Oleh : Odi Shalahuddin
Di tengah keremangan pergantian hari. Malam kepulangan sudah memasuki hari Jum’at. Jum’at pahing. Aku duduk dekat jendela. Memang tidak bisa melihat pemandangan di luar. Tidak mengetahui bagaimana wajah Gunung Ungaran kala malam. Bus melaju kencang. Di beberapa tempat biasa orang menunggu bus, sang sopir akan memelankan lajunya.
”Solo, solo, solo” teriakan sang kernet.
Tidak banyak penumpang dalam bus ini. Artinya tidak ada yang berdiri. Biasanya, bus jurusan Solo, selalu penuh sesak. Orang-orang bergelantungan, menahan kantuk, menahan rasa pegal. Kini aku kira semua penumpang bisa menikmati perjalanan. Melelapkan dirinya.
Aku mencoba memejamkan mata. Masih saja lintasan kenangan tahun 90-an masih bermain dalam kepala.
Kekerasan. Itulah persoalan yang paling menonjol. Kekerasan terhadap anak jalanan! Kehadiran anak-anak jalanan terasa begitu mengejutkan Warga semarang juga pemerintah kota. Ini lantaran anak-anak hadir. Di ruang publik. Di tempat bersejarah. Di tempat pusat pemerintahan berlangsung. Landmark kota Semarang tercemar.
Hampir setiap hari ada kasus kekerasan yang dialami oleh anak jalanan di Taman Tugu Muda. Dengan pelaku yang beragam. Dari aparat, preman, komunitas dewasa, pengendara, dan sebagainya. Intensitas kekerasan terlihat tinggi sekitar bulan November-Desember 1996. Bersamaan dengan proses renovasi eks Gedung APDN yang akan diperuntukkan bagi rumah Dinas Gubernur Jawa Tengah.
Beberapa anak melaporkan ada pengendara motor yang tampak sengaja menabrak anak-anak yang tengah mengamen. Banyak orang-orang berkeliaran kala malam mengintimidasi anak-anak. Razia-razia sarat dengan nuansa kekerasan terhadap mereka kerap terjadi.
Banyak anak-anak yang menghindarkan diri dari Taman Tugu Muda, membentuk lokasi-lokasi mangkal baru. Seiring dengan itu, anak-anak dari stasiun Poncol juga mulai keluar dari stasiun dan mencari tempat mangkal di dalam kota. Sasarannya adalah traffick light-traffick light. Ya, pada periode itulah, ketika upaya menghentikan laju anak jalanan yang mulai mengisi ruang publik, justru pada saat itu pula terjadi persebaran dengan lahirnya lokasi-lokasi mangkal baru.
Pada saat itu, aku masih rajin mencatat kasus-kasus kekerasan yang terjadi, sehingga di akhir tahun 1996 bisa menyusun informasi mengenai kasus-kasus kekerasan berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Bahan itu disebarkan ke masyarakat luas dalam perayaan tahun baru oleh Paguyuban Anak Jalanan Semarang (PAJS) dengan menggunakan aula sebuah sekolah dekat Taman Tugu Muda.
Tingginya kekerasan di jalanan, juga diikuti dengan adanya upaya-upaya dari beberapa orang untuk menggalang penolakan warga kampung terhadap keberadaan anak jalanan. Ini membuat para pendamping sedikit pusing, harus berpikir keras dan bersungguh-sungguh untuk melakukan upaya pengamanan. Beberapa orang ditugaskan untuk meningkatkan intensitas komunikasi dengan aparat dan tokoh-tokoh masyarakat untuk share tentang berbagai kegiatan yang dilakukan. Seabgian lagi mulai menggalang relawan dengan menghubungi beberapa organisasi mahasiswa. Tidak ketinggalan pula membangun kontak dengan para jurnalis. Beruntung, ini bisa berjalan baik.
Beberapa pengurus organisasi mahasiswa khususnya dari PMII, GMNI dan PMKRI menurunkan beberapa anggotanya untuk terlibat membantu kegiatan anak jalanan. Ini juga memudahkan perekrutan mahasiswa dan relawan lain yang tidak bergabung dalam organisasi kemahasiswaan. Mereka bisa saling berinteraksi dan saling mendukung. Beberapa yang aktif membantu, sekedar menyebutkan beberapa nama dari banyak nama yang telah terlibat, seperti Abdul Kadir Kording (sekarang Ketua Komisi VIII DPR RI), Agung ”Ompong” yang pada pemilu lalu menjadi anggota Pengawas Pemilu Propinsi Jawa Tengah, Dian Indraswari (pernah aktif di ICW, ELSAM, dan entah sekarang aktif di mana), Bung Paul yang sekarang menjadi anggota KPU di Kabupaten Kebumen.
