ARTIKEL PILIHAN

GOOGLE TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

ARTIKEL PILIHAN

Semua Tentang Panglima Burung

Written By Situs Baginda Ery (New) on Kamis, 02 Agustus 2012 | 21.48

11 Tahun Lalu: Menjadi Saksi Tragedi Sampit 18 Februari 2001

13295293351374190706
Dok: Tedy, teman dari temannya teman saya M. Syaiful F. *hehehe (Selamat Datang di Sampit)
Tragedi yang tak telah merenggut lebih dari 200 nyawa manusia telah terjadi di kotaku. Sampit nama kotaku, sebuah kota yang menjadi ibukota dari Kabupaten Kotawaringin Timur, salah satu dari 14 kabupaen/kota yang ada di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Siapa pun tak ada yang menginginkan tragedi ini terjadi di kotaku yang dulunya indah dan bersih karena sempat meraih penghargaan adipura.
Saat itu aku baru berumur 8 tahun 2 bulan, tepatnya masih duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar. Tahun 2001 baru saja melewati bulan pertamanya Januari dan semua masih sedia kala. Namun, semua berubah ketika Minggu, 18 Februari 2001 menjadi awal saat dimana kotaku memilki sejarah yang kelam. Bukan maksudku untuk memicu kembali tragedi tersebut, hanya ingin berbagai pengalaman. Berharap pengalaman ini nantinya menjadi pelajaran berharga anak cucu agar tidak akan pernah lagi terjadi tragedi semacam ini, baik di Sampit maupun di wilayah lainnya. Aamiin
***
Minggu, 18 Februari 2001 aku bersama ayahku saat itu sedang melakukan kerja bakti memberihkan pekarangan rumah. Kebetulan rumput dihalaman depan rumah sudah mulai tinggi. Kemudian kerja bakti terhenti ketika ayahku melihat kepulan asap hitam dari arah selatan yang tak terlalu jauh dari rumahku. Ku perkirakan jaraknya antara 1-2 km dan kalau menggunakan motor dalam waktu 5 menit dengan kecepatan 40 km/jam pun pasti sudah sampai.
bremm.. bremm.. “
Ayahku berusaha menghidupkan motor tuanya. Kemudian aku bantu dorong barulah motor itu benar-benar hidup. Ayahku kala itu mengajakku untuk melihat lokasi kebakaran tersebut. Ya, akhirnya kami berdua pergi dengan segera bahkan karena buru-buru ayahku tidak sempat lagi memakai alas kaki. Belum sampai di lokasi kebakaran, kami sudah di minta berbelok oleh orang-orang bersenjata tajam.
BELOK PAK, BELOK PAK, ADA KERUSUHAN” teriak orang itu kearah kami.
Dengan sigap, ayahku langsung berbelok dan kembali tancap gas. Untungnya kami di minta berbelok, coba kalau sudah sampai tempat kebakaran, bisa dibayangkan mungkin tulisan ini tak akan pernah rekan-rekan baca.
Ternyata yang terbakar itu adalah rumah dari orang tua tetanggaku dari suku dayak. Aku sering berlatih bermain badminton di jalan depan rumah beliau. Ya, beliaulah yang mengajariku bermain badminton setiap sore hari jika tidak ada kegiatan lain. Menurut kabar yang saya peroleh, dirumah orang tua pelatihku ada sedikit konflik antara suku dayak dan Madura yang menyebabkan rumahnya menjadi korban amukan yang berujung pada aksi pembakaran. Untuk kronolgisnya bisa kalian baca di berbagai artikel yang pada umumnya kontennta sama dan entah awalmula artikel darimana? Dan saya memberikan link ini.
***
Senin, 19 Februari 2001 kejadian memang belum memanas namun hari itu aku tidak pergi ke sekolah, hanya Ayahku yang pergi ke kantor. Kebetulan Ayahku setiap pagi memang harus ke kantor karena ayahku yang pegang kunci kantor. Baru jam 09.00 WIB ayahku sudah kembali ke rumah, dan bilang kalau di kota sepi. Ada juga cerita dari Bapak Yunius Linga, guru bahasa Indonesiaku saat di SMA yang bercerita pengalaman beliau saat pergi mengajar saat hari Senin.
Ketika itu beliau berangkat dengan menggunakan sepeda motor Alfa. Motor keluaran lama yang tarikannya sangat lemah. Senin, 19 Februari 2001 ternyata dari jl. Jend Sudirman km 5 beliau berangkat ke sekolah hendak mengajar. Setiba di km 1 tiba-tiba saja beliau di stop oleh orang.
Pak mau kemana?” kata orang itu
Mau ngajar” kata guruku dengan logat maduranya padahal bukan orang Madura.
Seketika bicara seperti itu, langsung ada banyak orang keluar dari semak-semak dan orang yang ditemui guruku langsung menyuruh untuk putar baliL. Menurut guruku perasaan saat itu sudah campur aduk karena dengan mata kepala sendiri menyaksikan tombak melesat kesamping tubuhnya, dan senjata-senjata lainnya yang berusaha mengenai tubuh beliau. Wah, pengalaman yang tak pernah terlupakan bersama alfa tutur beliau. Bisa dibayangkan saja ketika tombak yang dilemparkan mengenai tubuh beliau, maka cerita ini pun tak akan pernah tersampaikan. Alhamdulillah
***
Selasa, 20 Februari 2001 suasana di Sampit semakin mencekam. Toko-toko tutup, tak ada lagi bibi/paman sayur berjualan keliling seperti biasanya. Menurut pejualan sayur didekat rumahku pasar sepi dan tidak ada orang jualan. Tapi kalau tidak salah, ayahku membawa banyak bahan makanan saat itu untuk persediaan nantinya kalau sewaktu-waktu konflik ini akan lama. Kebetulan Ayahku ada kenalan dengan sebuah toko langganan, walau tutup bisalah ketok-ketok kedalam rumah untuk belanja. Oh iya, warga Madura yang berada di sekitar rumahku mulai mengungsi ke kantor PEMDA, rumah jabatan Bupati dan sekitar POLRES Kotim. Kami yang menjadi tetangga hanya bisa bersalaman dengan mereka dan sedikit memberikan bantuan dana kepada mereka dalam bentuk uang. Tak banyak, tapi berharap dapat membantu nantinya.
Mulai saat itu, Sampit benar-benar seperti menjadi kota mati, listrik mulai sering padam. Selain itu, orang-orang dewasa mulai melakukan jaga malam lagi. Mungkin diluar komplek perumahan ku seperti kota mati, namun di dalam komplek perumahanku aku merasakan keramaian. Ya, beberapa mala mini aku makan jagung bakar, singking bakar dan tidur pun larut malam, serta yang paling disukai tidak ada belajar malam. hehehehe
***
Rabu, 21 Februari 2001 aku bersama keluarga besarku akhirnya juga pergi mengungi. Walau kami bukan dari suku yang secara langsung bertikai (dayak dan Madura) karena orang tuaku asli orang Malang, Jawa Timur. Kami pergi ke rumah kerabat ayahku yang berada di sekitar kantor PEMDA juga rumahnya. Selama dalam perjalanan menuju tempat mengungsi aku selalu membaca surat Al Fatihah dan yang pasti selalu memegang leher.*takut karena cerita orang-orang tentang pemenggalan kepala
***
Kamis, 22 Februari 2011 akhirnya kami kembali ke rumah lagi. Dan saat itu sudah mulai terjadi kebakaran berbagai fasilitas baik milik orang Dayak atau Madura. Kebakaran rumah orang dayak pada umumnya terjadi pada hari awal dan setelah tanggal 20 Februari 2001 kebakaran mulai banyak pada rumah orang-orang Madura. Mulai saat itu juga aku mendengar bahwa orang dayak pedalaman kelua dan datang ke Sampit. Sedikit bocoran, yang ku tahu orang-orang tersebut kebal dengan senjata tajam. Bahkan sering disebut-sebut Panglima Burung sebagai pemimpin pasukan mereka bisa terbang dan sebagainya. Mulai saat itu, nama Panglima Burung mulai dikenal oleh masyarakat Sampit sebagai seorang yang sakti. Ada juga panglima kumbang dan panglima-panglima lainnya.
Kebakaran , pengrusakan rumah, dan pembunuhan terjadi dimana-mana. Tak heran, hampir setiap hari aku melihat bara api dan kepulan asap yang melambung ke udara. Hari-hari yang ku dengar adalah adanya bunyi sirene ambulans dan police serta suara khas panggilan suku dayak. “Wo…wo…wo…wo…” membunyikan mulut dengan suara Wo kemudian menepuk-nepuk bibir dengan telapak tangan. Mulai saat itu, masyarakat Sampit pun tak heran dengan kebakaran bahkan kebakaran menjadi tontonan layaknya menonton kembang api saat pergantian tahun. Usiaku yang masih kecil membuatku hanya bisa mendengar dari cerita orang dewasa dan melihat tapi tak dapat mendekat dengan para pejuang suku dayak. Kurang lebih dua hari sejak tanggal 18 Februari suku Madura menguasai Sampit dan selanjutnya Sampit dikuasai kembali oleh suku Dayak.
Kantor PEMDA yang menjadi tempat pengungsian sudah tak berbentuk lagi rasanya, dihalaman, didalam kantor dan selagi ada ruang kosong sudah di jejali oleh pengungsi. Listrik pun akhirnya benar-benar padam, Air Pam warnanya mulai kemerahan yang menurut kabar ada sebagai mayat di lemparkan kedalam tangki. Akhirnya masyarakat kembali ke air sumur lagi untuk memenuhi kebutuhannya. Kasihannya lagi pengungsi mengalami kehausan dan kelaparan. Barang-barang yang miliki pun dengan berat hati dijual dan tentunya berapapun harganya mereka bersedia melepasnya. Ayahku pun mendapatkan dua sepeda , satu untukku dan yang satu lagi untuk kakakku. Sebaliknya, pengungsi tercekik karena ada sebagian penjual makanan dan minuman menjatuhkan harga yang cukup tinggi kepada pengungsi. Sudah jatuh tertimpa tangga, itulah mungkin kata yang tepat untuk pengungsi. Bayangkan saja, air minum yang dibungkus dengan plastik dengan volume mungkin tak sampai 1 liter dihargai Rp5000 dan makanan bungkus yang lauknya tempe dan tahu diharga Rp10.000.
***
Selama tragedi itu, ada beberapa keunikan yang masih saya ingat.
1. Menurut cerita, suku dayak dapat mencium bau badan suku Madura, sehingga tidak salah sasaran dalam penyerangan.
2. Warga non Madura yang tidak mengungsi diminta untuk memasangkan tali/kain berwarna merah dan kuning di tiang-tiang rumahnya yang ditambah juga dengan daun sawang, dengan tanda bahwa itu rumah bukan dari suku Madura.
3. Wah, dirumah-rumah lain pun mulai banyak tulisan “ULUH ITAH DAYAK” atau artinya saya orang dayak dan ada juga “ULUH ITAH JAWA” serta tulisan-tulisan sejenisnya di dinding-dinding rumah mereka karena khawatir jadi sasaran pembakaran rumah.
4. Orang tua diminta untuk mengoleskan kapur sirih ke dahi anak-anaknya tujuannya saya kurang tahu.
5. Ketika malam, orang tua juga diminta untuk memberikan gula merah kepada anak-anaknya agar di emut si anak tujuannya saya juga kurang tahu.
6. Anehnya, api yang membakar rumah orang Madura oleh suku dayak tidak mengenail rumah dari suku lain walau jaraknya berdekatan.
7. Menurut cerita, Mandau (senjata suku dayak) bisa terbang dan memangsa orang Madura yang melakukan perlawanan
8. Menurut cerita, jika orang dayak sudah meniupkan sumpitnya, PINTU pun akan tembus
9. Suku dayak banyak yang kebal dengan senjata tajam atau api
Selama tragedi itu sungguh aku tidak pernah menonton tv, dan tidur rata-rata hanya 3 saja, padahal aku masih duduk di kelas 3 SD. Itu karena kau berbaur dengan bapak-bapak yang ikut berjaga malam sambil menikmati jagung dan singkong bakar hasil mencabut dari lading suku Madura.*gak baik Tapi ya, ditempat orang Madura yang sudah dekat dengan kami-kami warga tadi. Seluruh ladangnya sudah ditinggalkan, dan menyisakan hasil tanaman-tanaman yang bisa dijadikan untuk bahan makanan berjaga malam.
Tragedi itu pun berakhir, orang-orang Madura kembali ke Pulau Madura dan suku dayak yang sering disebut orang pedalaman kembali ke daerahnya masing-masing. Tiba saatnya masuk sekolah. Semigga masih di antar orang tua dan untuk selanjtunya saya pun ke sekolah dengan bersepada, kebetulan ada beli sepeda dengan orang Madura kala itu. Hehehe… Ketika masuk sekolah, sepiiiiiiiiiii, teman-teman tersisa 14 siswa saja rasanya. Bahkan SD tetangga hanya tersisa 7 siswa. Wow, hingga akhirnya sekolah kami digabung menjadi satu. Cukup signifikan, peringkat kelas saya langsung melejit ke tiga besar. Hehehe
Untuk mengenang peristiwa tersebut sebagai bentuk perdamaian, Menurut guru sejarah saya di SMAN 1 Sampit dibuatlah Tugu Perdamaian sebagai tanda perdamaian antara kedua suku. Ya, tugu tersebut ditempatkan di bundaran Jl. Jend Sudirman Sampit-Pangkalan bun km 3. Ada pula Makam Korban Tragedi Sampit yang mungkin sudah tak ada lagi keluarga-keluarganya. Sampit menjadi kota mati untuk beberapa saat. Saya bersama orang-orang yang berada di Sampit saat itu hanya bisa menjadi saksi tragedi berdarah tersebut dan berharap tak akan pernah ada lagi tragedi semacam itu.  Sekarang tragedi itu tepat 11 tahun dan senang rasanya bisa melihat SAMPIT aman kembali.



