61 - Auda Zaschkya
Ibu tak
pernah lelah mengurus perempuan ini. Padahal, gadis yang tengah beranjak
dewasa ini, berkali-kali mengecewakannya. Padahal, berkat perempuan
senja itu, aku diberikan hidup berkali-kali oleh Tuhan. Juga berkat ibu,
tsunami hatikupun terobati. Dan yang terpenting, walaupun aku adalah
anak kedua dari dua bersaudara, ibu tak pernah memanjakanku. Jika aku
melakukan kesalahan, pasti aku dimarahi. Baiklah, berkat cita dan
cintanya yang selalu tercurah bagi si Bandel ini, ternyata mampu
membuatku mandiri.
*
Adalah aku, seorang
putri yang terlahir dengan berat dan panjang badan yang hampir
berimbang dengan botol kecap. Bisa kita bayangkan, bukan? Ya… hampir
tak ada harapan hidup. Namun, berkat do’a dan kesabaran ibu, aku mampu
bertahan dan melihat warna warni dunia hingga sekarang.
Saat umurku 4 bulan,
ibu di hadapkan pada pilihan sulit kali pertama dalam hidupnya. Vonis
dokter mengatakan bahwa bayinya harus dioperasi, akibat penyakit yang
membuatnya susah makan dan berat badan si bayi tak pernah naik. Setelah
dilakukan operasi, berangsur pertumbuhan si bayi membaik. Tentunya ini
kebahagiaan bagi kedua orang tuaku. Operasi Kolostomi telah berhasil
kulewati. Namun, tak sampai di situ keakrabanku dengan dokterpun usai.
Menginjak umurku 4 tahun, kelanjutan operasi ini pun harus kulakukan.
Dan pembedahan berikutnya ini tak bisa dilakukan di kota kelahiranku,
melainkan di kota domisiliku sekarang.
*
Ya Tuhan… Ini sungguh
memberatkan. Menambah beban finansial orang tuaku, apalagi ayahku hanya
seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang gajinya tak cukup besar.
Sedangkan ibu, hanya ibu rumah tangga. Walaupun di depan namanya
tersemat title Dra., namun tak serta merta membuat lupa akan kami. Ya…
kakakku yang berselisih umur 15 tahun denganku. Dan tentunya aku, sang
putri yang berkelainan fisik dengan yang lain. Jika aku tahu, mungkin
aku tak akan mau dioperasi, mengingat biaya yang dikeluarkan oleh orang
tuaku sangat besar, saat itu. Namun, berkat kasih sayang mereka yang
luar biasa, beberapa barang berharga milik merekapun dengan ikhlas hati
demi putrinya ini mereka jual hingga dana untuk operasiku pun terpenuhi.
Akhirnya, di umur 4 tahun itu, ayah dan bundaku kembali merelakanku
dioperasi.
*
Suatu hari, aku
digendong Ibu kembali ke Rumah Sakit. Melihat kesehatanku membaik, ada
seorang dokter yang mengatakan kepada ibu, “Wah… sudah sehat ya, Bu
anaknya. Bagaimana kalau untuk saya saja, Bu. Akan saya sekolahkan dan
saya anggap anak sendiri. Kebetulan untuk teman anak saya yang seusia
dengannya dan biar anak saya yang tertua punya dua adik, hehehe…” Ibupun
menjawab dengan setengah bercanda walaupun agak kesal, ”hehehe… gitu
ya, Dok. Kalau gitu, kita tukaran aja, gimana?” Seketika sang Dokterpun
diam saja.
Ketika ibu
menceritakan ini padaku, tentu saja perasaanku kesal. Setelah itu, ibu
juga bercerita bahwa Putri Sang Dokter adalah temanku ketika SD dulu
yang kini juga telah menjadi seorang Dokter. Dan aku, tetap menjadi
Putri dari Ayah dan Ibu, serta adik dari seorang kakak laki-laki yang
saat itu tengah melanjutkan pendidikannya di Bandung.
Tak lama berselang
sejak kebakaran rumah kami beberapa bulan yang lalu, ayahku pun
dipanggil olehNya. Saat itu, badai ekonomi kembali menggauli ibu. Beliau
dituntut untuk menghidupi dirinya, aku dan seorang anak angkatnya.
Syukur Alhamdulillah, kakakku bersekolah dengan beasiswa, jadi tak
membebani ibu.
*
Akhir 2004, musibah
besarpun dialami Indonesia dan telah meluluhlantakkan Kotaku. Sesaat
sebelum itu, entah kekuatan dari mana dan tak mau memikirkan apapun,
bersama ibu dan para tetangga, aku yang akan dioperasi keesokan harinya,
berlari ke sebuah sekolah. Alhamdulillah kami selamat dan akupun
melanjutkan sekolah di Kota ini sembari mencari alternatif pengobatan,
agar tak dioperasi, lagi. Awal 2005, aku harus tinggal berjauhan dari
ibu dan hanya saat liburan sekolah bertemu, atau ibu yang mengunjungiku
di rumah abang. Saat itu, aku benar-benar harus mandiri. Beruntung,
ketika tinggal bersama ibu, beliau mengajariku mencuci juga menyetrika,
sehingga ketika harus berjauhanpun, kurasakan aku mampu mandiri. Ya…
walaupun tinggal bersama keluarga kakak dengan seorang pembantu,
membereskan baju dan kamarku adalah tanggung jawabku. Aku tak dekat
dengan iparku. Jangankan bercerita banyak seperti dengan ibu, berbicara
saja tak bisa. Seperti ada sekat. Sungguh tak nyaman. Saat seperti
inilah aku hanya mampu menangis dan merindukan tinggal bersama ibu lagi.
