GOOGLE TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

ARTIKEL PILIHAN

Sebuah Sisi Lain Tuanku Imam Bonjol

Written By Situs Baginda Ery (New) on Minggu, 22 September 2013 | 17.36

by: http://sejarah.kompasiana.com/2013/09/16/sisi-lain-tuanku-imam-bonjol-592172.html
Banyak hal yang didapat dari diskusi penulis dengan Kamal Guci— seniman seni rupa kondang yang telah melakukan pameran tunggal di Bintara Kompas, Bali dan Yogyakarta. Sosok seniman yang peduli dengan kemerosotan moral masyarakat Ranang Minang dan menampilkannya dalam lukisan rumah gadang yang telah ditumbuhi ilalang, atap rumah yang bocor dan hampir runtuh dimakan rayap. Semuanya digoreskan melalui kanvas yang hasilnya sangat bernilai tinggi.
http://hae92blank.files.wordpress.com/2011/04/imam-bonjol-2.jpg
Dalam diskusi tersebut, muncul suatu pemikiran bahwa Tuanku Imam Bonjol merupakan sosok ulama pejuang yang telah meluruskan kehidupan Islami di Minangkabau. Sosok yang mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk masyarakat Ranah Minang dan kaum adat pada zaman itu, yang dinilai bertentangan dengan syariah.

Diskusi berujung pada kesimpulan, Tuanku Imam Bonjol sudah meluruskan penyimpangan dalam kehidupan, setelah ratusan tahun Syekh Burhanuddin meninggal. Jika dilihat dari sejarah ketika Syekh Burhanuddin berdakwah secara kultural telah memberikan cahaya Islam dan telah mengubah perilaku dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Sehingga, pada zamannya masyarakat Minang memeluk agama Islam dan menjalankan ajaran Islam dengan baik.

Pascaratusan tahun meninggalnya Syekh Burhanuddin, berkembang kembali permainan anak nagari dan kebiasaan-kebiasaan buruk di kehidupan masyarakat Minangkabau yang melanggar dan menyimpang dari ajaran Islam. Seperti budaya sabung ayam, adu kerbau di setiap nagari, perjudian, khamar (minuman keras), dan lainnya.

Sejarah singkat tentang Tuanku Imam Bonjol, bernama asli Muhammad Shahab, lahir di Bonjol, Pasaman tahun 1772 Masehi. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang ulama dari Sungai Rimbang, Suliki, Limapuluh Kota. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam.

Dilihat dari sejarah kehidupan Tuanku Imam Bonjol, melalui perjuangan pemurnian kembali kehidupan sosial budaya yang dilakukan oleh masyarakat ranah bundo pada saat itu, banyak pelajaran diambil. Dari sisi positif, apa yang dilakukannya merupakan terobosan paling bersejarah dalam perjalanan Islam setelah Syekh Burhanuddin tiada.

Awalnya, Tuanku Imam Bonjol yang dikenal dengan unsur Kaum Padri (kaum ulama) telah melakukan dakwah kultural atau persuasif terhadap penghulu adat yang merupakan pucuk adat salingka kaum/nagari. Dalam sejarahnya, melalui Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta kaum adat untuk meninggalkan kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Dalam beberapa perundingan, tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan kaum adat. Seiring dengan itu, di beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada 1815 M. Serangan berujung pada pecahnya pertempuran di Koto Tangah—dekat Batuasangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubuk Jambi.

Dengan situasi perperangan yang tidak berimbang, menyebabkan kaum adat pada 21 Februari 1821, melakukan kerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda untuk berperang melawan Kaum Padri. Mereka melakukan perjanjian yang ditandatangani di Padang. Isi perjanjian dinilai merugikan Ranah Minang, karena sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri oleh keluarga Kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang berada di Padang.

Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang karena “diundang” oleh kaum adat.
Setelah itu, kaum adat sadar ada pemboncengan dalam bentuk penjajahan Hindia-Belanda dari kerja sama. Kaum adat akhirnya bergabung dengan Kaum Padri untuk bersama mengusir Belanda dari Ranah Minang. Walaupun secara teori sejarah, kaum adat selama ini melawan Kaum Padri telah dipecundangani oleh Hindia Belanda, tapi demi kecintaan untuk Ranah Minangkabau ini akhirnya kaum adat dan Kaum Padri (ulama dan ninik mamak) bersatu di Bukit Marapalam.