1329529613711217940
Dok :Kelana Nusantara (Tugu Perdamaian Tragedi Sampit)






Di zaman pembangunan bangsa-bangsa ini telah muncul kemungkinannya, keharusan akan suatu “Dunia” yang bebas dari ketakutan, bebas dari kekurangan, bebas dari penindasan-penindasan Nasional. [Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960] - BUNG KARNO
sumber artikel:11 Tahun Lalu: Menjadi Saksi Tragedi Sampit 18 Februari 2001  


Update artikel mengenai hal tentang panglima burung,semoga bisa terjawab dgn adanya update kali ini


Dalam masyarakat Dayak, dipercaya ada suatu makhluk yang disebut-sebut sangat Agung, Sakti, Ksatria, dan Berwibawa. Sosok tersebut konon menghuni gunung di pedalaman Kalimantan, dan sosok tersebut selalu bersinggungan dengan alam gaib. Kemudian sosok yang sangat di dewakan tersebut oleh orang dayak dianggap sebagai Pemimpin spiritual, panglima perang, guru, dan tetua yang diagungkan. Ialah panglima perang Dayak, Panglima Burung, yang disebut Pangkalima oleh orang Dayak pedalaman.
Ada banyak sekali versi cerita mengenai sosok ini, terutama setelah namanya mencuat saat kerusuhan Sambas dan Sampit. Ada yang menyebutkan ia telah hidup selama beratus-ratus tahun dan tinggal di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Ada pula kabar tentang Panglima Burung yang berwujud gaib dan bisa berbentuk laki-laki atau perempuan tergantung situasi. Juga mengenai sosok Panglima Burung yang merupakan tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada, namun rohnya dapat diajak berkomunikasi lewat suatu ritual. Hingga cerita yang menyebutkan ia adalah penjelmaan dari Burung Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Kalimantan.

Ada juga versi yang menceritakan bahwa Panglima Burung adalah gelar yang diberikan kepada seorang Panglima di tanah Meliau, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Kehidupan sehari-hari panglima ini seperti orang biasa (cuma tidak menikah) dan sosok panglimanya akan hadir jika terjadi kekacauan di tanah Dayak. Begitu juga dengan Panglima Naga. Panglima Naga adalah warga Nanga Mahap, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Panglima Naga sudah berpulang, namun beliau memiliki keponakan dan keluarga. Salah satu Keponakan Panglima Naga adalah anggota Dewan Kabupaten Sekadau 2004-2009. Jadi Panglima Burung, Panglima Naga adalah sosok yang benar-benar ada. Begitu versi yang di ceritakan.

Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak orang yang mengaku sebagai Panglima Burung, entah di Tarakan, Sampit, atau pun Pontianak.
Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini dengan tiga cara yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan ada yang ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah satunya adalah benar-benar Panglima Burung yang sejati.

Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Penglima Burung. Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Panglima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.
Lalu bagaimanakah seorang Panglima Burung itu, bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak?. Selain sakti dan kebal, Panglima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.


Dan kenyataan di lapangan membuyarkan semua stereotipe terhadap orang Dayak sebagai orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual. Seperti Penglima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka.
Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang.
Riuh rendah kehidupan para pendatang tak membuat mereka marah dan tak berubah menjadi ketegangan di ruang yang lingkungannya adalah orang Dayak Ngaju disebut Danum Kaharingan.
Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun sosok yang diagungkan, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam. Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, atau rokok dengan mereka.

Panglima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.

Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer dibicarakan dan ditakuti itu?

Ada satu perkara Panglima Burung turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan kesabarannya itu habis.
Panglima burung memang sosok yang sangat penyabar, namun jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan menjadi lain. Ia akan berubah menjadi seorang pemurka. Ini benar-benar menjadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu, dan penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam jika sudah kesabarannya sudah habis.


Panglima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Ritual adat yang di Kalimantan Barat dinamakan Mangkuk Merah akan dilakukan untuk mengumpulkan para prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, Mengayau (memenggal kepala) dan membawa kepala yang di anggap musuhnya tersebut kemana-mana dan baru bisa berhenti apabila kepala adat yang dianggap perwakilan Panglima Burung menyadarkan mereka.


Inilah yang terjadi di kota Sampit Kalimantan Tengah beberapa tahun silam, ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut kota.
Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah agama manapun dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya.
Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi atau pilihan terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, begitu yang mereka yakini dalam sudut pandang mereka.
Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Dan inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut ditakuti itu.

Kemisteriusan memang sangat identik dengan orang Dayak. Stereotipe ganas dan kejam pun masih melekat. Memang tidak semuanya baik, karena ada banyak juga kekurangannya dan kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan, yang apapun bentuk dan alasannya entah itu balas dendam, ekonomi, kesenjangan sosial, dan lain-lain tetap saja tidak dapat dibenarkan. Mata dibalas mata hanya akan berujung pada kebutaan bagi semuanya. Terlepas dari segala macam legenda dan mitos, atau nyata tidaknya tokoh tersebut.
Panglima Burung bagi saya merupakan sosok perlambang sejati orang Dayak.

