Ada keyakinan mendalam di sebagian kalangan bahwa kaum perempuan memiliki resistensi berlebih terhadap tindak korupsi dibanding sejawatnya dari kaum laki-laki. Perempuan dianggap memiliki daya yang besar untuk bisa mencegah terjadinya praktik korupsi. Dibanding laki-laki, perempuan memiliki moral lebih baik, kalau tidak disebut tidak cukup berani mengambil risiko dari kecurangan tertentu.
Bahkan beberapa studi mendukung pernyataan ini. Disitat dari Ani Sutjipto (Kompas, 22 Oktober 2012), studi Universitas Maryland (1999), Bank Dunia (1999), Transparency International (TI) Kenya (2001), Universitas Queensland (tanpa tahun), dan Ricol, Lasterie & Associatés (2007) menyatakan bahwa perempuan membayar suap lebih jarang dan korupsi akan turun kalau lebih banyak perempuan terwakili di parlemen.
Citra-citra mengenai perempuan agaknya mempengaruhi keyakinan tersebut. Lantaran karakternya yang diametral dengan laki-laki, perempuan akan otomatis lebih cerewet terhadap tindak korupsi. Figur lemah-lembut, perhatian, dan tidak tegaan melambari sikap anti-korupsi pada diri perempuan. Lebih jauh, perempuan memegang prinsip etika kepedulian daripada etika keadilan yang menjamin dirinya relatif kebal dari tindak korupsi.
Situasinya bergeser drastis belakangan hari. Dalam kurun dua tahunan, kita menyaksikan satu demi satu perempuan terlibat dalam satu atau lebih kasus korupsi. Mereka memiliki beragam peranan mulai dari aktor utama, kaki tangan, hingga pendukung aktivitas korupsi. Dalam hal profesi, perempuan-perempuan ‘korup’ ini juga terentang mulai dari politisi, pekerja swasta, hingga pesohor.
Aktor utama korupsi dilakoni Artalyta Suryani yang menyuap jaksa Tri Urip Gunawan beberapa waktu lalu hingga istilah ‘ratu suap’ melekat pada dirinya. Nama-nama lain berkaitan tindak korupsi berseliweran di media, seperti Wa Ode Nurhayati, Nunun Nurbaeti, Miranda Swaray Goeltom, Mindo Rosalina Manulang, Angelina Sondakh, Bunda Putri.
Feminisasi korupsi lebih terasa lagi pada keterlibatan banyak perempuan dalam kasus korupsi sebagai pendukung (supporting). Patgulipat kasus yang menimpa mantan Ketua KPK Antasari Azhari melibatkan sosok Rani Juliani. Kasus Simulator SIM dengan tokoh utama Irjen (Pol) Djoko Susilo menyibak peranan istri-istrinya (Suratmi, Mahdiana, Dipta Anindita, Eva Handayani) menyamarkan aset-aset hasil penyelewengan jabatannya itu.
Yang terdengar spektakuler adalah jurus-jurus Fathanah mengobral duit korup hingga ke puluhan perempuan, entah apa motifnya. Saat kena gerebek KPK, Fathanah tengah berduaan dengan mahasiswi Maharani Suciyono yang dihadiahi duit Rp10 juta. Belakangan ketahuan, lelaki yang dikaitkan keberadaannya dengan partai islami ini mengguyur harta ilegalnya ke banyak perempuan. Selain model Vitalia Shesya, penyanyi dangdut Tri Kurnia Rahayu, dan pesohor Ayu Azhari, masih ada 40 perempuan lain yang menikmati rezeki haram dari Fathanah.
Pelaku dan Korban
Maraknya keterlibatan perempuan dalam tindak korupsi mengonfirmasi beberapa tendensi. Pertama, semakin terbukanya akses perempuan terhadap kekuasaan. Sisi gelap kekuasaan yang berimpitan dengan praktik korupsi sebagaimana pernyataan terkenal Lord Acton, tidak mempedulikan gender pelakunya. Secara kuantitas berarti memperbesar kans adanya perempuan korup, sedangkan seturut kualitas (semakin tinggi jabatan) membuka ruang lebih lebar “wewenang untuk korup”. Ini menimpa Angelina Sondakh, Miranda S Goeltom, dan Wa Ode Nurhayati.