Dari sisi sejarah, penyebab terjadinya perperangan Padri tersebut diawali perilaku kaum adat secara kehidupan yang telah menyimpang dari nilai Islam dalam masyarakat Minangakabau secara keseluruhan. Sehingga, kaum ulama meminta hal ini diluruskan atau disesuaikan dengan ajaran Islam, yang berujung terjadi peperangan.

Dari diskusi dengan Kamal Guci, berkembang pemikiran bahwa situasi daerah Sumatera Barat pada saat ini sudah dikatakan hampir mirip dengan situasi awal-awal lahirnya gerakan Kaum Padri. Situasi itu bisa dilihat sekarang, di mana-mana di setiap polosok nagari, perilaku buruk menyimpang saat Tuanku Imam Bonjol berdakwah itu sudah muncul kembali.

Dari beberapa kasus bisa dilihat, seperti sudah ada orang Minangkabau, berstatus pegawai negri sipil (PNS) mengaku, dan mempromotori terbentuknya kelompok ajaran ateis atau kelompok anti tuhan di Minangkabau— tepatnya di Dharmasraya, daerah pemekaran Sawahlunto/Sijunjung yang tak sedikit memiliki situs peninggalan bersejarah.

Kasus lain, merajalelanya penyakit masyarakat (judi, minum-minuman keras, prostitusi atau dulu dikenal dengan pergundikan, dan lainnya). Di ranah bundo ini, penyakit masyarakat mulai masif terjadi, dan memprihatinkan. Ada salah satu pameo dari orang-orang iseng, bahwa kehidupan orang Minang sekarang tidak lagi Minangkabau, tapi sudah tinggal kabau-nya. Jika pameo ini kita dengar mungkin ada yang akan marah, tapi situasi itulah yang terjadi saat ini.

Di mana-mana, orang Minangkabau melakukan maksiat sudah terang-terangan, tanpa ada rasa malu. Kebanyakan situasi ini dibiarkan saja tanpa ada perasaan marah atau berusaha untuk menghentikan. Salah satu contoh penyimpangan yang meprihatinkan selain yang ada di atas, ada kasus perkelahian pemuda antarkorong. Hal ini terjadi akibat masalah sepele yaitu, salah satu pemuda menegur pasangan muda-mudi yang belum nikah berasal dari korong, nagari tetangga. Tidak terima dinasehati akhirnya terjadi perkelahian antarkorong, yang berujung ke nagari.
Kasus lain, hikayat Pemko Padang yang menghancurkan pondok-pondok esek-esek di beberapa titik di ibu kota Sumbar itu. Karena tidak suka ditutup, akhirnya secara kolektif, ada oknum-oknum yang melawan aparat yang menegakkan Perda Maksiat tersebut.

Banyak lagi kasus lain yang jika dilihat sudah hampir mirip ketika awal lahirnya gerakan Tuanku Imam Bonjol. Dari diskusi, kami menyimpulkan lagi bahwa masyarakat Minangkabau memang sedang sakit. Rumah gadang sudah runtuh. Si binuang sati telah patah tanduk. Carano tidak diisi dengan pinang, siriah, kapua dan lainya, tapi sekarang sudah diganti isinya dengan emas, dan uang ratusan ribu berlipat.

Kondisi di atas sangat memprihatikan. Dari berakhirnya Perang Padri atau berakhirnya dakwah Tuanku Imam Bonjol sampai sekarang, sudah berlalu seratus tahun. Sehingga, untuk perubahan Minangkabau kembali ke adat lamo pusako usang pada zaman Syekh Burhanuddin dan Tuanku Imam Bonjol sudah diperlukan lagi ada gerakan masif untuk mengubah penyimpangan kehidupan ranah bundo ini. Sekarang diperlukan banyak sosok pemimpin yang berjiwa seperti Tuanku Imam Bonjol atau Syekh Burhanuddin untuk memimpin.

Semua ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama masyarakat Minangkabau. Mereka diminta peduli untuk menjadi dan melahirkan Tuanku Imam Bonjol dalam diri masyarakat Minangkabau. Jika itu bisa diterapkan, maka sisi lain dari Tuanku Imam Bonjol bisa direalisasikan dalam diri, keluarga, masyarakat nagari dan bangsa ini secara keseluruhan.
Kami berharap, wujud dari Taunku Imam Bonjol bisa datang, agar nilai adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah bisa hadir kembali dalam Ranah Minangkabau tacinto.

0 komentar:

Posting Komentar

1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.

Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.

( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )

Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.

Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar

Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com

BACA JUGA

DAFTAR LENGKAP ARTIKEL BLOG BAGINDAERY

Ikuti situs Bagindaery

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...