Amun ikam kada maulah sual awan ulun, ulun gen kada handak jua bahual lawan pian malah ulun maangkat dingsanak awan pian, begitu yang di ucapkan orang kalimantan khususnya orang Banjar untuk menggambarkan sikap dari orang-orang Dayak.

Oke bro sampai disini dulu cerita tentang Panglima Burung terima kasih atas kunjungannya di blog yang sederhana ini, sampai jumpa. Peace from Kalimantan.

sumber : ( koran banjar, rg.com)
Update Lagi nih Sob

Mitos Jagoan di Balik Kerusuhan Tarakan
Bugis Kajang Datang, Panglima Burung Takjub

KISAH Panglima Kumbang dan Panglima Burung terus meluas. Termasuk di Nunukan. Yang tak kalah menariknya adalah cerita warga yang mengaitkan dengan kesaktian Bugis Kajang.

Panglima Kumbang dianggap sebagai perintis untuk bantuan awal dalam sebuah konflik. Jika kehadiran Panglima Kumbang belum menyelesaikan konflik, apakah itu untuk sebuah kemenangan atau untuk kesepakatan damai, maka barulah Panglima Burung didatangkan.

Seperti Panglima Kumbang, Panglima Burung juga berasal dari suku Dayak, Kalimantan Tengah. Panglima Burung akan datang setelah melakukan semedi di tempat tertentu. Kesaktiannya, mampu memasukkan roh kepada semua anggota pasukan di lapangan sehingga mereka mengamuk dalam kondisi di bawah alam sadar.

Di luar kesadaran itu, pedang-pedang di tangan menebas leher orang-orang yang telah ditentukan melalui ritual Panglima Burung. Ada yang bahkan mengatakan bahwa pedang itu melayang sendiri mencari lawan-lawan yang telah ditentukan sebelumnya.

Antara percaya dan tidak, kesaktian Panglima Burung inilah yang ditakuti para warga. Jangan-jangan itu bukan sekadar mitos. Jangan-jangan itu akan terjadi di Tarakan. Jangan-jangan pula akan meluas ke wilayah lainnya, seperti Samarinda dan Nunukan. Soalnya, kedua daerah ini segera menghelat pemilukada yang tentu saja rawan konflik.

Warga pun mendengar cerita bahwa kesaktian Panglima Burung itu pula yang digunakan di Sampit sehingga banyak jatuh korban dengan sadis. Ciri-cirinya adalah, leher korban dicincang karena kepala harus dijadikan tumbal atas ritual yang telah dilakukan.

"Boleh jadi itu hanya mitos. Namun, di sisi lain, disebutkan juga bahwa Panglima Burung sebetulnya sangat bijak. Dia orang baik. Ia dituakan. Kalau masih ada jalan damai, Panglima Burung memilih yang terbaik untuk kebaikan semua.

Dia itu simbol dari orang-orang sabar dan sederhana. Kalau sudah menyangkut harga diri dan penghinaan dan tidak ada jalan lain, barulah turun. Makanya, Panglima Burung tidak sembarang turun. Ia sangat selektif," kata Jaya, 78, tetua adat Tidung yang kesehariannya mencari rumput laut.

Lantas bagaimana menangkal kesaktian Panglima Burung? Seorang tetua adat asal Sulsel di Nunukan mengisahkan dengan bahasa konon. Katanya, kesaktian Panglima Kumbang dan Panglima Burung terjadi pada ratusan tahun silam. Yang ada sekarang tinggal generasinya.

Ia juga mengisahkan bahwa antara suku Tidung dan suku Bugis masih punya hubungan darah. Buktinya, banyak orang Bugis yang kawin dengan suku Tidung. Demikian pula sebaliknya.

Salah seorang anggota Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan, Jamil, ayahnya suku Bugis Makassar dan ibunya orang Tidung. Ayahnya termasuk salah seorang tokoh masyarakat yang sangat disegani di Nunukan. Sekkab Nunukan, Zainuddin HZ juga beristrikan orang Bugis.

Mungkin itu sebabnya sehingga antara suku Bugis dan Tidung selalu menghindari konflik berdarah. Ketika terjadi konflik di Nunukan pada 2008, ada kabar bahwa sekelompok orang dari Kajang turun dari kapal. Beberapa saat kemudian, kelompok yang terlibat konflik menghindar. Beberapa kawasan di Nunukan pun sepi. Konflik berdarah pun terhindar.

Beberapa warga di Nunukan mengaku sering mendengar bahwa kesaktian Panglima Burung pernah mendapat tantangan dari orang Bugis yang datang dari Kajang. Kisah ini lagi-lagi bernuansa mitos. Betapa tidak, ketika Panglima Burung mendemonstrasikan kesaktiannya, datang pula orang sakti dari Bugis Kajang.

Bugis Kajang menebar beras ke bumi. Hanya dengan mengayunkan telunjuknya dengan gerakan melingkar, ribuan biji beras itu pun bergerak sendiri hingga bersatu dalam sebuah onggokan.

Panglima Burung yang menyaksikan adegan itu, awalnya biasa-biasa saja. Namun, ketika dijelaskan, bahwa ini hanya contoh bagaimana orang Bugis Kajang mampu mengumpulkan lawan-lawannya yang tersebar di medan konflik seperti dengan mudahnya mengumpulkan biji-biji beras itu. Setelah lawan-lawannya terkumpul, barulah dengan mudah diperdayai. Mereka tidak bisa melawan.

"Namun demikian, orang Bugis tidak akan memperdayai orang-orang yang sudah tidak berdaya lagi," kata Ketua Perguruan Seni Bela Diri Tapak Suci Putra Muhammadiyah, Pimda 212 Kabupaten Nunukan, Andi Kaharuddin Andi Tokkong, Rabu 6 Oktober.

Perguruan ini berupaya mengakomodasi "orang-orang yang awalnya merasa jago" untuk dibina akhlaknya. Dikatakan, awalnya merasa jago, karena banyak anggotanya yang sebelum masuk perguruan ini, merasa jago berkelahi. Namun, ketika masuk perguruan dan menyalurkan kejagoannya, sedikit-demi sedikit diberi pembinaan akhlak sehingga pada akhirnya akan sadar sendiri dan tidak akan berkelahi.

Perguruan ini merangkul multietnis di Nunukan. Baik Bugis, Dayak, Tidung, maupun suku lainnya, seperti Jawa dan lain-lain. Strategi ini digunakan untuk menghindari konflik etnis di Nunukan.

Pembinanya berasal dari Parepare, yaitu Pendekar Utama Sukri Saleh. Pendekar Madya-nya dari tokoh masyarakat suku Tidung, yaitu Zainuddin HZ yang juga Sekkab Nunukan. Pelatihnya dari pemuda Dayak dan Tidung.

Jumlah kader sabuk biru 23 orang yang terdiri atas multietnis di Nunukan. Persebarannya di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Nunukan, Nunukan Selatan, Sebatik, dan Sebatik Barat. Termasuk yang dalam proses di Kecamatan Sembakung dan Lumbis.

Lantas apakah ini nantinya tidak akan menjadi laskar-laskar dan jagoan-jagoan yang bisa memicu konflik? "O, tidak. Tidak sama sekali. Kita ini daerah perbatasan. Kita butuh cadangan bela negara. Para pemuda harus ada bekal bela diri. Bukan hanya bela diri, melainkan juga akhlakul kharimah.

Ini bahkan wahana pemersatu untuk menghindarkan tumbuhnya primordialisme kesukuan yang berlebihan. Dengan demikian, akan menghindarkan dari hal-hal yang memicu konflik horizontal," kata Kaharuddin yang ditemui usai salat asar berjemaah dengan anggotanya di sekitar pusat latihan, kemarin.

Kaharuddin yang juga sejarawan itu menuturkan, bahwa sebagaimana orang Bugis, suku Tidung juga memiliki sejarah tersendiri. Mereka juga hidup berpindah-pindah. Mereka sesungguhnya tidak menyukai kekerasan.

Hal ini dapat dilihat dari kesenian mereka, yaitu tari Zapin (Jeppeng) yang kemelayu-melayuan. Ada kemiripan dengan kesenian Bugis. Ada bahkan komunitas Bugis yang melakoni tarian ini dalam kebudayaan mereka.

Kalau ditelusuri sejarah, kerajaan Tidung berdiri pada 1551-1916, didahului oleh Kerajaan Tidung Kuno dan digantikan oleh Tarakan. Raja terakhirnya adalah Monarki Amiril Rasyid bergelar Datoe Radja Laoet Datoe Adil.

Kerajaan Tidung atau dikenal pula dengan nama Kerajaan Tarakan (Kalkan/Kalka), yaitu kerajaan yang memerintah suku Tidung di Utara Kalimantan Timur, berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu.

Sebelumnya terdapat dua kerajaan di kawasan ini. Selain Kerajaan Tidung, terdapat pula Kesultanan Bulungan yang berkedudukan di Tanjung Palas. Berdasarkan silsilah yang ada, diterangkan bahwa di pesisir Timur pulau Tarakan, yakni kawasan Binalatung sudah ada Kerajaan Tidung Kuno (The Ancient Kingdom of Tidung), kira-kira tahun 1076-1156.