Kedua, pandangan esensialis mengenai perempuan tidak atau kurang bermakna dalam kaitan aktivitas pencurian uang rakyat. Perempuan bukan hanya berlaku sebagai perempuan. Identitas lain juga turut serta. Dia bukan makhluk homogen yang bisa disematkan ornamen serba positif. Perempuan juga bagian dari sisi kemanusiaan yang dapat berlaku khilaf, teledor sekaligus jahat saat mengemban jabatan.
Ketiga, di sisi lain, sejumlah perempuan berperan ganda antara pelaku sekaligus korban. Para penikmat uang haram Fathanah misalnya, berhubung ketidaktahuan, harus berurusan dengan aparat hukum dan opini miring publik. Menurut George Junus Aditjondro (2012), selain sebagai penggoda, perempuan juga sering dijadikan tameng, supaya yang paling bersalah dapat berlindung di belakangnya. Hal ini sampai terjadi pula di gedung parlemen, di mana sejumlah wakil rakyat menyuruh staf mereka menandatangani kuitansi pembelian barang-barang yang menyalahi prosedur.
Tetap Potensial
Toh, meski terbukti tidak kebal korupsi, perkembangan tertentu membuka sedikit harapan dari keterlibatan perempuan dalam kasus korupsi. Bahwa mereka sudah pasti bersalah seturut vonis pengadilan tak perlu diperdebatkan lagi. Hanya saja, ada peluang hadirnya perempuan-perempuan ini memberikan situasi berbeda. Kesaksian lugas sebagian dari mereka (Mindo Rosalina Manulang, Wa Ode Nurhayati) membuka kemungkinan pengungkapan kasus-kasus korupsi lebih jauh lagi.
Korban-korban Fathanah juga lebih kooperatif dibandingkan PKS yang keterkaitannya dengan Fathanah sulit dibantah. Mereka berbondong-bondong mengembalikan harta pemberian Fathanah ke KPK, meski dibayangi cercaan dan sinisme publik. Begitu pula Dipta Anindita, Putri Solo istri muda Djoko Susilo yang tetap pede memberi keterangan pada KPK.
Pada skala minor, temuan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) sungguh menarik. Menurut sekjennya, Dian Kartikasari, ternyata perempuan di desa memiliki perhatian besar terhadap praktik-praktik korupsi yang terjadi di sekitar mereka. Hal ini bisa dilihat dari sikap kritis perempuan ketika merasakan layanan publik yang mereka terima tidak sesuai atau tidak transparan.
Eka Pangulimara Hutajulu
Pemerhati sosial dan politik
Menyelesaikan pendidikan dari FE UNS, Surakarta. Kini melanjutkan pendidikan di Institut Bisnis Nusantara, Jakarta.
Ada
keyakinan mendalam di sebagian kalangan bahwa kaum perempuan memiliki
resistensi berlebih terhadap tindak korupsi dibanding sejawatnya dari
kaum laki-laki. Perempuan dianggap memiliki daya yang besar untuk bisa
mencegah terjadinya praktik korupsi. Dibanding laki-laki, perempuan
memiliki moral lebih baik, kalau tidak disebut tidak cukup berani
mengambil risiko dari kecurangan tertentu.
Bahkan beberapa studi mendukung pernyataan ini. Disitat dari Ani Sutjipto (Kompas, 22 Oktober 2012), studi Universitas Maryland (1999), Bank Dunia (1999), Transparency International (TI) Kenya (2001), Universitas Queensland (tanpa tahun), dan Ricol, Lasterie & Associatés (2007) menyatakan bahwa perempuan membayar suap lebih jarang dan korupsi akan turun kalau lebih banyak perempuan terwakili di parlemen.
Citra-citra mengenai perempuan agaknya mempengaruhi keyakinan tersebut. Lantaran karakternya yang diametral dengan laki-laki, perempuan akan otomatis lebih cerewet terhadap tindak korupsi. Figur lemah-lembut, perhatian, dan tidak tegaan melambari sikap anti-korupsi pada diri perempuan. Lebih jauh, perempuan memegang prinsip etika kepedulian daripada etika keadilan yang menjamin dirinya relatif kebal dari tindak korupsi.
Situasinya bergeser drastis belakangan hari. Dalam kurun dua tahunan, kita menyaksikan satu demi satu perempuan terlibat dalam satu atau lebih kasus korupsi. Mereka memiliki beragam peranan mulai dari aktor utama, kaki tangan, hingga pendukung aktivitas korupsi. Dalam hal profesi, perempuan-perempuan ‘korup’ ini juga terentang mulai dari politisi, pekerja swasta, hingga pesohor.
