Foto dari https://www.facebook.com/aridha.prassetya
-
Ia memilih jalan sebagai pemerhati masalah ketidakbahagiaan, kemudian ia
menanam (baca: merilis) “Pohon Kebahagiaan”. Itulah judul buku ke-12
Aridha Prassetya.
Menelusuri huruf demi huruf yang tercetak dalam buku
Pohon Kebahagiaan,
saya merasakan jiwa yang tenang penulisnya melalui pantulan jari-jari
yang mengetikkan huruf-huruf tersebut. Saya sadar bahwa mengkultuskan
individu- mengagumi manusia secara berlebihan- bukan lah sikap yang
tepat, tapi itulah yang saya rasakan sebagai pembaca. Saya merasakan
jiwa yang tenang dan kepribadian yang matang dalam diri Aridha Prassetya
melalui tulisannya.
Dalam sebuah kesempatan,
Erri Subakti penulis novel
The Smiling Death: Senyuman Berbisa meminta Aridha mengkritik novelnya itu. Aridha memberikan jawaban yang menarik,
“Hope me to criticize is impossible, just because I am a woman with no criticize and no judge. The only thing I know is ‘love’.”
Cinta. Hanya itu yang Aridha tahu. Cinta yang dimaksud Aridha, saya
maknai dengan memahami, mengerti, menerima. Dengan pemahaman cinta yang
seperti itu, saya melihat Aridha memeluk kehidupan sebagai kehidupan,
tanpa tendensi, tanpa asumsi, tanpa kesimpulan. Menerima dan memahami
realitas sebagaimana adanya realitas itu hadir.
Mari kita simak sebagian isi dari buku
Pohon Kebahagiaan
9.Core Quality of Jiwa
Aku
tidak takut masuk dalam “kesesatan”. Biarlah banyak orang suka memvonis
tanpa mengenal sesungguhnya yang terjadi. Bagiku, hidupku adalah sebuah
“riset besar”. Dan re-search = pencarian
kembali. Aku, obyek sekaligus subyek risetku sendiri. Aku selalu
skeptic terhadap “ilmu katanya-katanya”. Aku masuk, aku melihat, aku
bergabung, aku mendengar, aku mengalami dan aku belajar sesuatu darinya.
Selamat membaca!
Beberapa
hari lalu, sahabatku Arimbi, bertanya, “Mbak, apa judul buku barunya?”
tanyanya. Pertanyaan senada, juga datang dari banyak sahabat yang telah
membaca karya tulisku baik buku, artikel maupun status Facebook. Aku
bahagia bersamaan hidupku yang punya kegunaan. Berbagi yang kupunya.
Berbagi yang kutahu. Aku juga berterima kasih kepada Likha yang
terus-menerus mengejar-ngejarku agar segera menerbitkan bukuku. “Aku indent!” katanya.
Kepada
Mbak Rimb, kukatakan kalau belum ketemu judul yang pas hingga bab ini
kutulis. Kukabarkan bahwa isi bukuku nanti akan berkisar seputar masalah
kualitas inti dari jiwa. Hmm..apa itu? Kupastikan Anda suka bagian ini.
Teruslah membaca dengan keadaan hati yang bahagia! Oya, ingin
kusampaikan pada Mbak Justic, “Mbak! Ini loh yang buat penasaran itu!”
Nah, untuk Anda semua, mari bicara tentang the core quality of soul.
Dulu,
aku tak banyak tahu bagaimana hidup ini berjalan. Sulit kupahami
hubunganku dengan orang lain. Aku tidak mengerti bagaimana menjalin
hubungan yang benar. Makin ke sini, makin kusadar. Ternyata, bukan hanya
menjalin hubungan dengan orang lain, yang tidak kumengerti, tapi juga
dengan Tuhan. Belakangan, baru kupahami bahwa untuk mengerti yang lain,
aku harus lebih dahulu mengerti diriku. Jika hubunganku dengan diriku
sendiri saja tidak kumengerti, bagaimana mungkin aku bisa berhubungan
dengan orang lain, apalagi dengan Tuhan? Tanpa mengenali diri sendiri,
hidup pasti kompleks. Saat membaca ini, bila Anda merasa sedang dalam
kerumitan hidup, itu pertanda Anda belum kenal diri Anda. Itu artinya,
Anda lupa diri (sejati).
