Barangsiapa memiliki kekuasaan cenderung senang berpura-pura menjadi Tuhan. Tak terkecuali penguasa atheis sekalipun. Ngedumel ngawur adalah kebiasaan spontan agar bisa berdamai dengan perasaan tak berdaya karena membaca berita tentang Adam Wilson (42), misalnya. Terpidana
mati kasus narkotika asal Nigeria itu, Kami malam, 14 Maret 2013 lalu
dieksekusi Kejaksaan Agung di kawasan Pulau Seribu. Mantan anggota
intelijen Nigeria itu ditangkap tahun 2003 karena menyelundupkan 100
gram heroin, dan divonis hukuman mati. Meski mendekam di penjara, Adam
masih bisa mengendalikan bisnis narkoba komplotannya. Eksekusi Adam
ditulis dalam berita satu kolom rubrik Kilas Politik & Hukum, di pojok kiri atas halaman dua harian Kompas, Sabtu, 16 Maret 2013.
Tepat di bawah kabar Adam Wilson, di rubrik yang sama, terpapar berita Australia Beri Corby Jaminan Pembebasan.
Schapelle Leigh Corby (36), ditangkap di Bandara Ngurah Rai pada bulan
Oktober 2004, karena membawa ganja 4,5 kilogram. Mantan pelajar sekolah
kecantikan asal Brisbane, Australia, itu divonis 20 tahun penjara. Tapi,
Corby mendapat remisi dan lima tahun grasi dari Presiden SBY sehingga
hukumannya tinggal 15 tahun dan akan bebas pada 27 September 2017.
Karena sudah menjalani 2/3 masa hukuman, Corby berhak mengajukan
pembebasan bersyarat. Untuk itu, Konsul Australia di Bali, Brett Farmer,
pada 27 Februari lalu sudah mengajukan surat penjaminan dari Pemerintah
Australia langsung kepada I Gusti Ngurah Wiranata, Kepala LP Kelas II
Denpasar, Bali, tempat Corby dibui.
Dua hari kemudian, Senin, 18 Maret 2013, di halaman tiga harian Kompas
terpajang foto jumpa pers sejumlah aktivis LSM yang tergabung dalam
Koalisi Masyarakat Sipil, antara lain advokat Todung Mulya Lubis, Ricky
Gunawan (LBH Masyarakat), Bathara Ibnu Reza (Imparsial) dan Haris Azhar
(Kontras), yang berlangsung di kantor Kontras, Sabtu (16/3). Pada caption
foto disebutkan Koalisi Masyarakat Sipil mengecam eksekusi mati Adam
Wilson yang dinilai sebagai langkah mundur bagi kebijakan hak asasi
manusia di Indonesia.
Di tengah hiruk-pikuk pemberitaan kasus korupsi
simulator, KLB Demokrat, harga bawang merah putih yang menghina daya
beli rakyat miskin, dan temuan beruntun potongan mayat korban pembunuhan
yang dimutilasi, ketiga berita pendek di atas memang wajar jika
terlewatkan. Toh, sayup-sayup berhembus kabar bahwa eksekusi terhadap
Adam Wilson tak sepenuhnya untuk membuktikan komitmen pemerintah
memberantas narkoba atau demi penegakan hukum, tapi juga sebagai alat
politik terkait Pemilu 2014—termasuk untuk mereparasi citra Presiden SBY
yang ternoda grasi Corby. Dengan demikian, ironi perih dalam rangkaian
realita faktual di harian Kompas yang muram dan terlewat itu semakin terasa getir.
Administrasi Kusut dan Peradilan Sesat
Tahun 2008, delapan terpidana mati dieksekusi. Tiga
di antaranya terpidana mati kasus bom Bali II (Amrozi, Muklas, Imam
Samudra), dua kasus narkoba, dan tiga lainnya kasus pembunuhan.
Setelah itu, pelaksanaan eksekusi lowong empat tahun (2009-2012). Dan
Adam Wilson adalah terpidana mati pertama dari 10 terpidana mati yang
sudah ditetapkan Kejagung bakal dieksekusi di tahun 2013 ini.
