http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2013/01/23/berita-banjir-di-jakarta-untuk-siapa-522092.html
Berita banjir yang melanda Jakarta dan kawasan
sekitar masih saja santer, gemanya hingga ke daerah-daerah. Kalau
dikuantifikasi total pemberitaannya mungkin mencapai ratusan item.
Maraknya pemberitaan masalah banjir juga dipicu kehadiran media,
terutama media massa konvensional (suratkabar, radio, televisi) serta
media massa online dan media sosial yang secara real-time > tak henti menyebarluaskan peristiwa maupun berbagai dampak yang timbul.
Aktivitas komunikasi yang
disampaikan lewat beragam media tersebut semakin menambah padatnya arus
lalulintas informasi. Tidak keliru bila dikatakan bahwa peluberan
informasi kini sedang melanda ruang publik media, termasuk ruang publik
virtual tentunya. Peluberan informasi nampak semakin tak terbendung,
bahkan jika tak terkendali, bukan tidak mungkin terjadi ”polusi
informasi” terkait banjir di Jakarta.
Persoalan banjir yang melanda
ibukota itu sudah banyak disorot, dibahas (ahlinya) dan telah banyak
pihak berkompeten mengupayakan solusi. Penulis sendiri tidak menguasai
persoalan banjir tersebut lantaran tidak banyak data dan fakta lapangan
sehingga cukup berfokus sepintas mengkaji pemberitaan media. Menyoba
memahami > sejauhmana media berperilaku, serta bagaimana khalayak
menyikapi media supaya informasi yang diserap bisa bermanfaat,
setidaknya bisa membantu menangani masalah terkait banjir di Jakarta
dan kawasan sekitarnya.
Maraknya sorotan media terhadap banjir di Jakarta
tentu bisa dimaklumi. Karena bersangkut-paut ancaman keamanan dan
peristiwanya sedang terjadi (aktual), menyentuh kepentingan para korban
dan manusiawi (human interest), berdampak terhadap stabilitas
sosial dan nasional, melibatkan para tokoh, bahkan mulai dari
sebab-sebab hingga dampak-dampak ikutan lain terkait banjir telah
mengundang banyak perhatian.
Di tengah maraknya sorotan musibah banjir tersebut, banyak pihak menyebut bahwa media massa, terutama medium televisi dinilai lebay
dalam meliput dan memberitakan peristiwa banjir Jakarta. Tidak sedikit
kalangan mencibir bahwa kehadiran stasiun televisi dengan peliputan dan
sorotan sorotannya kurang memberikan kontribusi dalam menangani musibah
banjir. Malahan banyak menilai bahwa kehadiran TV melalui peliputan dan
tayangannya > kurang proporsional, meresahkan, tidak berempati
terhadap para korban banjir, dan bla-bla-bla sejenisnya.
Persoalan ini menarik dikaji,
mengapa hal demikian mesti terjadi dan bagaimana menyikapi agar khalayak
tidak terpengaruh pemberitaan ”miring” sebagaimana tayangan peristiwa
banjir yang selama ini gencar didifusikan stasiun-stasiun TV
swasta/komersial sebagai pilihan topik layak jual (baca: selling topic).
Berkait hal tersebut, pertanyaan
selanjutnya yang perlu dikemukakan adalah > berita banjir Jakarta,
untuk siapa? Apa yang seharusnya dilakukan untuk meminimalisir supaya
benturan kepentingan dapat diselesaikan?
Perlu diketahui, booming media paska
reformasi disambut gegap gempita oleh semua pihak. Tak terkecuali “era
kebebasan pers” betul-betul dinikmati oleh pejuang dan pengusaha media. Seiring diberlakukannya deregulasi di bidang perizinan, maka perkembangan media boleh dikata luar biasa jumlahnya.
Jumlah media cetak mengalami lompatan pada
tahun 1998. Awal mula era reformasi, semua orang sangat mudah mendirikan
koran baru, tabloid, dan majalah. Media berbasis teknologi informasi
cq. internet ikutan berkembang pesat mengikutinya. Wakil Ketua Dewan
Pers Leo Batubara (21/11/2009, dalam inilah.com) menyebutkan,
di Indonesia ada sekitar 1008 media cetak, 150 lebih media televisi,
dan 2000 lebih radio. Total tiras media cetak mencapai 19,08 juta
eksemplar. Pemirsa televisi yang diperebutkan sekitar 30 juta orang dan
radio ada 34 juta pendengar.
Khalayak yang dulu hanya familier dengan TVRI, sejak itulah bisa menikmati sajian informasi dari 10 stasiun televisi swasta nasional. Belum lagi hadirnya beberapa stasiun TV lokal di berbagai daerah ikut bersiaran. Tentu saja, ini merupakan fenomena yang cukup menggembirakan. Banyak pihak menikmati kebebasan (mendirikan) pers dan selama 10 tahun lebih media swasta/komersial semakin tumbuh beragam sebagai industri.