Suatu
saat kuperhatikan diriku, kuperhatikan orang-orang, juga kuperhatikan
kehidupan yang sibuk tidak berhenti. Dari detik menuju menit, dari menit
menuju jam, dari jam menuju hari, dari hari menuju minggu, dari minggu
menuju bulan, dan dari bulan menuju tahun. Kita semua sibuk bekerja dan
berkegiatan. Aku sangat lelah. Lalu kutanya diriku, “Apa sejatinya yang
kucari? Apa sejatinya yang orang-orang cari?”
Awalnya
kupikir aku mengejar uang, agar bisa kupenuhi kebutuhan hidupku. Sekali
lagi kuamati hidupku. Aku bukan hanya butuh makan minum, tapi aku juga
butuh pakaian layak, rumah, kendaraan, sekolah, perhiasan dan lain-lain.
Jika punya banyak uang, aku pasti bahagia. Ketika ini kuceritakan pada guru, beliau berkata, “Jungkir balikmu itu untuk satu hal! Kamu sedang mengejar kebahagiaan”. “ Actually, you are looking for happiness!” Demikian kata beliau.
Aku
juga bertamasya, rekreasi, belanja, jalan-jalan melihat sawah, sungai,
air terjun, air mancur, gunung, udara segar, pantai, laut, sungai, gua
dan perbukitan. Aku berharap, penatku bakal hilang. Ketika ini
kuceritakan pada guru, aku diberitahu bahwa, sejatinya yang sedang kucari-cari adalah kedamaian. “ You are looking for peacefulness!” kata guru.
Ketika
kuceritakan bahwa aku inginkan, orang-orang di sekitarku
memperhatikanku. Bukan sebaliknya! Malah mengabaikan keberadaanku.
Kusampaikan hidupku yang penuh kecemburuan. Jika orang yang aku cintai
memperhatikan orang lain, aku sakit hati, marah, cemburu, dan tidak
terima. Banyak orang menasehatiku agar aku bisa ikhlas. Aku ingin ikhlas
dan hidup dalam ketulusan, tapi teramat sulit dan berat. Aku menangis
pada Tuhan. Air mataku air mata kebencian, air mata kemarahan,
penyesalan dan kesedihan. Mengapa orang-orang yang kucintai sedalam ini,
tidak bisa melihat kebaikan dan pengorbananku, padahal dekat secara
fisik dengan mereka? Aku merasa tidak diperhatikan. Di sini, guru memberitahuku, bahwa sejatinya yang kurindu-rindukan adalah CINTA. “ You are looking for love!” kata guru.
Manakala
aku berkisah tentang diriku yang kerap tidak tenang, tidak mengerti apa
yang membuatku tidak tenang. Aku sulit bersyukur. Aku sulit menerima
kejadian. Lalu guru katakan, bahwa sejatinya aku kehilangan kemurnian, ketulusan dan keikhlasan. Aku sedang tercemar, tidak lagi murni. “
You are looking for purity! To be pure is to be real, to be pure is to
be natural, for the pure is never violent, can’t never give pain or
suffering, the pure maintain the law of life and the law of life is
love, ” kata guru.(Aku sedang merindukan kemurnian.
