Berapa mahal harga gas bumi Indonesia? Pertanyaan
tersebut sering diikuti dengan beberapa pertanyaan dan komentar lanjutan
lain seperti “Harga gas bumi domestik di Indonesia itu rendah
dibandingkan dengan harga internasional. Disparitas harga ini yang
membuat pilihan untuk ekspor menjadi lebih menarik”. Atau bahkan kita
mendengar komentar lain yang berlawanan seperti yang terdengar pada
bulan April 2013 saat terjadi kenaikan gas bumi di Jawa Barat, ada yang
berkomentar “harga gas naik terus terlalu tinggi sehingga membebani
produksi”. Harga jual gas bumi di Indonesia untuk industri secara rata –
rata sebesar 9,2 USD/MMBTU. Pemahaman terhadap tingkat harga gas bumi
Indonesia tersebut saja kita masih memiliki perbedaan yang kontras. Saat
kita bertanya berapa mahal gas bumi Indonesia, mungkin kita menanyakan
hal yang salah. Mungkin pertanyaan yang harus dikeluarkan adalah Apakah
harga tersebut wajar dan tetap membuat industri Indonesia kompetitif
secara regional dan internasional?
Bila membahas mengenai kewajaran, maka kita akan
menemukan begitu ambigunya karena kata wajar selalu disandarkan dengan
standard kewajaran yang berbeda-beda. Harga gas bumi domestik dalam
perspektif hulu terlihat begitu rendah katanya, rata-rata harga beli gas
di hulu untuk domestik sekitar 6 – 7 USD/MMBTU dan harga gas di pasar
internasional (LNG) 14 – 15 USD/MMBTU, hal ini yang membuat begitu
beratnya untuk menjual di domestik atau bahkan menjadi salah satu alasan
‘setengah hati’ realisasi DMO (Domestic Market Obligation).
Masalah disparitas harga ini menjadi tema yang begitu sensitif untuk
hulu karena akan bersinggungan dengan suatu isu strategis hulu berupa
‘Keekonomian’. Bisnis hulu terkenal dan dipahami sebagai bisnis dengan
padat modal, teknologi tinggi dan tinggi resiko sehingga semua harus
diperhitungkan dengan tepat dan resiko harus dipadankan dengan imbalan
yang sesuai. Beberapa kontrak jangka panjang penjualan gas bumi ke
domestik pada tahun lalu diputuskan untuk dilakukan penyesuaian harga (price review),
misalkan harga untuk penjualan gas dari ConocoPhillips di Sumatera
Selatan, yang semula 1,85 USD/MMBTU menjadi 5,6 USD/MMBTU, atau lebih
dari 200% harga awal. Sayup-sayup terdengar hal ini diinisiasi oleh
Pemerintah dan dilakukan untuk mengembalikan keekonomian hulu. Maka
pertanyaannya kembali kepada kewajaran tadi.
Kenapa kewajaran menjadi pertanyaan? Hanya sebagai bentuk keingintahuan saja, melihat kewajaran sepertinya kita perlu memiliki benchmark
atau pembanding. Bila kita lihat di Amerika serikat, harga gas bumi di
sana antara 2,5 – 3,5 USD/MMBTU. Bila kita membandingkan dengan Amerika
Serikat, pasti akan timbul pertentangan dan perdebatan dengan mengatakan
bahwa Amerika Serikat berbeda dengan Indonesia, gas bumi sudah
merupakan komoditas umum yang diperdagangkan dengan aktif dipasar
layaknya jagung. Mereka sudah melakukan liberalisasi gas bumi dan sudah
memiliki infrastruktur yang matang dan seluruh alasan lainnya. Semua itu
memang benar, tapi yang akan kita bahas untuk kebutuhan keingintahuan
kita adalah beberapa kenyataan yang ada disana yaitu:
a. Harga gas di pasar hanya berkisar 3,5 – 4 USD/MMBTU
b. Harga jual ditentukan di pasar sesuai dengan mekanisme pasar
c. Di
Amerika diproduksi gas konvensional oleh berbagai perusahaan gas
internasional termasuk ConocoPhillips, Chevron, BP atau lainnya.
d. Di Amerika diproduksi gas unconventional seperti Shale Gas (yang booming saat ini), CBM (Coal Bed Methane
– Gas yang terperangkap dalam lapisan batu bara) oleh beberapa
perusahaan. Begitu besarnya shale gas bahkan merubah kondisi pasar dan
membuat Amerika cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya (konon
katanya).