Aktor utama korupsi dilakoni Artalyta Suryani yang menyuap jaksa Tri Urip Gunawan beberapa waktu lalu hingga istilah ‘ratu suap’ melekat pada dirinya. Nama-nama lain berkaitan tindak korupsi berseliweran di media, seperti Wa Ode Nurhayati, Nunun Nurbaeti, Miranda Swaray Goeltom, Mindo Rosalina Manulang, Angelina Sondakh, Bunda Putri.
Feminisasi korupsi lebih terasa lagi pada keterlibatan banyak perempuan dalam kasus korupsi sebagai pendukung (supporting). Patgulipat kasus yang menimpa mantan Ketua KPK Antasari Azhari melibatkan sosok Rani Juliani. Kasus Simulator SIM dengan tokoh utama Irjen (Pol) Djoko Susilo menyibak peranan istri-istrinya (Suratmi, Mahdiana, Dipta Anindita, Eva Handayani) menyamarkan aset-aset hasil penyelewengan jabatannya itu.
Yang terdengar spektakuler adalah jurus-jurus Fathanah mengobral duit korup hingga ke puluhan perempuan, entah apa motifnya. Saat kena gerebek KPK, Fathanah tengah berduaan dengan mahasiswi Maharani Suciyono yang dihadiahi duit Rp10 juta. Belakangan ketahuan, lelaki yang dikaitkan keberadaannya dengan partai islami ini mengguyur harta ilegalnya ke banyak perempuan. Selain model Vitalia Shesya, penyanyi dangdut Tri Kurnia Rahayu, dan pesohor Ayu Azhari, masih ada 40 perempuan lain yang menikmati rezeki haram dari Fathanah.
Pelaku dan Korban
Maraknya keterlibatan perempuan dalam tindak korupsi mengonfirmasi beberapa tendensi. Pertama, semakin terbukanya akses perempuan terhadap kekuasaan. Sisi gelap kekuasaan yang berimpitan dengan praktik korupsi sebagaimana pernyataan terkenal Lord Acton, tidak mempedulikan gender pelakunya. Secara kuantitas berarti memperbesar kans adanya perempuan korup, sedangkan seturut kualitas (semakin tinggi jabatan) membuka ruang lebih lebar “wewenang untuk korup”. Ini menimpa Angelina Sondakh, Miranda S Goeltom, dan Wa Ode Nurhayati.
Kedua, pandangan esensialis mengenai perempuan tidak atau kurang bermakna dalam kaitan aktivitas pencurian uang rakyat. Perempuan bukan hanya berlaku sebagai perempuan. Identitas lain juga turut serta. Dia bukan makhluk homogen yang bisa disematkan ornamen serba positif. Perempuan juga bagian dari sisi kemanusiaan yang dapat berlaku khilaf, teledor sekaligus jahat saat mengemban jabatan.
Ketiga, di sisi lain, sejumlah perempuan berperan ganda antara pelaku sekaligus korban. Para penikmat uang haram Fathanah misalnya, berhubung ketidaktahuan, harus berurusan dengan aparat hukum dan opini miring publik. Menurut George Junus Aditjondro (2012), selain sebagai penggoda, perempuan juga sering dijadikan tameng, supaya yang paling bersalah dapat berlindung di belakangnya. Hal ini sampai terjadi pula di gedung parlemen, di mana sejumlah wakil rakyat menyuruh staf mereka menandatangani kuitansi pembelian barang-barang yang menyalahi prosedur.
Tetap Potensial
Toh, meski terbukti tidak kebal korupsi, perkembangan tertentu membuka sedikit harapan dari keterlibatan perempuan dalam kasus korupsi. Bahwa mereka sudah pasti bersalah seturut vonis pengadilan tak perlu diperdebatkan lagi. Hanya saja, ada peluang hadirnya perempuan-perempuan ini memberikan situasi berbeda. Kesaksian lugas sebagian dari mereka (Mindo Rosalina Manulang, Wa Ode Nurhayati) membuka kemungkinan pengungkapan kasus-kasus korupsi lebih jauh lagi.