Hakekat murni adalah ikhlas. Menjadi murni itu menerima kenyataan. Yang
murni, ia tidak jahat, tidak bertindak kasar, tidak memberi sakit dan
derita. Kemurnianlah yang akan memelihara hukum kehidupan dan hukum
kehidupan itu, adalah cinta)
Selanjutnya,
aku bercerita tentang keinginanku agar orang-orang yang kucintai,
berpikir seperti caraku berpikir, berkata seperti yang kuharapkan,
bertindak dan berperilaku seperti yang kumau. Aku pasti geregetan begitu
meliha mereka menyimpang. Sebaliknya, aku senang bila orang-orang yang
kucintai patuh padaku. Aku tidak ingin mereka keras kepala. Tapi, aku
selalu saja tidak berdaya. Kalau sudah mereka yang minta, aku tidak bisa
menolak. Sebenarnya, aku kurang suka, tapi mau bagaimana lagi? Dari
pada ribut, ya lebih baik aku mengalah saja. Aku seperti terikat! Apa
kata guru? Beliau beritahu bahwa aku sedang merindukan kebebasan. “ You are looking for freedom!” katanya.
Terakhir,
kusampaikan keprihatinanku tehadap konflik. Bukan hanya antaragama yang
berkonflik, tapi juga inter-agama. Terjadi saling tuduh soal kesesatan.
Membangun rumah ibadah merupakan cita-cita yang belum tentu kesampaian.
Untuk berhubungan dengan Tuhan, harus minta izin manusia. Mengapa semua
menjadi seperti ini? Pedang dihunus atas nama Tuhan, bom diledakkan
atas nama Tuhan, darah dihalalkan atas nama Tuhan. Ketika aku bertanya,
dimanakah Tuhan saat situasi memilukan ini terjadi? Guru bilang,
sejatinya aku sedang merindukan kebenaran. “You are looking for the truth!” kata beliau.
Saatnya kita simpulan! Mari kita urutkan dari awal sambil mengingat-ingat, happiness, peacefulness, love, purity, freedom dan truth,
kebahagiaan, kedamaian, cinta, kemurnian, kebebasan dan kebenaran.
Inilah kualitas sejati kita. Inilah kualitas sejati dari jiwa!
Inilah yang disebut sebagai core quality of soul atau the original quality of soul. Mengapa
aku merindu-rindukan itu semua? Sebab, itulah kualitasku yang asli.
Semua itu, pernah kumiliki. Tapi itu dulu! Kini semuanya tertutup oleh
lapisan-lapisan berkarat. Aku sudah tidak murni lagi. Aku kehilangan
kemurnian (kesejatianku).
Sejatiku adalah happy, peace, love, pure, free and truth. Untuk itulah guru katakan,
penting bagiku menjaga kesadaran jiwa (ruhani). Jika sejatiku adalah
bahagia, damai, penuh cinta, bebas dan benar, lalu mengapa aku berubah
menjadi pribadi sebaliknya? Sebab, hal-hal diluar, telah berhasil
menguasaiku, hingga aku lupa kualitas inti-ku. Seharusnya, akulah (sang
jiwa) yang menjadi master. Bukan sebaliknya. Jadi, siapa yang selalu berupaya menguasaiku? Maya! Guru menyebutnya demikian. Siapa maya? Adalah, kemarahan, ego, ketamakan, keterikatan dan nafsu birahi.
Saat kupelajari Who I am, aku
mengerti bahwa aku yang sejati adalah jiwa yang wujudnya adalah
ruh/spirit. Kini kutahu sifat-sifat sejatiku. Bahwa spirit itu, dia
bahagia, dia damai, penuh cinta, murni (tulus), bebas dan benar. Jadi,
jika aku sadar jiwa, setiap kali bersedih, mestinya kuingatkan diriku
bahwa itu bukan sifat asliku. Bila kesedihanku tak kunjung hilang, itu
artinya aku sedang dikuasai maya. Bisa karena aku dikuasai ketamakan,
bisa juga aku dikuasai keterikatan. Kebahagiaanku terikat pada syarat
tertentu! Padahal harusnya, aku bahagia, sebagaiamana keadaan sejatiku. Kebahagiaanku tidak boleh tergantung pada hal-hal diluar aku.
Bila aku sadar jiwa, mestinya aku sadar bahwa aku ini damai.