Mereka kemudian berpindah ke pesisir Barat pulau Tarakan, yakni di kawasan Tanjung Batu, kira-kira pada tahun 1156-1216. Lalu bergeser lagi, tetapi tetap di pesisir Barat, yakni ke kawasan sungai Bidang, kira-kira pada tahun 1216-1394. Setelah itu berpindah lagi yang relatif jauh dari pulau Tarakan, yakni ke kawasan Pimping bagian Barat dan kawasan Tanah Kuning, berkisar tahun 1394-1557.

Sebuah sumber menerangkan bahwa riwayat tentang kerajaan maupun pemimpin (raja) yang pernah memerintah di kalangan suku Tidung terbagi atas beberapa tempat yang sekarang sudah terpisah menjadi beberapa daerah kabupaten.

Daerah-daerah itu antara lain Kabupaten Bulungan (Salimbatu, Kecamatan Tanjung Palas Tengah), (Malinau Kota, Kabupaten Malinau), Sesayap, Kabupaten Tana Tidung, (Sembakung, Kabupaten Nunukan (Kota Tarakan), dan lain-lain hingga ke daerah Sabah (Malaysia) bagian Selatan.

Referensi ini menunjukkan bahwa suku Tidung memang memiliki tradisi berpindah, mirip dengan orang Bugis. Oleh karena itu, untuk menyebut orang Bugis sebagai pendatang dan orang-orang Tidung sebagai penduduk asli, masih memerlukan kajian mendalam. Itu pula sebabnya, ada anekdot bahwa sesama pendatang tidak boleh berkonflik.

Tak heran ketika mitos Panglima Burung dengan orang-orang sakti dari Kajang tadi memilih menghindari konflik berdarah. Buktinya, konflik berdarah di Tarakan begitu cepat redam ketika ada pula kabar bahwa kelompok suku Bugis juga akan bergerak ke Tarakan. (*)

UPDATE TERUS GAN BIAR LENGKAP,HEHE
Oleh : Syamsuddin Rudiannoor, S. Sos (HP 0813 4960 6504)

Legenda, kisah atau apa pun bentuk khabar tentangPanglima Burung tidak terdengar antara kurun 1960 sampai tahun 2000. Dengan demikian maka generasi yang lahir antara tahun tersebut dipastikan asing kepada nama Panglima Burung. Namun tatkala terjadi kerusuhan etnis tahun 2001 di Sampit dan seantero Kalimantan Tengah, tiba-tiba Panglima Burung muncul mendadak. Sekonyong-konyong namanya meroket, sangat menghebohkan dan sangat luar biasa istimewa. Saat itu Panglima Burung sangat dihajatkan kehadirannya sebagai tokok gaib Dayak dalam menghadapi serangan etnis tertentu dari seberang laut. Apa boleh buat, sesuatu yang sangat lama tidak diketahui dan telah dilupakan oleh sejarah, menjadi bangun dan dihadirkan ke alam nyata. Lalu apa, siapa dan bagaimana Panglima Burung berikut latar belakang ketokohannya? Inilah sebagian kecil jawabannya versi oang-orang kampung yang mendiami Barito pantai.
Kiyai Haji M. Juhran Erpan Ali, Ketua Pondok Pesantren Ushuluddin, Martapura, berkata: “Panglima Burung seorang wanita berparas cantik namun berwatak bengis. Selain itu ia juga bergelar hajjah”.*1)
Agaknya, kerusukan etnis yang mulai pecah sejak 18 Pebruari 2001 di Sampit mampu memaksa Panglima Burung hadir “dan membantu warga suku Dayak berperang dan mengusir warga etnis Madura. Sebagai Panglima Besar, tentu saja Panglima Burung tidak turun sendiri tetapi membawa sejumlah pengawal alias Pasukan Khusus. Kata Abdul Hadi Bondo Arsyad,seorang Temanggung Dayak dari Tumbang Senamang, Katingan Hulu, “Panglima Burung muncul dengan membawa 87 orang pasukan khususnya”.
Disamping Panglima Burung sebagai panglima tertinggi Dayak,rusuh Sampit juga menghadirkan beberapa tokoh legenda alam gaib lainnya seperti Panglima Palai, Panglima Api, Panglima Angsa, Panglima Hujan Panas, Panglima Angin dan beberapa panglima sakti lainnya. Yang pasti dari beberapa panglima itu terdapat dua panglima wanita cantik yakni Panglima Burung dan Panglima Api.
Kembali kepada keberadaan Panglima Burung yang legendaris, kata Kiyai Haji M. Juhran Erpan Ali (56), “Keberadaannya memang nyata, berwujud seorang wanita berparas cantik namun berwatak bengis. Panglima Burung sudah ada jauh sebelum Indonesia terbentuk”.*2) Namun begitu, yang mengejut­kan dari penuturan Kiyai Juhran adalah karena sosok Panglima Burung selaku Panglima Perang Tertinggi Suku Dayak ternyata beragama Islam dan menyandang titel seorang hajjah.

Dibawah judul: “Bulan Jihad itu Panglima Burung?”, Anggraeni Antemas mengabarkan: “Pada 52 tahun yang lalu, tepatnya dalam bulan Januari 1949″, dalam kapasitas sebagai wartawan dan kolomnis Harian “WARTA BERITA” Medan, beliau pernah menulis tentang “seorang pejuang wanita suku Dayak di udik Barito yang sakti mandraguna. Konon, dia mengagumkan bukan saja karena keberaniannya menghadapi serdadu Belanda pada awal abad ke-19 tetapi juga wajah dan sosok puteri Dayak tersebut adalah cantik namun beringas”. Kata Anggraeni, “Saya bersama Arsyad Manan, wartawan mingguan “WAKTU” memang telah bersepakat untuk menulis tentang kepatriotan pejuang wanita Dayak tersebut. Saya menulis untuk WARTA BERITA dan Arsyad Manan untuk WAKTU. Sumber utama kami adalah dua orang tokoh Dayak Kuala Kapuas yaitu Willem Anton Samat dan Adonis Samat (ayah dan anak), yang sama-sama senasib dengan kami sebagai orang politik “Republikein” yang tertawan masuk “Interneerings camp” Belanda pada clash II tahun 1948 di Banjarmasin. WA Samat dan Adonis Samat bertutur bahwa pahlawan cantik tersebut keberaniannya luar biasa sekali. Salah satunya adalah saat berperang mendampingi Gusti Zaleha dalam Perang Barito. “Amuk Barito itu terjadi pada tahun 1900-1901, dimana suku-suku Dayak Dusun, Ngaju, Kayan, Kinyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam atau pun Kaharingan bersatu bahu membahu menghadapi serangan Belanda. Nama-nama pahlawan Banjar seperti Antasari, Muhammad Seman dan Gusti Ratu Zaleha selalu bersanding bahu membahu dengan (para pahlawan Dayak seperti) Temanggung Surapati, Antung, Kuing, Temanggung Mangkusari dan lain-lain yang merupakan kesatuan kekuatan dalam perjuangan”.*3)
Dalam masa perjuangannya melawan kaum kafir kolonialis Belanda, Panglima Burung yang sangat cantik memiliki beberapa panggilan akrab oleh masyarakat. “Ada yang menyebutnyaIlumatau Itak, namun ada pula nama popular lain yang disandarkan kepadanya yaitu Bulan Jihad.Kabarnya, nama Bulan Jihad dipakai Panglima Burung sebagai nama Islamnya dan dia memeluk agama Islam dengan perantaraan Gusti Zaleha kawan akrab seperjuangannya. Dan kita ketahui bahwa Gusti Zaleha adalah puteri Gusti Muhammad Seman, putera Pangeran Antasari yang memimpin Perang Banjar hingga memasuki kawasan Barito Utara dan Selatan, dengan semboyannya: “Haram Manyarah, Waja Sampai ka Puting”.