Berdasarkan kenyataan yang ada tersebut, maka harga
komoditas berupa gas bumi tersebut sangat rendah di tingkat 3,5 – 4
USD/MMBTU. Maka dalam rasionalitas pengambilan keputusan untuk melakukan
produksi gas bumi hanya dapat dilakukan apabila dengan harga komoditas
dipasaran tersebut (rendah) mencukupi keekonomian hulu. Ternyata disana
ConocoPhillips, Chevron dan BP beroperasi dan menerima harga jual rendah
tersebut dan tetap bisa memenuhi kebutuhan keekonomiannya. Bukankah
Chevron, BP dan ConocoPhillips bukan perusahaan yang merugi? Belum lagi
dengan kenyataan bahwa saat ini gas yang diproduksi secara unconventional
seperti shale gas dan CBM yang notabene membutuhkan teknologi yang
lebih tinggi dan lebih kompleks dari metode produksi konvensional
seharusnya akan membutuhkan biaya produksi yang lebih mahal daripada
memproduksi secara konvensional, namun tetap dapat menerima kondisi
harga komoditas gas bumi yang rendah tersebut. Maka keingintahuan kita
akan mengarah pada apakah ConocoPhillips, Chevron, BP dapat beroperasi
lebih efisien dibandingkan di Indonesia? Bila kita lihat dari segi
tenaga kerja misalkan, apakah tenaga kerja di Amerika Serikat lebih
murah dibandingkan tenaga kerja di Indonesia? Apakah tingkat pajak,
harga tanah, harga birokrasi dan lain-lain di Amerika Serikat lebih
murah dari Indonesia? Semua hal tersebut bisa kita identifikasi dan list
satu persatu, namun bila kita tidak bisa menjawab atau malas untuk
mencari tahu maka pertanyaannya adalah “Bagaimana caranya
perusahaan-perusahaan tersebut bisa beroperasi dengan harga beli gas
murah seperti itu dan tetap untung? Jangan – jangan biaya produksi gas
begitu murah bahkan dibawah 1 USD/MMBTU?”. Menarik bukan?
Bila kita berkaca pada pengalaman yang terjadi di
Indonesia, penjualan gas yang besar dari ConocoPhillips dari Sumur di
Grissik Sumatera Selatan, melalui kontrak jangka panjang selama 20 tahun
pada salah satu perusahaan gas di Indonesia hanya sebesar 1,85
USD/MMBTU. Keputusan kontrak dengan tingkat harga tersebut pasti sudah
mengakomodasi biaya produksi dan tingkat keuntungan yang diharapkan,
atau sudah menjustifikasi tingkat keekonomian yang dibutuhkan. Bila
harga 1,85 USD/MMBTU maka biaya produksi gas dipastikan dibawah 1,85
USD/MMBTU atau bila ingin menebak-nebak asal, bisa dibawah 1 USD/MMBTU
(mungkin bukan?). Pertanyaannya mengapa dinaikan lebih dari 200%?
Mengapa? Apakah terjadi perubahan signifikan pada biaya produksi akibat
naiknya komponen-komponen biaya didalamnya atau koreksi terhadap tingkat
keuntungan dan lainnya atau lain lagi? Sekali lagi mungkin.
Bila kita melihat bagaimana harga jual ditentukan, maka dapat dilakukan dengan cara cost reflective atau market value. Harga yang ditentukan secara cost reflective
dilakukan dengan melihat berapa biaya produksi yang dibutuhkan dan
kemudian ditentukan tingkat keuntungan yang wajar bagi badan usaha yang
memproduksi sehingga dapat ditentukan berapa harga jualnya. Sedangkan
untuk market value, maka suatu komoditas ditentukan harga dari
bagaimana pasar menilai komoditas tersebut. Penilaian ini ditentukan
secara umum oleh tingkat permintaan dan ketersediaan komoditas. Saat
permintaan tinggi (dan terlebih dengan ketersediaan komoditas yang
terbatas) maka komoditas tersebut akan dinilai begitu tinggi. Maka bila
kembali melihat kondisi di Amerika Serikat (terlepas dari komponen biaya
atau malasnya kita mengevaluasi) maka harga pasar di Amerika Serikat
yang rendah tadi sudah melewati biaya produksinya. Bila kita melihat
kondisi di Indonesia, maka seluruh perusahaan yang memproduksi gas di
hulu bila menggunakan cara cost reflective, maka harga jual di
hulu mungkin akan rendah (ConnocoPhillips menerima 1,85 USD/MMBTU selama
20 tahun, sepertinya mereka sangat ahli dalam proyeksi sehingga angka
tersebut sudah mencukupi), namun dengan melihat kondisi pasar gas bumi
di Internasional saat ini dan memiliki tingkat harga jual yang tinggi
maka terlihat gap yang besar. Menaikan harga gas karena adanya disparitas harga antara cost reflective dan market value tadi maka yang kita bicarakan bukan kerugian nyata tapi lebih berupa opportunity lost. Opportunity lost itu seperti melihat sesuatu yang begitu menarik sambil menggigit jari. Pertanyaannya adalah Opportunity lost untuk siapa? Untuk Badan Usaha, negara atau siapa? Tidak mudah menjawab ini, namun kita dapat menjawab ini lost untuk badan usaha atau ini jelas untuk negara, maka wajar untuk dinaikan.
