelweis, Ia juga menjatuhkan peci. Aku menduga ia dari shalat subuh di masjid. Siang hari aku menuju masjid dekat posko. Aku menanyakan pada pengurus masjid tentang pemilik peci yang aku temukan subuh tadi. Mereka juga tak tahu. Aku kecewa dengan jawaban pengurus masjid. Tapi penasaranku sudah berkurang karena aku tahu dia seorang lelaki di daerah ini. Aku sudah mendapatkan petunjuk, meski hanya sebuah peci.
Setiap subuh aku menunggu, orang yang menaruh bunga Edelweis. Sudah seminggu aku menunggu ia tapi berakhir dengan tangan hampa. Ia tak pernah datang lagi. Hingga KKN berakhir dia tak pernah muncul. Aku kecewa sekaligus sedih. Aku tak tahu mengapa bersikap demikian.
Aku bersama keempat temanku telah menyelesaikan program kerja kami selama KKN. Laporan pun sudah hampir rampung. Kami sudah berpamitan dengan dengan tokoh masyarakat dan lurah. Hari untuk pulang ke rumah masing-masing telah tiba. Dengan perasaan mengharu biru, kami pamit pada ibu dan ambo. Pemilik rumah, tempat kami tinggal selama dua bulan. Aku hanya bisa meneteskan air mata. Kami akan berpisah. Kami mungkin tak akan bertemu lagi. Meski kami satu kampus. Aku pun akan selalu penasaran dengan lelaki pengirim bunga itu. Orang yang dapat mengetahui perasaanku dengan hanya memperhatikanku dari jauh. Aku sangat rindu dan ingin melihat wajahnya.
Bus sudah ada di depan posko. Tanda kami harus pergi. Meninggalkan Parepare. Barang-barang sudah dinaikkan. Kami pun siap berangkat. Aku makin berat meninggalkan kota ini. Perasaanku masih tak karuan. Aku akan meninggalkan perasaan di kota ini. Entah apa nama persis perasaan ini. Yang jelas aku jatuh cinta dengan lelaki pengirim bunga itu. Aku cinta dengan kata-kata dan semangatnya untuk aku. Meski aku tak tahu raut wajahnya. Aku pun berdoa. Ya Tuhanku, jangan engkau buat aku tersiksa begini dengan meninggalkan perasaan kepada lelaki lagi. Aku sudah tak kuat menahan derita. Namun Tuhan tak mengijabah doaku. Aku meninggalkan Parepare dengan kenangan dan kembali menyiksaku. Aku menangis dalam hati. Ketika aku terdiam. Raya memberikanku sepucuk surat dan seikat bunga Edelweis. Aku kaget dan heran.
“Kemarin, seorang lelaki memberikanku surat dan bunga ini. Namanya Arif. Orang cakep. Baik. Ia sudah sarjana. Arsitek. Katanya dia minta maaf karena terlalu pengecut menemui kamu. Ialah yang sering mengirimkan kamu bunga. Ia memintaku untuk memberikanmu surat dan bunga ini setelah kita meninggalkan Parepare.” ungkap Raya.
“Bodoh. Kenapa dia terlalu pengecut menemuiku,” gumamku.
“Kamu jatuh cinta yah pada Arif,” celetup Raya.
Wajahku memerah. Aku menutup mukaku. “Ah…mana mungkin, orang itu tak aku kenal,” tampikku.
Namun aku tak mau mengungkapkan bahwa aku memang jatuh cinta pada Arif. Aku jatuh cinta untuk kedua kalinya. Aku menyangka tak akan jatuh cinta lagi pada lelaki. Aku membaca suratnya selama perjalanan ke Sungguminasa. Aku merasa sangat senang. Ia mengatakan suka dan tertarik denganku. Ia tertarik denganku karena sikapku yang dingin terhadap lelaki. Ia ingin menolongku. Mengembalikan keceriaan yang telah lama hilang. Ia berjanji akan menemuiku di Sungguminasa bulan depan. Aku sangat senang hingga meluapkan dengan tertawa lepas.
Lima jam perjalanan terasa singkat. Aku tak henti-hentinya mengumbar senyum. Aku tak ingat lagi perasaan benciku pada lelaki. Aku ingin meluapkan perasaan ini dengan melompat dan berteriak. Tapi aku menahan. Aku akan lakukan jika sampai di rumah. Aku berlari pulang. Barang-barangku aku titip pada Raya. Tak sampai setengah jam, aku sampai di rumah. Aku membuka kamar. Kukunci rapat-rapat. Aku berteriak dan melompat kegirangan. Meluapkan kesenangan yang aku pendam dari Parepare.
Tak lama aku di kamar. Ibu kos mengetuk pintuku.
“Ainulia…Ada kiriman untukmu,” teriak ibu kos.
“Dari siapa bu?”
“Ibu tak tahu, kiriman itu ada di dapur,”
Aku menyimpan surat Arif di laci. Dengan raut muka yang masih ceria, aku mengambil kiriman untukku. Sebuah kotak kecil. Tertulis untuk kekasih yang tak pernah kulupakan. Dari orang yang tak akan melupakanmu, Arsyad.
Dunia terasa berputar kembali. Mengapa Arsyad kembali ke duniaku? Mengapa dia memunculkan keberadaannya setelah aku mencoba melupakannya? Aku melempar kiriman itu.
Keesokan harinya Arsyad mengirimkan bunga ke depan kamarku. Namun aku acuhkan kirimannya. Namun ia masih tetap mengirimkan untukku. Surat darinya belum aku baca. Hanya tergeletak di sudut kamarku. Aku tidak mau lagi bertemu dengannya. Aku tak mau mengenal lagi namanya. Apalagi ia kembali masuk ke duniaku. Dunia yang sudah mengubur namanya dalam-dalam. Hingga tak satu pun alasan bisa membawanya dari alam kubur.
Setiap malam aku berdoa kepada Tuhan. Supaya Arsyad tak pernah kembali ke duniaku. Dunia yang mulai hijau. Tak lagi gersang. Sosok Arif lah yang membuatnya layak untuk ditempati. Lelaki misterius dari Parepare. Aku berdoa pula supaya Arsyad benar-benar menghilang. Hancur lebur. Tak tersisa. Abunya tak bersatu bersatu dengan udara. Hilang begitu saja ke dunia lain. Mungkin Tuhan akan marah besar kepadaku. Karena aku berdoa keburukan. Jika Neraka Jahannam balasan atas doaku akan aku terima.
Setelah bunga mawar merah yang dikirimkan Arsyad kepadaku tak aku hiraukan, dia muncul tiba-tiba. Aku menghindar. Berlari menjauh darinya. Namun dia tetap mengejar. Aku tak mau berbicara dengannya. Namun dia tetap mengejarku.
“Ainu, Tunggu aku mau berbicara denganmu!” teriaknya padaku.
Aku tak menjawab. Mulutku aku kunci rapat-rapat. Aku hanya berlari. Terus berlari. Hingga Arsyad tak lagi mengejarku.
Akhir-akhir ini waktuku kuhabiskan di rumah saja. Jika aku ke kampus pasti ada Arsyad. Raya juga aku pesankan supaya tak bertemu dengan lelaki jahat itu.
Namun entah mengapa Raya membuka surat dari Arsyad. Ia menangis kemudian memaksaku untuk membacanya. Mulanya aku tak mau. Aku bahkan menyuruh Raya untuk membuang saja.
“Ainu, ini sangat penting untuk kau ketahui,” ungkapnya.
“Kamu mesti mengetahui alasan Arsyad meninggalkanmu tiga tahun yang lalu.”
“Baiklah. Aku akan membaca suratnya,” kataku dengan perasaan yang penasaran.
Akhirnya aku membaca surat dari Arsyad. Kubaca dengan sangat teliti. Kata demi katanya. Mengapa dia meninggalkanku tanpa satu kata pun tiga tahun yang lalu. Saat aku benar-benar butuh dengannya. Saat cinta kami lagi besar-besarnya.
For my love, Ainulia
Pertama aku minta maaf karena kembali menganggu hidupmu. Mungkin kamu sangat benci denganku. Tak mau mendengar namaku. Apalagi menatap wajahku. Karena telah meninggalkanmu. Mencampakanmu. Menghancurkan perasaanmu.
Mungkin hari ini bencimu masih belum hilang. Bahkan bertambah jika mengingat aku. Ainu…surat yang aku tulis ini akan mengungkap alasanku meninggalkanmu tiga tahun yang lalu.
Kamu ingat terakhir kita jalan bersama di Pantai Losari. Kamu menanyakan kepadaku tentang alasanku berbuat baik kepadamu. Yah... waktu itu aku menjawab,” aku melakukannya karena kamu begitu berarti buatku, kamu seperti jiwaku. Jadi apapun yang terjadi padamu pasti aku rasakan. Sedihmu, senangmu, dan marahmu, aku bisa rasakan.”
Aku benar-benar berkata jujur. Namun malam itu aku bertemu dengan seorang lelaki. Lelaki yang tak akan aku lupakan. Ia penghancur hidupku. Lelaki yang meninggalkan trauma sejak umurku masih belia. Ia telah melakukan hal yang tak senonoh padaku ketika aku belum tahu arti dunia. Ia adalah mantan pengasuhku sekaligus pamanku. Aku diperlakukan layaknya seorang tahanan. Menyiksaku. Menekanku. Mengurungku. Bahkan ia sering mencabuliku. Ia memang mempunyai kelainan. Ia tak suka perempuan. Ibu dan ayah menitipku padanya. Maklum orang tuaku sering keluar daerah. Aku tak berani melapor kepada ayah maupun ibu. Aku takut dia membunuhku. Ia memang sering mengancamku supaya tak melapor. Aku turuti saja. Aku takut terjadi celaka pada orang tuaku. Dua tahun aku jalani penyiksaan batin dan fisik dari pamanku. Aku sudah tak tahu berapa kali dia melakukan tindakan tak senonoh padaku. Hingga aku berani melawan dan meninggalkan luka pada wajahnya. Aku membuat bekas sayatan pisau pada mukanya. Hingga dia menaruh dendam padaku. Akhirnya ia menjalani hukuman. Sepuluh tahun dia berada di balik jeruji penjara.
Namun tiga tahun lalu ia sudah bebas. Ia kemudian menerorku. Ia mau membunuhku. Waktu itu aku benar-benar bingung. Tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya kuputuskan meninggalkanmu. Supaya kamu tak terlibat masalahku. Aku takut kamu disakit.
Setelah meninggalkanmu, aku menanggapi terornya. Aku menerima tantangnya. Aku meninggalkan Kota Sungguminasa. Aku hijrah ke Kota Bali. Dia mengikutiku. Akhirnya pertarungan pun dimulai. Dia pasti ingin membunuhku. Aku pindah ke universitas swasta di sana. Aku tinggal seorang diri. Aku berhasil menghindarkan kau dengannya. Aku sangat tahu siapa orang ini. Setiap hari dia menerorku dengan cara mistis dengan menaruh pasir hitam dan bunga tujuh rupa. Memberi surat tantangan dengan belati dan darah. Enam bulan ia menerorku dengan berbagai macam cara. Namun aku tak menanggapi. Setiap kali aku mendapat teror. Setiap itu pula aku berpindah tempat. Entah berapa kali aku berpindah tempat. Aku benar-benar tak tenang. Aku pun sempat ingin bunuh diri. Namun dirimulah yang membuat aku tetap tegar, Ainu.
Hingga suatu hari teror itu tak datang. Aku tak tahu mengapa teror itu berhenti. Aku pun lupuk. Ternyata dia menyiapkan jebakan untukku.
Ketika aku pulang di rumah kosku. Polisi Sudah menungguku. Ia meletakkan narkoba di kamarku. Aku tak tahu bagaimana caranya narkoba itu ada di rumahku. Aku tak bisa mengelak. Aku berpikir benar-benar akan berakhir di penjara. Tak akan bisa melihatmu lagi. Hingga suatu hari ketakutanku ini mulai tak terbukti.
Keesokan harinya Arsyad mengirimkan bunga ke depan kamarku. Namun aku acuhkan kirimannya. Namun ia masih tetap mengirimkan untukku. Surat darinya belum aku baca. Hanya tergeletak di sudut kamarku. Aku tidak mau lagi bertemu dengannya. Aku tak mau mengenal lagi namanya. Apalagi ia kembali masuk ke duniaku. Dunia yang sudah mengubur namanya dalam-dalam. Hingga tak satu pun alasan bisa membawanya dari alam kubur.
Setiap malam aku berdoa kepada Tuhan. Supaya Arsyad tak pernah kembali ke duniaku. Dunia yang mulai hijau. Tak lagi gersang. Sosok Arif lah yang membuatnya layak untuk ditempati. Lelaki misterius dari Parepare. Aku berdoa pula supaya Arsyad benar-benar menghilang. Hancur lebur. Tak tersisa. Abunya tak bersatu bersatu dengan udara. Hilang begitu saja ke dunia lain. Mungkin Tuhan akan marah besar kepadaku. Karena aku berdoa keburukan. Jika Neraka Jahannam balasan atas doaku akan aku terima.
