by: http://politik.kompasiana.com/2013/08/29/jokowi-sekularisme-vs-islamisme-dan-pilpres-2014-587827.html
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Anis Matta melontarkan ide untuk membentuk koalisi lintas Parpol Islam pada Pemilihan Presiden tahun 2014. Meski lontaran ide itu tidak bersambut, karena Parpol Islam seperti PPP, PAN dan PKB, tidak merespons positif ajakan tersebut, namun tetap penting untuk kita bahas karena ada sejumlah pertanyaan penting yang menarik untuk didalami dari pernyataan Presiden PKS tersebut. Pertanyaan pertama; gagasan itu dilontarkan untuk membendung laju Jokowi (Mantan Walikota Solo, yang terpilih menjadi Gubernur DKI atas dukungan PDI Perjuangan dan Partai Gerindra). Media-media massa memberi judul yang cukup pejoratif atas gagasan Presiden PKS tersebut. Pertanyaan kedua; jika saja koalisi Parpol Islam itu terwujud, maka hal itu bisa disebut sebagai “era baru kebangkitan Islamisme” di Indonesia. Saya sebut demikian karena, perpecahan politik dikalangan umat Islam di Indonesia hingga saat ini terus berlangsung, baik secara kelembagaan maupun secara kultural. Islamisme atau politik Islam, pernah jaya di era masih kuatnya Partai Masyumi, dan terus mengalami pelemahan dan penurunan vitalitas di masa Orde Baru, yang pada masa itu hanya di wakili oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara di era reformasi, ide Islamisme pernah digagas oleh Amin Rais melalui pembentukan poros tengah saat pelaksanaan Sidang Umum MPR yang terakhir di era Orde Baru. Namun apa yang dilakukan Amin Rais, tidak sepenuhnya bisa disebut sebagai “Islamisme” dalam pengertian substantif, karena terbukti Amin Rais justru mempelopori terjadi proses amandemen UUD 45 yang demikian sangat liberal, dan dalam banyak hal bertentangan dengan semangat Islamisme itu.
Jokowi dan Sekularisme
Joko Widodo atau Jokowi, berpasangan dengan Basuki Tjahya Purnama terpilih menjadi Gubernur DKI untuk masa bakti 2011-2016. Pasangan ini didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Kedua partai ini secara platform lebih dekat kepada sekularisme daripada ke Islamisme. Untuk mengingatkan saja, Sekuralisme itu paham yang memandang bahwa urusan manusia didunia ini tidak kaitannya dengan urusan akhirat. Tuhan tidak campur tangan dalam urusan manusia di dunia, manusia sendirilah yang menentukan nasib dan takdirnya. Jokowi dan Ahok memiliki visi yang sangat erat kaitannya dengan paham sekularisme ini. Liatlah misalnya ketika Jokowi melarang tradisi Takbiran di Hari Raya Idul Fitri, namun dengan gegap gempita mengkampanyekan konser Metallica (Band Rock dari Amerika). Tengoklah pula ketika Ahok mengatakan minum-minuman keras itu boleh asal tidak memabukkan. Tengok pula ketika warga Lenteng Agung memprotes pengangkatan Lurah Susan karena warga khawatir Lurah itu tidak bisa menghadiri acara-acara keagamaan Islam jika warga mengundangnya, yang dijawab dengan santai oleh Jokowi bahwa dia tidak akan memproses ulang keputusannya itu. Artinya, Jokowi tidak mau tahu urusan keagamaan di Lenteng Agung itu dihadiri Lurah atau tidak. Buat Jokowi itu tidak penting. Dengan kata lain, urusan seperti kegiatan keagamaan itu tidaklah penting, karena itu bukan urusan duniawi, itu hanyalah urusan ukhrawi.
Sejauh ini, Jokowi masih menunggu keputusan Megawati selaku Ketua umum PDI Perjuangan. Jokowi tidak begitu mempertimbangkan perasaan Prabowo karena mungkin Jokowi merasa tidak separtai. Padahal Prabowo disaat yang sama telah mencapreskan dirinya melalui Gerindra, yang itu berarti akan menjadi pesaing bagi Jokowi. Bagi penganut paham sekularisme masalah etika politik tidak begitu penting.