Namun demikian, pertumbuhan perusahaan media
dipertanyakan kehadirannya dalam memberikan manfaat optimal bagi para
pemirsanya yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Terlebih
mengingat kedudukannya sebagai perusahaan, yang notabene bertujuan komersial > maka barang tentu
kinerja media di era kekinian, baik cetak, elektronik dan maya, tidak
dapat dilepaskan bertujuan bisnis. Media akan selalu menampilkan ruang
bisnis yang profit oriented dalam setiap informasi atau
pemberitaan yang disampaikan. Dan belakangan ini ditemui kecenderungan
sisi komersial media lebih dominan ketimbang penyampaian informasi yang
sarat makna.
Sepak terjang/perilaku media semacam ini memang bisa dipahami. Dalam perspektif ekonomi politik > seiring pergeseran fungsi media yang telah mengindustri maka media massa modern memiliki kecenderungan menjalankan market-driven journalism.
Artinya, pembentukan berita dan segala bentuk informasi tidak lagi
sekadar masalah politik media, tetapi menyangkut model kapitalisme
industri.
Struktur ekonomi menjadi sangat
penting, terutama ketika media menjadi bagian dari suatu industri bisnis
yang besar. Akibatnya, seperti disebutkan Vincent Mosco (1996), bahwa
produk media selalu dikemas untuk menarik perhatian audiens dalam skala
massal. Layaknya barang dagangan, pengelolaan media sarat nilai-nilai
ekonomis yang berkiblat pada tiras atau oplah, tingginya angka rating, efisiensi, dan efektivitas produksi.
Dalam kaitan pemberitaan banjir
yang melanda ibukota Jakarta dan kawasan sekitar, sebuah fakta bisa
diolah dan dikemas sedemikian menariknya untuk memenuhi selera pasar. Di
tengah gentingnya bencana banjir berlangsung, liputan media terutama
televisi swasta/komersial melalui siaran khusus dalam Breaking News, maupun slot jam-jam siarannya sering menampilkan
sisi melodrama peristiwa bencana banjir. Menampilkan gambar-gambar
kepanikan, lokasi banjir dan luapan sungai yang dahsyat, ekspos terhadap
jumlah/tempat tinggal atau lingkungan korban, disorot sedemikian rupa
untuk menggugah rasa iba dan berkesan mencekam. Terkait hal ini,
ditampilkan pula secara spekulatif betapa lambatnya penanganan.
Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa media sesungguhnya telah berpotensi sebagai “pembawa teror
informasi” karena liputan yang disajikan telah berdampak, misalnya
menimbulkan rasa ketakutan dan trauma bagi warga yang mengalami
musibah. Kerapnya ditayangkan pemberitaan banjir yang melanda Jakarta
dan sekitar, bahkan ditayangkan secara berulang-ulang tanpa melibatkan
narasumber yang relevan ikut mewarnai kemasan informasi hanya demi
memikat publik.
Pada konteks inilah media secara
tekstual dihadapkan serangkaian konsep teoritik tentang relasi sosial,
ekonomi dan jalinan kekuasaan yang berlangsung dalam produksi dan
distribusi bahasa media. Untuk menjelaskan relasi ini, (Mosco, 1996,
dalam bukunya The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal) menyebutnya sebagai komodifikasi (commodification) media massa dalam memproduksi informasi untuk memenuhi kepentingannya.
Konsekuensi dari itu semua, konten
media tidak mungkin lagi dilihat sebagai cermin dari realitas.
Keyakinan ini muncul dalam paradigma konstruktivisme bahwa media tidak
layak lagi disebut sebagai refleksi, melainkan media sekadar
“representasi” apa yang berlangsung dalam masyarakat, sehingga
klaim-klaim obyektif untuk memahami bahasa media menjadi kurang
diterapkan.
Implikasinya, apa yang tersaji di
media seringkali tidak selalu persis dengan apa yang ada dalam realitas
empirik. Dengan perkataan lain, realitas sosial tidak selalu sama dengan
realitas media. Ini telah menggambarkan bahwa sejauh mana media
mengambil posisi di tengah pergulatan kepentingan dan ideologi dalam setting kepemilikan modal (ekonomi) dan setting kekuasaan (politik).
Nah, bagi sebagian besar khalayak yang masih memandang media sebagai refleksi atas peristiwa/kejadian, yaitu mereka yang mengonstruksi
bahwa produk media merupakan sebuah refleksi maka tayangan banjir yang
telah di-komodifikasi dan secara bertubi-tubi dipublikasikan oleh
stasiun TV swasta/komersial ini akan mendapat respons berupa cibiran
bahkan cacian sedemikian rupa, karena tak bersesuaian dengan pandangan
yang mereka anut.