Bila hidupku selalu saja tidak damai, lalu gemar kemana-mana demi
mencari kedamaian, ini pertanda ada yang tidak beres. “Sesuatu” sedang
berupaya menguasaiku. Mungkin ketidakpuasan (ketamakan). Mungkin juga
keterikatan. Mungkin juga nafsu birahi!
Aku (sang jiwa) adalah cinta.Bila
aku menderita karena cinta, itu pertanda aku tak sadar jiwa. Aku
mengira bahwa diriku kekurangan cinta, padahal aku sendiri adalah cinta.
Aku mencari cinta dari sumber lain, padahal aku sumber cinta. Karena
mengira persediaan cintaku terbatas, aku takut kalau-kalau bakal
kehabisan cinta. Pantas saja kalau cintaku untuk jiwa lain, kuberikan
sedikit-sedikit saja, dan tidak total. Bahkan cintaku kuberikan dengan
penuh syarat! Aku hidup dalam konsep, “ini cintaku, mana cintamu? Seluas
ini cintaku, seberapa dalam cintamu padaku?” Pantas saja aku kerap
dihadapkan pada ujian cinta. Selalu saja digoda cinta. Pasanganku jatuh
cinta pada yang lain. Lalu aku menangis seharian dan bila perlu
berhari-hari mengurung diri di kamar. Aku mengutuk pasanganku. Aku juga
mengutuk diriku, mencari-cari apa yang kurang dari diriku. Dalam hatiku
berucap, “Apa yang kurang dari aku? aku sudah demikian mencintaimu,
kukorbankan banyak hal hanya demi kamu… inikah balasanmu atas apa yang
sudah kuberikan untukmu? Inikah balasanmu atas apa yang sudah kulakukan
untukmu?” Cintaku menjadi sarat dengan syarat. Mengapa aku bisa lupa
bahwa aku ini adalah cinta yang bisa mengkreasi cinta? Aku pasti sedang
dikuasai kemarahan, ego, ketamakan, keterikatan dan nafsu birahi.
Padahal guru wanti-wanti, bahwa maya itulah musuh besarku.
Bagaimana dengan kemurnian atau ketulusan?
Ini sangat erat kaitannya dengan sifat cinta yang baru saja
kubicarakan. Kecemburuan yang membuncah adalah pertanda hilangnya
kesadaranku atas diri sejatiku. Aku lupa bahwa aku yang sejati adalah
murni, tulus, ikhlas. Kesakitan yang kuderita adalah efek karena aku
lupa bahwa aku ini jiwa yang murni, jiwa yang tulus. Bila ingat bahwa
aku ini jiwa yang murni, tulus, ikhlas, maka aku pasti sadar bahwa
setiap sesuatu adalah milik Allah. Dan aku berprasangka baik terhadap
setiap jiwa. Bahwa, setiap jiwa akan berupaya mencari diri sejatinya.
Setiap jiwa pasti mengadakan pencarian, ingin menemukan kesejatiannya.
Ingin bahagia, ingin damai, ingin cinta, ingin murni, ingin bebas,
inginkan kebenaran. Jika aku
menginginkan bahagia, jiwa lain juga sama! jika aku ingin damai, jiwa
lain juga sama! Kesadaranku tentang kemurnianku pasti membimbingku
kepada pengertian, bahwa setiap jiwa itu, milik Allah bukan milikku.
Setiap jiwa itu milik Allah Sang Pencipta, Sang Pemilik Sejati. Saat aku
mendapati kemurnian dan ketulusanku hilang, mungkin ego sedang
menguasaiku. Atau empat maya lainnya, yaitu kemarahan, ketamakan,
keterikatan dan nafsu birahi. Padahal, guru sudah wanti-wanti agar aku
waspada dengan maya.
Saatnya bicara tentang kebebasan.
Manakala kugantungkan kebahagiaanku pada orang lain atau pada situasi
tertentu, ini pertanda aku tidak sadar jiwa. Aku lupa bahwa sejatiku
harusnya bebas, tidak tergantung! Kebahagiaan dan kedamaianku tidak
harus tergantung pada orang lain atau situasi yang terjadi di luar aku.