Beberapa jurnalis juga intens memberikan dukungan baik melalui penulisan-penulisan yang melihat dari sisi positif anak jalanan, memberikan rekomendasi untuk berhubungan dengan banyak pihak, menggalang bantuan berupa dana atau barang-barang atau kebutuhan lain bagi anak jalanan, memberikan kesempatan kepada beberapa anak jalanan untuk magang kerja. Komunikasi dengan kawan-kawan Jurnalis lebih banyak dilakukan oleh rekan Winarso. Sekedar menyebutkan nama, beberapa yang aktif memberikan dukungan yaitu Fikri Jukri, Timus Sinar Suprabana (penyair dan penulis lepas), Ganug Nugroho (Suara Merdeka, kini di Indosiar), Adhi Prasetio (Suara Merdeka, kalau tidak salah sekarang di Kompas) Diah Herawati (Suara Merdeka, entah sekarang dimana), Didi (RCTI), dan seorang wartawan Suara Karya yang sungguh saya lupa namanya. Selain itu, ada himpunan Jurnalis yang berhimpun dalam Yayasan Duta Awam, melakukan penelitian dengan melibatkan anak-anak jalanan sebagai enumeratornya. Ini tentu menjadi pengalaman menarik. Melalui merekalah, Ibu Walikota bisa didatangkan ke rumah PAJS. Kehadiran ibu Walikota membuat tingkat kekerasan di jalanan dan keriuhan untuk mengusir anak-anak jalanan dari kampung menjadi sangat berkurang.
Terima kasih tentulah patut diucapkan kepada mereka yang telah meluangkan waktunya untuk melihat dengan cara pandang yang berbeda terhadap anak jalanan dan membuka ruang bagi lahirnya ekspresi dan kreativitas anak jalanan.
Berbagai kegiatan PAJS sangat banyak menempati pemberitaan media. Dukungan-dukungan dari masyarakat sudah mulai tampak. Pada artikel dan surat pembaca misalnya, mereka mulai menyoroti kekerasan terhadap anak jalanan yang selayaknya tidak perlu dilakukan karena anak jalanan juga manusia. Anak jalanan adalah anak-anak kita.
Tanpa terasa, kantuk yang menyerang tak bisa tertahan. Tertidurlah aku dalam perjalanan. Sesekali terbangun dan melihat sudah sampai mana perjalanan ini. Menjelang Kartosuro, kernet berulang kali berteriak menyebutkan nama dan mengingatkan para penumpang yang hendak turun agar bersiap-siap. Ah… Waktu sudah menunjukkan pukul dua lebih.
Yogya. 15.01.11
____________________________
Terminal Bus Kartosura, yang semula terletak di pinggiran jalan utama dekat persimpangan ke arah Solo, Yogya dan Semarang, kini telah pindah ke belakang Terminal. Terminal yang disekelilingnya masih lahan persawahan. Selepas malam, biasanya bus-bus antar kota tidak menyinggahinya, dan tetap melewati jalur lama. Bus berhenti dekat tugu di persimpangan tiga. Aku turun dan menyebrang jalan. Beberapa orang tampaknya juga akan mencari bus jurusan Jogja. DI sebrang sudah ada beberapa orang juga.
Pada saat secara rutin perjalanan Semarang-Yogya, aku memang memilih perjalanan malam. Sehingga dulu sangat hafal jam-jam bus datang dan tiba. Bila tiba di Kartosura sudah melewati jam 11 malam, jangan berharap akan ada bus yang akan berhenti. Kita hanya akan merasa jengkel bus-bus Surabaya-Jogja terus melintas tanpa ada yang mau di stop di depan terminal Kartosura. Bertahan menunggu, baru sekitar jam dua pagi kita bisa mendapatkan bus. Bus Jurusan Solo-Jogja yang pertama.
Lama-lama aku tahu, bahwa mereka tidak akan berani berhenti di sana. Berhenti bisa berarti akan memecah keributan dengan para timer dan para preman di sini. Ini jatah penumpang untuk bus Solo-Jogja trayek pertama. Bisa dibayangkan bila tiba jam sebelas malam, kita harus menunggu selama tiga jam?