Korban-korban Fathanah juga lebih kooperatif dibandingkan PKS yang keterkaitannya dengan Fathanah sulit dibantah. Mereka berbondong-bondong mengembalikan harta pemberian Fathanah ke KPK, meski dibayangi cercaan dan sinisme publik. Begitu pula Dipta Anindita, Putri Solo istri muda Djoko Susilo yang tetap pede memberi keterangan pada KPK.
Pada skala minor, temuan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) sungguh menarik. Menurut sekjennya, Dian Kartikasari, ternyata perempuan di desa memiliki perhatian besar terhadap praktik-praktik korupsi yang terjadi di sekitar mereka. Hal ini bisa dilihat dari sikap kritis perempuan ketika merasakan layanan publik yang mereka terima tidak sesuai atau tidak transparan.
Eka Pangulimara Hutajulu
Pemerhati sosial dan politik
Menyelesaikan pendidikan dari FE UNS, Surakarta. Kini melanjutkan pendidikan di Institut Bisnis Nusantara, Jakarta. - See more at: http://suar.okezone.com/read/2013/11/14/58/896737/perempuan-dan-tindak-korupsi#sthash.XsjdUPvn.dpuf
Bahkan beberapa studi mendukung pernyataan ini. Disitat dari Ani Sutjipto (Kompas, 22 Oktober 2012), studi Universitas Maryland (1999), Bank Dunia (1999), Transparency International (TI) Kenya (2001), Universitas Queensland (tanpa tahun), dan Ricol, Lasterie & Associatés (2007) menyatakan bahwa perempuan membayar suap lebih jarang dan korupsi akan turun kalau lebih banyak perempuan terwakili di parlemen.
Citra-citra mengenai perempuan agaknya mempengaruhi keyakinan tersebut. Lantaran karakternya yang diametral dengan laki-laki, perempuan akan otomatis lebih cerewet terhadap tindak korupsi. Figur lemah-lembut, perhatian, dan tidak tegaan melambari sikap anti-korupsi pada diri perempuan. Lebih jauh, perempuan memegang prinsip etika kepedulian daripada etika keadilan yang menjamin dirinya relatif kebal dari tindak korupsi.
Situasinya bergeser drastis belakangan hari. Dalam kurun dua tahunan, kita menyaksikan satu demi satu perempuan terlibat dalam satu atau lebih kasus korupsi. Mereka memiliki beragam peranan mulai dari aktor utama, kaki tangan, hingga pendukung aktivitas korupsi. Dalam hal profesi, perempuan-perempuan ‘korup’ ini juga terentang mulai dari politisi, pekerja swasta, hingga pesohor.
Aktor utama korupsi dilakoni Artalyta Suryani yang menyuap jaksa Tri Urip Gunawan beberapa waktu lalu hingga istilah ‘ratu suap’ melekat pada dirinya. Nama-nama lain berkaitan tindak korupsi berseliweran di media, seperti Wa Ode Nurhayati, Nunun Nurbaeti, Miranda Swaray Goeltom, Mindo Rosalina Manulang, Angelina Sondakh, Bunda Putri.
Feminisasi korupsi lebih terasa lagi pada keterlibatan banyak perempuan dalam kasus korupsi sebagai pendukung (supporting). Patgulipat kasus yang menimpa mantan Ketua KPK Antasari Azhari melibatkan sosok Rani Juliani. Kasus Simulator SIM dengan tokoh utama Irjen (Pol) Djoko Susilo menyibak peranan istri-istrinya (Suratmi, Mahdiana, Dipta Anindita, Eva Handayani) menyamarkan aset-aset hasil penyelewengan jabatannya itu.
Yang terdengar spektakuler adalah jurus-jurus Fathanah mengobral duit korup hingga ke puluhan perempuan, entah apa motifnya. Saat kena gerebek KPK, Fathanah tengah berduaan dengan mahasiswi Maharani Suciyono yang dihadiahi duit Rp10 juta. Belakangan ketahuan, lelaki yang dikaitkan keberadaannya dengan partai islami ini mengguyur harta ilegalnya ke banyak perempuan. Selain model Vitalia Shesya, penyanyi dangdut Tri Kurnia Rahayu, dan pesohor Ayu Azhari, masih ada 40 perempuan lain yang menikmati rezeki haram dari Fathanah.