Setelah bunga mawar merah yang dikirimkan Arsyad kepadaku tak aku hiraukan, dia muncul tiba-tiba. Aku menghindar. Berlari menjauh darinya. Namun dia tetap mengejar. Aku tak mau berbicara dengannya. Namun dia tetap mengejarku.
“Ainu, Tunggu aku mau berbicara denganmu!” teriaknya padaku.
Aku tak menjawab. Mulutku aku kunci rapat-rapat. Aku hanya berlari. Terus berlari. Hingga Arsyad tak lagi mengejarku.
Akhir-akhir ini waktuku kuhabiskan di rumah saja. Jika aku ke kampus pasti ada Arsyad. Raya juga aku pesankan supaya tak bertemu dengan lelaki jahat itu.
Namun entah mengapa Raya membuka surat dari Arsyad. Ia menangis kemudian memaksaku untuk membacanya. Mulanya aku tak mau. Aku bahkan menyuruh Raya untuk membuang saja.
“Ainu, ini sangat penting untuk kau ketahui,” ungkapnya.
“Kamu mesti mengetahui alasan Arsyad meninggalkanmu tiga tahun yang lalu.”
“Baiklah. Aku akan membaca suratnya,” kataku dengan perasaan yang penasaran.
Akhirnya aku membaca surat dari Arsyad. Kubaca dengan sangat teliti. Kata demi katanya. Mengapa dia meninggalkanku tanpa satu kata pun tiga tahun yang lalu. Saat aku benar-benar butuh dengannya. Saat cinta kami lagi besar-besarnya.
For my love, Ainulia
Pertama aku minta maaf karena kembali menganggu hidupmu. Mungkin kamu sangat benci denganku. Tak mau mendengar namaku. Apalagi menatap wajahku. Karena telah meninggalkanmu. Mencampakanmu. Menghancurkan perasaanmu.
Mungkin hari ini bencimu masih belum hilang. Bahkan bertambah jika mengingat aku. Ainu…surat yang aku tulis ini akan mengungkap alasanku meninggalkanmu tiga tahun yang lalu.
Kamu ingat terakhir kita jalan bersama di Pantai Losari. Kamu menanyakan kepadaku tentang alasanku berbuat baik kepadamu. Yah... waktu itu aku menjawab,” aku melakukannya karena kamu begitu berarti buatku, kamu seperti jiwaku. Jadi apapun yang terjadi padamu pasti aku rasakan. Sedihmu, senangmu, dan marahmu, aku bisa rasakan.”
Aku benar-benar berkata jujur. Namun malam itu aku bertemu dengan seorang lelaki. Lelaki yang tak akan aku lupakan. Ia penghancur hidupku. Lelaki yang meninggalkan trauma sejak umurku masih belia. Ia telah melakukan hal yang tak senonoh padaku ketika aku belum tahu arti dunia. Ia adalah mantan pengasuhku sekaligus pamanku. Aku diperlakukan layaknya seorang tahanan. Menyiksaku. Menekanku. Mengurungku. Bahkan ia sering mencabuliku. Ia memang mempunyai kelainan. Ia tak suka perempuan. Ibu dan ayah menitipku padanya. Maklum orang tuaku sering keluar daerah. Aku tak berani melapor kepada ayah maupun ibu. Aku takut dia membunuhku. Ia memang sering mengancamku supaya tak melapor. Aku turuti saja. Aku takut terjadi celaka pada orang tuaku. Dua tahun aku jalani penyiksaan batin dan fisik dari pamanku. Aku sudah tak tahu berapa kali dia melakukan tindakan tak senonoh padaku. Hingga aku berani melawan dan meninggalkan luka pada wajahnya. Aku membuat bekas sayatan pisau pada mukanya. Hingga dia menaruh dendam padaku. Akhirnya ia menjalani hukuman. Sepuluh tahun dia berada di balik jeruji penjara.
Namun tiga tahun lalu ia sudah bebas. Ia kemudian menerorku. Ia mau membunuhku. Waktu itu aku benar-benar bingung. Tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya kuputuskan meninggalkanmu. Supaya kamu tak terlibat masalahku. Aku takut kamu disakit.
Setelah meninggalkanmu, aku menanggapi terornya. Aku menerima tantangnya. Aku meninggalkan Kota Sungguminasa. Aku hijrah ke Kota Bali. Dia mengikutiku. Akhirnya pertarungan pun dimulai. Dia pasti ingin membunuhku. Aku pindah ke universitas swasta di sana. Aku tinggal seorang diri. Aku berhasil menghindarkan kau dengannya. Aku sangat tahu siapa orang ini. Setiap hari dia menerorku dengan cara mistis dengan menaruh pasir hitam dan bunga tujuh rupa. Memberi surat tantangan dengan belati dan darah. Enam bulan ia menerorku dengan berbagai macam cara. Namun aku tak menanggapi. Setiap kali aku mendapat teror. Setiap itu pula aku berpindah tempat. Entah berapa kali aku berpindah tempat. Aku benar-benar tak tenang. Aku pun sempat ingin bunuh diri. Namun dirimulah yang membuat aku tetap tegar, Ainu.
Hingga suatu hari teror itu tak datang. Aku tak tahu mengapa teror itu berhenti. Aku pun lupuk. Ternyata dia menyiapkan jebakan untukku.
Ketika aku pulang di rumah kosku. Polisi Sudah menungguku. Ia meletakkan narkoba di kamarku. Aku tak tahu bagaimana caranya narkoba itu ada di rumahku. Aku tak bisa mengelak. Aku berpikir benar-benar akan berakhir di penjara. Tak akan bisa melihatmu lagi. Hingga suatu hari ketakutanku ini mulai tak terbukti.
Ketakutanku terbantahkan setelah bisa mengirimkan surat padamu sekarang. Namun masa-masa sebelum surat ini sampai baikan neraka bagiku. Ainu, aku ingin menceritakan masa-masaku di penjara. Sangat kelam. Menyakitkan. Selama setahun aku dipenjara. Tak terhitung persidangan yang kulalui hingga tingkat Mahkamah Agung. Entah berapa uang yang kuhabiskan. Aku sempat merasa frustasi. Harapanku hancur berkeping-keping. Namun parcel harapan itu aku rangkai. Meski hancur kembali diterjang badai fitnah. Aku tak tahu energi apa ini, yang jelas hanya untuk melihat kamu walau yang terakhir. Aku pertaruhkan apa yang ada pada diriku.
Hidup di bui bagaikan masuk ke dalam neraka dunia. Tak ada kebebasan. Di sini berlaku hukum rimba. Siapa yang kuat dia yang bertahan. Uang dan pengaruh adalah rajanya. Aku mesti menjalani sebagai budak penjahat kelas kakap. Sungguh kisah hidup yang sangat pahit. Sampai pahitnya aku tak bisa lagi merasakan kesakitan yang lebih dari itu. Aku merasa beginilah mungkin siksaan di neraka nanti.
Tendangan. Sengatan listrik. Pukulan pentungan besi pun aku rasakan.
Aku sebenarnya ingin sekali menghilang dari duniamu. Namun rasa rinduku benar-benar sudah tak dapat ku bendung. Dua tahun aku menahan desakan melepas rinduku. Namun tubuh dan ragaku benar-benar kolaps.
Hingga akhirnya kesampaian juga melepas rindu. Meski hanya surat. Mungkin kamu masih ingin tahu kisahku tiga tahun belakangan ini. Aku tak mau menceritakannya lebih banyak. Ingin rasanya kuhapus dari memoriku. Aku pun bermunajat supaya diberikan penyakit Anterograde amnesia. Supaya semua ingatanku yang baru terjadi aku lupakan. Hanya ada kisah lama. Cerita kebersamaan kita berdua. Masa bahagia dan indah. Tak ada penderitaan batin seperti sekarang yang aku rasakan.
Mungkin ini saja dulu Ainulia. Terserah kamu mau menanggapi apa. Aku terima. Meski kamu tak mau balik lagi kepadaku. Sudah banyak penderitaan yang kamu alami. Aku tak mau lagi menambah dan membebanimu.
Kekasihmu,
Arsyad
Air mata dan penyesalan melingkupi setelah menamatkan surat Arsyad. Aku menangis sejadi-jadinya. Tak kusangka pengorbanannya begitu besar. Aku sangat bodoh tak mencoba mencari tahu lebih jauh lagi. Lebih detail lagi. Alasan Arsyad meninggalkanku. Aku cepat menyerah. Menyerahkan cintaku pada takdir. Andai aku tahu. Aku sangat menyesal perlakuanku kepada dia. Membenci orang yang sangat menyukaiku. Aku tak tahu harus berkata apa kepada Arsyad. Rasa terima kasih tak akan cukup. Meski aku ucapkan berjuta-juta kali.
Sehabis membaca suratnya, aku ingin langsung mencari Arsyad. Aku ingin meminta maaf karena salah menilainya.
Namun Raya justru berkata lain. “Ainu…jangan cepat percaya, telusuri dulu kebenarannya,!”
Aku sontak kembali berpikir. Jangan-jangan Arsyad bohong. Ia hanya merangkai cerita. Mengarang tentang kisahnya selama menghilang.
Aku pun tak lantas percaya. Aku pun bingung. Keluarga Arsyad sudah tak ada lagi di kota ini. Teman-temannya pun sudah lama hengkang dari kampus. Hatiku sudah lama beku. Beku akan namanya. Apalagi hatiku sudah punya Arif.
Namun untuk membuktikan prasangkaku benar. Aku pun mencari kebenaran tentang cerita Arsyad. Seminggu aku berputar-putar mencari informasi namun tak kudapat.
Sebulan berlalu. Tak ada apapun informasi yang kudapat.
Aku baru sadar ternyata bulan ini, Arif akan datang. Dalam suratnya bulan lalu, ia berjanji akan menemuiku. Aku pun ke kampus. Tak ada Arsyad. Memang akhir-akhir ini dia tak menemuiku. Aku pun mulai yakin, dia hanya mengarang cerita.
Tak lama aku sampai di kampus, Arif pun datang. Ia hanya sendiri. Tenyata tampangnya lebih gagah dibandingkan di fotonya. Maklum fotonya hitam putih. Kami pun bersalaman. Saling lirik. Tersipu malu. Dia mulai bercerita tentang dirinya, pekerjaanya dan keluarganya. Ia tak pernah punya kekasih. Katanya fokus dulu menjadi mapan. Sekarang dia sudah mapan. Katanya aku adalah perempuan pertama yang membuatnya tertarik untuk merajut kasih. Ia pun bertanya, “kamu pernah punya kekasih?” sontak aku gugup meski jawab apa.
“Iya…”jawabku pelan.
“Hem…,”sambil melepaskan senyum.
Kami menghabiskan waktu di bangku sudut jurusanku. Kami tertawa bareng. Aku tak menyangka begitu cepat akrab dengan Arif.
Tiba-tiba Arsyad muncul di hadapan kami. Air mukaku langsung berubah. Aku panik. Apa yang mesti aku perbuat? Apakah harus menghindari Arsyad? Aku harus memilih Arif atau Arsyad?
Admin tidak tau kalau artikel diatas ada kelanjutannya atau tidak,yang jelas admin akan coba memantau perkembangan artikelnya.sumber utama artikel: http://hasimarfah.blogspot.com/
Artikel diatas awalnya berpart,namun bagindaery.blogspot.com telah menggabungkan semua part menjadi satu tempat satu artikel agar pembaca mudah membaca tanpa harus mencari sambungan artikel lagi.
Sore itu aku membuka ruangan yang setahuku tak pernah aku masuki. Ada banyak kenangan masa lalu. Terlihat ada baju bayi, mainan yang sudah usang, foto kakakku, dan sebuah album foto. Kubongkar sebuah koper dan kutemukan diary milik ibuku. Ibuku memang buka orang suku Makassar. Dia besar di Bandung, Jawa Barat. Ayahnya berasal dari Pacitan dan ibunya asli suku Sunda.
Buku ini mempunyai kunci, kunci model lama. Aku berpikir ini pasti sangat rahasia. Karena Aku penasaran tentang kisah Ibuku ketika masih muda. Aku berniat membongkar diary-nya. Kuambil besi dan palu. Setelah lama berjibaku dengan kunci kuno ini. Akhirnya terbukalah diary ini. Tertulis lembar pertama, “Kelakuan yang tak mau Aku ingat lagi”. Aku semakin penasaran. Aku membaca bagian pertama diary ini.
Dear diary,
21 Juli 1986, Hari ini pertama aku masuk kuliah. Rasa takut dan bangga tercampur aduk menjadi satu. Rasa takut karena ospek senior yang begitu sadis. Tak segang menggertak dan menghantam, apabila ada mahasiswa baru yang lewat di depan mereka. Aku melihat Aidil, teman angkatan saya, mendapat bogem mentah dari sang senior. Ia langsung terkapar dan tak sanggup berdiri. Aku sontak histeris. Teman-teman lain semakin takut. Namun sehisteris dan sekencang kami berteriak, tak ada yang mendengar. Kami berada di ruangan gelap. Semua kaca ditutupi kertas. Tak ada dosen. Hari ini hari libur. Hari ini menjadi neraka untuk kami mahasiswa baru.