Siapa yang membuatku tidak bebas? Adalah, keterikatan! Aku pasti sedang
terikat pada orang atau situasi. Aku lupa bahwa hanya kepada Allah
sajalah seharusnya aku bergantung. Ribuan kali sudah kubaca Al-Ikhlas,
tapi praktik-ku justru khianat.
Bagaimana? Lanjut? Baiklah! Mari bicara tentang kebenaran sebagai core quality dari
jiwa. Sifat sejati jiwa adalah benar. Jika aku tahu sesuatu adalah
salah, tapi aku lakukan, itu pertanda aku sedang tidak dalam kesadaran
jiwa. Mungkin aku hanya sadar badan saja. Harusnya aku berbuat
kebenaran, tapi mengapa aku melakukan ketidakbenaran? Anda pasti berkata
bahwa aku sedang dalam penguasaan maya. Maya yang manakah gerangan yang
sedang menguasaiku? Kemarahan? Ego? Ketamakan? Keterikatan ataukah
nafsu birahi? Biarlah ini menjadi rahasia perenunganku.
Paling
tidak, aku mendapatkan pelajaran baru, bahwa lapisan-lapisan negatif
bernama maya ini telah berupaya dan berhasil menguasaiku sudah sejak
lama, sehingga aku menjadi lupa kesejatianku. Inilah sumber kekacauan
dunia hari ini. Hanya sedikit jiwa yang sadar jiwa karena terbelenggu
dalam kuasa maya. Sempat kubertanya pada guru tentang bagaimana
menghilangkan, atau mengurangi lapisan-lapisan buruk itu. Guru
menyarankan, “bermeditasilah!” Wah, meditasi?
Awalnya,
aku memahami meditasi sebagai “berkaca” atau “bercermin” diri. Sebagian
orang berpendapat bahwa bermeditasi adalah berdoa atau berkomunikasi
dengan Tuhan, sebagian lainnya berpendapat bahwa meditasi itu sesat dan
tak perlu dilakukan. Seperti biasa, aku tidak sedang menulis apa yang
tidak kualami. Aku tidak takut masuk dalam “kesesatan”. Biarlah banyak
orang hanya pandai memvonis tanpa mengenal sesungguhnya yang terjadi.
Bagiku, hidupku adalah sebuah “riset besar” . Dan re-search adalah pencarian-kembali. Aku, obyek sekaligus subyek risetku sendiri. Aku gemar skeptic
terhadap “ilmu katanya-katanya”. Ilmu yang pengikutnya, gemar mengaku
banyak tahu tentang kehidupan orang lain, tapi lupa belajar mengenal
dirinya sendiri. Aku masuk, aku melihat, aku bergabung, aku mendengar,
aku mengalami dan aku belajar sesuatu darinya.
Dalam
perjalanan pembelajaranku itulah, aku tahu bahwa ternyata meditasi
justru berasal dari akar yang sama dengan sebuah kata bahasa Latin,
yaitu mederi.
Mederi artinya
“menyembuhkan”. Kuintip praktik-praktik meditasi, kudengarkan, kualami
dan kupelajari dengan cermat, kata dan kalimat yang mereka ucap dalam
meditasi. Meditasi ternyata adalah aktivitas mengingatkan kita kepada
diri kita yang sejati (core quality). Bukan hanya itu! Meditasi ternyata adalah juga latihan mengingat. Bukan sekadar mengingat, tapi mengingat terus-menerus bahwa
Tuhan adalah Sang Pencipta, Sang Pemilik, Sang Pembimbing, Sang Pemberi
Petunjuk dan sifat-sifat baik lainnya. Meditasi ternyata bukan sekadar
“diucapkan” bagai mantra. Bukan disebut meditasi, kalau apa-apa yang
diucapkan ternyata tidak dialami dan tidak dipraktikkan dalam kehidupan
nyata. Maka, kegiatan memasak, makan, belajar, bekerja, berjalan dan
bahkan bernapaspun adalah bisa jadi meditasi, senyampang terpelihara
keadaan mengingat Tuhan dan diri sejati.