Dan karena ceritera kepahlawanan ini tetap diragukan orang maka Anggraeni Antemas dalam kesempatan berjumpa dengan Bapak Tjilik Riwut (Gubernur pertama Kalteng) di Istana Merdeka Jakarta tahun 1950 menanyakan kebenaran kisah ini. Tjilik Riwut membenarkan keberadaan srikandi Dayak itu tetapi menurut beliau Bulan Jihad (bukan pejuang wanita asli Dayak Kalteng tetapi) berasal dari Suku Dayak Kinyah (Kaltim). Yang pasti, “nama Bulan Jihad sangat terkenal di antero Barito Hulu dan Barito Selatan”, imbuh Tjilik Riwut. “Dia pendekar sakti mandraguna, punya ilmu kebal tahan senjata, bisa menghilang dan melibas lawan hanya dengan selendang saja. Dia selalu berjuang berdampingan dengan Gusti Zaleha si pejuang puteri Banjar”. Dengan demikian maka ceritera yang disampaikan oleh WA Samat dan Adonis Samat (1948) sejalan dengan ceritera Pak Tjilik Riwut (1950).
Tatkala tokoh perlawanan Gusti Muhammad Seman meninggal dunia pada tahun 1905, lalu pada aw
Dengan berat hati keluarlah Gusti Zaleha dari hutan menuju Muara Teweh dan selanjutnya dibawa oleh kaum peal tahun 1906 Gusti Zaleha berkeputusan turun gunung untuk menyerah kepada Belanda, lantas apa keputusan Bulan Jihad dan sisa prajurit lainnya? Ternyata Bulan Jihad tetap haram menyerah dan tetap bertekad meneruskan perjuangan sekaligus meneruskan pengembaraannya. Maka terjadilah perpisahan yang sangat memilukan.njajah ke Banjarmasin bersama ibunya Nyai Salmah. Sejak perpisahan itu, tidak banyak orang yang tahu dimana keberadaan Bulan Jihad dan kelanjutan perjuangannya. Barulah pada tanggal 11 Januari 1954, Bulan Jihad datang melaporkan diri ke Kantor Pemerintahan setempat di Muara Joloi sehingga saat itulah dia baru mengetahui kalau Indonesia sudah merdeka. Hatinya pun semakin luluh begitu mengetahui sahabat karibnya Ratu Zaleha telah meninggal dunia (24 September 1953) di Banjarmasin. Hari itu orang kembali melihat pemunculannya dan hari itu pula dia kembali mengembara ke hutan rimba untuk selama-lamanya. Inilah sekilas kisah seorang muslimah bernama Bulan Jihad yang setia berperang mendampingi perjuangan Gusti Puteri Zaleha (1903-1906), bahkan dia terus berjuang melewati masa juang pahlawan anti kolonialis lainnya di tanah Dayak ini.
Dari bukti-buki sejarah yang ditunjukkan para pendahulu kita dengan gamblang menyatakan fakta bahwa kebulatan tekad persatuan, tekad perjuangan mengusir penjajahan dari negeri ini, tertuang sangat jelas di dalam Perang Banjar dan Perang Barito. Saat itu, Pangeran Antasari, Demang Leman, Gusti Muhammad Seman, Temanggung Surapati, Gusti Zaleha, Bulan Jihad, Panglima Batur, Temanggung Mangkusari, Panglima Wangkang dan lainnya, adalah gambaran bersatunya kesatuan suku-suku Dayak Ngaju, Dayak Dusun, Kayan, Kenyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam maupun Kaharingan. Kata Kiyai Juhran Erpan Ali kemudian, “Masa itu telah ada kesepakatan tekad bahwa suku Dayak dan suku Banjar tidak akan pernah berperang sesamanya sampai kapan pun juga”.*4)
*1) Tabloid Bebas, Nomor 092, 7-13 Maret 2001, halaman 5.
*2) Tabloid Bebas, No. 092, 7-13 Maret 2001, hlm 5.
*3) Tabloid Bebas, No. 093, 14-20 Maret 2001, hlm 4.
*4) Tablid Bebas, No. 093, 14-20 Maret 2001, hlm 4-5.


Ada banyak sekali versi cerita mengenai sosok panglima tertinggi masyarakat Dayak, Panglima Burung, terutama setelah namanya mencuat saat kerusuhan Sambas dan Sampit. Ada yang menyebutkan ia telah hidup selama beratus-ratus tahun dan tinggal di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Ada pula kabar tentang Panglima Burung yang berwujud gaib dan bisa berbentuk laki-laki atau perempuan tergantung situasi. Juga mengenai sosok Panglima Burung yang merupakan tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada, namun dapat rohnya dapat diajak berkomunikasi lewat suatu ritual. Hingga cerita yang menyebutkan ia adalah penjelmaan dari Burung Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Kalimantan.

Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak orang yang mengaku sebagai Panglima Burung, entah di Tarakan, Sampit, atau pun Pontianak. Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini dengan tiga cara yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan ada yang ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah satunya adalah benar-benar Panglima Burung yang sejati.

Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Penglima Burung. Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Panglima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.

Lalu bagaimanakah seorang Panglima Burung itu, bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Panglima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.

Dan kenyataan di lapangan membuyarkan semua stereotipe terhadap orang Dayak sebagai orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual. Seperti Penglima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang.

Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun sosok yang diagungkan, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam. Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, atau rokok dengan mereka.

Panglima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.

Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer dibicarakan dan ditakuti itu? Ada satu perkara Panglima Burung turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan kesabarannya itu habis. Panglima burung memang sosok yang sangat penyabar, namun jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan menjadi lain. Ia akan berubah menjadi seorang pemurka. Ini benar-benar menjadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu, dan penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam jika sudah kesabarannya sudah habis.

Panglima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Ritual–yang di Kalimankan Barat dinamakan Mangkuk Merah–dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, mengayau–memenggal dan membawa kepala musuh. Inilah yang terjadi di kota Sampit beberapa tahun silam, ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut kota.

Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah–agama manapun–dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut ditakuti itu.

Kemisteriusan memang sangat identik dengan orang Dayak. Stereotipe ganas dan kejam pun masih melekat. Memang tidak semuanya baik, karena ada banyak juga kekurangannya dan kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan, yang apapun bentuk dan alasannya, tetap saja tidak dapat dibenarkan. Terlepas dari segala macam legenda dan mitos, atau nyata tidaknya tokoh tersebut, Panglima Burung bagi saya merupakan sosok perlambang sejati orang Dayak.
dari : internet
21.48 | 1 komentar | Read More

Perjalanan Panjang DiTengah Malam (EP.1 - 4)

Perjalanan Malam: Kenangan Bersama Anak Jalanan Semarang #1

Anjal di salah satu sudut Kota Semarang

Oleh : Odi Shalahuddin

Cuaca memang sulit ditebak pada masa sekarang ini. Cuaca baik bisa berubah gelap gulita dengan awan hitam yang tiba-tiba menyergap. Namun awan hitam belum tentu sebagai pertanda hujan. Di tengah benderang, bisa terjadi hujan sangat deras.

Irama memang sudah berubah. Sulit mencari pertanda. Seingatku waktu kecil dulu, ada alur yang hampir pasti guna mengetahui hujan akan datang pada saat siang, misalnya. Langit yang terhiasi awan hitam berarak. Mendung. Rintik-rintik air menyirami. Gerimis. Menderas. Semakin deras. Perlahan berkurang. Akan terdengar irama tetesan sisa hujan yang seringkali melahirkan imajinasi dan menjadi karya fiksi. Terang perlahan. Ah, masa-masa seperti itu kini sekedar menjadi dongengan belaka. Anak-anak kita bila diberitahu pastilah tak percaya. Pengalaman sehari-hari tidak seperti itu.

Semalam, sekitar pukul setengah sepuluh, bersama dua orang kawan, saya meminta mereka untuk mengajak berputar-putar kota Semarang. Sudah lama tak menyaksikan kehidupan malam. Apalagi menikmatinya. Seusai menjenguk bayi seorang kawan di sekitar Menoreh, dengan dua motor kami mengarah ke RS Karyadi, berbelok kiri menuju Taman Tugu Muda. Jalan masih terlihat basah, sisa hujan deras beberapa waktu lalu. Kami menyisir seperempat putaran Taman itu menuju Barat Laut. Jalan Imam Bonjol.

Di Perempatan, terhadang lampu merah. Hujan deras tiba-tiba datang. Agak kalut juga. Tidak membawa mantel, sedang di dalam tas ada laptop. Beruntung merah berganti hijau, segera kami melaju, ke pojok jalan, masuk ke dalam halaman pertokoan. Dua motor melakukan hal yang sama dengan kami.

Di emperan toko, ada empat orang. Satu orang setengah baya tampak terlelap tidur beralaskan kardus-kardus. Di sebelahnya Ada tiga anak, satu laki-laki dan dua perempuan yang tengah duduk beralaskan kardus yang mungkin nanti menjadi alas tidur mereka pula. Ketiganya asyik menikmati kepulan rokok di malam yang memang dingin dengan air tumpah ruah berpesta terjun dari langit.

Seorang kawan, dulu pernah bertahun menjadi anak jalanan, kini menjadi pendamping anak jalanan di sebuah Yayasan, menyapa dan bersalaman dengan ketiganya. Penampilan mereka tampak bersih. Dua perempuan berwajah manis, dan laki-lakinya terlihat ganteng. Aku hanya menganggukan kepala yang terjawab dengan tindakan yang sama.

“Anaknya Kusrini,” bisik kawanku.

“Yang mana?”

“Yang hidungnya di tindik,”

Aku memandang anak perempuan yang dimaksud. Kukira umurnya sekitar 12 tahunan. Berkulit hitam manis. Baju lengan panjang kotak-kotak berwarna biru tua yang dikenakannya, malah membuatnya terlihat gelap. Menghisap rokok, mengeluarkan asapnya, mata memandang seakan hendak mengikuti kemana sirnanya sang asap.

Dulu Aku kenal baik dengan ibunya, pada usia yang hampir sama dengan anak perempuan ini. Sejak kecil sudah diajak Ibunya mengemis keliling kampung. Umur lima tahun mengemis di perempatan jalan. Umur delapan tahun, kabur dari ibunya, dan tinggal di los-los Pasar Johar. Pada tahun 1996 pertama kali aku bertemu ibunya. Mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh seorang kawan di halte bus depan Hotel Dibya Puri, Pasar Johar.

Ibunya buta huruf, tidak pernah bersekolah. Belajar membaca, tidak tuntas ia mengikutinya. Orangnya pendiam, tidak banyak bicara. Tapi bila ada pembicaraan diantara kawan-kawannya, pandangan matanya terlihat mendengarkan dengan seksama. Ia hanya memberi komentar-komentar pendek.

Pada tahun 2000-an, aku jarang bertemu dengannya. Kudengar dari seorang kawan, ia telah melahirkan seorang anak. Anaknya dimana dan siapa bapaknya, entahlah. Lalu kudengar lagi ia sudah memiliki pasangan tetap. Sekali aku bertemu dengannya, di dekat perempatan Jalan Pandanaran, tengah mengemis, dan terlihat sedang hamil tua. Kuduga inilah anak keduanya.