Pelaku dan Korban
Maraknya keterlibatan perempuan dalam tindak korupsi mengonfirmasi beberapa tendensi. Pertama, semakin terbukanya akses perempuan terhadap kekuasaan. Sisi gelap kekuasaan yang berimpitan dengan praktik korupsi sebagaimana pernyataan terkenal Lord Acton, tidak mempedulikan gender pelakunya. Secara kuantitas berarti memperbesar kans adanya perempuan korup, sedangkan seturut kualitas (semakin tinggi jabatan) membuka ruang lebih lebar “wewenang untuk korup”. Ini menimpa Angelina Sondakh, Miranda S Goeltom, dan Wa Ode Nurhayati.
Kedua, pandangan esensialis mengenai perempuan tidak atau kurang bermakna dalam kaitan aktivitas pencurian uang rakyat. Perempuan bukan hanya berlaku sebagai perempuan. Identitas lain juga turut serta. Dia bukan makhluk homogen yang bisa disematkan ornamen serba positif. Perempuan juga bagian dari sisi kemanusiaan yang dapat berlaku khilaf, teledor sekaligus jahat saat mengemban jabatan.
Ketiga, di sisi lain, sejumlah perempuan berperan ganda antara pelaku sekaligus korban. Para penikmat uang haram Fathanah misalnya, berhubung ketidaktahuan, harus berurusan dengan aparat hukum dan opini miring publik. Menurut George Junus Aditjondro (2012), selain sebagai penggoda, perempuan juga sering dijadikan tameng, supaya yang paling bersalah dapat berlindung di belakangnya. Hal ini sampai terjadi pula di gedung parlemen, di mana sejumlah wakil rakyat menyuruh staf mereka menandatangani kuitansi pembelian barang-barang yang menyalahi prosedur.
Tetap Potensial
Toh, meski terbukti tidak kebal korupsi, perkembangan tertentu membuka sedikit harapan dari keterlibatan perempuan dalam kasus korupsi. Bahwa mereka sudah pasti bersalah seturut vonis pengadilan tak perlu diperdebatkan lagi. Hanya saja, ada peluang hadirnya perempuan-perempuan ini memberikan situasi berbeda. Kesaksian lugas sebagian dari mereka (Mindo Rosalina Manulang, Wa Ode Nurhayati) membuka kemungkinan pengungkapan kasus-kasus korupsi lebih jauh lagi.
Korban-korban Fathanah juga lebih kooperatif dibandingkan PKS yang keterkaitannya dengan Fathanah sulit dibantah. Mereka berbondong-bondong mengembalikan harta pemberian Fathanah ke KPK, meski dibayangi cercaan dan sinisme publik. Begitu pula Dipta Anindita, Putri Solo istri muda Djoko Susilo yang tetap pede memberi keterangan pada KPK.
Pada skala minor, temuan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) sungguh menarik. Menurut sekjennya, Dian Kartikasari, ternyata perempuan di desa memiliki perhatian besar terhadap praktik-praktik korupsi yang terjadi di sekitar mereka. Hal ini bisa dilihat dari sikap kritis perempuan ketika merasakan layanan publik yang mereka terima tidak sesuai atau tidak transparan.
Eka Pangulimara Hutajulu
Pemerhati sosial dan politik
Menyelesaikan pendidikan dari FE UNS, Surakarta. Kini melanjutkan pendidikan di Institut Bisnis Nusantara, Jakarta. - See more at: http://suar.okezone.com/read/2013/11/14/58/896737/perempuan-dan-tindak-korupsi#sthash.XsjdUPvn.dpuf
Ada
keyakinan mendalam di sebagian kalangan bahwa kaum perempuan memiliki
resistensi berlebih terhadap tindak korupsi dibanding sejawatnya dari
kaum laki-laki. Perempuan dianggap memiliki daya yang besar untuk bisa
mencegah terjadinya praktik korupsi. Dibanding laki-laki, perempuan
memiliki moral lebih baik, kalau tidak disebut tidak cukup berani
mengambil risiko dari kecurangan tertentu.
Bahkan beberapa studi mendukung pernyataan ini. Disitat dari Ani Sutjipto (Kompas, 22 Oktober 2012), studi Universitas Maryland (1999), Bank Dunia (1999), Transparency International (TI) Kenya (2001), Universitas Queensland (tanpa tahun), dan Ricol, Lasterie & Associatés (2007) menyatakan bahwa perempuan membayar suap lebih jarang dan korupsi akan turun kalau lebih banyak perempuan terwakili di parlemen.