Aku semakin penasaran tentang kisah ibu ketika masih menjadi mahasiswa. Aku juga penasaran tentang pertemuan Ibu dengan Ayah. Aku lanjut membaca. Aku membaca bagian kedua tentang hubungan Ibuku dengan seniornya. Judul bagian ini Aku dan Seniorku.
Dear Diary,
28 Agustus 1986, Hari ini aku merasa bahagia sebab Arsyad, seniorku, menyatakan cintanya padaku. Dia mengatakan sudah lama memperhatikanku. Dengan bujuk rayuannya bisa meluluhkan hatiku. Cintanya pun Aku terima. Kami berdua jalan. Pertamanya malu-malu jalan berdua. Sebulan kemudian sudah bergendengan tangan. Semakin lama rasa cinta dan sayangku sama Arsyad semakin besar. Hingga suatu malam yang dingin dengan hujan deras di depan tempat kosku. Dinginnya hingga menusuk hingga tulang. Kami berdua kehujanan. Tak ada satupun bagian dari tubuh ini yang tak basah. Kami saling memandang hingga secara otomatis kepala kami saling berdekatan. Kepala kami saling miring. Ia ke kiri sedangkan Aku ke kanan. Mulut kami pun bertemu.
Akhirnya malam itu menjadi ciuman kami yang pertama. Ciuman itupun menjadi my first kiss. Sekejap kemudian Aku memaksa melepas. Aku berlari masuk ke kosku. Aku malu. Aku deg-degan. Ya Tuhan! Apa yang Aku lakukan tadi dengan Arsyad. Maafkan dosaku Tuhan.
Keesokan harinya, Arsyad sudah menunggu di depan kos. Ia tak henti-hentinya meminta maaf atas perlakuan Dia semalam. Aku pun luluh akan kata-katanya. “Iya Aku Memaafkanmu,” kataku dengan kepala tertunduk. Sebenarnya Dia tak sepenuhnya salah. Aku juga salah semalam. Namun inilah dosa ternikmat yang kami buat.
Akupun merasa marah atas kelakuan mereka. Perasaan banggaku, sayangku, dan hormatku pada Ibu semakin terkikis. Aku akan mengungkap kejadian ini kepada Ayah, Erni dan Raya. Namun Aku masih penasaran dengan kisah Ibu selanjutnya.
Ketakutanku terbantahkan setelah bisa mengirimkan surat padamu sekarang. Namun masa-masa sebelum surat ini sampai baikan neraka bagiku. Ainu, aku ingin menceritakan masa-masaku di penjara. Sangat kelam. Menyakitkan. Selama setahun aku dipenjara. Tak terhitung persidangan yang kulalui hingga tingkat Mahkamah Agung. Entah berapa uang yang kuhabiskan. Aku sempat merasa frustasi. Harapanku hancur berkeping-keping. Namun parcel harapan itu aku rangkai. Meski hancur kembali diterjang badai fitnah. Aku tak tahu energi apa ini, yang jelas hanya untuk melihat kamu walau yang terakhir. Aku pertaruhkan apa yang ada pada diriku.
Hidup di bui bagaikan masuk ke dalam neraka dunia. Tak ada kebebasan. Di sini berlaku hukum rimba. Siapa yang kuat dia yang bertahan. Uang dan pengaruh adalah rajanya. Aku mesti menjalani sebagai budak penjahat kelas kakap. Sungguh kisah hidup yang sangat pahit. Sampai pahitnya aku tak bisa lagi merasakan kesakitan yang lebih dari itu. Aku merasa beginilah mungkin siksaan di neraka nanti.
Tendangan. Sengatan listrik. Pukulan pentungan besi pun aku rasakan.
Aku sebenarnya ingin sekali menghilang dari duniamu. Namun rasa rinduku benar-benar sudah tak dapat ku bendung. Dua tahun aku menahan desakan melepas rinduku. Namun tubuh dan ragaku benar-benar kolaps.
Hingga akhirnya kesampaian juga melepas rindu. Meski hanya surat. Mungkin kamu masih ingin tahu kisahku tiga tahun belakangan ini. Aku tak mau menceritakannya lebih banyak. Ingin rasanya kuhapus dari memoriku. Aku pun bermunajat supaya diberikan penyakit Anterograde amnesia. Supaya semua ingatanku yang baru terjadi aku lupakan. Hanya ada kisah lama. Cerita kebersamaan kita berdua. Masa bahagia dan indah. Tak ada penderitaan batin seperti sekarang yang aku rasakan.
Mungkin ini saja dulu Ainulia. Terserah kamu mau menanggapi apa. Aku terima. Meski kamu tak mau balik lagi kepadaku. Sudah banyak penderitaan yang kamu alami. Aku tak mau lagi menambah dan membebanimu.
Kekasihmu,
Arsyad
Air mata dan penyesalan melingkupi setelah menamatkan surat Arsyad. Aku menangis sejadi-jadinya. Tak kusangka pengorbanannya begitu besar. Aku sangat bodoh tak mencoba mencari tahu lebih jauh lagi. Lebih detail lagi. Alasan Arsyad meninggalkanku. Aku cepat menyerah. Menyerahkan cintaku pada takdir. Andai aku tahu. Aku sangat menyesal perlakuanku kepada dia. Membenci orang yang sangat menyukaiku. Aku tak tahu harus berkata apa kepada Arsyad. Rasa terima kasih tak akan cukup. Meski aku ucapkan berjuta-juta kali.
Sehabis membaca suratnya, aku ingin langsung mencari Arsyad. Aku ingin meminta maaf karena salah menilainya.
Namun Raya justru berkata lain. “Ainu…jangan cepat percaya, telusuri dulu kebenarannya,!”
Aku sontak kembali berpikir. Jangan-jangan Arsyad bohong. Ia hanya merangkai cerita. Mengarang tentang kisahnya selama menghilang.
Aku pun tak lantas percaya. Aku pun bingung. Keluarga Arsyad sudah tak ada lagi di kota ini. Teman-temannya pun sudah lama hengkang dari kampus. Hatiku sudah lama beku. Beku akan namanya. Apalagi hatiku sudah punya Arif.
Namun untuk membuktikan prasangkaku benar. Aku pun mencari kebenaran tentang cerita Arsyad. Seminggu aku berputar-putar mencari informasi namun tak kudapat.
Sebulan berlalu. Tak ada apapun informasi yang kudapat.
Aku baru sadar ternyata bulan ini, Arif akan datang. Dalam suratnya bulan lalu, ia berjanji akan menemuiku. Aku pun ke kampus. Tak ada Arsyad. Memang akhir-akhir ini dia tak menemuiku. Aku pun mulai yakin, dia hanya mengarang cerita.
Tak lama aku sampai di kampus, Arif pun datang. Ia hanya sendiri. Tenyata tampangnya lebih gagah dibandingkan di fotonya. Maklum fotonya hitam putih. Kami pun bersalaman. Saling lirik. Tersipu malu. Dia mulai bercerita tentang dirinya, pekerjaanya dan keluarganya. Ia tak pernah punya kekasih. Katanya fokus dulu menjadi mapan. Sekarang dia sudah mapan. Katanya aku adalah perempuan pertama yang membuatnya tertarik untuk merajut kasih. Ia pun bertanya, “kamu pernah punya kekasih?” sontak aku gugup meski jawab apa.
“Iya…”jawabku pelan.
“Hem…,”sambil melepaskan senyum.
Kami menghabiskan waktu di bangku sudut jurusanku. Kami tertawa bareng. Aku tak menyangka begitu cepat akrab dengan Arif.
Tiba-tiba Arsyad muncul di hadapan kami. Air mukaku langsung berubah. Aku panik. Apa yang mesti aku perbuat? Apakah harus menghindari Arsyad? Aku harus memilih Arif atau Arsyad?
Dengan amarah yang membara, Aku lanjutkan membaca diary Ibu. Aku masih membaca kisah Ibu dengan Arsyad.
Dear Diary,
2 September 1986, Hari ini sudah sebulan Aku kuliah. Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris menjadi pilihanku. Aku berkenalan dengan teman-temanku yang berasal dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Ada juga dari tanah Papua. Aku sendiri adalah pendatang dari Tanah Pasundan, Bandung. Aku ikut bersama Ayah dan Ibu yang bermigrasi. Mereka sudah susah mencari uang untuk hidup di kampung halamanku. Sudah 10 tahun Saya di Kota Daeng, sebutan untuk Kota Ujung Pandang. Aku berteman dengan Erni dan Raya. Mereka sahabatku. Erni berasal dari Bone. Sebuah kabupaten terbesar di Sulawesi Selatan. Raya berasal dari Kepulauan Selayar. Erna orang yang saleh. Ia berasal dari keluarga muslim dan sederhana.
Setiap hari kami jalan sama. Mereka berdua belum mempunyai pacar. Hanya aku yang punya. Erni dan Raya berasal dari keluarga yang mampu. Saya hanya anak dari keluarga yang pas-pasan. Ibu seorang tukang cuci pakaian. Setiap hari Ibu keliling kompleks asrama polisi hanya untuk mengorder pakaian mereka. Seribu rupiah gaji Ibuku setiap minggu. Itupun disertai dengan protes sang klien. Bahkan suatu waktu Ibu mendapat musibah. Baju polisi yang Ia cuci ternyata terlumeri warna pakaian yang luntur. Akibatnya Ibu mesti mengganti pakaian tersebut. Ibu tak sanggup membayar dan Ia pun mesti mencuci pakaian selama 3 bulan tanpa dibayar. Aku merasa sangat sedih. Aku pun berniat untuk tak kuliah. Namun dorongan Ibu sangat kuat hingga akupun tetap kuliah. Ayah seorang pekerja kasar. Tiap hari dia menjadi pesuruh di Pasar Minasa Maupa, Sungguminasa, Gowa. Upahnya hanya cukup untuk makan saja. Membeli pakaian dan peralatan rumah tangga hanya menjadi angan-angan kami. Tiap ada perayaan besar umat Islam, agama kami, barang-barang dan makanan hanya berasal dari tetangga. Menunggu adalah kebiasaan mutlak kami. Menunggu kasihan dari orang lain. Menunggu punya uang untuk membeli selembar pakaian. Inilah mungkin cita-cita terbesar keluarga kami. Keluhan kami tak ada yang mendengar. Mungkin hanya buku ini tempatku untuk mengadukan semua keluh kesah.
Aku sangat beruntung berkenalan dengan pacarku sekarang, Arsyad. Bagaimana tidak semua mauku Dia turuti. Aku mau pakaian, sehari kemudian Dia sudah membawakanku. Orangtuaku pun Ia berikan pakaian di kampung. Ia tak protes dengan keluargaku yang serba tak memiliki. Setiap Aku kesulitan, Dia selalu ada disampingku. Aku merasa aman. Aku menjadi ratu atas perlakuan Arsyad. Semua keinginan dan angan-anganku menjadi nyata ketika Aku bersama Arsyad. Aku tak tahu apa yang mesti kulakukan untuk membalas semua kebaikan Arsyad. Nampaknya Aku benar-benar tak bisa hidup tanpa Dia. Hingga Aku pun berpikir untuk membalas kebaikan Arsyad. Namun dengan apa. Aku orang tak berada. Dengan uang Ia pasti sudah punya. Ayahnya seorang pengusaha besar. Dengan cinta, cintanya lebih besar daripada Aku. Apakah mesti dengan tubuh dan jiwa ini, sehingga menjadi impas untuk membalas semua kebaikannya. Hingga suatu malam yang dingin di tepi Pantai Losari, Makassar Aku mencoba menanyakan kepada Dia maksud perhatiannya.
“Arsyad, mengapa Kamu baik sekali kepadaku?” tanyaku kepadanya.
“Aku melakukannya kerana kamu begitu berarti buatku, Kamu seperti jiwaku. Jadi apapun yang terjadi padamu pasti Aku rasakan. Sedihmu, senangmu, dan marahmu, Aku bisa rasakan” jawabnya dengan menatap langsung ke mataku.
Aku hanya terdiam dan tak sanggup bertanya apapun lagi kepadanya. Malam itu kami tak berkata apapun. Hingga dia mengantarku ke kosku yang berada di belakang kampus. Malam itu Aku tak bisa tidur. Perkataan Arsyad terus terbayang dalam benakku. Aku semakin yakin Arsyad akan menjadi pendampingku untuk selamanya.
Tengah malam yang tenang di kosku. Aku bangun untuk salat tengah malam. Doaku hanya satu. Semoga Arsyad menjadi suamiku. Aku tak mau yang lain Ya Allah. Hingga Aku tertidur di sajadahku. Pagi pun menyingsing. Aku pun bersiap menuju kampus. Seperti biasa Arsyad sudah ada di depan gerbang. Erni dan Raya menggodaku karena selalu mendapat jemputan dari kekasihku Arsyad. Dalam perjalanan menuju kampus, Kami tak berkata apapun. Hingga Aku pun mengangis. Karena tak mendapat perhatian Arsyad.