“Anaknya di mana, Ibunya entah di mana, Bapaknya juga gak tahu lagi,” komentar kawanku setengah berbisik padaku.

“Lah, Kusrini sekarang?”

“ya, enggak tahu, pindah-pindah terus. Anaknya juga pindah-pindah. Tidak menetap di emperan toko ini,”

Hujan mereda. Kami belum beranjak. Benarlah keputusan ini. Tak ada lima menit, hujan menderas kembali. Lebih deras dari sebelumnya.

Terpancar dalam benak, berbagai kenangan bersama anak-anak jalanan Semarang. Ketika aku membantu seorang kawan yang menjadi pelopor di kota ini untuk memberikan perhatian terhadap anak jalanan.

Winarso, itulah nama kawanku. Ia telah merintis mendampingi anak jalanan sejak akhir tahun 1993. Kebetulan aku mengikuti proses kegiatannya sejak awal. Setidaknya sebagai salah satu kawan diskusinya bila ke Yogya. Pada tahun 1996, barulah aku bergabung. Membantu dia, tinggal di Semarang bersama anak-anak jalanan dan membuat berbagai kegiatan.

Kami memusatkan kegiatan di sepanjang jalan Pemuda. Dari Pasar Johar hingga Taman Tugu Muda. Kegiatan dilakukan di halte bus depan hotel Dibya Puri, di halte Lawang Sewu, di los pasar Johar, dan di dalam Taman Tugu Muda sendiri.

Ketika mendapatkan dukungan dana, bersama anak-anak kami mencari tempat yang bisa dijadikan sebagai tempat tinggal bersama. Akhinry a rumah bisa didapatkan di Jln. Lemah Gempal. Kami mulai menempati rumah itu tanpa ada barang apapun. Pertama kali tidur di sana, kami mencari kardus-kardus sebagai alas tidur.

Beruntung, kami mendapatkan sumbangan kayu-kayu dan papan yang cukup banyak dari sebuah Yayasan di Semarang. Dari kayu ini, bersama anak-anak kami membuat dipan, membuat loker, rak buku, meja, dan sebagainya. Pribadi-pribadi juga banyak yang menyumbang seperti peralatan masak, bahan-bahan makanan, buku-buku dan sebagainya. Akhirnya rumah bukan hanya kumpulan orang-orang yang bisa tidur di sembarang tempat. Tapi sudah mulai tertata pula. Oh, ya, waktu itu, anak-anak menamakan kelompoknya “SEPATUMU” kependekan dari Serikat Pengamen Tugu Muda. Perkembangannya nama ini diprotes, karena yang bergabung dan berkegiatan bersama bukan hanya anak-anak Taman Tugu Muda saja, melainkan juga anak-anak dari berbagai lokasi di Semarang. Dalam pertemuan yang memang rutin dilakukan setiap seminggu sekali, akhirnya nama dirubah menjadi PAJS atau Paguyuban Anak Jalanan Semarang. Dua ratusan lebih anak jalanan tercatat sebagai anggotanya.

Namun, yang tidur di rumah ini hanya anak-anak yang berasal dari luar kota yang biasa tidur di sembarang tempat. Itupun, masih banyak yang menolak dan memilih tidur di Taman Tugu Muda. Perlu pendekatan terus menerus sehingga satu persatu mulai mau tinggal di rumah.

Namanya tinggal di rumah, apalagi di dalam kampung, dihuni oleh anak jalanan lagi. Tentulah banyak persoalan dengan tetangga. Tidak melakukan apapun sudah menjadi gunjingan, apalagi bila melihat tindakan dan kelakuan yang dianggap tidak berkenan. Wah.

Persoalan-persoalan inilah yang sering kami diskusikan bersama anak-anak. Berbagai aturan lahir dari proses diskusi. Mulai dari cara berjalan tidak menggesekkan alas dengan aspal, dilarang untuk bertelanjang dada ketika menyusuri jalan kampung, menghentikan kegiatan gaduh selepas jam 11 malam, dan sebagainya. Khusus untuk pulang, dibatasi jam 12. Bila malam minggu bisa sampai jam satu. Lewat dari jam tersebut, maka pintu akan dikunci. Siapapun yang membukakan pintu, akan kena hukuman juga. Hukumannya adalah mengambil alih seluruh pekerjaan yang terkena piket, dan membersihkan kamar mandi.

Aku dan Winarso secara sengaja melakukan pelanggaran. Kami pulang lewat jam 12 malam. Pintu dibukakan. Esoknya ada bisik-bisik di belakang. Kami meminta semua berkumpul. Kami akui bahwa kami bersalah dan akan menjalankan hukuman yang telah disepakati. Maka kami memasak air, membuatkan minuman untuk seluruh penghuni, mencuci gelas-gelas, menyapu dan mengepel lantai serta membersihkan kamar mandi.

_______________________

Oleh : Odi Shalahuddin

“Sudah berhenti. Benar-benar berhenti. Jalan lagi?” ajakan dari kawan yang membuyarkan lamunanku. Ya, hujan benar-benar berhenti. Tak ada sisa dari langit. Cepat sekali. Kukenakan helm. Menunggu kawan memutar motor. Naik di boncengannya. Berpamitan pada anak-anak jalanan yang masih berada di emperan toko. Kami bergerak.

Menyusuri ke utara,melintasi Stasiun Poncol. Para PSK yang biasanya banyak berada di pinggiran jalan, sudah berubah modusnya. Mereka tidak berdiri menunggu lelaki menghampiri. Tapi telah bersiap di atas motor. Hujan, mungkin menyebabkan mereka enggan untuk bersapa dengan dingin malam. Terus ke Utara, sebelum perempatan. Warung-warung pinggir jalan menjadi ruang karaoke kelas bawah. Tidak seperti barisan sebelumnya yang menempati ruko-ruko.

Beruntung jalan tidak banjir. Biasanya, tidak hujan saja banjir. Rob. Masalah yang belum terpecahkan. Janji para walikota yang sudah berganti sama sekali belum terbukti.

“Ke kiri?”

“Terus saja,”

Ke kiri adalah pasar Johar. Kami terus melewati jembatan mberok. Bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda, sudah tampak. Inilah yang disebut kota lama. Kami mengambil jalan ke kiri menyusuri pinggirannya. Terus melaju di jalan utama, sampai di stasiun Tawang.

Banyak orang berpasangan duduk di kursi beton di pinggiran folder. Tempat untuk menampung air, sebagai buangan guna mencegah banjir yang parah. Tapi tampaknya juga tidak banyak berpengaruh. Lampu-lampu terang. Tidak temaran seperti dulu. Bahkan terlihat sebuah bangunan tua dijadikan sebagai hotel. Ah, di sini banyak PSK mangkal. Bermain dalam gedung-gedung tua tanpa cahaya. Penjual minuman pun tak terlihat. Apakah lantaran hujan deras tadi?

Kami belok ke kanan, menyusuri jalan di antara bangunan-bangunan tua. Tembus hingga sampai sisi Timur pasar Johar, melewati pom bensin, belok kekiri hingga perempatan, barulah berbelok ke kanan. Jalan satu arah.

Oh, ya sebelum lupa, satu kawan perjalanan, tadi telah berpamitan. Sehingga kami menyusuri jalan hanya berdua saja.

“Aku antar sampai terminal?”

“Gak usah, di Milo sajalah. Kalau memang benar bus tidak boleh masuk kota lagi, nanti masih ada angkutan ke Banyumanik kan?”

“24 jam,”

“Amanlah,”

Suara musik berdegam dari sebuah warung tenda. Gelak tawa laki-laki perempuan membelah dingin memecah kesunyian malam.

“Oh, ini mungkin yang dibilang café jalanan dokter Cipto. Lisa biasa nongkrong di situ,”

Lisa adalah anak jalanan perempuan.

Tiba di sebuah perempatan. Ke kiri ke arah purwodadi, ke kanan pastilah berjumpa dengan Simpang Lima. Aku minta diantar sampai ujung selepas perempatan. Di sinilah biasanya orang-orang yang akan ke Yogya atau ke Solo menunggu bus.

Sepanjang perjalanan tadi, kami sama sekali tidak melihat bus. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00. Mungkin sudah berkurang dengan rentang waktu setengah atau satu jam.

Aku bertanya kepada salah seorang pemilik warung.

“Wah, sudah tidak lewat sini lagi. Langsung masuk tol,” jawab ibu pemilik warung.

Wah, berari harus ke Banyumanik. Aku ucapkan terima kasih kepada kawanku. Ia pamit pulang, aku menunggu angkutan kota.

Hm, sudah lama aku tidak menggunakan perjalanan malam Semarang-Yogya atau sebaliknya. Dulu, aku selalu menggunakan waktu malam untuk perjalanan. Istirahat tidur di bus. Pagi sudah sampai, dan bisa berkegiatan lagi.

Ingatan kembali menerawang kepada masa silam. Masa tahun-tahun awal di Semarang. Seperti kusampaikan sebelumnya, aku tinggal bersama puluhan anak jalanan di satu rumah. Di sebuah kampung, dekat Taman Tugu Muda.