Citra-citra mengenai perempuan agaknya mempengaruhi keyakinan tersebut. Lantaran karakternya yang diametral dengan laki-laki, perempuan akan otomatis lebih cerewet terhadap tindak korupsi. Figur lemah-lembut, perhatian, dan tidak tegaan melambari sikap anti-korupsi pada diri perempuan. Lebih jauh, perempuan memegang prinsip etika kepedulian daripada etika keadilan yang menjamin dirinya relatif kebal dari tindak korupsi.
Situasinya bergeser drastis belakangan hari. Dalam kurun dua tahunan, kita menyaksikan satu demi satu perempuan terlibat dalam satu atau lebih kasus korupsi. Mereka memiliki beragam peranan mulai dari aktor utama, kaki tangan, hingga pendukung aktivitas korupsi. Dalam hal profesi, perempuan-perempuan ‘korup’ ini juga terentang mulai dari politisi, pekerja swasta, hingga pesohor.
Aktor utama korupsi dilakoni Artalyta Suryani yang menyuap jaksa Tri Urip Gunawan beberapa waktu lalu hingga istilah ‘ratu suap’ melekat pada dirinya. Nama-nama lain berkaitan tindak korupsi berseliweran di media, seperti Wa Ode Nurhayati, Nunun Nurbaeti, Miranda Swaray Goeltom, Mindo Rosalina Manulang, Angelina Sondakh, Bunda Putri.
Feminisasi korupsi lebih terasa lagi pada keterlibatan banyak perempuan dalam kasus korupsi sebagai pendukung (supporting). Patgulipat kasus yang menimpa mantan Ketua KPK Antasari Azhari melibatkan sosok Rani Juliani. Kasus Simulator SIM dengan tokoh utama Irjen (Pol) Djoko Susilo menyibak peranan istri-istrinya (Suratmi, Mahdiana, Dipta Anindita, Eva Handayani) menyamarkan aset-aset hasil penyelewengan jabatannya itu.
Yang terdengar spektakuler adalah jurus-jurus Fathanah mengobral duit korup hingga ke puluhan perempuan, entah apa motifnya. Saat kena gerebek KPK, Fathanah tengah berduaan dengan mahasiswi Maharani Suciyono yang dihadiahi duit Rp10 juta. Belakangan ketahuan, lelaki yang dikaitkan keberadaannya dengan partai islami ini mengguyur harta ilegalnya ke banyak perempuan. Selain model Vitalia Shesya, penyanyi dangdut Tri Kurnia Rahayu, dan pesohor Ayu Azhari, masih ada 40 perempuan lain yang menikmati rezeki haram dari Fathanah.
Pelaku dan Korban
Maraknya keterlibatan perempuan dalam tindak korupsi mengonfirmasi beberapa tendensi. Pertama, semakin terbukanya akses perempuan terhadap kekuasaan. Sisi gelap kekuasaan yang berimpitan dengan praktik korupsi sebagaimana pernyataan terkenal Lord Acton, tidak mempedulikan gender pelakunya. Secara kuantitas berarti memperbesar kans adanya perempuan korup, sedangkan seturut kualitas (semakin tinggi jabatan) membuka ruang lebih lebar “wewenang untuk korup”. Ini menimpa Angelina Sondakh, Miranda S Goeltom, dan Wa Ode Nurhayati.
Kedua, pandangan esensialis mengenai perempuan tidak atau kurang bermakna dalam kaitan aktivitas pencurian uang rakyat. Perempuan bukan hanya berlaku sebagai perempuan. Identitas lain juga turut serta. Dia bukan makhluk homogen yang bisa disematkan ornamen serba positif. Perempuan juga bagian dari sisi kemanusiaan yang dapat berlaku khilaf, teledor sekaligus jahat saat mengemban jabatan.
Ketiga, di sisi lain, sejumlah perempuan berperan ganda antara pelaku sekaligus korban. Para penikmat uang haram Fathanah misalnya, berhubung ketidaktahuan, harus berurusan dengan aparat hukum dan opini miring publik. Menurut George Junus Aditjondro (2012), selain sebagai penggoda, perempuan juga sering dijadikan tameng, supaya yang paling bersalah dapat berlindung di belakangnya. Hal ini sampai terjadi pula di gedung parlemen, di mana sejumlah wakil rakyat menyuruh staf mereka menandatangani kuitansi pembelian barang-barang yang menyalahi prosedur.