Kalau Anda tergoda bertanya berapakah jumlah terpidana mati di Indonesia, silakan pilih salah satu data berikut ini:
Kompas.com, Kamis, 15/3/2012: Berdasarkan data Kemenkumdan HAM, jumlah terpidana mati di Indonesia 113 orang–58 orang di antaranya terkait kasus narkotika.
Sapulidinews.com, Jumat, 17/8/2012: “Saya
tidak terlalu ingat jumlah pastinya. Tapi kabar yang saya terima ada
sekitar 111 terpidana mati, “ kata Wakil Jaksa Agung, Dharmono.
Antara.com, Rabu, 26/12/2012:
Pada Laporan Akhir Tahun Kejakgung 2012, Jaksa Agung Basrief Arief
mengatakan jumlah terpidana mati tercatat 133 orang, 71 di antaranya
terpidana mati kasus narkoba, dua kasus terorisme dan 60 kasus
pembunuhan. Delapan dari 133 terpidana mati sudah berkekuatan hukum
tetap dan bisa dieksekusi, sisanya masih mengupayakan banding, kasasi,
PK dan grasi.
KomisiKepolisianIndonesia.com, Rabu, 26/12/2012: “Kejakgung
menargetkan eksekusi terhadap 10 terpidana mati pada tahun 2013
mendatang. Jumlah tersebut dari total 113 terpidana mati hingga tahun
2012 ini,” kata Jaksa Agung Muda Pidana Umum Mahfud Manan.
IndonesiaRayaNews.com, Jumat, 1/2/2013:.
“Jadi, dari terpidana mati yang berjumlah 111 orang itu, ada 12
terpidana yang sudah bisa dieksekusi,” kata Jaksa Agung Basrief Arief di
Jakarta, Jumat(1/2). Sedangkan terpidana mati lainnya, katanya, masih
ada yang mengajukan upaya grasi ke Presiden RI.
Alhasil, seperti harga bawang yang fluktuatif,
berapa persisnya jumlah terpidana mati di Indonesia sekarang ini
angkanya juga tidak pasti—untuk tidak menyebut data tentang hal itu
secara administratif kusut, suatu hal yang lazim terjadi di semua lini
birokrasi republik ini. Contoh lain teknis administrasi kusut yang saat
ini ramai diberitakan adalah putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak
kasasi mantan Kabareskrim Polri Komjen (Purn) Susno Duadji. Isi putusan
MA itu hanya berisi menolak kasasi dan membebankan biaya perkara Rp
2.500. Karena tidak mencantumkan masalah penahanan sebagaimana tertuang
di Pasal 197 KUHAP, pencipta isilah “Cicak-Buaya” itu menolak
dieksekusi penjara dan hanya bersedia membayar biaya perkara saja.
Tapi, Jaksa Agung Basrief Arief memastikan tetap akan mengeksekusi
Susno. Basrief mengaku sudah berkoordinasi dengan Ketua Mahkamah
Konstitusi, Ketua MA, serta para pakar hukum dan memutuskan bahwa Susno
harus dieksekusi (Kompas.com, Jumat, 15/3/2013). Lho?
Menyimak administrasi kusut yang menjerat institusi
dan pemangku penegakan hukum republik ini, peradilan sesat adalah suatu
hal yang niscaya terjadi. Kasus Sengkon-Karta (1974) adalah salah satu contoh legendaris korban peradilan sesat Indonesia. Beruntung Sengkon-Karta bukan terpidana mati sehingga ketika kebenaran terungkap mereka dapat direhabilitasi dalam keadaan hidup.
Tapi, sejarah mencatat sejumlah peradilan sesat di
penghujung abad 19 telah mengakibatkan puluhan orang tak bersalah
dieksekusi mati—seperti yang diceritakan Gerhart Hermann dalam buku Peradilan yang Sesat, terbitan Grafiti Press
1983. Bahkan peradilan sesat di Amerika Serikat yang perangkat dan
penegakan hukumnya relatif tidak sekusut Indonesia, dalam kurun waktu
1990-2004 telah menyuntik mati 10 terpidana mati yang setelah dieksekusi
ternyata terbukti tidak bersalah (angkatigabelas.com).