Menjadi kesepakatan, rumah itu diprioritaskan bagi anak-anak yang berasal dari luar kota saja. Bagi anak yang tempat tinggalnya di Semarang, kami semua saling mengingatkan agar bisa kembali tinggal bersama keluarganya. Beruntung kami bisa melibatkan sekitar enam orang dari komunitas jalanan, yang pada akhirnya banyak membantu kegiatan-kegiatan kami setiap harinya. Mereka bisa mengantarkan anak-anak untuk kembali menjenguk orangtua/keluarganya dan menjadi mediator agar keluarga bisa menerima anaknya untuk tinggal di rumah keluarga. Kami membangun keyakinan bahwa jalanan bukanlah tempat yang baik. Sehingga bila ada kesempatan untuk meninggalkannya, sesama anak jalanan bisa saling memotivasi.

Komunitas anak jalanan yang paling menonjol pada saat itu adalah anak-anak yang biasa mangkal di Taman Tugu Muda. Pada awalnya, tempat ini menjadi tempat peristirahatan bagi puluhan anak jalanan dari berbagai wilayah pad sore hingga malam.Tai kKemudian tempat ini berkembang dengan memanfaatkan traffick light untuk mendapatkan uang. Mengamen itu yang paling banyak dilakukan. Mengemis, bisa menjadi bahan ejekan bagi anak-anak jalanan lainnya. Sehingga hanya satu dua anak jalanan yang bertebal muka saja yang melakukan praktik mengemis.

Ya, pada masa-masa itu, kegiatan yang menonjol dilakukan oleh anak jalanan Semarang adalah mengamen, pedagang asongan, dan pemayeng (mengumpulkan bumbu, buah atau sayuran yang rusak atau terjatuh ketika bongkar muat) di pasar-pasar. Mengamen-pun ada tingkatannya. Bagi pemula, biasanya hanya mengamen ketika bus berhenti. Biasanya mereka menggunakan icik-icik. Tingkat lebih lanjut adalah menggunakan kentrung atau gitar. Mereka biasa menyanyikan tiga-lima lagu dalam perjalanan.

Sebagai tempat peristirahatan, awalnya dimulai oleh anak jalanan perempuan sekitar tahun 1995. Mereka beristirahat sebelum pulang ke rumahnya. Biasanya sudah berdatangan anak jalanan pada pukul 16.00 dan kembali kosong sekitar pukul 21.00. Namun di tahun 1996, dimulai oleh seseorang yang iseng mengamen di traffick light, ternyata hasilnya bisa lebih banyak dibandingkan mereka mengamen di bus kota. Aksi iseng ini kemudian menjalar dan terciptalah untuk pertama kalinya perempatan jalan di Semarang menjadi tempat kegiatan anak jalanan mencari uang. Memang lebih lambat dibandingkan kota-kota lain yang perempatan jalannya sudah menjadi tempat mangkal anak jalanan.

Berawal dari sini, mulai ada anak-anak yang menggunakan Taman Tugu Muda sebagai tempat tinggalnya. Mereka menyembunyikan barang-barang seperti pakaian di sela pepohonan yang rimbun pada masa itu, dan juga menggunakan ruang-ruang yang terlindungi oleh pepohonan untuk tidur. Dari jalan, tida akan tampak ada orang.

Oh, angkutan sudah datang. Tertunda lagi kenangan. Aku naik angkot warna merah jurusan Johar – Banyumanik. Waktu hampir jam 12 malam. Aku akan berhenti di Sukun, tempat pintu keluar dari jalan tol.

Yogyakarta, 14 Januari 2011

____________________________________

Taman Tugu Muda

Oleh : Odi Shalahuddin

Enaknya di Semarang, angkutan bisa dikatakan 24 jam terus beroperasi. Walau pada tengah malam tidak padat, tapi tetaplah ada. Angkutan yang aku tumpangi berisi 10 penumpang. Sebagian besar akan turun di Sukun atau Banyumanik. Mereka tentunya akan bepergian ke luar Semarang.

Udara dingin mencoba mencari celah menyapa tubuhku, melewati sela-sela jaket. Angin yang berhembus kencang berulang kali menampar-nampar wajah. Dingin.

Dingin. Ya, dingin sekali. Teringat kembali, ketika menghabiskan malam di Taman Tugu Muda. Selepas pukul 21.00, biasanya Taman ini mulai sepi. Anak-anak jalanan telah bergegas untuk kembali ke rumah masing-masing.

Pada saat pergantian hari, memang terasa sunyi. Sesekali kendaraan bermotor melintas. Di Taman itu, anak-anak yang berasal dari luar kota atau yang kabur dari rumahnya telah menyebar. Mencari tempat-tempat yang nyaman bagi mereka untuk beristirahat. Ada yang sudah berbaring di rerumputan, atau di pagar-pagar pembatas rimbun pepohonan. Ada pula yang masih ngobrol dengan rekannya, sambil memainkan kentrung, atau ada pula yang mencuci pakaian, yang kemudian akan dikeringkan melalui lampu-lampu sokle. Sebelum matahari menyengatkan panasnya, pakaian harus sudah dientaskan agar tidak terlihat orang-orang yang lalu lalang.

1996. Ah, sudah lama sekali. Tapi tampak baru saja berlalu. Menjelang akhir tahun 1996, seputar Taman ini telah menjadi salah satu lokasi mangkal anak jalanan terbesar di Semarang. Tempat untuk pertama kalinya, anak-anak hadir di perempatan jalan, di traffick-traffick light, mengetuk pintu hati para pengendara, dengan nyanyian-nyanyian yang tak tuntas sebagai satu lagu. Tapi bisa menghasilkan uang yang lebih besar dalam waktu singkat dibandingkan mengamen dalam bus-bus kota.

Taman ini, terletak di tempat strategis. Berbentuk lingkaran, berada di tengah jalan utama, bersimpang lima. Ke arah utara adalah jalan pemuda, merupakan jalan yang menjadi pusat pemerintahan kota Semarang. Ke arah Timur adalah jalan Pandanaran yang akan membawa kita menuju Simpang Lima yang menjadi landscape kota Semarang. Ke arah barat, adalah Jln. Soegijopranoto, jalan yang bisa kita lewati bila hendak menuju Bandara, Krapyak atau menuju ke Jakarta. Ke arah Barat Laut ada jalan Imam Bonjol, bila kita terus menyusuri jalan ini akan menuju Stasiun Poncol, stasiun untuk kereta-kereta kelas ekonomi. Sedangkan bagian selatan adalah Jln. Dr. Soetomo. Ke arah inilah bila kita hendak ke RSU Karyadi.

Di seputar Taman Tugu Muda banyak pula gedung-gedung bersejarah. Diantara jalan Imam Bonjol dan Jalan Pemuda ada sebuah bangunan yang kini menjadi kantor pemerintahan Kota Semarang. Pada tahun 90-an, gedung tersebut merupakan kantor Bank BDNI. Tepat di Barat Taman, ada Wisma Perdamaian yang menjadi rumah Dinas Gubernur Jawa Tengah. Di sebelah Timur ada Gedung Lawang Sewu (pintu seribu) karena banyaknya pintu di gedung tersebut. Gedung yang beberapa kali menjadi tempat shooting untuk acara semacam “dunia lain”. Di bagian Barat Daya Taman, ada musem Manggala. Dan di bagian selatan ada Gereja Katedral.

Tugu Muda sendiri merupakan tugu yang dibangun untuk mengenang sejarah heroik yang dikenal dengan peristiwa ” Pertempuran Lima Hari di Semarang” . Pertempuran yang berlangsung pada tanggal 14-19 Oktober 1945 ini dipimpin oleh Gubernur Jawa Tengah untuk melawan batalyon Jepang pimpinan Mayor Kido. Sekitar 2,000 rakyat Semarang gugur dalam pertempuran tersebut. Tugu Muda diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 20 Mei 1953.

Aku masih ingat, menjelang akhir tahun 1996, ketika gedung Eks APDN mengalami renovasi dan akan diperuntukkan bagi Rumah Dinas Gubernur Jateng, Taman Tugu Muda juga ditata. Pohon-pohon rimbun ditebas sehingga segenap pandang bisa melihat seluruh ruang dalam Taman. Lampu-lampu diperbaiki sehingga Tugu Muda bisa terlihat gagah di malam hari.

Anak jalanan yang mulai marak dan menjadikan tempat tersebut sebagai tempat peristirahatan, sebagai tempat kegiatan mendapatkan uang, dan sebagai tempat untuk bermalam, turut ditata pula dengan riuhnya razia-razia di seputaran Taman Tugu Muda.

Dasar Anak Jalanan. Mereka memang kreatif untuk membuka ruang-ruang. Emperan gedung Lawang Sewu akhirnya dijadikan sasaran sebagai tempat tinggal mereka. Juga gedung-gedung kosong di sepanjang jalan Pemuda.

Ah, sudah sampai Sukun. Sudah banyak calon penumpang di sana. Ada sebuah bus mangkal. Jurusan ke Purwokerto. Aku turun, membayar ongkos yang lebih mahal dari biasanya. “Karena malam,” penjelasan dari sang sopir.

Beberapa truk terlihat parkir di sepanjang jalan ini. Melepas lelah, dan melakukan pengecekan serta perbaikan. Deretan taksi juga terlihat banyak, di kedua sisi jalan. Banyaknya calon penumpang yang berdiri, sekitar 20-an orang lebih, pastilah menunggu bus jurusan Solo. Semoga nanti bisa mendapatkan tempat duduk, bisa istirahat tidur dalam perjalanan.

Yogyakarta. 15.01.11

__________________________

Menunggu memang menjemukan. Bagaimana perasaan orang yang menunggu tanpa kepastian, kukira dirimu tentulah pernah mengalaminya. Jadi tak perlulah aku curhat padamu tentang kejenuhan ini.