Tetap Potensial
Toh, meski terbukti tidak kebal korupsi, perkembangan tertentu membuka sedikit harapan dari keterlibatan perempuan dalam kasus korupsi. Bahwa mereka sudah pasti bersalah seturut vonis pengadilan tak perlu diperdebatkan lagi. Hanya saja, ada peluang hadirnya perempuan-perempuan ini memberikan situasi berbeda. Kesaksian lugas sebagian dari mereka (Mindo Rosalina Manulang, Wa Ode Nurhayati) membuka kemungkinan pengungkapan kasus-kasus korupsi lebih jauh lagi.
Korban-korban Fathanah juga lebih kooperatif dibandingkan PKS yang keterkaitannya dengan Fathanah sulit dibantah. Mereka berbondong-bondong mengembalikan harta pemberian Fathanah ke KPK, meski dibayangi cercaan dan sinisme publik. Begitu pula Dipta Anindita, Putri Solo istri muda Djoko Susilo yang tetap pede memberi keterangan pada KPK.
Pada skala minor, temuan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) sungguh menarik. Menurut sekjennya, Dian Kartikasari, ternyata perempuan di desa memiliki perhatian besar terhadap praktik-praktik korupsi yang terjadi di sekitar mereka. Hal ini bisa dilihat dari sikap kritis perempuan ketika merasakan layanan publik yang mereka terima tidak sesuai atau tidak transparan.
Eka Pangulimara Hutajulu
Pemerhati sosial dan politik
Menyelesaikan pendidikan dari FE UNS, Surakarta. Kini melanjutkan pendidikan di Institut Bisnis Nusantara, Jakarta. - See more at: http://suar.okezone.com/read/2013/11/14/58/896737/perempuan-dan-tindak-korupsi#sthash.XsjdUPvn.dpuf
Bahkan beberapa studi mendukung pernyataan ini. Disitat dari Ani Sutjipto (Kompas, 22 Oktober 2012), studi Universitas Maryland (1999), Bank Dunia (1999), Transparency International (TI) Kenya (2001), Universitas Queensland (tanpa tahun), dan Ricol, Lasterie & Associatés (2007) menyatakan bahwa perempuan membayar suap lebih jarang dan korupsi akan turun kalau lebih banyak perempuan terwakili di parlemen.
Citra-citra mengenai perempuan agaknya mempengaruhi keyakinan tersebut. Lantaran karakternya yang diametral dengan laki-laki, perempuan akan otomatis lebih cerewet terhadap tindak korupsi. Figur lemah-lembut, perhatian, dan tidak tegaan melambari sikap anti-korupsi pada diri perempuan. Lebih jauh, perempuan memegang prinsip etika kepedulian daripada etika keadilan yang menjamin dirinya relatif kebal dari tindak korupsi.
Situasinya bergeser drastis belakangan hari. Dalam kurun dua tahunan, kita menyaksikan satu demi satu perempuan terlibat dalam satu atau lebih kasus korupsi. Mereka memiliki beragam peranan mulai dari aktor utama, kaki tangan, hingga pendukung aktivitas korupsi. Dalam hal profesi, perempuan-perempuan ‘korup’ ini juga terentang mulai dari politisi, pekerja swasta, hingga pesohor.
Aktor utama korupsi dilakoni Artalyta Suryani yang menyuap jaksa Tri Urip Gunawan beberapa waktu lalu hingga istilah ‘ratu suap’ melekat pada dirinya. Nama-nama lain berkaitan tindak korupsi berseliweran di media, seperti Wa Ode Nurhayati, Nunun Nurbaeti, Miranda Swaray Goeltom, Mindo Rosalina Manulang, Angelina Sondakh, Bunda Putri.
Feminisasi korupsi lebih terasa lagi pada keterlibatan banyak perempuan dalam kasus korupsi sebagai pendukung (supporting). Patgulipat kasus yang menimpa mantan Ketua KPK Antasari Azhari melibatkan sosok Rani Juliani. Kasus Simulator SIM dengan tokoh utama Irjen (Pol) Djoko Susilo menyibak peranan istri-istrinya (Suratmi, Mahdiana, Dipta Anindita, Eva Handayani) menyamarkan aset-aset hasil penyelewengan jabatannya itu.