Hapuskan Hukuman Mati
Menimbang kemungkinan terjadinya peradilan sesat,
atau digunakan sebagai alat politik dan sejumlah alasan lain, maka
pidana mati pun dihapuskan di Vincounsin (1859), Columbia (1864), Costa
Rica( 1880), Italia (1890), Norwegia (1902), Swedia (1921), Chili
(1930), Denmark (1933), New Zealand (1941), Venezuela (1949), Portugal
(1976), Nicaragua (1979), Perancis (1981), Spanyol ( 1995), Equador
(1995), dan Belgia (1996)—(Roeslan Saleh, Masalah Pidana Mati. Jakarta, Aksara Baru, 1978). Hingga Juni 2006, hanya 68 negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati, termasuk Indonesia. Sedangkan 129 negara atau lebih dari separuh jumlah Negara di dunia telah menghapus hukuman mati. (wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati).
Di Indonesia, tuntutan dihapuskannya hukuman mati
mulai disuarakan pada tahun 1980, dipicu rencana rezim Orde Baru (Orba)
mengeksekusi mati Kusni Kasdut—veteran pejuang yang setelah RI merdeka
jadi “perampok budiman” bak Robinhood. Awalnya, disuarakan tokoh-tokoh
aktivis hak asasi manusia, kemudian menjadi gerakan masyarakat sipil
bernama Aliansi Hapus Hukuman Mati (HATI). Adam Malik, Wakil
Presiden RI saat itu, adalah salah satu tokoh Aliansi HATI yang
mengambil risiko bertentangan dengan kebijakan resmi pemerintah. Toh,
Kusni Kadut tetap dieksekusi dan sampai sekarang Indonesia masih
mempraktikkan hukuman mati.
Di era reformasi, suara Aliansi HATI terbungkam
seruan ormas antinarkoba, lembaga keagamaan, LSM antikorupsi, sejumlah
tokoh masyarakat dan pakar hukum yang gencar menuntut agar koruptor dan
penjahat narkoba dihukum mati. Bahkan Henry Yosodiningrat, advokat dan
Ketua Umum GRANAT, pernah menyatroni Kejakgung guna menuntut semua
terpidana mati kasus narkoba segera dieksekusi. Alasannya, antara lain,
untuk menimbulkan efek jera supaya negeri ini terbebas dari jerat
narkoba.
Salah satu tujuan dipraktikkannya hukuman mati,
kita tahu, memang supaya orang takut melakukan perbuatan yang bisa
membuatnya divonis mati. Oleh karena itu, di masa silam pelaksanaan
eksekusi hukuman mati dilakukan di muka umum. Dengan menyaksikan sendiri
bagaimana terpidana mati digantung atau dipenggal kepalanya, diharapkan
tak ada lagi orang yang berani berbuat kejahatan serupa.
Dalam buku Krisis Kebebasan terbitan Yayasan Obor Indonesia 1988, Albert Camus menulis esai panjang yang muram dan sedih berjudul Merenungkan Gilotin (1957). Di Perancis, kata Camus,
“Eksekusi di depan publik untuk terakhir kalinya dilakukan tahun 1939
terhadap Weidman, pelaku pembunuhan berganda yang memang dikenal keji.
Sekelompok besar orang ramai berkumpul di Versailles, termasuk sejumlah
juru foto. Antara saat Weidman dipertunjukkan ke hadapan orang banyak
dan saat kepalanya dipenggal, orang diperbolehkan memotret. Beberapa jam
kemudian Paris Soir menerbitkan satu halaman khusus tentang peristiwa yang sungguh menggugah selera itu.”
Anehnya, pemerintah menganggap publisitas yang
menakjubkan itu justru menimbulkan akibat jelek dan menuduh pers mencoba
memuaskan naluri sadistis para pembacanya. Akibatnya, diputuskanlah
bahwa eksekusi tidak akan lagi dilakukan di hadapan orang banyak.