Hampir dipastikan bahwa Rakernas PDI Perjuangan nanti akan membahas masalah Pilpres 2014. Jika PDI Perjuangan memutuskan menetapkan Jokowi sebagai calon Presiden sesungguhnya bagi PDIP itu baik. Karena sosok, pemikiran dan paham politik Jokowi sejalan dengan PDI Perjuangan, yaitu paham sekularisme. Paham inilah akar dari pluralisme yang seringkali disebut-sebut sebagai platform perjuangan PDI Perjuangan. Yang intinya urusan Tuhan tidak “penting” dalam kehidupan manusia dibumi ini, yang terpenting itu adalah “Gotong Royong”, . Humanisme, materialisme, adalah ideologi kelanjutan dari sekularisme.
Islamisme vs Sekularisme
Secara pemikiran, kedua aliran ini tidak pernah bisa dipertemukan. yang satu mengedepankan semangat Tauhid, dalam frase ‘Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang lain berpendapat tidak perlu melibatkan agama dalam urusan politik. Tuhan tidak diperlukan dalam proses politik manusia. Yang diperlukan adalah Gotong Royong, Pluralisme dan Materialisme. Namun dalam konteks politik praktis, terutama di masa Orde Lama, kedua kekuatan ini pernah saling berhadapan. Disaat Soekarno masih memimpim PNI dan Tokoh-tokoh Islam berhimpun di Masyumi, yang berakhir dengan pembubaran Masyumi.
Saya kira, sulit bagi kalangan Islamisme untuk kembali mengulang sejarah kesuksesan Partai Islam seperti Masyumi dahulu, dengan sejumlah alasan yang bisa dikemukakan. Demikian halnya, saya kira pertarungan antara kekuatan Sekularisme Vs Islamisme tidaklah akan terjadi pada pilpres 2014. Yang akan terjadi justru sangat mungkin, Sekularisme dengan sosok Jokowi, vs sekularisme dengan sosok Prabowo atau kekuatan revivalisme orde baru yang pada pilpres 2014 menurunkan Ketua Umum Partai Golkar ARB sebagai Capresnya. Ketiga capres itu saya kira akan memperebutkan kekuatan Islamisme yang berserakan.
Wallahu a’lam bi al-shawab
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Anis Matta melontarkan ide untuk membentuk koalisi lintas Parpol Islam pada Pemilihan Presiden tahun 2014. Meski lontaran ide itu tidak bersambut, karena Parpol Islam seperti PPP, PAN dan PKB, tidak merespons positif ajakan tersebut, namun tetap penting untuk kita bahas karena ada sejumlah pertanyaan penting yang menarik untuk didalami dari pernyataan Presiden PKS tersebut. Pertanyaan pertama; gagasan itu dilontarkan untuk membendung laju Jokowi (Mantan Walikota Solo, yang terpilih menjadi Gubernur DKI atas dukungan PDI Perjuangan dan Partai Gerindra). Media-media massa memberi judul yang cukup pejoratif atas gagasan Presiden PKS tersebut. Pertanyaan kedua; jika saja koalisi Parpol Islam itu terwujud, maka hal itu bisa disebut sebagai “era baru kebangkitan Islamisme” di Indonesia. Saya sebut demikian karena, perpecahan politik dikalangan umat Islam di Indonesia hingga saat ini terus berlangsung, baik secara kelembagaan maupun secara kultural. Islamisme atau politik Islam, pernah jaya di era masih kuatnya Partai Masyumi, dan terus mengalami pelemahan dan penurunan vitalitas di masa Orde Baru, yang pada masa itu hanya di wakili oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara di era reformasi, ide Islamisme pernah digagas oleh Amin Rais melalui pembentukan poros tengah saat pelaksanaan Sidang Umum MPR yang terakhir di era Orde Baru. Namun apa yang dilakukan Amin Rais, tidak sepenuhnya bisa disebut sebagai “Islamisme” dalam pengertian substantif, karena terbukti Amin Rais justru mempelopori terjadi proses amandemen UUD 45 yang demikian sangat liberal, dan dalam banyak hal bertentangan dengan semangat Islamisme itu.