Yang terdengar spektakuler adalah jurus-jurus Fathanah mengobral duit korup hingga ke puluhan perempuan, entah apa motifnya. Saat kena gerebek KPK, Fathanah tengah berduaan dengan mahasiswi Maharani Suciyono yang dihadiahi duit Rp10 juta. Belakangan ketahuan, lelaki yang dikaitkan keberadaannya dengan partai islami ini mengguyur harta ilegalnya ke banyak perempuan. Selain model Vitalia Shesya, penyanyi dangdut Tri Kurnia Rahayu, dan pesohor Ayu Azhari, masih ada 40 perempuan lain yang menikmati rezeki haram dari Fathanah.
Pelaku dan Korban
Maraknya keterlibatan perempuan dalam tindak korupsi mengonfirmasi beberapa tendensi. Pertama, semakin terbukanya akses perempuan terhadap kekuasaan. Sisi gelap kekuasaan yang berimpitan dengan praktik korupsi sebagaimana pernyataan terkenal Lord Acton, tidak mempedulikan gender pelakunya. Secara kuantitas berarti memperbesar kans adanya perempuan korup, sedangkan seturut kualitas (semakin tinggi jabatan) membuka ruang lebih lebar “wewenang untuk korup”. Ini menimpa Angelina Sondakh, Miranda S Goeltom, dan Wa Ode Nurhayati.
Kedua, pandangan esensialis mengenai perempuan tidak atau kurang bermakna dalam kaitan aktivitas pencurian uang rakyat. Perempuan bukan hanya berlaku sebagai perempuan. Identitas lain juga turut serta. Dia bukan makhluk homogen yang bisa disematkan ornamen serba positif. Perempuan juga bagian dari sisi kemanusiaan yang dapat berlaku khilaf, teledor sekaligus jahat saat mengemban jabatan.
Ketiga, di sisi lain, sejumlah perempuan berperan ganda antara pelaku sekaligus korban. Para penikmat uang haram Fathanah misalnya, berhubung ketidaktahuan, harus berurusan dengan aparat hukum dan opini miring publik. Menurut George Junus Aditjondro (2012), selain sebagai penggoda, perempuan juga sering dijadikan tameng, supaya yang paling bersalah dapat berlindung di belakangnya. Hal ini sampai terjadi pula di gedung parlemen, di mana sejumlah wakil rakyat menyuruh staf mereka menandatangani kuitansi pembelian barang-barang yang menyalahi prosedur.
Tetap Potensial
Toh, meski terbukti tidak kebal korupsi, perkembangan tertentu membuka sedikit harapan dari keterlibatan perempuan dalam kasus korupsi. Bahwa mereka sudah pasti bersalah seturut vonis pengadilan tak perlu diperdebatkan lagi. Hanya saja, ada peluang hadirnya perempuan-perempuan ini memberikan situasi berbeda. Kesaksian lugas sebagian dari mereka (Mindo Rosalina Manulang, Wa Ode Nurhayati) membuka kemungkinan pengungkapan kasus-kasus korupsi lebih jauh lagi.
Korban-korban Fathanah juga lebih kooperatif dibandingkan PKS yang keterkaitannya dengan Fathanah sulit dibantah. Mereka berbondong-bondong mengembalikan harta pemberian Fathanah ke KPK, meski dibayangi cercaan dan sinisme publik. Begitu pula Dipta Anindita, Putri Solo istri muda Djoko Susilo yang tetap pede memberi keterangan pada KPK.
Pada skala minor, temuan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) sungguh menarik. Menurut sekjennya, Dian Kartikasari, ternyata perempuan di desa memiliki perhatian besar terhadap praktik-praktik korupsi yang terjadi di sekitar mereka. Hal ini bisa dilihat dari sikap kritis perempuan ketika merasakan layanan publik yang mereka terima tidak sesuai atau tidak transparan.
Eka Pangulimara Hutajulu
Pemerhati sosial dan politik
Menyelesaikan pendidikan dari FE UNS, Surakarta. Kini melanjutkan pendidikan di Institut Bisnis Nusantara, Jakarta. - See more at: http://suar.okezone.com/read/2013/11/14/58/896737/perempuan-dan-tindak-korupsi#sthash.XsjdUPvn.dpuf
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com