Padahal, lanjut Camus, “Apabila hukuman memang ditujukan untuk memberi
contoh, maka tidak hanya jumlah juru foto saja yang harus ditambah, tapi
peralatan hukuman juga harus dipasang di Place de la Concorde
pada pukul dua siang, seluruh penduduk Perancis diundang, dan upacaranya
disiarkan langsung lewat televisi. Karena suatu hukuman haruslah
menimbulkan rasa takut agar benar-benar menjadi contoh. Bagaimana bisa
suatu pembunuhan yang dilakukan diam-diam pada suatu malam di halaman
penjara dapat disebut memiliki nilai sebagai contoh?”
Tahun 1983, dengan dalih memberantas premanisme, rezim Orba membentuk pasukan rahasia Penembak Misterius
(Petrus). Hasilnya, ratusan mayat preman bertato dengan luka tembak
terbungkus karung digeletakkan di tempat-tempat umum di mana orang ramai
lantas berkerumun dan tercekam rasa ngeri. Pada awalnya, pemerintah
menyebut mayat-mayat bertato dalam karung itu sebagai korban perang
antargeng preman. Tapi, belakangan Pak Harto sendiri mengakui bahwa
Petrus merupakan kebijakan pemerintah untuk sekadar memberikan “shock therapy” agar preman yang masih hidup bertobat dan Indonesia terbebas dari premanisme. Rezim Orba, kita tahu, memang penganut faham, “Diperlukan pemandangan mengerikan agar rakyat bisa dikuasai,” yang dianjurkan Tuaut de le Bouverie, politisi Perancis abad 18 pendukung pelaksanaan eksekusi mati di depan umum.
Dalam jangka pendek, Petrus memang berhasil bikin
ciut nyali para preman. Tapi, begitu rezim Orba runtuh, premanisme
kembali bangkit, bahkan lebih banyak dan lebih ‘songong’ dari
sebelumnya. Eksistensi dan pertarungan berdarah kelompok (alm) Basri
Sangaji, John Kei, Hercules dan sejumlah preman berbaju ormas, cukup
menjelaskan bahwa “shock therapy” ala Petrus terbukti bukan solusi jitu membasmi premanisme.
Hukum yang haus darah, kata Camus, melahirkan kebiasaan yang haus darah pula.
Saya pikir Camus benar. Oleh karena itu, meskipun bukan anggota Aliansi
HATI, saya mendukung dihapuskannya hukuman mati, antara lain dengan
bikin lagu Menunggu Eksekusi yang musiknya diaransemen mendiang A. Riyanto (1981), menulis cerita bersambung Menunggu Eksekusi Mati di suratkabar Surabaya Post (1987), yang diterbitkan dalam bentuk novel oleh Alam Budaya (1988).
Keduanya memang bukan karya penting yang patut dibanggakan. Tapi,
setidaknya, lagu yang terinspirasi kisah tragis Kusni Kasdut itu sampai
sekarang sesekali masih dinyanyikan pengamen Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ), di metromini, biskota dan di kawasan warung makan kaki lima Blok M Jakarta Selatan.
Bagi saya, urusan mencabut nyawa manusia sederhana saja: itu
sepenuhnya merupakan wewenang Tuhan, dan untuk melaksanakannya Tuhan
telah menugasi Malaikat Maut. Pasalnya, barangsiapa memiliki kekuasaan
cenderung senang berpura-pura menjadi Tuhan, antara lain dengan
menentukan kapan, di mana dan bagaimana seseorang mesti dicabut hak
hidupnya.
Tapi, seandainya saya atheis sekalipun, saya tetap akan mendukung dihapuskannya hukuman mati. Sebab, seperti kata Francart yang dikutip Camus dalam esai Merenungkan Gilotin yang muram dan sedih itu, “Pelajaran
dari tiang gantungan yang kita terima adalah, hidup manusia tidak lagi
dianggap mulia ketika membunuhnya menjadi lebih berguna.” ***
sumber: http://hukum.kompasiana.com/2013/03/22/eksekusi-hukuman-mati-yang-percuma-545142.html
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com