Dari sepintas paparan di atas,
dapat ditarik simpulan bahwa pemberitaan ikhwal banjir di Jakarta dan
sekitarnya oleh stasiun TV swasta > jelaslah bukan untuk siapa-siapa,
kecuali hanya untuk memenuhi kepentingan ekonomi, memenuhi kepentingan pemilik modal sehingga
dikemaslah tayangan-tayangan dengan menampilkan peristiwa yang
mengundang perhatian khalayak. Setiap peristiwa/kejadian telah dikemas
sedemikian rupa termasuk peristiwa banjir di Jakarta yang telah membawa
sejumlah korban, baik harta benda maupun ancaman nyawa manusia dibingkai
sedemikian menariknya untuk ditayangkan secara massif.
Bagi khalayak yang cerdas (baca:
sudah melek media), untuk menghindari atau mencegah agar tidak diperdaya
oleh produk berupa tayangan-tayangan TV swasta/komersial di antaranya
yaitu bisa memilah dan memilih informasi, atau tinggalkan saja saluran
dan pilih saluran dari stasiun TV lain yang lebih bersesuaian. Bisa juga
secara ekstrim > matikan saja TV-nya, gunakan sarana komunikasi lain
yang lebih memberikan manfaat optimal.
Persoalannya memang tidak cukup di
sini. Kehadiran stasiun-stasiun TV swasta yang sudah mengantongi izin
siaran komersial, sesungguhnya telah ”merampas ruang publik” di mana
ranah ini juga merupakan hak yang bisa dimanfaatkan warga/khalayak untuk
mengakses informasi bermakna.
Kalau saja stasiun-stasiun TV
swasta/komersial masih akan mengemas tayangan-tayangan yang telah
di-komodifikasi dengan mengambil topik ringan dan bertujuan menghibur
sekaligus meraup profit, mungkin masih bisa dimaklumi. Hal demikian
masih bisa ditoleransi, karena salah satu fungsi media adalah memberikan
hiburan kepada khalayaknya.
Namun jika sudah menyangkut persoalan urgen atau genting, mendadak (accident)
seperti bencana banjir di Jakarta yang berurusan dengan ancaman serta
keselamatan warga, berdampak terhadap stabilitas sosial dan nasional
> seyogyanya berhati-hati dalam proses peliputan, pengolahan dan
penyampaian pesan, supaya dampak negatif yang ditimbulkannya tidak
mengganggu (merugikan) khalayak, khususnya para warga yang
mengalami/menjadi korban bencana banjir tersebut.
Banyak aspek yang bisa digali untuk dikemukakan terkait banjir di Jakarta dan sekitar, bagaimana
khalayak seharusnya menyikapi bencana, mempersiapkan fisik dan mental
warga yang tempatnya rawan/dilanda banjir, dan mengingat musim hujan
belum berakhir > bagaimana langkah-langkah dalam situasi darurat jika
bencana banjir kelak terjadi lagi. Hal semacam ini masih minim
diwartakan media secara lengkap. Kecenderungan yang nampak justeru
slot-slot jam siaran TV swasta didominasi tayangan yang menjual sensasi
> sehingga media kurang memberitakan persoalan banjir di Jakarta
secara komprehensif dengan menyuguhkan informasi yang melahirkan
pemikiran kritis.
Lantas, apa yang perlu dilakukan untuk menghadapi masalah ini?
Pertama,
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai institusi independen yang
sesungguhnya punya kompetensi untuk menyikapi kasus “benturan
kepentingan” seperti dipaparkan di atas. Namun sayangnya KPI sebagai
regulator penyiaran masih terlihat pasif dalam menangani persoalan
tersebut. KPI hanya bertindak jika sudah ada warga yang melaporkan
(pengaduan), karena kewenangannya dibatasi. Memang terasa sedikit aneh
di sini, yang namanya komisi, tetapi kewenangannya kok dibatasi, ya?
Kedua, perusahaan-perusahaan
media terutama penyelenggara TV swasta/komersial perlu meningkatkan
kualitas sumberdaya manusianya, seperti: memberikan in-house training
kepada wartawan-wartawan/jurnalis atau reporternya > dalam rangka
peningkatan produk berupa sajian informasi, terutama menyangkut akurasi
dan keberimbangan pemberitaan.
Ketiga,
organisasi-organisasi profesi seperti Ikatan JurnalisTelevisi Indonesia
(IJTI), Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI), atau organisasi sejenis yang mewadahi profesi jurnalis perlu
serius meningkatkan kapasitas keprofesionalan para anggotanya. Misalnya,
melakukan program pelatihan jurnalisme. Jika memang diperlukan, bisa
dilakukan roadshow ke berbagai perusahaan media bertujuan
memacu agar produk jurnalistik yang disuguhkan kepada khalayak semakin
meningkat kualitasnya.
JM (23-1-2013).
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com