Alternatifnya dari bocoran pemilik warung di depan terminal lama, kita jangan menunggu di tempat itu. Kita harus berjalan, menunggu di tikungan dekat Tugu. Artinya, di tempat aku menunggu bus sekarang ini. Itupun mereka hanya akan mengurangi laju, kita harus segera berlari, naik dan bus melaju cepat lagi. Bila di sini tidak bisa mendapatkan bus juga, maka kita harus berjalan lagi sekitar 500-an meter, ke arah jogja. Di sana ada lampu merah. Kita berharap ada keberuntungan saat bus datang, traffick light tengah menyala merah, sehingga kita bisa menaikinya.
Terminal lama Kartosuro tidak begitu luas. Memang tidak layak sebagai terminal bila mengikuti perkembangan jumlah arus kendaraan di jalan utama ini. Terminal yang kumuh, menjadi tempat persinggahan bagi para anak jalanan dari luar kota. Di sini bisa bebas melakukan kegiatan untuk mendapatkan uang. Berbeda dengan di terminal Solo yang tertutup bagi anak jalanan ataupun para pedagang asongan.
Bila siang hari, berhati-hatilah jika bus yang kau tumpangi padat dengan penumpang dan ada yang akan turun di terminal ini. Jagalah dompetmu. Lengah sedikit bisa dipastikan akan segera berpindah tangan. Aku pernah mengalami dua kali kecopetan di terminal Kartosura. Peristiwa yang memalukan. Tapi itu, dulu pada awal tahun 90-an. Setelahnya aman-aman saja. Setidaknya sudah kenal beberapa orang di sana.
Beberapa bus lewat, seperti kukatakan tadi, tidak ada satupun yang mau berhenti. Seorang timer bertubuh gemuk dengan jaket kulit hitam, sibuk mondar-mandir dan berulangkali menggunakan HP-nya.
”Pak, kok tidak ada yang mau berhenti ya,” seorang pemuda bertanya kepada pemilik warung rokok yang sedang berbenah untuk menutup kiosnya.
”Ya, kalau mau berhenti, di stop, toh, Mas…” katanya datar tanpa berpaling muka.
”Tidak ada yang mau,”
”Kalau tidak ada yang berhenti, ya nunggu bus bugel,”
”Maksudnya?”
”Bus yang jalannya lambar,”
He.h.e.he. tentulah yang dia maksud adalah bus jogja-Solo. Berjalan lambat, karena harus selalu mencari penumpang di sepanjang jalan. Sedangkan bus Surabaya-Jogja, akan melaju cepat, berhenti bila ada penumpang yang akan turun. Mereka tidak akan berani sengaja berhenti demi menaikkan penumpang. Beberapa kali pernah terjadi bus-bus jurusan Solo-Jogja melakukan aksi mogok lantaran bus Surabaya-Jogja mengambil penumpang juga. Tidak sekedar aksi, pengrusakan bus juga kerap terjadi.
Aku santai-santai saja. Sudah jam dua, bus pasti akan segera datang. Hanya calon penumpang yang sejak lama menunggu yang terlihat resah. Setengah tiga, baru bus datang. Semua segera berhambur. Aku santai saja, karena tahu, pasti bus tidaklah penuh.
Bus itu tidak segera berangkat. Menunggu penumpang yang datang. Pindahan dari bus Semarang-Solo. Sekitar 20 menit bus masih mangkal di tempat ini, tepat pada tikungan jalan.
Seperti biasa, aku selalu mencari tempat duduk di dekat jendela. Bila tertidur, tidak akan terganggu.
Kembali aku resah, teringat wajah beberapa kawan, yang pernah aku kemukakan di awal-awal tulisan. Wajah-wajah kawan yang telah pergi mendahului dengan cara yang tragis.
Pertama adalah sosok yang kami kenal dengan nama Agus Komo. Nama aslinya tidak ada yang tahu, dan juga tidak akan ada yang mempersoalkan. Di dunia jalanan, rata-rata orang sudah menggunakan nama yang bukan sebenarnya. Bisa menggunakan nama palsu yang digunakan ketika memperkenalkan diri, atau nama julukan yang diberikan oleh kawan-kawannya.
Agus Komo bertubuh gemuk dan pendek. Rambutnya tidak beraturan. Ia tidak tinggal di rumah anak jalanan, tapi sering datang. Bila datang, selalu dalam kondisi keringat membanjiri tubuhnya. Ini lantaran ia terbiasa berjalan cepat. Sama sekali tidak menikmati perjalanannya. Saya agak lupa apakah di akhir tahun 1996 atau di awal tahun 1997, ada kabar ia tewas. Tewas dibakar sekelompok orang ketika tengah tertidur di los pasar Johar. Kabar kematiannya tidak muncul di media massa. Kasus itu hanya diketahui oleh orang-orang malam saja dan menyebar dari mulut ke mulut.