“Mengapa Kamu tak berbicara apapun,” tanyaku kepadanya.
Pertanyaan ini Aku ulangi berkali-kali. Hingga sampai di kampus. Aku tepat turun di depan pintu gerbang kampus Unesa. Dia mencap motornya pergi entah kemana. Dia tak masuk kampus. Sejak hari itu Dia tak menghubungiku. Aku pun tak pernah melihatnya. Aku bertanya kepada teman-temannya. Namun tak ada yang tahu. Kucoba mencari informasi tentang keberadaan Arsyad di rumahnya. Orang tuanya tak mau memberi jawaban atas pertanyaanku.
Hingga suatu sore, sehabis pulang dari kuliah Aku melihatnya bersama seorang perempuan lain. Perempuan itu cantik. Seksi. Dia dan Arsyad saling bercanda dan merangkul. Aku hendak berlari menemuinya. Namun Arsyad dan perempuan itu terlanjur naik motor dan entah kemana. Akupun bertanya siapakah dia?Apa hubungan dia dengan kekasihku?Apakah Arsyad sedang selingkuh?
Hari itu Aku merasa sangat kacau. Semua perasaan marah dan cemburu tercampur menjadi satu. Aku merasa tak sanggup menahan pengkhianatan ini. Aku mau mengakhiri hidup ini saja.
Hingga suatu siang sehabis mata kuliah writing. Aku bertemu dengan pengkhianat cintaku, Arsyad. Ketika melihatku dia tak langsung menghindar. Aku pun mengejar Dia namun tak kudapati dirinya.
“Arsyad, Tunggu! Aku mau bicara denganmu” teriakku.
Namun Arsyad tetap tak peduli denganku. Ia tetap berlari. Menerobos taman kampus. Menabrak orang-orang yang berjalan di lorong kampus. Orang-orang di kampus memelototiku. “Sudah gila Dia? hingga berteriak histeris di tengah kampus,” bisik seorang mahasiswi.
Nafasku terasa sesak mengejar Arsyad. Apa daya Ia terlalu cepat. Kesempatanku berbicara dengan lelaki pengkhianat sirna sudah. Dia menghilang entah kemana. Bagaikan ditelan bumi.
Kecewa meliputiku. Benci semakin besar. Rasa cinta yang dulu ada kini telah pupus. Bagaikan tablet yang jatuh ke danau. Hilang tak berbekas. Tak mungkin kembali lagi ke wujudnya menjadi tablet. Aku sangat terpukul. Jiwaku kosong. Serasa ingin mati. Kiamat seakan sudah terjadi padaku.
Kejadian hari ini membuatku mengurung diri dalam kamar. Aku tak mau makan. Apalagi mengingat tingkah laku Arsyad yang drastis berubah. Setiap Aku memikirkannya. Air mata ini terus saja mengucur tanpa Aku sadari. Sangat menyakitkan. Aku sangat terpukul. Mungkin ini yang dinamakan sakit hati. Setiap Aku merasa tegar. Saat itu juga perasaan sakit hatiku terus menusuk. Hari ini Aku berjanji tak akan setia lagi dengan seorang lelaki. Lelaki semua sama. Mereka adalah pengkhianat. Tukang selingkuh. Aku bersumpah akan membalas perlakuan ini pada mereka.
Setelah Aku membaca diary Ibu pada bagian kedua ini. Aku merasa sangat kasihan pada kisah Ibu ketika masih kuliah dulu. Kisah ini memang tak pernah Ibu ceritakan kepada kami, anaknya. Mengapa Arsyad tega mencampakkan Ibu yang sangat cinta kepadanya? Mengapa Arsyad tak mau bertemu dengan Ibu? Bagaimana kelanjutan kisah Ibu selanjutnya? Mengapa nama teman Ibu sama dengan adik dan kakakku? Pertanyaan ini yang Aku mau cari tahu.
Tak terasa sudah sejam aku membaca kisah Ibu. Aku pun menyimpan kembali diary-nya di tempat semula. Biarlah Aku simpan rasa penasaranku terlebih dahulu. Besok Aku akan kembali membaca buku ini.
“Lisa, dimana kamu?”teriak Ibu kepadaku dari arah dapur.
“Iya bu, Saya datang,” sambutku dengan mengendap-endap, jangan sampai ada seorang yang tahu Aku dari ruangan ini.
“Nak, bantu Ibu menyiapkan makan malam,” pinta Ibu kepadaku.
Makan malampun tiba. Ayah, Ibu, Aku, Erni dan Raya duduk bersama di meja makan. Ayah dan Ibu kelihatan saling perhatian. Sangat mesra. Aku hanya terdiam dan menatap kosong akan kemesraan mereka. Ibu seperti tak pernah mendapat masalah dalam hidupnya. Everything is fine. Mungkin janjinya di diary-nya ia tepati. Ia tak akan mengingat kembali kisahnya saat masih kuliah dulu. Aku terus teringat diary ibu. Hingga ibu membangunkanku dari lamunan.
“Nak, ada apa, kamu mengkhayal yah?” tanya ibu.
“Kamu memikirkan siapa, pasti seorang anak laki-laki yah, Ayo mengaku!” goda ibu kepadaku.
“Tidak! ibu bercanda saja,” jawabku cepat.
Ibu memang benar. Aku memikirkan Arsyad. Mengapa ada seorang laki-laki begitu kejam ? Mudah-mudahan Aku tak mendapat lelaki seperti Arsyad.
Sehabis makan malam dengan keluarga kecilku, Kami pun langsung menuju kamar masing-masing. Kami bertiga mempunyai kamar pribadi. Rumah kami cukup luas. Hidup kami masuk dalam kalangan strata menengah ke atas. Ibu seorang guru SMA. Ayah seorang pengusaha sukses. Setiap minggu ayah bersama karyawannya keliling daerah. Ayah jarang di rumah. Cuman tujuh hari dalam sebulan ayah tinggal di rumah. Seminggu itu hanya untuk melepas kangen pada keluarga dan sisanya mengambil pakaian.
Hari ini Aku berangkat ke kampus Unesa bersama ayahku. Kami banyak mengobrol tentang kisah pertemuan ayah dengan ibu. Ayah mengatakan pertemuan pertama dengan ibu terjadi setelah mereka sama-sama lulus dari tempat kuliah masing-masing. Ibu kuliah di Unesa, kampusku sekarang. Sedangkan ayah berasal dari Universitas Negeri Parepare. Waktu itu, ayah tinggal di Parepare sedangkan ibu tinggal di Gowa. Pertemuan mereka terjadi ketika ayah melancong ke Gowa 23 tahun silam. Ayah bertemu ibu di suatu pelatihan. Ayah sekelompok dengan ibu. Di sinilah benih-benih cinta mulai ada. Hingga tak membutuhkan waktu lama, mereka pun naik pelaminan. Ayah sampai sekarang memang tak tahu aktivitas ketika ibu masih kuliah. Dengan siapa ibu berhubungan? Siapa teman-teman Ibu? Ini semua tak pernah ibu ceritakan kepada ayah. Aku berpikir ayah memang tak tahu masa lalu ibu, termasuk diary yang Aku baca ini.
Tak habis ceritaku dengan ayah, akhirnya Aku sampai juga di kampus. Sebelum Aku turun dari mobil. Ibnu, my best friend, sudah menunggu. Ibnu memang sudah menjadi sahabat karibku sejak masih mahasiswa baru dulu. Perhatiannya kepadaku melebihi teman-teman lain. Aktivitas kuliah, tugas, kerja kelompok selalu kami kerjakan bersama. Bahkan teman se kampus menganggap kami pacaran. Padahal tidak. Justru setelah Aku membaca diary ibu, aku menjadi selektif terhadap lelaki. Aku tak mau bernasib seperti Ibuku yang dicampakan oleh lelaki yang baik padanya. Hingga Aku mencoba menolak semua kebaikan Ibnu kepadaku.
Kelas sudah bubar. Ibnu mengajak Aku ke kanting kampus. Kami cuman berdua. Canda tawa mengiringi makan siang kami. Tiba-tiba Ibnu melontarkan kata-kata ingin berpacaran denganku.
“Bagaiman kalau status hubungan kita ditingkatkan menjadi berpacaran,” kata Ibnu sambil tertawa lepas.
“Kamu serius Ibnu?”jawabkan mendesak.
“Iya, aku serius,” tegas Ibnu kembali.
Aku pun kembali teringat dengan diary ibuku. Ibnu mirip dengan Arsyad. Kebaikannya sama dengan kekasih ibuku ketika kuliah. Aku menolak ajakan Ibnu. Aku beralasan tak mau dulu berpacaran. Tapi sebenarnya Aku takut Ibnu seperti Arsyad. Aku tak mau bernasib seperti ibuku.
Aku sebenarnya mau menerima ajakan Ibnu. Aku cinta Dia. Namun Aku takut Ibnu menjadi Arsyad. Ibu mungkin sanggup namun Aku sangsi jika kejadian ini menimpa padaku. Aku sudah termakan kalimat-kalimat diary Ibu. Aku tak bisa membendung perasaan untuk menolak Ibnu. Meski hati ini mengatakan iya. Maafkan Aku Ibnu yang telah membohongimu.
“Maaf yah Ibnu, Aku belum siap, Aku mau sendiri dulu,” jawabku.
“Tak apa-apa Lis,” tanggap Ibnu dengan nada kecewa.
Ibnu tak memperlihatkan kekecewaannya dengan penolakanku. Dia tak memaksaku. Sikapnya membuat Aku tambah respect padanya. Perasaan cintaku padanya semakin besar. Tapi lagi-lagi kalimat-kalimat Ibu memaksaku untuk memendam rasa ini dalam-dalam. Sampai tak ada celah untuk meluapkan perasaan cintaku. Yang tak dapat Aku percayai sikap dan perhatian Ibnu tak berubah kepadaku.
Hari ini Ibnu berencana mengajakku mampir ke rumahnya. Tanpa berpikir panjang ajakannya Aku terima. Dalam perjalanan ke rumahnya Ibnu banyak bercerita tentang latar belakang keluarganya. Ayah Ibnu adalah alumni Unesa jurusan Bahasa Inggris angkatan 84.
“Ayah dulu kuliah di Jurusan Bahasa Inggris,” ungkap Ibnu
“Satu jurusan dong dengan Ibuku.”
“Memang Ibumu angkatan berapa?”
“Ibuku angkatan 86.”
“Berarti junior ayahku yah.”
“Benar. Siapa nama ayahmu?”
“Jalaluddin Rahmat.”
“Oh…Nanti Aku Tanya Ibuku, Apakah kenal dengan Ayahmu.”
“Iya. Ayahku sekarang tak berada di rumah. Dia keluar daerah.”
Andai Ayah Ibnu ada di rumahnya, Aku akan tanya tentang kisah Ibu dengan Arsyad. Mungkin saja Ayah Ibnu tahu kisahnya.
Tanpa terasa perjalanan kami serasa singkat. Aku dan Ibnu sudah sampai di rumahnya. Motor cross-nya Dia parkir di bagasi. Rumah Ibnu sangat besar. Bertingkat dua. Model rumahnya ala Eropa. Dari luar terlihat bak istana. Ada taman luas di depan rumah. Berbagai macam tumbuhan dan bunga tumbuh di halaman. Mobil keren dan mahal berjejer di parkiran. Honda City dan Toyota Fortuner dibiarkan begitu saja terparkir tanpa ada pelindung cahaya matahari. Penjaga rumah terlihat siap siaga selalu.
Memasuki rumah, Aku semakin takjub dengan interior rumahnya. Tengah rumah ini sangat luas. Perabotan rumah terlihat sangat mahal. Kursi tamu terbuat dari kayu hitam bercap made ini Jepara. Terdapat lukisan dengan nilai seni tinggi dengan tanda tangan tangan, Affandi, Maestro Seni Lukis Indonesia. Aku merasa minder datang ke rumah Ibnu. Aku tak pernah menduga Ibnu adalah anak orang sukses. Setiap hari Ibnu ke kampus dengan pakaian yang lusu, tak pernah disetrika. Memakai motor cross dengan body lecet sana-sini. Tak pernah dicuci. Suara bising. Asap tebal mengepul. Tak jarang motor Ibnu mendapat sindiran dan celaan. Dikatakan Obat nyamuk-lah. Fogging -lah. Kaleng bekas-lah. Banyak lagi yang tak bisa Aku ungkapkan. Ibnu santai saja menanggapi sindiran dan celaan mereka. Dia justru percaya diri saja memakai motor cross-nya.
“Emang, apa kerjaan Ayahmu?”
“Ayahku kerja sebagai konsultan di Dinas Pendidikan Sulsel.”
“Pantas.”
“Pantas apanya Lis?”
“Pantas rumahmu besar, ayahmu orang kaya.”
Hari ini Aku seperti orang yang baru memasuki istana. Aku seperti orang bodoh melongok sana sini. Bertanya sesuatu yang tak penting. Kegirangan sendiri. Tak lama kemudian ibunya muncul.
“Ibnu siapa perempuan cantik ini,”
“Teman kelas Ibnu bu,”
“Kenalkan, aku Siska, ibu Ibnu,” dengan uluran tangan mengarah kepadaku.