Bus-bus yang lewat, adalah bus dari Jakarta atau dari Sumatra menuju kota Solo. Mereka tentunya tak mau berhenti di Sukun walau melihat banyak calon penumpang. Sudah 30-an orang kurasa. Bus jurusan Purwokerto, sudah beberapa yang mangkal di sini. Biasanya, bus Semarang-Solo jarak antara satu dengan yang lainnya tidaklah lama. Tapi, 20 menit berlalu, masih belum ada yang lewat. Bus jurusan Jogja? Ah, itu baru jam empat pagi nanti. Apalagi jalan di Muntilan, apakah sudah bisa digunakan atau belum, aku tidak lagi mengikuti beritanya.

Tapi enaknya sekarang, ada fasilitas yang dimiliki hampir semua orang. Fasilitas yang dulu merupakan barang mewah. HP… Ya, akhirnya kubuka HP. Memmbuka web, mengklik kompasiana. Terbatas memang, tapi setidaknya mengurangi kejenuhan menunggu. Ini juga membosankan. Aku tidak terbiasa membaca panjang lewat HP. Mataku sudah tak kuat dan sulit membaca huruf-huruf dengan font yang kecil. Segera kuhentikan. Memasukkan HP dalam saku jaket.

Angin malam masih saja menari-nari dengan bebas. Berlompatan diterjang truk-truk dan bus malam yang melaju kencang walau telah keluar dari jalan tol. Anginnya membawa dingin. Ini tidak biasa. Pengalamanku di Semarang, semalam apapun, biasanya hawa kota ini sangatlah panas dan menggerahkan. Ah, perubahan musim yang tak bisa ditebak, mungkin juga membawa perubahan di sini.

Di sebrang jalan ada warung angkringan. Hendak menikmati minuman panas, tapi aku meragu. Bila ke sana dan bus yang ditunggu lewat, maka setidaknya paling cepat 30 menit lagi baru menyusul bus berikutnya.

Di saat menunggu, kembali aku melanjutkan kenangan dalam jejak perjalanan bersama kehidupan anak jalanan yang pernah aku lewati secara intensif pada periode 1996-2001. Setelahnya, masih berhubungan walau tidak secara rutin datang ke Semarang.

Masih Taman Tugu Muda yang lekat dalam ingatan malam ini. Banyak kenangan tertoreh dengan anak-anak jalanan yang pernah mangkal di tempat ini. Kenangan kala senang maupun kala susah. Perjuangan panjang untuk melakukan perubahan secara bersama dengan berbagai dinamika yang getir, menggetarkan dan bisa pula mengerikan.

Seperti telah kuceritakan pada tulisan sebelumnya, kami telah memiliki rumah di sebuah perkampungan. Letaknya di pojok sendiri, sehingga ketika ingin masuk, harus melewati rumah-rumah penduduk. Perhitungan diriku dengan Winarso (kelak akan kutulis tentang dirinya), bila berada di kampung, setidaknya anak-anak akan dipaksa untuk beradaptasi dan bila bisa melekat, akan memudahkan mencari jalan agar bisa keluar dari dunia jalanan.

Di wajahku terbayang beberapa sosok anak-anak yang pada masa itu berada di Taman Tugu Muda. Ada Didit dan Budi, dua bersaudara. Tapi Budi lebih banyak melakukan kegiatan ke berbagai kota di kereta. Ada Kamiin yang berkulit hitam dengan rambut merahnya bukan karena di cat, tapi merah oleh sengatan matahari. Budi Boja, Surrahman, Ari, Agus, Wawan, Pithy, cemplon, Eko, Nurrohman, Dwi Bawen, dan sebagainya. Lantas sosok-sosok anak perempuan seperti Tina, Yuli, Watik, Khasanah, Umi, Siti, Ninik, Ayu, Reni, Atit, Pika, Murni, Ikhsan, Maria, dan, ah masih banyak lagi.

Tentunya mereka telah menjadi orang dewasa sekarang. Sebagian sudah berkeluarga dan memiliki beberapa anak. Ada yang masih bertahan di jalanan dan menurun kepada anak-anaknya, ada pula yang sudah memiliki pekerjaan di luar jalanan. Sebagian anak lelaki sudah ada yang tewas menjadi korban kehidupan jalanan yang ganas. Sebagian anak perempuan pernah menjadi korban perdagangan anak, berada dalam prostitusi, atau sekarang berkembang menjadi germo.

Pada tahun 1996-1997, kurasa tidak ada penguasaan-penguasaan wilayah oleh komunitas jalanan. Seluruh anak jalanan dapat berpindah-pindah tempat tanpa melahirkan keributan.

Sebagian besar anak jalanan di Semarang, keyakinanku pernah singgah di rumah kami. Baik diajak oleh kawannya hanya sekedar mampir, sesekali bermalam, atau mengikuti kegiatan-kegiatan atau bahkan pernah tinggal untuk beberapa lama. Anak-anak yang berasal dari Semarang, apalagi yang masih tinggal bersama orangtua/keluarganya, sangat dilarang keras bermalam di rumah ini, kecuali pada malam liburan dan seijin orangtua/keluarga mereka.

Suatu hari, aku dikejutkan oleh adanya anak perempuan yang bermalam di rumah ini. Bersama Winarso dan anggota dewasa yang berperan sebagai pendamping, hal ini didiskusikan dengan serius. Berdasarkan kasus ini, baru terungkap banyak anak-anak jalanan perempuan yang tinggal di jalanan. Selama ini, yang banyak bersinggungan adalah anak-anak jalanan perempuan yang masih tinggal bersama keluarga mereka.

Membiarkan anak perempuan untuk tinggal di rumah tentu bisa membahayakan keberadaan rumah anak jalanan. Selama ini, telah terjadi perdebatan di masyarakat sendiri . Ada yang sama sekali tidak setuju dan berusaha mempengaruhi masyarakat untuk menolak keberadaan anak-anak jalanan di kampung mereka, namun beruntungnya ada pula yang melakukan pembelaan. Beruntung pula, ada diantara kami yang aktif mengikuti pertemuan-pertemuan kampung sehingga bisa langsung menjelaskan tentang tujuan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Tentu juga menjelaskan tentang latar belakang kehidupan anak-anak tersebut.

Ada beberapa alternatif yang lahir. Membiarkan dulu sambil mencari tempat yang dimungkinkan bagi anak perempuan, memberi tempat di Gedung Lawang Sewu dan meminta anak-anak yang tinggal di sana untuk turut menjaga anak perempuan itu. Alternatid yang dipilih adalah yang pertama. Untuk ini, rekan Winarso akan memberitahu dan meminta ijin adanya anak perempuan untuk tinggal sementara.

Beberapa hari kemudian, ada kabar, salah seorang ibu dari anak jalanan menyatakan kesediaannya agar rumahnya ditempati oleh anak-anak jalanan perempuan. Ibu ini, yang memiliki tiga orang anak dan juga melakukan kegiatan di jalanan, kami kenal sebagai ibu yang aktif membantu anak-anak. Ia senantiasa hadir dan terlibat membantu ketika kami memiliki kegiatan. Ia tak segan berjalan kaki berkilometer ketika mengetahui ada seorang anak jalanan yang sakit di satu tempat atau tengah membutuhkan pertolongan. Ia dikenal dengan panggilan Bu Prapto. Nama suaminya. Nama aslinya sendiri adalah Sri Hartati. Tinggal di lereng bukit dekat Taman Tugu Muda, Kampung Gunung Brintik, bersebelahan dengan pemakaman Borgota. Ialah kelak dikenal sebagai ibu anak jalanan yang tidak hanya dikenal oleh anak-anak jalanan semarang saja tetapi juga anak-anak dari berbagai kota yang pernah singgah, bermalam dan merasakan keramahan dan ketulusan seorang ibu yang membawa pada kedamaian jiwa. Ah, semoga aku bisa menuliskan tentang profil Bu Prapto di Kompasiana ini.

Begitulah, masalah teratasi. Dua anak perempuan yang tinggal di rumah, bisa mendapat tempat yang lebih baik. Tapi dari sini, kemudian kami sepakat untuk mencermati keberadaan anak-anak jalanan perempuan yang tinggal di jalanan. Seluruh anak dikerahkan untuk memantau dan memberikan informasi ini.

“Solo, Solo, Solo….. Ya, yang ke Solo…” teriakan dari seorang timer membuyarkan lamunanku. Semua segera bergegas berdiri. Sebuah bus terlihat di tikungan, berjalan perlahan dan berhenti di tempat kami menunggu. Segera aku berlari, tidak mau kalah dengan calon penumpang lain guna mendapatkan kursi. Lha, kursi bus saja bisa melahirkan keributan, apalagi kursi di DPR sana ya.

Beruntung, bus tidak terlalu penuh, sehingga ketika puluhan penumpang masuk, masih tertampung di kursi-kursi yang tersedia. Huh. Aku melepaskan tas-ku, meletakkan di antara kedua kakiku. Tubuhku bersandar, memandang ke luar, bus-bus dan truk-truk angkutan barang yang masih saja banyak melintas.

Bus bergerak menuju Solo. Aku nanti akan turun di Kartosura, berpindah bus menuju Yogya.

Yogyakarta. 15.01.11

________________________

BERSAMBUNG. . .

20.51 | 0 komentar | Read More

BACA JUGA

DAFTAR LENGKAP ARTIKEL BLOG BAGINDAERY

Ikuti situs Bagindaery

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...