http://sosbud.kompasiana.com/2013/12/25/selamat-hari-natal-lonceng-gereja-dan-suara-azan-622568.html
Sangat menarik artikel berjudul Ganti “Selamat Hari Natal” dengan “Selamat Hari Raya”. Gitu Aja Kok Repot?
yang ditulis oleh Carolkwms. Artikel tersebut menceritakan kegerahan
kaum Kristen konservatif di Amerika dengan kenyataan makin tergesernya
ucapan “Merry Christmas” dengan “Happy Holidays” atau “Season
Greetings“. Mereka menganggap ini bagian dari “War on Christmas“.
Berikut saya akan kutip sebagian artikel tersebut,
“Kaum
non-kristiani makin banyak jumlahnya di Amerika Serikat. Mereka tidak
meyakini Yesus, mereka juga tidak percaya natal itu hari lahir Yesus.
Mengucapkan selamat hari raya dianggap sebagai bentuk toleransi.
Memaksakan menggunakan ucapan Selamat Natal sama dengan memaksa orang
non-Kristen percaya dengan apa yang diyakini kaum Kristen.”
“Baru-baru
ini, dalam acara yang dipandunya di stasiun TV FoxNews, O’Reilly
mengatakan bahwa sembilan tahun lalu ketika mereka memulai reportase
terkait hari natal, beberapa perusahaan besar di Amerika melarang
karyawan mereka mengucapkan Selamat Natal.”
Saya ingin menggaris bawahi kata “kaum
non kristiani”. Menurut saya kata itu tidak menunjuk pada umat agama
lain, misalnya Yahudi, Islam, Budha, Scientology atau yang lain. Saya
yakin, kampanye mereduksi “Selamat Hari Natal” menjadi “Selamat Hari
Raya” dilakukan oleh pihak kaum sekuler atau ateis. Di beberapa negara
sekuler, serangan terhadap keyakinan sebuah agama memang lebih keras
disuarakan oleh kaum sekuler atau ateis, ketimbang dilakukan oleh umat
agama lain.
Saya teringat, pada tahun 2010 pernah
ada kampanye pembatasan lonceng gereja di negara Eropa, yang bahkan
merupakan jantung agama Katolik, yaitu di Italia. Kompas online dalam artikelnya menuliskan,
Sebuah kelompok
ateis Italia yang berkampanye untuk hidup tenang, Rabu (4/8/2010),
menyerukan pembatasan ketat bunyi lonceng gereja di kota Pisa, Tuscana,
setelah ada keluhan tentang kebisingan dari penduduk setempat.
Persatuan
Rasionalis Ateis dan Agnostik (URAA), yang juga berkampanye untuk
pelarangan salib di sekolah-sekolah negeri Italia, telah mengirimkan
proposal kepada dewan lokal dana akan dibahas pada bulan September, kata
Giovanni Mainetto, pejabat URAA di Pisa.
Di website-nya,
URAA menawarkan nasihat tentang bagaimana memerangi bunyi lonceng gereja
dan mengacu pada kasus-kasus masa lalu di mana imam telah didenda
karena “secara serius mengorbankan” kedamaian dan istirahat penduduk
yang tinggal dekat menara lonceng.
Apa yang saya ambil hikmahnya dari
berita di atas? Ini adalah upaya-upaya mereduksi nilai-nilai agama yang
dilakukan oleh kaum sekuler dan ateis. Dan yang membuat sedih, tampaknya
mereka berhasil dalam upayanya itu. Contohnya adalah dua kasus di atas,
yaitu soal lonceng gereja di Italia dan soal ucapan selamat hari Natal
di Amerika. Di Turki, pada masa pemerintahan sekuler juga pernah ada
kebijakan yang melarang azan menggunakan bahasa Arab. Waktu itu dibuat
kebijakan mengganti suara azan dengan bahasa Turki. Untuk kasus di
Turki, ini adalah keberhasilan kampanye sekulerisme dengan menggunakan
kekuatan institusi negara.
Lalu bagaimana di Indonesia.
Alhamdulillah, ucapan Selamat hari Natal dan Selamat Idul Fitri tetap
bertahan dan tidak (belum?) ada yang berupaya mengusiknya. Tapi pernah
ada yang mempersoalkan alunan suara azan, yang dianggap mengganggu oleh
sebagaian orang. Di Kompasiana pernah diramaikan dengan pro dan kontra
yang mempersoalkan suara azan. Menurut saya, kasus ini muaranya identik
dengan kasus suara lonceng gereja di Italia yang saya sebut di atas.
Saya juga kaget, bahwa kelompok ateis
dan agnostik di Italia tersebut juga mengkampanyekan pelarangan salib di
sekolah-sekolah negeri. Apakah itu untuk pelarangan simbol salib yang
dipajang di dinding sekolah negeri? Atau termasuk penggunaan kalung
salib yang dikenakan oleh para siswa? Ini perlu diperjelas. Untuk
masalah salib dilarang dipajang di dinding sekolah negeri, mungkin saya
setuju. Ini sama halnya jika memasang kaligrafi Allah dan Muhammad
misalnya di dinding sekolah negeri. Tapi jika dilarang mengenakan kalung
salib bagi siswa, saya tidak setuju. Ini sama halnya jika dilarang
mengenakan jilbab bagi siswa di sekolah negeri. Jika itu merupakan
keyakinan beragama secara individu, tidak boleh ada yang melarang, di
mana pun.
Jadi marilah kita saling menghormati
keyakinan umat agama lain. Apakah kita akan mencontoh apa yang terjadi
di Amerika dan Italia di atas? Saya rasa tidak. Kita semua sebagai umat
beragama, akan berjuang untuk tetap mempertahankan keyakinan dan
identitas keberagamaan kita. Selain itu juga ada nilai-nilai moral,
terutama nilai-nilai keluarga yang bersifat universal, yang diyakini
oleh setiap umat beragama, yang harus kita pertahankan dari pengaruh
nilai-nilai liberal yang merusak tatanan nilai keluarga yang kita anut.
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com