“Lisa bu, teman kelas Ibnu,” sambutku.
Senyum hangat terpancar dari bibir ibu Ibnu. Ibu Ibnu pun mengajak kami menuju ruang makan. Semua makanan sudah tersedia. Sajiannya seperti restoran berbintang lima yang terlihat di televisi. Aku baru melihat makanan semewah ini. Paling tinggi yang pernah Aku tempati makan cuman di restoran cepat saji milik Negara Amerika Serikat. Itu pun bersama teman-teman. Ibu tak sempat membawa kami ke restoran. Ayah apa lagi, ia sangat jarang di rumah. Meski kami bisa juga ke restoran.
Suasana makan siang menjadi ajang nostalgia ibu Ibnu sewaktu masih kuliah. Aku hanya tertunduk. Menjawab jika ditanya. Habis itu kembali malu dan back to first position, menundukkan wajah. Tak terasa dua jam kami duduk bertiga di meja makan. Kami telah menyelesaikan santap siang satu setengah jam lalu. Selebihnya adalah cerita tentang kuliah ibu Ibnu, pertemuan ibu dan ayah Ibnu, masa kecil Ibnu. Hari ini Aku tahu banyak tentang keluarga dan Ibnu sendiri. Namun hal itu belum bisa menghancurkan bendungan rasa takutku untuk menyambut cinta Ibnu. Sehabis cerita panjang dengan Ibnu dan ibunya, Aku mohon diri.
“Sering-sering yah mampir ke rumah!”pesan ibu Ibnu.
“Pasti bibi,” jawabku sambil mencium tangannya.
Ibnu pun mengambil kembali motor cross-nya. Suara motornya sudah berderu. Aku sudah naik. Ibu Ibnu pun mengantar kami.
“Mengapa kamu tak naik mobil ke kampus?”
“Ah. Aku malas. Cewek-cewek kampus godain aku.”
“Kamu PD sekali akan digoda cewek-cewek kampus.”
“Lihat aja teman-teman yang pakai mobil ke kampus, mereka kan selalu digoda, uangnya diperas, terus ditinggalin oleh serigala-serigala berperawakan cantik bernama perempuan.”
“Kamu benar juga.”
“Saya juga melihat mereka masuk ke dunia hitam. Memakai obat-obatan, minum-minum hingga berakhir di panti rehabilitasi BNN. Akhirnya masa depan mereka hancur,”timpal Ibnu.
“Betul juga yah.”
Akhirnya kami tiba di depan rumahku. Tak ada seorang pun menyambut kami. Aku mengajak Ibnu masuk namun dia tak mau. Nanti ada fitnah katanya. Akhirnya Ibnu menancap motor cross-nya. Aku memperhatikannya pulang hingga menghilang di belokan kompleksku. Tak lama Ibnu beranjak. Erni datang bersama seorang lelaki. Mereka mengendarai mobil Toyota Avanza. Mereka terlihat akrab. Tak sempat Aku berkenalan, lelaki itu meluncurkan kembali mobilnya.
“Siapa itu kak?”
“Oh dia temanku di tempat kerja,”jawab kakak singkat.
“Kok tidak mampir dulu?”
“Katanya sedang buru-buru, jadi lain kali dia singgah.”
Aku tak bertanya lagi.
Sehabis mengganti pakaian Aku langsung menuju ruang rahasia. Aku mencari diary milik ibuku. Aku kembali membaca bagian selanjutnya. Judul bagian ketiga ini “Aku, Erni dan Raya”.
Dear Diary,
Hari ini, 28 Oktober 1986, hampir dua bulan Arsyad meninggalkan Aku. Selama itu pula sakit hatiku menusuk. Aku belum bisa melupakan Arsyad. Bayang-bayang wajah dan tingkah lakunya masih menghantuiku. Aku merasa tak berarti lagi hidup di dunia ini tanpa Arsyad. Aku masih tak percaya dengan keadaan ini. Aku selalu berharap ini adalah mimpi. Hingga Aku terbangun dan Arsyad sudah berada di sampingku.
Berulang kali Aku mencoba bunuh diri namun Erni dan Raya selalu menyelamatkanku. Dua Minggu lalu Aku melakukan tindakan gila, mengiris nadiku. Tak ada seorang pun di kos malam itu. Erni sedang tak ada di rumah. Raya keluar membeli makanan dan perlengkapan sehari-hari. Seketika pun darah mengucur. Kucuran darah semakin deras. Aku hanya menatap kosong waktu itu. Tak memedulikan nasibku akan berakhir. Hingga Aku tak sadarkan diri. Aku merasa telah mati.
Aku terbangun dan melihat jarum infus telah menusuk bagian tanganku. Bekas irisan pisau sudah diperbam. Raya dan Erni telah menungguiku di samping pembaringanku.
“Dimana Aku?”
“Kamu di rumah sakit Ainulia,”jawab Erni.
“Di mana Arsyad?”
“Ainu… Arsyad tak ada di sini.”
“Dimana kekasihku?” Suaraku semakin meninggi.
Semua orang menatapku. Erni dan Raya mencoba menenangkanku. Suaraku semakin keras saja. Aku menjerit. Histeris. Kamarku menjadi gempar.
“Nyebut Ainu, nyebut. Astagafirullah!” kata Raya seraya menenangkanku.
Beberapa saat Aku menjerit, datang seorang suster. Ia menyutikkan sebuah obat penenang. Aku kembali tak sadarkan diri.
Upaya bunuh diriku ini tak sampai ke telinga orang tuaku. Mungkin Erni dan Raya tahu mereka tak akan bisa menerima kenyataan ini. Aku pun tak akan menyalahkan mereka jika tak memberikan kabar kepada orang tuaku di kampung. Aku juga sadar akan membuat kecewa jika kabar memalukan ini sampai ke mereka.
Seminggu Aku rawat inap di rumah sakit. Uang perawatan dibayar oleh Erni dan Raya. Uang kiriman bulanan mereka gunakan untuk menuntaskan biaya rumah sakitku. Saat Aku keluar dari rumah sakit. Raya mengatakan kepadaku ada kiriman dari orang tuaku. Isinya sepuluh liter beras, ikan kering, pisang dua sisir dan uang saku sebanyak Rp10.000 serta sepucuk surat dari ibuku.
Untuk Anakku tersayang Ainulia,
Assalamu Alaikum Warahmatulahi Wabarakatuh
Bagaimana kabarmu anakku, semoga sehat wal afiat selalu. Kami di kampung baik-baik saja. Ayahmu sering menceritakan ananda kepada sanak keluarga di sini. Ia membanggakan ananda akan menjadi orang sukses yang akan mengangkat harkat dan martabat keluarga. Sampai-sampai Ayah menolak ajakan besan dari kepala desa. Katanya, “Anakku hanya akan aku kawinkan dengan pria yang ia cintai,” tolaknya.
Oh iya, Bagaimana kabar pacar ananda, nak Arsyad? Semoga dia juga sehat. Sampaikan rasa terima kasih kami kepadanya atas kiriman pakaian dan kebutuhan pokok lainnya. Ayahmu juga selalu membanggakan pacarmu itu. Ia menceritakan kepada hampir semua orang kampung bahwa ananda menjalin kasih dengan anak orang kaya. Ibu malu karenanya. Tapi entah mengapa ayahmu masih saja percaya diri akan ucapannya.
Sudah dulu yah Ainu, kalau ananda sempat balas surat ini! Jaga kesehatan! Banyak belajar! Doa kami mengiringimu selalu.
Assalamu alaikum Warahmatulahi Wabarakatuh
Ibu dan Ayah
Air mataku mengalir sejadi-jadinya setelah membaca surat ibu. Aku semakin terpukul. Merasa bersalah. Ibu masih menganggap Aku dan Arsyad masih bersama. Aku tak akan bisa melihat reaksi ibu dan ayah jika melihat keadanku saat ini. Apalagi jika mereka mengetahui bahwa Aku sudah tak menjalin lagi hubungan dengan Arsyad. Pasti Ayah akan syok dan bias-bisa mengikuti jejakku untuk bunuh diri. Aku tak mau mereka mengetahui keadaanku ini. Aku pun mengatakan kepada Raya dan Erni untuk tak memberitahukan keadanku kepada mereka.
Tak ada yang berubah setelah Aku keluar dari rumah sakit. Hatiku tetap gundah gulana. Wajah Arsyad masih terlukis dibenakku. I still remember my lovely. Apalagi kata-kata ayah yang membanggakan Arsyad semakin menggerus hatiku. Sejak saat itu, hatiku tak lagi mempunyai ruang untuk lelaki lain.
Raya dan Erni mencoba mengobati luka batinku dengan mengajakku jalan, menyibukkanku dengan aktivitas kuliah, mengajakku masuk ke lembaga kemahasiswaan, hingga mengenalkanku dengan lelaki lain.
“Ainu…besok kita jalan-jalan ke Air Terjun Takapala, Malino yuk,” ajak Erni.
“Benar Ainu, aku juga mau berwisata nih, apa lagi libur akhir semester ganjil,” sambung Raya.
Aku hanya terdiam dan menganggukkan kepala. Pertanda setuju.
Hari libur yang dinanti Erni dan Raya pun tiba. Mereka mempersiapkan keberangkatan kami. Bekal perjalanan, pakaian ganti, akomodasi, dan carter mobil pun mereka sudah urus. Aku tinggal berangkat. Biaya tak ada yang kutanggung. Semua mereka yang bayar. Setelah menempuh perjalanan selama dua jam. Akhirnya hawa dingin Malino menyambut kami. Kabut menghalangi pemandangan. Rendahnya suhu memaksa kami memakai baju berlapis tiga. Kami bermalam di penginapan dekat Air Terjun Takapala. Dua hari kami di Malino. Hawa dingin Malino mampu membekukan traumaku. Aku sudah dapat tersenyum. Keceriaanku kembali sedikit demi sedikit. Aku sudah dapat mengobrol lepas dengan sahabatku Erni dan Raya.
Sepulang dari Malino, Aku kembali beraktivitas seperti biasa.
Upaya mereka sejengkal demi sejengkal membuahkan hasil. Aku sudah tak mengurung lagi di dalam kamar. Aku sudah tak mau lagi bunuh diri. Tapi untuk urusan membuka hati pada lelaki lain belum bisa Aku lakukan.
Aku pun tak pernah lagi melihat Arsyad. Kata teman-temannya, ia pindah kuliah ke Jakarta. Aku juga tak terlalu memedulikan dia. Rasa ketergantunganku kepada Arsyad sudah sirna. Untuk memenuhi kebutuhanku Aku mulai kerja paruh waktu. Mengajar privat untuk anak SD hingga SMA, Aku ambil. Bekerja kasar di rumah makan pun, Aku sambar. Hasil dari kerjaan ini sudah mampu membiayai kuliahku dan kebutahanku sehari-hari. Aku mulai berpikir untuk bekerja lebih keras lagi untuk mengirimi orang tuaku uang.
Dear Diary
16 September 1987, Setahun berselang, setelah Aku merasakan pedihnya ditinggal kekasih tanpa alasan yang jelas. Aku sudah menjadi orang yang baru. Tahun ini memasuki satu setengah tahun Aku menjadi mahasiswi di kampus Unesa. Kesibukkanku semakin bertambah. Aku juga menjadi fungsionaris di lembaga kemahasiswa yang bergerak di bidang HIV/AIDS.
Kuliahku selesai sore ini. Aku, Erni, dan Raya berencana akan pulang bersama. Namun entah mengapa Erni membatalkan pulang bersama. Katanya dia akan ke toko serba ada (Toserba) untuk membeli sesuatu.
“Kalian duluan aja pulang, ada yang mau saya beli di Toserba dekat kampus,” kata Erni.
“Kami temani yah,” timpal kami bersamaan.
“Tidak usah, saya hanya sebentar,”selah Erni.
Entah mengapa hari ini Erni bertingkah aneh. Tak biasanya dia pergi sendiri. Biasanya bersama Aku atau Raya. Tadi pagi memang Erni lama sekali mandi. Biasanya dia paling cepat mandi. Mukanya pun pucat.
“Kemarin saya melihat Erni marah-marah di telpon, tapi saya tak mengetahui sebab dia marah,” ungkap Raya.
Aku dan Raya sudah berada di rumah. Erni belum pulang. Dia masih belanja di toserba dekat kampus. Lama kami menunggu namun Erni tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya. Kami sudah tidur. Suara teriakan terdengar dari dalam WC.
“ Itu suara Erni,” kataku pada Raya.
“Benar, Ayo bergegas ke sana,” jawab Raya.
Setelah tiba di depan pintu WC. Tiba-tiba Erni memeluk kami berdua. Ia menangis. Kami tak tahu sebabnya.
Tangannya memegang alat pemeriksa kehamilan. Hasilnya positif. Kami kaget. Pelukan kembali kami eratkan kepada Erni. Dia sangat menyesal akan perbuatan yang ia lakukan bersama pacarnya.
“Aku sangat menyesal, aku sangat malu, ” ungkapnya Erni sambil memukul perutnya.