Jika
aku mengira bahwa meditasi hanyalah membaca “mantra-mantra”, maka
pantaslah kalau hidupku sering dihiasi dengan rasa sakit hati, marah,
cemburu, dendam dan kebencian. Meskipun aku sering memberi nasehat orang
lain untuk bersabar, tapi aku sendiri tidak bisa sabar. Aku hanya
menasehati orang agar jangan suka marah, tapi aku sendiri pemarah. Hanya
mengajak orang agar saling mengasihi dan menyayangi, tapi perbuatanku
menunjukkan sebaliknya. Ini bukanlah meditasi! Ini jiwa sakit dan perlu
penyembuhan. Keberhasilan meditasi terukur dari selarasanya pikiran,
kata dan perbuatan dalam kesadaran core quality of jiwa.
Hmm…
sepertinya, ini bab yang paling panjang. Kupikir ini sudahlah cukup!
Kuserahkan kepada Anda untuk menerima atau tidak. Ini adalah ilmu
pengetahuan. Hanyalah sebagian saja dari yang tersebar di seluruh
semesta. Semoga tidak pening ya!
Sekarang, istirahatlah untuk merenungkan apa yang baru saja kita
bicarakan. Setelah itu, terserah Anda, mau lanjut atau stop. Yang jelas,
di balik ini tidak kalah menarik.
-
Foto dari https://www.facebook.com/aridha.prassetya
Judul : Pohon Kebahagiaan
No. ISBN : 978-602-281-055-1
Penulis : Aridha Prassetya
Tahun terbit : Desember 2013
Dimensi : xvi + 117 hlm; 14 x 21 cm
Jenis Cover : Soft Cover
Kategori : Kisah Inspiratif
Harga : Rp 37,500 + ongkir dari Depok
Stok : Order by SMS >> 085773518074 : Nama, Alamat, Judul, Jumlah pesanan
Judul : Pohon Kebahagiaan
No. ISBN : 978-602-281-055-1 Penulis : Aridha Prassetya
Tahun terbit : Desember 2013 Dimensi : xvi + 117 hlm; 14 x 21 cm Jenis Cover : Soft Cover Kategori : Kisah Inspiratif Harga : Rp 37,500 + ongkir dari Depok Stok
: Order by SMS >> 085773518074 : Nama, Alamat, Judul, Jumlah
pesanan - See more at:
http://www.indie-publishing.com/pohon-kebahagiaan/#sthash.91DHZcIb.dpuf
-
Melalui buku, Aridha ingin menyentuh hati
sebanyak mungkin orang untuk jalan bersama dalam kehidupan yang damai
penuh kebahagiaan. Dan sudah menjadi tekadnya untuk menerbitkan buku
tiga kali dalam setahun. Yakni tiap 21 April pas Hari Kartini, 11 Juni
pas hari lahirnya, dan 22 Desember pas Hari Ibu.
Ke depan, Aridha berencana akan beralih format dari buku cetak ke buku digital (e-book) demi efisiensi dan memudahkan siapa saja yang ingin memetik buah pikirannya (free of charge).
“Itu idenya Hanif (putra Aridha- pen), dan saya menyambut baik. Saat ini Hanif sedang mempersiapkan piranti untuk e-book itu,” tutur Aridha.
Oke.
Kembali ke buku terbarunya.
Membaca buku Pohon Kebahagiaan, hati ini serasa dipeluk dan dibelai sayang. Karena itulah, saya ingin membacanya lagi.
Terimakasih untuk semuanya.
-
Selamat Natal bagi Anda yang merayakannya.
Selamat Tahun Baru 2014 untuk kita semua.
Sejatinya semua hari itu indah bagi yang mengindahkannya.
http://media.kompasiana.com/buku/2013/12/26/pohon-kebahagiaan-jiwa-yang-tenang-dalam-diri-aridha-prassetya-621259.html