*
Do’aku terkabul, saat
aku di wisuda pada tahun 2009 lalu, aku sudah tinggal bersama ibu. Aku
senang sekali. Walaupun aku tinggal berdua dan berkehidupan sederhana,
yang penting, aku tinggal dengan ibu kandungku. Ibu yang hampir pingsan
ketika mendapat kabar bahwa aku tengah comma setelah ditabrak
di kampung halamanku. Mendapat kabar itu dari seorang teman, kakak
laki-lakiku segera mendatangi ibu dan mengajak ibu untuk terbang ke
kampung halaman kami. Sesampainya ibu di Rumah Sakit, aku sudah tersadar
dari Comma.
Sekilas tampak olehku,
berjuta kesedihan di raut wajahnya. Suatu ketika, aku ingin ke Toilet.
Seketika, aku tersungkur ke lantai ketika bangun dari tempat tidur. Oleh
dokter dikatakan bahwa seluruh syaraf kananku untuk sementara, tak bisa
digunakan. Dua minggu di kampung halamanku, aku kembali ke kota ini.
Dicekoki bermacam obatan-obatan dan fisioterapi, akhirnya aku sudah
mampu bergerak normal lagi.
Operasi selanjutnya, harus kujalani lagi setelah tiga bulan mengalami kecelakaaan. Operasi penanaman Pen
di siku kiriku dilakukan di akhir 2010 lalu. Seorang diri, Ibu yang
tengah beranjak tua, menemaniku di Rumah Sakit. Seperti ketika operasiku
semasa kecil, beralaskan karpet, ibu harus tidur di lantai Rumah Sakit.
Maka dari itu,
mendapat vonis dokter yang mengatakan bahwa aku harus dioperasi lagi
untuk penyakitku yang lain, aku tidak mau dioperasi. Aku tak mau
menyakiti ibu di usia senjanya yang harus rela tidur hanya beralaskan
karpet di lantai Rumah Sakit. Siapa lagi yang akan menjagaku kalau bukan
ibu, bukan?
Yang terpenting,
walaupun sedikit akan dibantu oleh kakak, aku tak mau membiarkan beliau
menguras tabungannya yang tak banyak itu demi membiayai operasiku. Lebih
baik, berobat alternatif saja. Apalagi, tak semua vonis dokter harus
dilakukan, bukan? Ibarat ada jalan menuju roma, opsi kedua, ketiga,
bahkan keseratus pun akan ada jika kita sebagai makhlukNya mau berusaha.
*
Ya… Sejarah hidupku,
sedikit berbeda dari kebanyakan anak di dunia ini. Terlahir dengan cacat
lahir yang susah diobati, bukanlah hal yang mudah. Bagi seorang yang
tak memiliki kesabaran yang luar biasa, mungkin bayi sepertiku sudah
dibuang ke tong sampah atau ke manapun, ya… seperti banyak kejadian
belakangan ini. Namun, tidak bagi perempuan setengah baya yang tengah
terlelap itu.
Ya… Perempuan itu.
Perempuan pintar dan berjasa dalam hidupku, yang terkadang tanpa sengaja
masih kusakiti. Padahal, cita dan cintanya teramat besar bagi putri
kecilnya ini. Di mataku, kesempurnaan cintanya, selalu tercurah untukku.
- Perempuan yang rela membuang title dan harapannya bekerja demi merawat bayi ajaib sepertiku, di waktu kecilku.
- Perempuan
kritis lulusan Sospol yang memiliki kekayaan intelektual demi
mengimbangi pertanyaan dan minatku akan masalah sosial dan perpolitikan
negeri, Sekarang.
- Perempuan ini juga selalu ada saat tsunami memporak porandakan hatiku, terkadang.
- Perempuan yang tak pernah berhenti memberikan pemahaman ilmu agama bagiku, setiap waktu.
*
Maafkan aku, wahai perempuanku…
Ampuni aku atas dosa-dosaku yang tak terhitung lagi banyaknya kepada perempuanku ini, Ya Tuhan.
*
Bagiku
dan anak lainnya, seorang ibu adalah perempuan terhebat sepanjang masa.
Biarpun orang lain mencela kita, namun di mata ibu, kita tetap anugerah
terindah yang diberikan Tuhan untuknya. Sudah sepatutnya, kita
menyayanginya.Yang tinggalnya berjauhan, pulanglah. Rasakan kenikmatan
kasih sayangnya dalam masakannya. Lalu, bersimpuhlah di hadapannya
selagi beliau ada. Jikapun ibu telah meninggal, ziarahi kuburnya,
do’akan beliau selalu.
*
NB : Untuk membaca karya peserta lain, silahkan menuju akun Fiksiana Community dan bergabunglah di FB Fiksiana Community
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/12/22/untukmu-ibu-walaupun-hidup-miskin-aku-bahagia-bersama-ibu-618592.html
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com