“Sudahlah Erni kamu jangan menyiksa dirimu, siapa lelaki yang berbuat demikian kepadamu?” tanya Raya.
“Razak, pacarku, Ia membujukku, celakanya aku terjerumus dalam rayuannya,” sesalnya.
***
Tiga bulan lalu
Malam yang temaram di bioskop. Malam ini pemutaran perdana film Pernikahan Dini. Film ini dibintangi oleh Mathias Muchus dan Gladys Suwandhi. Heru (Mathias Muchus) dan Dini (Gladys Soewandhi) kawin terlalu muda karena terlanjur hamil. Meski sudah punya anak kelakuannya masih kekanak-kanakan. Heru yang calon insinyur lalu jadi sopir taksi. Dini diam-diam sering menerima bantuan uang dari ibunya tanpa memberi tahu suaminya. Kemudian mereka sering cekcok sampai Dini pulang kerumah orang tuanya hingga ayahnya yang sebetulnya tak setuju perkawinan ini cekcok dengan ayah Heru yang juga menyesalkan perkawinan terpaksa ini.
Masalah ini selesai, muncul masalah lain. Dini ingin melanjutkan sekolahnya , Heru tak setuju, meski akhirnya mengalah. Suatu hari Dini pulang terlambat hingga Heru kesal dan menyerahkan anaknya pada tetangga yang memang sering mereka titipkan bayi. Melihat itu Dini lari dan kebetulan di temui kakaknya dan diajak pulang kerumah kakaknya itu. Yang jadi korban anak mereka yang harus dirawat di rumah sakit.Peristiwa inilah yang mendamaikan Heru dan Dini.
Hari ini juga pertama kali aku berkenalan dengan Razak. Ia kerja di sebuah bank swasta. Kami datang cuman sendiri. Razak duduk berdampingan denganku. Cerita pun dimulai. Dari masalah kerjaan hingga masalah paling pribadi, asmara. Aku merasa nyaman mengobrol dengannya. Ia suka music rock. Aku dulunya kurang suka. Namun dari pembahasannya tentang musik ini. Aku tertarik kemudian ikut suka. Aku sangat tertarik dengan lagu Power Metal berjudul Memori Jinggah. Mendengar lagu ini aku semakin cinta Razak saja. Liriknya menyentuh jiwa. Lagu favorit kami.
Tutur bahasa dan gaya Razak membuat aku suka hingga tak mampu memendam rasa. I’m falling in love. Realy falling in love. Aku harap ia juga suka dan cinta padaku.
Tak butuh waktu lama, kami pun sering jalan bareng. Ketemu di pasar malam. Duduk berdua di Pantai Losari. Saling puja dan puji. Perasaan kami memang semakin menggelora. Belum siap aku ke kampus. Surat berwarna pink dan sekuntum bunga mawar sudah ada di depan kamarku. Surat dan bungannya dari Razak. Romantis. Cinta mati. Semua ada pada sosok lelaki satu ini.
Hingga suatu malam yang dingin. Razak mengajakku berlibur ke Malino. Kami hanya berdua. Tak ada Lisa dan Raya. Aku segera mengatakan setuju. Tak ada kecurigaan. Aku sangat senang. Keesokan harinya kami berangkat. Kami menggunakan mobil sewa. Kemesraan kami semakin bertambah. Dari berpegangan tangan berlanjut ke berpelukan, dari berpelukan kemudian berciuman. Hingga kami pun saling memaduh kasih dengan cara saling menyetubuhi. Kami berdua senang.
Hingga penyesalan pun terjadi di kemudian hari. Aku hamil. Malu. Masa depanku terancam buram. Aku tak tahu di mana keberadaan Razak sekarang. Ia berhenti kerja. Aku dengar dia pindah ke Papua. Belakangan terungkap ia sudah punya istri dan anak. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Aku berpikir 100 kali untuk melapor ke polisi. Aku takut orang tuaku mendengar. Mereka pasti sangat malu. Aku pasti diusir. Tak dianggap anak lagi. Apalagi ayahku orang terpandang.Ia pemuka agama di kampungku. Aku serasa pelacur yang dengan gampang memberikan kesuciannya kepada lelaki asing. Aku sangat tolol.
****
Cerita Erni ini membuat kami sangat sedih sekaligus kecewa dengan sikapnya. Erni dengan gampang memberikan kesuciannya pada lelaki yang ia baru kenal. Namun aku tak terus menyalakan sahabatku, Erni. Aku akan membantunya menyelesaikan masalahnya. Aku ingin membalas budi. Aku pernah dalam kondisi sama. Dikhianati. Aku bersama Raya mulai menasehati Erni untuk tak menggugurkan kandungannya.
“Erni dosa jika kamu membunuh anakmu!” tegas Raya.
“Iya anakmu tak punya salah. Jika kamu membunuhnya kamu hanya akan menambah penderitaanmu,” kataku menasihatinya.
Erni tak bergeming. Ia hanya menunduk. Kami tak membiarkan Erni sendiri. Kami akan mencegah dia untuk melakukan perbuatan bunuh diri. Seperti aku dulu.
Informasi tentang kehamilan Erni telah tersebar luas. Mungkin teman satu kos yang menyebarkannya. Bagaimana tidak. Perutnya tiap bulan semakin membesar. Hingga informasi ini tersebar ke telinga orang tuanya. Anggapan Erni benar. Orang tuanya murka. Erni diusir. Mulai hari itu Erni putus kuliah. Ia bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta.
Hari yang dinanti pun tiba. Erni ingin melahirkan. Kami pun bergegas membawanya ke rumah sakit. Tiga jam Erni bertarung antara hidup dan mati. Anaknya pun lahir. Jenis kelamin laki-laki. Tak mirip Erni. Mungkin mirip Razak. Ayahnya. Bapak yang mencampaknya. Aku semakin benci dengan lelaki. Mereka bukan manusia. Tapi binatang. Hanya mau menikmati tubuh wanita. Selebihnya hanya bisa lari. Tak mau bertanggung jawab. Banci. Semua lelaki banci. Aku kembali memperkuat janjiku. Akau akan membalas semua lelaki tanpa kecuali.
Malam itu kami diliputi perasaan sedih dan senang. Senang karena anaknya lahir dengan semangat tak kurang satu pun. Sedih karena tak ada yang mau mengakui anak ini sebagai cucu dan putra. Hanya Erni yang bertaruh seorang diri. Malang benar nasib sahabatku.
Seorang lelaki tiba-tiba muncul. Perawakan tinggi. Misterius. Memang sejak tadi lelaki ini mondar mandir. Kami tak tahu siapa dia. Mungkinkah ini Razak. Ah…jika ini dia, mengapa lelaki itu tak bertemu Erni. Tidak mungkin. Ia bukan Razak. Siapa lelaki ini? Suruhan orang tua Erni? Kami tak tahu.
Seminggu kemudian Erni pindah rumah. Kami tak tahu alamatnya sekarang. Menghilang tanpa kabar. Tak pamit pada kami, sahabatnya. Aku dan Raya bertanya-tanya. Mengapa Erni melakukan hal demikian?Apakah ada hubungannya dengan kedatangan lelaki misterius ketika Erni melahirkan?
Dugaan kami memang tak salah. Lelaki yang datang erat kaitannya dengan Erni. Lelaki yang datang di hari kelahiran anak Erni adalah Razak. Lelaki yang menghamili Erni. Aku tak habis pikir mengapa Erni kembali ke pelukan Razak. Mungkin cinta Erni begitu besar, meski Razak sudah mempunyai anak dan istri. Memang cinta selalu tak bisa ditebak.
Mulai hari itu kami tak pernah lagi bertemu dengan Erni. Aku pun mulai melupakan Arsyad sedikit demi sedikit meski tiap malam wajah dan perhatiannya masih menghantuiku.
23 Januari 1988, Saat ini Aku dan Raya sudah semester enam. Akhir semester ini kami akan berangkat Kuliah Kerja Nyata (KKN). Hal ini berarti kami akan segera menyelesaiakan studi. Kami sudah mempersiapkan semua persiapan menuju tempat KKN. Aku sudah membeli koper, hasil jerih payahku mengajar sebagai tentor lembaga bimbingan belajar. Raya! jangan ditanya, dia sudah membeli perlengkapan dari awal semester enam lalu.
Hari yang dinanti pun tiba. Aku dan Raya siap untuk menuju rimbah pengabdian. Kami berdua ditempatkan di daerah yang sama. Kotamadya Parepare. Kata orang-orang Parepare ini dijuluki Bandar Madani karena di kota ini hampir sepanjang pantainya adalah pelabuhan. Banyak barang luar negeri melalui pelabuhan ini. Baik yang legal hingga ‘barang gelap’ alias ilegal. Aku dan Raya ditempatkan di area perbukitan Parepare, LemoE nama daerah ini. Saya juga heran kok bisa sama dengan Raya. Mungkin takdir yah. Suasana alam di kawasan ini pedesaannya masih terasa. Tak sama dengan daerah lain di Parepare. Beton-beton yang mendominasi. Tak jauh beda dengan Makassar. Namun Parepare sangat bersih.
Rumah staf kelurahan LemoE pun menjadi posko kami. Kami berlima di sini. Aku dan Raya dari Bahasa Inggris. Helmi dari Pendidikan Bahasa Indonesia. Budi dari Pendidikan Sejarah. Terakhir Anti dari Pendidikan Matematika. Kami memilih Helmi jadi Koordinator KKN tingkat Kelurahan atau lebih keren dipanggil Korlu. Aku menjadi bendahara. Tak butuh waktu seminggu kami sudah akrab. Tempat KKN bukan hanya ajang bersosialisasi tapi juga ajang memadu kasih. Namun aku tak mau lagi menjaling kasih dengan orang lain. Aku sudah merasakan perih dari lelaki. Aku tak mau merasakannya dua kali.
Hampir dua minggu kami menempati daerah ini. Hampir semua rumah tokoh masyarakat kami sudah sambangi. Setelah dua minggu kami berada di posko ini. Tiap pagi seseorang meletakkan bunga Edelweis. Bungan kesukaanku. Di sana terdapat sepucuk surat. Untukku. Tertulis dari pengagum rahasia. Romantis sekaligus misterius. Kenapa ada orang yang menerorku di pagi buta. Aku tak tahu betul siapa dia. Aku sangat penasaran. Siapa dia. Hatiku seakan kembali terbuka untuk lelaki. Bunga Edelweis pemberian lelaki misterius itu aku simpan. Aku senang. Sangat senang. Serasa hatiku ikut berbunga.
Namun semua bunga di hatiku terasa layu ketika memikirkan Arsyad. Hancur. Aku langsung membuang semua bunga Edelweis yang diberikan oleh pengagum rahasiaku. Dan meninggalkan pesan untuknya supaya tak mengirimkan aku bunga lagi. Namun ia bandel dan tak menghiraukan perkataanku. Dia tetap mengirimi aku bunga. Bahkan hampir setiap hari. Hingga suatu hari ia menuliskan sebuah surat. Entah ini puisi atau memang curahan hatinya. Isi suratnya berbunyi:
Pertama aku mengenalmu, kamu terlihat pendiam, pemalu, jutek dan ada hal yang engkau takutkan dan benci dari lelaki. Hal ini terlihat dari pandanganmu yang sangat tajam dan sinis kepada tiap lelaki yang menatapmu. Tak terkecuali aku. Saya pernah memperhatikanmu dan melempar senyum dan kamu membalasnya dengan muka datar, pandangan sinis, dan membuang muka. Ada apa denganmu? Aku merasakan kamu pernah terluka oleh kaum kami. Kaum Adam. Aku pernah mencoba menanyakan namun kamu seakan melihat kami sebagai musuh dan harus dihindari. Dari tingkahmu itu membuat hati aku tergerak. Kamu sedang sakit. Kamu perlu ditolong. Inilah yang menyebabkan aku mengirimkanmu bunga Edelweis. Supaya kamu kembali ceria. Aku sangat senang melihatmu tersenyum mendapati bunga ini. Meski setelah itu kamu murung dan kembali sinis pada lelaki. Aku sangat senang. Saking senangnya. Hingga melompat dan berteriak. Aku tak tahu ini cinta atau apa. Yang jelas aku suka kamu ceria. Aku tak akan berhenti mengirimkan kamu bunga Edelweis. Hingga kesedihan kamu benar-benar hilang. Dari pengagum rahasiamu.
Aku sangat kaget membaca surat ini. Mengapa dia bisa membaca pikiranku. Aku langsung menanyakan kepada Raya. Aku curiga ia yang mempermainkan aku dengan menaruh bunga Edelweis. Hanya dia yang tahu sifatku dan kebencianku pada lelaki. Namun Raya benar-benar tak tahu. Ia sudah bersumpah bukan dia yang menaruh bunga dan menulis surat untukku. Teman-teman yang lain juga tak ada yang mau mengaku. Aku makin bingung dengan surat ini. Entah siapa yang mengirim. Mengapa ada orang asing yang langsung bisa mengetahui perasaanku. Mana mungkin seorang lelaki baru, bisa mengetahui perasaanku. Aku malah curiga itu adalah Arsyad.