Memang untuk menjawab itu kita harus melihat pada
beberapa kenyataan lain. Kenyataan bahwa gas bumi itu memiliki tiga
fungsi utama yaitu gas sebagai currency (komoditas yang
diperjualbelikan), gas sebagai sumber energi dan gas sebagai bahan baku.
Pada saat kita memilih persepsi gas sebagai currency yang akan menjadi sumber pendapatan negara sebesar-besarnya maka adanya peluang (opportunity)
dengan lebih tingginya harga gas dipasar jauh dari tingkat biaya
produksi maka optimalisasi peluang tersebut adalah penting dan krusial.
Namun bila berpikir untuk menggunakan gas sebagai sumber energi dan
bahan baku domestik maka memiliki gas dengan seluruh nilai strategisnya
(energi bersih, komponen kimia yang kaya untuk petrokimia dll) yang
memiliki harga yang begitu kompetitif maka industri domestik akan
memiliki seluruh kemampuan untuk membangun keunggulan daya saing dan
meningkatkan pendapatan untuk memutar roda perekonomian domestik dengan
begitu kencangnya. Ketiga fungsi tersebut penting dan perlu digunakan
dengan tepat sesuai dengan kebutuhan saat tersebut dan tujuan nasional.
Bukan tugas yang mudah memang, terlebih untuk negara yang anggaran penopang
kedua terbesar setelah pajak adalah pendapatan migas. Mengalokasikan
gas seluruh untuk domestik memiliki perdebatan kemungkinan hilangnya
suntikan dana untuk anggaran tersebut di tahun berjalan. Tapi apakah
benar bila semua untuk domestik maka tidak ada manfaat yang diberikan
dalam bentuk lain ?
Saya teringat dahulu saat Pak Soekarno memiliki ide
bentuk kontrak kerja sama berupa bagi hasil untuk kegiatan produksi di
hulu. Beliau melihat bagaimana ada yang memiliki lahan berkontrak kerja
sama dengan petani untuk mengolah suatu lahan dan mendapatkan bayaran
dari hasil tanah tersebut. Skema PSC (Production Sharing Contract)
memang benar dimulai pertama di dunia oleh Indonesia. Maka dalam skema
tersebut terlihat bahwa pemilik lahan karena keterbatasan waktu,
kemampuan meminta bantuan pihak lain untuk mengolah dan dilakukan
pembagian terhadap hasil tersebut. Indonesia mengundang atau mengijinkan
perusahaan asing untuk membantu pelaksanaan produksi tersebut dengan
salah satu motivasi adalah sebagai bentuk capacity building,
sehingga pada saat kita sudah mampu maka kita yang akan mengelola semua.
Langkah untuk tidak memperpanjang kontrak di Cepu untuk Exxon awalnya
tepat, atau lihat bagaimana Venezuela menasionalisasi perusahaan minyak
disana, sepertinya bentuk keberanian dan implementasi pencapaian capacity building
bila dilakukan memang demikian. Nah, kembali pada gas bumi Indonesia
adalah milik rakyat Indonesia dan negara diamanatkan untuk mengelola
sehingga menciptakan kemakmuran rakyat maka sepertinya penentuan berapa
harga yang wajar untuk domestik harus melihat dimensi ini. Gas bumi
Indonesia sesuai dengan UUD 1945 harus digunakan untuk mencapai
kemakmuran rakyat. Dan dengan kondisi Indonesia saat ini dengan industri
yang bertumbuh, kemampuan pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi
meningkat, kesadaran besarnya manfaat industrialisasi, maka gas bumi
sebaiknya tidak lagi dominan difungsikan sebagai currency atau komoditas.
Kita dahulu kaya minyak dan miskin infrastruktur gas sehingga menggunakan gas sebagai currency
mungkin langkah yang tepat saat itu. Tapi untuk saat ini, titik
kesetimbangan untuk mendapatkan manfaat terbesar sudah bergeser, gas
sebagai bahan baku dan sumber energi untuk domestik harus diutamakan.
Dan harga yang ditentukan harus ‘wajar’ dan mampu membuat industri
domestik lebih unggul secara regional dan internasional. Hal ini akan
berdampak pada keunggulan daya saing nasional untuk menjadi bangsa yang
maju dan mampu menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jadi, pertanyaan mengenai kewajaran harga perlu
kita revisi menjadi “Pada harga berapa Indonesia harus membayar sehingga
dapat menjadi lebih unggul secara regional dan internasional?” dan
pertanyaan alokasi domestik atau ekspor sudah lama terjawab karena saat
ini paradigma yang digunakan adalah Gas sebagai modal pembangunan
berkelanjutan bukan sumber pendapatan negara yang sebesar-besarnya.
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/05/15/seberapa-wajar-harga-gas-bumi-indonesia-556329.html
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com