by: http://nanda75.blogspot.com/2009/11/sejarah-idul-adha.html
Kata
Idul Adha artinya kembali kepada semangat berkurban. Berbeda dengan
Idul Fitri yang artinya kembali kepada fitrah. Bila Idul Fitri berkaitan
dengan ibadah Ramadhan, di mana setiap hamba Allah selama Ramadhan
benar-benar disucikan sehingga mencapai titik fitrah yang suci, tetapi
dalam Idul Adha tidak demikian. Idul Adha lebih berupa kesadaran sejarah
akan kehambaan yang dicapai nabi Ibrahim dan nabi Ismail alaihimus
salam. Karenanya di hari tersebut ibadah yang paling utama adalah
menyembelih kurban sebagai bantuan terhadap orang-orang miskin.
Dalam surah Ash Shaffat 100-111, Allah swt. menggambarkan kejujuran nabi Ibrahim dalam melaksanakan ibadah kurban. Indikatornya dua hal:
Dalam surah Ash Shaffat 100-111, Allah swt. menggambarkan kejujuran nabi Ibrahim dalam melaksanakan ibadah kurban. Indikatornya dua hal:
Pertama, al istijabah al fauriyah yakni kesigapannya dalam melaksanakan perintah Allah sampai pun harus menyembelih putra kesayangannya.
Ini
nampak ketika nabi Ibrahim langsung menemui putranya Ismail begitu
mendapatkan perintah untuk menyembelihnya. Di saat yang sama ia langsung
menawarkan perintah tersebut kepadanya. Allah berfirman:
“Maka
tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama
Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam
mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”
Dan ternyata al istijabah al fauriyah ini nampak juga pada diri Ismail ketika menjawab:
“Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Kedua, shidqul istislam yakni kejujuran dalam melaksanakan perintah.
Allah berfirman: “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya).”
Inilah
pemandangan yang sangat menegangkan. Bayangkan seorang ayah dengan
jujur sedang siap-siap melakukan penyembelihan. Tanpa sedikitpun ragu.
Kata aslamaa yang artinya keduanya berserah diri menunjukkan makna bahwa
penyerahan diri tersebut tidak hanya terjadi sepihak, melainkan kedua
belah pihak baik dari Ibrahim maupun Ismail. Di sanalah hakikat
kehambaan benar-benar nampak. Bahwa sang hamba tidak ada pilihan kecuali
patuh secara tulus kepada Tuhannya. Suatu teladan kehambaan yang harus
ditiru setiap orang beriman yang berjuang menuju derajat kehambaan.
Karenanya pada ayat 100 seteleh itu, Allah menegaskan bahwa keduanya
benar-benar hamba-Nya, Allah berfirman: “Sesungguhnya ia termasuk
hamba-hamba Kami yang beriman.”
Dari sini nampak bahwa untuk mencapai derajat kehambaan sejati, tidak ada lain kecuali dengan membuktikan al istijabah al fauriyyah dan shidqul istislam.
Nabi Ibrahim dan nabi Ismail telah membuktikan kedua hal tersebut.
Allah swt. yang Maha Mengetahui telah merekamnya. Bila Allah yang
mendeklarasikannya maka itu persaksian yang paling akurat. Tidak perlu
diperbincangkan lagi. Bahkan Allah swt. mengabadikannya dengan
menjadikan hari raya Idul Adha. Supaya semua hamba Allah setiap tahun
selalu bercermin kepada nabi Ibrahim dan nabi Ismail.
Dengan
demikian, esensi Idul Adha bukan semata ritual penyembelihan kurban,
melainkan lebih dari itu, membangun semangat kehambaan nabi Ibrahim dan
nabi Islamil dalam kehidupan sehari-hari.
Yang
perlu dikritisi dalam hal ini, adalah bahwa banyak orang Islam masih
mengambil sisi ritualnya saja, sementara esensi kehambaanya dilupakan.
Sehingga setiap tahun umat Islam merayakan Idul Adha, tetapi prilaku
kesehariannya menginjak-injak ajaran Allah swt. Apa-apa yang Allah
haramkan dengan mudah dilanggar. Dan apa-apa yang Allah perintahkan
diabaikan. Bukankah Allah berfirman udkhuluu fissilmi kaafaah? Tapi di
manakah makna kaffah itu dalam dataran kehidupan umat Islam? Karena itu,
setiap kita memasuki hari raya Idul Adha, yang pertama kali harus kita
gelar adalah semangat kehambaan yang kaffah kepada Allah. Bukan
kehambaan sepenggal-sepenggal, atau kehambaan musiman.
Berapa banyak orang Islam yang rajin mentaati Allah di bulan Ramadhan saja, sementara di luar Ramadhan tidak demikian.
Berapa
banyak orang Islam yang rajin ke masjid selama di Makkah saja,
sementara setelah kembali ke negerinya, mereka kembali berani berbuat
dosa tanpa merasa takut sedikitpun. Wallahu a’lam bishshawab.
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com