Malam itu hawa malam terasa menusuk hingga tulang. Badanku kututupi hingga tiga lapis selimut. Aku tak bisa memejamkan mata hingga subuh. Hanya bunyi suara jam dinding bagaikan langkah seseorang menemani. Sepeti orang yang ingin mencabut nyawaku. Membuat aku takut. Kututup telinga namun tetap terdengar suara jam ini. Hingga suara azan terdengar, aku masih terjaga bersama suara seram jam dinding.
Suara hentakan kaki terdengar di bawah kolom rumah. Terdengar suara kaki yang sedang mengendap-endap. Aku berpikir itu suara ambo, bapak pemilik rumah. Tempat kami tinggal. Aku pun coba mengintip. Aku melihat sosok lelaki berbadan tegak. Wajahnya samar. Karena kondisi masih gelap. Ia berlari ketika aku berteriak. Ia menjatuhkan sesuatu. Aku mendekat. Kudapati bunga Edelweis. Bunga yang sering aku dapati dari orang misterius belakangan ini. Aku pun menduga, orang inilah yang mengirimkanku bunga selama ini. Teriakanku membangunka seisi rumah.
“Kenapa kamu berteriak Ainu?” Tanya Helmi.
“Seseorang tadi mengendap-endap di kolom rumah, sepertinya dia ingin melakukan hal tidak benar,” jawabku cepat.
“Sekarang di mana dia, kamu tidak dilukai?tanya Raya.
“Tidak. Aku baik-baik aja, ia sudah lari pas aku berteriak.”ujarku dengan menyembunyikan bunga Edelweis di belakangku.
Selain bunga Edelweis, Ia juga menjatuhkan peci. Aku menduga ia dari shalat subuh di masjid. Siang hari aku menuju masjid dekat posko. Aku menanyakan pada pengurus masjid tentang pemilik peci yang aku temukan subuh tadi. Mereka juga tak tahu. Aku kecewa dengan jawaban pengurus masjid. Tapi penasaranku sudah berkurang karena aku tahu dia seorang lelaki di daerah ini. Aku sudah mendapatkan petunjuk, meski hanya sebuah peci.
Setiap subuh aku menunggu, orang yang menaruh bunga Edelweis. Sudah seminggu aku menunggu ia tapi berakhir dengan tangan hampa. Ia tak pernah datang lagi. Hingga KKN berakhir dia tak pernah muncul. Aku kecewa sekaligus sedih. Aku tak tahu mengapa bersikap demikian.
Aku bersama keempat temanku telah menyelesaikan program kerja kami selama KKN. Laporan pun sudah hampir rampung. Kami sudah berpamitan dengan dengan tokoh masyarakat dan lurah. Hari untuk pulang ke rumah masing-masing telah tiba. Dengan perasaan mengharu biru, kami pamit pada ibu dan ambo. Pemilik rumah, tempat kami tinggal selama dua bulan. Aku hanya bisa meneteskan air mata. Kami akan berpisah. Kami mungkin tak akan bertemu lagi. Meski kami satu kampus. Aku pun akan selalu penasaran dengan lelaki pengirim bunga itu. Orang yang dapat mengetahui perasaanku dengan hanya memperhatikanku dari jauh. Aku sangat rindu dan ingin melihat wajahnya.
Bus sudah ada di depan posko. Tanda kami harus pergi. Meninggalkan Parepare. Barang-barang sudah dinaikkan. Kami pun siap berangkat. Aku makin berat meninggalkan kota ini. Perasaanku masih tak karuan. Aku akan meninggalkan perasaan di kota ini. Entah apa nama persis perasaan ini. Yang jelas aku jatuh cinta dengan lelaki pengirim bunga itu. Aku cinta dengan kata-kata dan semangatnya untuk aku. Meski aku tak tahu raut wajahnya. Aku pun berdoa. Ya Tuhanku, jangan engkau buat aku tersiksa begini dengan meninggalkan perasaan kepada lelaki lagi. Aku sudah tak kuat menahan derita. Namun Tuhan tak mengijabah doaku. Aku meninggalkan Parepare dengan kenangan dan kembali menyiksaku. Aku menangis dalam hati. Ketika aku terdiam. Raya memberikanku sepucuk surat dan seikat bunga Edelweis. Aku kaget dan heran.
“Kemarin, seorang lelaki memberikanku surat dan bunga ini. Namanya Arif. Orang cakep. Baik. Ia sudah sarjana. Arsitek. Katanya dia minta maaf karena terlalu pengecut menemui kamu. Ialah yang sering mengirimkan kamu bunga. Ia memintaku untuk memberikanmu surat dan bunga ini setelah kita meninggalkan Parepare.” ungkap Raya.
“Bodoh. Kenapa dia terlalu pengecut menemuiku,” gumamku.
“Kamu jatuh cinta yah pada Arif,” celetup Raya.
Wajahku memerah. Aku menutup mukaku. “Ah…mana mungkin, orang itu tak aku kenal,” tampikku.
Namun aku tak mau mengungkapkan bahwa aku memang jatuh cinta pada Arif. Aku jatuh cinta untuk kedua kalinya. Aku menyangka tak akan jatuh cinta lagi pada lelaki. Aku membaca suratnya selama perjalanan ke Sungguminasa. Aku merasa sangat senang. Ia mengatakan suka dan tertarik denganku. Ia tertarik denganku karena sikapku yang dingin terhadap lelaki. Ia ingin menolongku. Mengembalikan keceriaan yang telah lama hilang. Ia berjanji akan menemuiku di Sungguminasa bulan depan. Aku sangat senang hingga meluapkan dengan tertawa lepas.
Lima jam perjalanan terasa singkat. Aku tak henti-hentinya mengumbar senyum. Aku tak ingat lagi perasaan benciku pada lelaki. Aku ingin meluapkan perasaan ini dengan melompat dan berteriak. Tapi aku menahan. Aku akan lakukan jika sampai di rumah. Aku berlari pulang. Barang-barangku aku titip pada Raya. Tak sampai setengah jam, aku sampai di rumah. Aku membuka kamar. Kukunci rapat-rapat. Aku berteriak dan melompat kegirangan. Meluapkan kesenangan yang aku pendam dari Parepare.
Tak lama aku di kamar. Ibu kos mengetuk pintuku.
“Ainulia…Ada kiriman untukmu,” teriak ibu kos.
“Dari siapa bu?”
“Ibu tak tahu, kiriman itu ada di dapur,”
Aku menyimpan surat Arif di laci. Dengan raut muka yang masih ceria, aku mengambil kiriman untukku. Sebuah kotak kecil. Tertulis untuk kekasih yang tak pernah kulupakan. Dari orang yang tak akan melupakanmu, Arsyad.
Dunia terasa berputar kembali. Mengapa Arsyad kembali ke duniaku? Mengapa dia memunculkan keberadaannya setelah aku mencoba melupakannya? Aku melempar kiriman itu.
Keesokan harinya Arsyad mengirimkan bunga ke depan kamarku. Namun aku acuhkan kirimannya. Namun ia masih tetap mengirimkan untukku. Surat darinya belum aku baca. Hanya tergeletak di sudut kamarku. Aku tidak mau lagi bertemu dengannya. Aku tak mau mengenal lagi namanya. Apalagi ia kembali masuk ke duniaku. Dunia yang sudah mengubur namanya dalam-dalam. Hingga tak satu pun alasan bisa membawanya dari alam kubur.
Setiap malam aku berdoa kepada Tuhan. Supaya Arsyad tak pernah kembali ke duniaku. Dunia yang mulai hijau. Tak lagi gersang. Sosok Arif lah yang membuatnya layak untuk ditempati. Lelaki misterius dari Parepare. Aku berdoa pula supaya Arsyad benar-benar menghilang. Hancur lebur. Tak tersisa. Abunya tak bersatu bersatu dengan udara. Hilang begitu saja ke dunia lain. Mungkin Tuhan akan marah besar kepadaku. Karena aku berdoa keburukan. Jika Neraka Jahannam balasan atas doaku akan aku terima.
Setelah bunga mawar merah yang dikirimkan Arsyad kepadaku tak aku hiraukan, dia muncul tiba-tiba. Aku menghindar. Berlari menjauh darinya. Namun dia tetap mengejar. Aku tak mau berbicara dengannya. Namun dia tetap mengejarku.
“Ainu, Tunggu aku mau berbicara denganmu!” teriaknya padaku.
Aku tak menjawab. Mulutku aku kunci rapat-rapat. Aku hanya berlari. Terus berlari. Hingga Arsyad tak lagi mengejarku.
Akhir-akhir ini waktuku kuhabiskan di rumah saja. Jika aku ke kampus pasti ada Arsyad. Raya juga aku pesankan supaya tak bertemu dengan lelaki jahat itu.
Namun entah mengapa Raya membuka surat dari Arsyad. Ia menangis kemudian memaksaku untuk membacanya. Mulanya aku tak mau. Aku bahkan menyuruh Raya untuk membuang saja.
“Ainu, ini sangat penting untuk kau ketahui,” ungkapnya.
“Kamu mesti mengetahui alasan Arsyad meninggalkanmu tiga tahun yang lalu.”
“Baiklah. Aku akan membaca suratnya,” kataku dengan perasaan yang penasaran.
Akhirnya aku membaca surat dari Arsyad. Kubaca dengan sangat teliti. Kata demi katanya. Mengapa dia meninggalkanku tanpa satu kata pun tiga tahun yang lalu. Saat aku benar-benar butuh dengannya. Saat cinta kami lagi besar-besarnya.
For my love, Ainulia
Pertama aku minta maaf karena kembali menganggu hidupmu. Mungkin kamu sangat benci denganku. Tak mau mendengar namaku. Apalagi menatap wajahku. Karena telah meninggalkanmu. Mencampakanmu. Menghancurkan perasaanmu.
Mungkin hari ini bencimu masih belum hilang. Bahkan bertambah jika mengingat aku. Ainu…surat yang aku tulis ini akan mengungkap alasanku meninggalkanmu tiga tahun yang lalu.
Kamu ingat terakhir kita jalan bersama di Pantai Losari. Kamu menanyakan kepadaku tentang alasanku berbuat baik kepadamu. Yah... waktu itu aku menjawab,” aku melakukannya karena kamu begitu berarti buatku, kamu seperti jiwaku. Jadi apapun yang terjadi padamu pasti aku rasakan. Sedihmu, senangmu, dan marahmu, aku bisa rasakan.”
Aku benar-benar berkata jujur. Namun malam itu aku bertemu dengan seorang lelaki. Lelaki yang tak akan aku lupakan. Ia penghancur hidupku. Lelaki yang meninggalkan trauma sejak umurku masih belia. Ia telah melakukan hal yang tak senonoh padaku ketika aku belum tahu arti dunia. Ia adalah mantan pengasuhku sekaligus pamanku. Aku diperlakukan layaknya seorang tahanan. Menyiksaku. Menekanku. Mengurungku. Bahkan ia sering mencabuliku. Ia memang mempunyai kelainan. Ia tak suka perempuan. Ibu dan ayah menitipku padanya. Maklum orang tuaku sering keluar daerah. Aku tak berani melapor kepada ayah maupun ibu. Aku takut dia membunuhku. Ia memang sering mengancamku supaya tak melapor. Aku turuti saja. Aku takut terjadi celaka pada orang tuaku. Dua tahun aku jalani penyiksaan batin dan fisik dari pamanku. Aku sudah tak tahu berapa kali dia melakukan tindakan tak senonoh padaku. Hingga aku berani melawan dan meninggalkan luka pada wajahnya. Aku membuat bekas sayatan pisau pada mukanya. Hingga dia menaruh dendam padaku. Akhirnya ia menjalani hukuman. Sepuluh tahun dia berada di balik jeruji penjara.
Namun tiga tahun lalu ia sudah bebas. Ia kemudian menerorku. Ia mau membunuhku. Waktu itu aku benar-benar bingung. Tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya kuputuskan meninggalkanmu. Supaya kamu tak terlibat masalahku. Aku takut kamu disakit.
Setelah meninggalkanmu, aku menanggapi terornya. Aku menerima tantangnya. Aku meninggalkan Kota Sungguminasa. Aku hijrah ke Kota Bali. Dia mengikutiku. Akhirnya pertarungan pun dimulai. Dia pasti ingin membunuhku. Aku pindah ke universitas swasta di sana. Aku tinggal seorang diri. Aku berhasil menghindarkan kau dengannya. Aku sangat tahu siapa orang ini. Setiap hari dia menerorku dengan cara mistis dengan menaruh pasir hitam dan bunga tujuh rupa. Memberi surat tantangan dengan belati dan darah. Enam bulan ia menerorku dengan berbagai macam cara. Namun aku tak menanggapi. Setiap kali aku mendapat teror. Setiap itu pula aku berpindah tempat. Entah berapa kali aku berpindah tempat. Aku benar-benar tak tenang. Aku pun sempat ingin bunuh diri. Namun dirimulah yang membuat aku tetap tegar, Ainu.