Ah, peristiwa semacam ini, tewasnya seorang anak/komunitas jalanan, seolah menjadi hal yang biasa terjadi. Aku sering mendengar kabar tentang tewasnya seseorang yang tergeletak di pinggiran jalan, dibuang ke sungai, atau ditinggalkan begitu saja di tempat sepi. Mengerikan memang.
Pada masa-masa itu, terdengar juga kabar tewasnya anak-anak jalanan di berbagai kota, seperti Medan, Jogjakarta, dan Jakarta. Tewas bukan lantaran perkelahian dengan sesama anak jalanan, tapi dengan pihak lain.
Itulah dunia jalanan. Dunia yang sangat keras untuk dijalani oleh siapapun. Bisa kita bayangkan bagaimana anak-anak harus menjalani kehidupan semacam itu.
Hadir juga sosok seorang anak, bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dengan rambutnya yang keriting. Ia mengaku dilahirkan di papua. Bapaknya seorang tentara yang pernah bertugas di Papua. Kalau tidak salah keluarganya tinggal di wilayah Kendal. Ia kabur dan memilih hidup di jalanan. Ketika bergabung dengan PAJS, kami pernah menghantarkan ia pulang. Selanjutnya, beberapa kali ia sempat pulang bertemu keluarganya.
Ia orang yang dikenal cepat naik darah bila ada kawannya mendapatkan perlakuan buruk. Ia senang berkelahi, tapi penyebabnya bukan selisih paham antara dia dengan orang lain, melainkan karena membantu kawannya. Ia termasuk salah satu anak yang ditakuti oleh banyak anak jalanan di Semarang. Pertemuan terakhir dengannya kalau tidak salah pada tahun 1998-1999. Setelahnya tidak pernah bertemu lagi. Kabar yang kuterima, ia menjadi salah satu preman di salah satu pasar. Pada tahun 2000-an, dari kabar kawan-kawan dan juga dari pemberitaan media massa, ia tewas dikeroyok sekitar lima orang. Awalnya ia diajak minum-minuman keras, dan setelah mabuk langsung dihujanji berbagai senjata tajam. Ia sempat melakukan perlawanan, namun tetap kalah. Wajahnya sangat membekas. Ia adalah anak yang sering kami ajak diskusi untuk turut menjaga anak-anak yang lebih kecil di jalanan.
Kabar duka yang menyusul kemudian adalah sosok lain yang saya kenal sangat pendiam. Orang yang jarang sekali berbicara baik ketika kumpul-kumpul secara informal ataupun dalam pertemuan-pertemuan. Kami yang berulang kali mencoba memberi kesempatan baginya untuk berbicara, sering mengalami kegagalan. Namun ia sangat rajin bekerja membersihkan rumah. Kabar terakhir ia menjadi salah seorang preman yang ditakuti. Ini membuatku terkejut. ”Masak sih?”
”Benar… orangnya dikenal sangat kejam, gak banyak bicara, langsung sikat,” tutur seorang anak jalanan jauh sebelum kematiannya.
Ya, ia tewas, di los pasar lantai dua. Ketika terlelap tidur, seseorang menikamnya berulang-ulang. Entah siapa pelakunya, tidak ada yang mau membicarakannya.
Ah, kematian memang misteri. Kita tidak akan pernah tahu kapan akan pulang. Saya yakin semua berharap bisa pulang dengan tenang dan dalam situasi yang baik. Di jalanan, semua kemungkinan selalu saja bisa terjadi tanpa bisa diduga.
Ah, mereka tetaplah adik-adikku. Tetap sahabatku yang pernah mengarungi hidup bersama. Doaku untuk mereka, semoga ketenangan di alam keabadian tetap mereka peroleh.
Bus telah tiba di terminal Giwangan. Kepada kernet aku minta turun di pintu masuk. Turun, tidak menolak ketika seorang tukang ojek menawarkan diri. Tidak sampai 15 menit aku sudah berhenti di depan rumah. Mengetuk pintu, istriku segera membukakannya. Tak lama kemudian, adzan Subuh telah terdengar.
(Tidak bersambung lagi, masuk ke judul yang lain walau sama-sama mengisahkan tentang kenangan bersama anak jalanan Semarang)
Yogya. 16.01.11
__________________________
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com