Jokowi dan Sekularisme
Joko Widodo atau Jokowi, berpasangan dengan Basuki Tjahya Purnama terpilih menjadi Gubernur DKI untuk masa bakti 2011-2016. Pasangan ini didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Kedua partai ini secara platform lebih dekat kepada sekularisme daripada ke Islamisme. Untuk mengingatkan saja, Sekuralisme itu paham yang memandang bahwa urusan manusia didunia ini tidak kaitannya dengan urusan akhirat. Tuhan tidak campur tangan dalam urusan manusia di dunia, manusia sendirilah yang menentukan nasib dan takdirnya. Jokowi dan Ahok memiliki visi yang sangat erat kaitannya dengan paham sekularisme ini. Liatlah misalnya ketika Jokowi melarang tradisi Takbiran di Hari Raya Idul Fitri, namun dengan gegap gempita mengkampanyekan konser Metallica (Band Rock dari Amerika). Tengoklah pula ketika Ahok mengatakan minum-minuman keras itu boleh asal tidak memabukkan. Tengok pula ketika warga Lenteng Agung memprotes pengangkatan Lurah Susan karena warga khawatir Lurah itu tidak bisa menghadiri acara-acara keagamaan Islam jika warga mengundangnya, yang dijawab dengan santai oleh Jokowi bahwa dia tidak akan memproses ulang keputusannya itu. Artinya, Jokowi tidak mau tahu urusan keagamaan di Lenteng Agung itu dihadiri Lurah atau tidak. Buat Jokowi itu tidak penting. Dengan kata lain, urusan seperti kegiatan keagamaan itu tidaklah penting, karena itu bukan urusan duniawi, itu hanyalah urusan ukhrawi.
Sejauh ini, Jokowi masih menunggu keputusan Megawati selaku Ketua umum PDI Perjuangan. Jokowi tidak begitu mempertimbangkan perasaan Prabowo karena mungkin Jokowi merasa tidak separtai. Padahal Prabowo disaat yang sama telah mencapreskan dirinya melalui Gerindra, yang itu berarti akan menjadi pesaing bagi Jokowi. Bagi penganut paham sekularisme masalah etika politik tidak begitu penting.
Hampir dipastikan bahwa Rakernas PDI Perjuangan nanti akan membahas masalah Pilpres 2014. Jika PDI Perjuangan memutuskan menetapkan Jokowi sebagai calon Presiden sesungguhnya bagi PDIP itu baik. Karena sosok, pemikiran dan paham politik Jokowi sejalan dengan PDI Perjuangan, yaitu paham sekularisme. Paham inilah akar dari pluralisme yang seringkali disebut-sebut sebagai platform perjuangan PDI Perjuangan. Yang intinya urusan Tuhan tidak “penting” dalam kehidupan manusia dibumi ini, yang terpenting itu adalah “Gotong Royong”, . Humanisme, materialisme, adalah ideologi kelanjutan dari sekularisme.
Islamisme vs Sekularisme
Secara pemikiran, kedua aliran ini tidak pernah bisa dipertemukan. yang satu mengedepankan semangat Tauhid, dalam frase ‘Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang lain berpendapat tidak perlu melibatkan agama dalam urusan politik. Tuhan tidak diperlukan dalam proses politik manusia. Yang diperlukan adalah Gotong Royong, Pluralisme dan Materialisme. Namun dalam konteks politik praktis, terutama di masa Orde Lama, kedua kekuatan ini pernah saling berhadapan. Disaat Soekarno masih memimpim PNI dan Tokoh-tokoh Islam berhimpun di Masyumi, yang berakhir dengan pembubaran Masyumi.
Saya kira, sulit bagi kalangan Islamisme untuk kembali mengulang sejarah kesuksesan Partai Islam seperti Masyumi dahulu, dengan sejumlah alasan yang bisa dikemukakan. Demikian halnya, saya kira pertarungan antara kekuatan Sekularisme Vs Islamisme tidaklah akan terjadi pada pilpres 2014. Yang akan terjadi justru sangat mungkin, Sekularisme dengan sosok Jokowi, vs sekularisme dengan sosok Prabowo atau kekuatan revivalisme orde baru yang pada pilpres 2014 menurunkan Ketua Umum Partai Golkar ARB sebagai Capresnya. Ketiga capres itu saya kira akan memperebutkan kekuatan Islamisme yang berserakan.
Wallahu a’lam bi al-shawab
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com