Hingga suatu hari teror itu tak datang. Aku tak tahu mengapa teror itu berhenti. Aku pun lupuk. Ternyata dia menyiapkan jebakan untukku.
Ketika aku pulang di rumah kosku. Polisi Sudah menungguku. Ia meletakkan narkoba di kamarku. Aku tak tahu bagaimana caranya narkoba itu ada di rumahku. Aku tak bisa mengelak. Aku berpikir benar-benar akan berakhir di penjara. Tak akan bisa melihatmu lagi. Hingga suatu hari ketakutanku ini mulai tak terbukti.
Keesokan harinya Arsyad mengirimkan bunga ke depan kamarku. Namun aku acuhkan kirimannya. Namun ia masih tetap mengirimkan untukku. Surat darinya belum aku baca. Hanya tergeletak di sudut kamarku. Aku tidak mau lagi bertemu dengannya. Aku tak mau mengenal lagi namanya. Apalagi ia kembali masuk ke duniaku. Dunia yang sudah mengubur namanya dalam-dalam. Hingga tak satu pun alasan bisa membawanya dari alam kubur.
Setiap malam aku berdoa kepada Tuhan. Supaya Arsyad tak pernah kembali ke duniaku. Dunia yang mulai hijau. Tak lagi gersang. Sosok Arif lah yang membuatnya layak untuk ditempati. Lelaki misterius dari Parepare. Aku berdoa pula supaya Arsyad benar-benar menghilang. Hancur lebur. Tak tersisa. Abunya tak bersatu bersatu dengan udara. Hilang begitu saja ke dunia lain. Mungkin Tuhan akan marah besar kepadaku. Karena aku berdoa keburukan. Jika Neraka Jahannam balasan atas doaku akan aku terima.
Setelah bunga mawar merah yang dikirimkan Arsyad kepadaku tak aku hiraukan, dia muncul tiba-tiba. Aku menghindar. Berlari menjauh darinya. Namun dia tetap mengejar. Aku tak mau berbicara dengannya. Namun dia tetap mengejarku.
“Ainu, Tunggu aku mau berbicara denganmu!” teriaknya padaku.
Aku tak menjawab. Mulutku aku kunci rapat-rapat. Aku hanya berlari. Terus berlari. Hingga Arsyad tak lagi mengejarku.
Akhir-akhir ini waktuku kuhabiskan di rumah saja. Jika aku ke kampus pasti ada Arsyad. Raya juga aku pesankan supaya tak bertemu dengan lelaki jahat itu.
Namun entah mengapa Raya membuka surat dari Arsyad. Ia menangis kemudian memaksaku untuk membacanya. Mulanya aku tak mau. Aku bahkan menyuruh Raya untuk membuang saja.
“Ainu, ini sangat penting untuk kau ketahui,” ungkapnya.
“Kamu mesti mengetahui alasan Arsyad meninggalkanmu tiga tahun yang lalu.”
“Baiklah. Aku akan membaca suratnya,” kataku dengan perasaan yang penasaran.
Akhirnya aku membaca surat dari Arsyad. Kubaca dengan sangat teliti. Kata demi katanya. Mengapa dia meninggalkanku tanpa satu kata pun tiga tahun yang lalu. Saat aku benar-benar butuh dengannya. Saat cinta kami lagi besar-besarnya.
For my love, Ainulia
Pertama aku minta maaf karena kembali menganggu hidupmu. Mungkin kamu sangat benci denganku. Tak mau mendengar namaku. Apalagi menatap wajahku. Karena telah meninggalkanmu. Mencampakanmu. Menghancurkan perasaanmu.
Mungkin hari ini bencimu masih belum hilang. Bahkan bertambah jika mengingat aku. Ainu…surat yang aku tulis ini akan mengungkap alasanku meninggalkanmu tiga tahun yang lalu.
Kamu ingat terakhir kita jalan bersama di Pantai Losari. Kamu menanyakan kepadaku tentang alasanku berbuat baik kepadamu. Yah... waktu itu aku menjawab,” aku melakukannya karena kamu begitu berarti buatku, kamu seperti jiwaku. Jadi apapun yang terjadi padamu pasti aku rasakan. Sedihmu, senangmu, dan marahmu, aku bisa rasakan.”
Aku benar-benar berkata jujur. Namun malam itu aku bertemu dengan seorang lelaki. Lelaki yang tak akan aku lupakan. Ia penghancur hidupku. Lelaki yang meninggalkan trauma sejak umurku masih belia. Ia telah melakukan hal yang tak senonoh padaku ketika aku belum tahu arti dunia. Ia adalah mantan pengasuhku sekaligus pamanku. Aku diperlakukan layaknya seorang tahanan. Menyiksaku. Menekanku. Mengurungku. Bahkan ia sering mencabuliku. Ia memang mempunyai kelainan. Ia tak suka perempuan. Ibu dan ayah menitipku padanya. Maklum orang tuaku sering keluar daerah. Aku tak berani melapor kepada ayah maupun ibu. Aku takut dia membunuhku. Ia memang sering mengancamku supaya tak melapor. Aku turuti saja. Aku takut terjadi celaka pada orang tuaku. Dua tahun aku jalani penyiksaan batin dan fisik dari pamanku. Aku sudah tak tahu berapa kali dia melakukan tindakan tak senonoh padaku. Hingga aku berani melawan dan meninggalkan luka pada wajahnya. Aku membuat bekas sayatan pisau pada mukanya. Hingga dia menaruh dendam padaku. Akhirnya ia menjalani hukuman. Sepuluh tahun dia berada di balik jeruji penjara.
Namun tiga tahun lalu ia sudah bebas. Ia kemudian menerorku. Ia mau membunuhku. Waktu itu aku benar-benar bingung. Tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya kuputuskan meninggalkanmu. Supaya kamu tak terlibat masalahku. Aku takut kamu disakit.
Setelah meninggalkanmu, aku menanggapi terornya. Aku menerima tantangnya. Aku meninggalkan Kota Sungguminasa. Aku hijrah ke Kota Bali. Dia mengikutiku. Akhirnya pertarungan pun dimulai. Dia pasti ingin membunuhku. Aku pindah ke universitas swasta di sana. Aku tinggal seorang diri. Aku berhasil menghindarkan kau dengannya. Aku sangat tahu siapa orang ini. Setiap hari dia menerorku dengan cara mistis dengan menaruh pasir hitam dan bunga tujuh rupa. Memberi surat tantangan dengan belati dan darah. Enam bulan ia menerorku dengan berbagai macam cara. Namun aku tak menanggapi. Setiap kali aku mendapat teror. Setiap itu pula aku berpindah tempat. Entah berapa kali aku berpindah tempat. Aku benar-benar tak tenang. Aku pun sempat ingin bunuh diri. Namun dirimulah yang membuat aku tetap tegar, Ainu.
Hingga suatu hari teror itu tak datang. Aku tak tahu mengapa teror itu berhenti. Aku pun lupuk. Ternyata dia menyiapkan jebakan untukku.
Ketika aku pulang di rumah kosku. Polisi Sudah menungguku. Ia meletakkan narkoba di kamarku. Aku tak tahu bagaimana caranya narkoba itu ada di rumahku. Aku tak bisa mengelak. Aku berpikir benar-benar akan berakhir di penjara. Tak akan bisa melihatmu lagi. Hingga suatu hari ketakutanku ini mulai tak terbukti.
Ketakutanku terbantahkan setelah bisa mengirimkan surat padamu sekarang. Namun masa-masa sebelum surat ini sampai baikan neraka bagiku. Ainu, aku ingin menceritakan masa-masaku di penjara. Sangat kelam. Menyakitkan. Selama setahun aku dipenjara. Tak terhitung persidangan yang kulalui hingga tingkat Mahkamah Agung. Entah berapa uang yang kuhabiskan. Aku sempat merasa frustasi. Harapanku hancur berkeping-keping. Namun parcel harapan itu aku rangkai. Meski hancur kembali diterjang badai fitnah. Aku tak tahu energi apa ini, yang jelas hanya untuk melihat kamu walau yang terakhir. Aku pertaruhkan apa yang ada pada diriku.
Hidup di bui bagaikan masuk ke dalam neraka dunia. Tak ada kebebasan. Di sini berlaku hukum rimba. Siapa yang kuat dia yang bertahan. Uang dan pengaruh adalah rajanya. Aku mesti menjalani sebagai budak penjahat kelas kakap. Sungguh kisah hidup yang sangat pahit. Sampai pahitnya aku tak bisa lagi merasakan kesakitan yang lebih dari itu. Aku merasa beginilah mungkin siksaan di neraka nanti.
Tendangan. Sengatan listrik. Pukulan pentungan besi pun aku rasakan.
Aku sebenarnya ingin sekali menghilang dari duniamu. Namun rasa rinduku benar-benar sudah tak dapat ku bendung. Dua tahun aku menahan desakan melepas rinduku. Namun tubuh dan ragaku benar-benar kolaps.
Hingga akhirnya kesampaian juga melepas rindu. Meski hanya surat. Mungkin kamu masih ingin tahu kisahku tiga tahun belakangan ini. Aku tak mau menceritakannya lebih banyak. Ingin rasanya kuhapus dari memoriku. Aku pun bermunajat supaya diberikan penyakit Anterograde amnesia. Supaya semua ingatanku yang baru terjadi aku lupakan. Hanya ada kisah lama. Cerita kebersamaan kita berdua. Masa bahagia dan indah. Tak ada penderitaan batin seperti sekarang yang aku rasakan.
Mungkin ini saja dulu Ainulia. Terserah kamu mau menanggapi apa. Aku terima. Meski kamu tak mau balik lagi kepadaku. Sudah banyak penderitaan yang kamu alami. Aku tak mau lagi menambah dan membebanimu.
Kekasihmu,
Arsyad
Air mata dan penyesalan melingkupi setelah menamatkan surat Arsyad. Aku menangis sejadi-jadinya. Tak kusangka pengorbanannya begitu besar. Aku sangat bodoh tak mencoba mencari tahu lebih jauh lagi. Lebih detail lagi. Alasan Arsyad meninggalkanku. Aku cepat menyerah. Menyerahkan cintaku pada takdir. Andai aku tahu. Aku sangat menyesal perlakuanku kepada dia. Membenci orang yang sangat menyukaiku. Aku tak tahu harus berkata apa kepada Arsyad. Rasa terima kasih tak akan cukup. Meski aku ucapkan berjuta-juta kali.
Sehabis membaca suratnya, aku ingin langsung mencari Arsyad. Aku ingin meminta maaf karena salah menilainya.
Namun Raya justru berkata lain. “Ainu…jangan cepat percaya, telusuri dulu kebenarannya,!”
Aku sontak kembali berpikir. Jangan-jangan Arsyad bohong. Ia hanya merangkai cerita. Mengarang tentang kisahnya selama menghilang.
Aku pun tak lantas percaya. Aku pun bingung. Keluarga Arsyad sudah tak ada lagi di kota ini. Teman-temannya pun sudah lama hengkang dari kampus. Hatiku sudah lama beku. Beku akan namanya. Apalagi hatiku sudah punya Arif.
Namun untuk membuktikan prasangkaku benar. Aku pun mencari kebenaran tentang cerita Arsyad. Seminggu aku berputar-putar mencari informasi namun tak kudapat.
Sebulan berlalu. Tak ada apapun informasi yang kudapat.
Aku baru sadar ternyata bulan ini, Arif akan datang. Dalam suratnya bulan lalu, ia berjanji akan menemuiku. Aku pun ke kampus. Tak ada Arsyad. Memang akhir-akhir ini dia tak menemuiku. Aku pun mulai yakin, dia hanya mengarang cerita.
Tak lama aku sampai di kampus, Arif pun datang. Ia hanya sendiri. Tenyata tampangnya lebih gagah dibandingkan di fotonya. Maklum fotonya hitam putih. Kami pun bersalaman. Saling lirik. Tersipu malu. Dia mulai bercerita tentang dirinya, pekerjaanya dan keluarganya. Ia tak pernah punya kekasih. Katanya fokus dulu menjadi mapan. Sekarang dia sudah mapan. Katanya aku adalah perempuan pertama yang membuatnya tertarik untuk merajut kasih. Ia pun bertanya, “kamu pernah punya kekasih?” sontak aku gugup meski jawab apa.
“Iya…”jawabku pelan.
“Hem…,”sambil melepaskan senyum.
Kami menghabiskan waktu di bangku sudut jurusanku. Kami tertawa bareng. Aku tak menyangka begitu cepat akrab dengan Arif.
Tiba-tiba Arsyad muncul di hadapan kami. Air mukaku langsung berubah. Aku panik. Apa yang mesti aku perbuat? Apakah harus menghindari Arsyad? Aku harus memilih Arif atau Arsyad?
Admin tidak tau kalau artikel diatas ada kelanjutannya atau tidak,yang jelas admin akan coba memantau perkembangan artikelnya.sumber utama artikel: http://hasimarfah.blogspot.com/
Artikel diatas awalnya berpart,namun bagindaery.blogspot.com telah menggabungkan semua part menjadi satu tempat satu artikel agar pembaca mudah membaca tanpa harus mencari sambungan artikel lagi.
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com