GOOGLE TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

ARTIKEL PILIHAN

Kehidupan masa kecil di Desa, dan Lumbung Desa yang berfungsi sebagai jaring pengaman masyarakat petani di pedesaan

Written By Situs Baginda Ery (New) on Kamis, 24 Juni 2010 | 00.01

Desa dimana saya dibesarkan sejak kecil, terdiri atas beberapa dukuh. Dukuh yang paling dalam banyak ditinggali oleh penduduk asli, masyarakatnya sebagian besar terdiri dari kaum petani, pedagang dan peternak. Sedang dukuh yang agak luar, berbatasan dengan kota kecil, adalah tempat tinggal pendatang, yang pada umumnya berpenghasilan tetap, seperti Guru, mantri rumah sakit, dokter, dan lain-lain. Hanya berjarak sekitar 200 meter dari rumah kami, terbentang sawah dan ladang, yang pada saat-saat tertentu ditanami tebu, para petani bekerjasama dengan Pabrik Gula Kanigoro, yang berlokasi di kota kecamatan ke arah Ponorogo. Pada saat itu angkutan yang umum adalah dokar (delman), becak (untuk jalan yang sudah halus) serta sepeda. Kendaraan roda empat masih sedikit, demikian juga sepeda motor.

Jalan desa yang menghubungkan desa satu dan lainnya masih berupa tanah dicampur kerikil, yang berdebu pada saat musim kemarau dan becek saat musim penghujan. Keberuntungannya, desa kami tak pernah terkena banjir karena letaknya jauh dari sungai besar yang melewati kota kecil kami. Panen padi adalah saat yang ditunggu-tunggu, karena pada saat itu desa kami melakukan upacara “Bersih Desa” yaitu upacara syukuran karena telah mendapat panen yang berlimpah. Pada saat panen, petani akan menyetor sebagian padi untuk disimpan ke Lumbung Desa.

Pada awalnya Lumbung Desa menyediakan (dan menagih) pinjaman dalam bentuk padi. Tujuan utama didirikan Lumbung Desa adalah untuk meratakan fluktuasi musiman pasokan beras di desa. Pada awal 1900 an, Lumbung Desa di daerah maju di Jawa mulai menyimpan dan menagih pinjaman dalam bentuk uang. Hal ini disebabkan pengelolaan beras pasca panen sulit untuk dijaga agar kualitas beras tidak menurun, disamping ada risiko tikus di Lumbung.

Karena perkembangan tersebut, mulai diperkenalkan Bank Desa, yang beroperasi berdasarkan uang. Akan tetapi posisi pinjaman terhadap asset Lumbung desa adalah 27 persen pada tahun 1913 dan hanya 2 persen pada tahun 1926. Jadi 98 persen dana Lumbung Desa menganggur dan tak digunakan untuk memberikan pinjaman pada masyarakat pedesaan. Tingkat investasi rendah tersebut karena Lumbung Desa dimiliki oleh desa dan didanai 99 persen oleh ekuitas. Sumber ekuitas Lumbung Desa adalah keuntungan yang disimpan atau laba ditahan.

Pada saat Bank Desa memulai memberikan pinjaman dalam bentuk uang tunai, terdapat pemintaan yang cukup besar. Sumber utama dana awal Bank Desa berasal dari pemerintah, Bank Kabupaten, Lumbung Desa, dan bagian kepemilikan orang desa, yang dapat dibayarkan kembali (repayable shares). Tingkat kredit macet rendah rata-rata 1 (satu) persen, overhead cost rendah, karena Bank berlokasi dikantor yang umumnya menjadi satu dengan rumah Kepala Desa. Kemudian Lumbung Desa dan Bank Desa diatur berdasar sebuah keputusan untuk menjadi Badan Kredit Desa. Berusia lebih dari 100 tahun, Badan Kredit Desa (BKD) adalah salah satu lembaga kredit mikro pertama di Indonesia. BKD berada di Pulau Jawa dan Madura, dan setiap BKD dimiliki oleh Pemerintah Desa. BKD adalah perkembangan dari Lumbung Desa dan kemudian Bank Desa, yang beroperasi berdasarkan uang, dan bukannya beras.

Setelah Undang-undang Perbankan tahun 1992, BKD diberi izin sebagai Bank Perkreditan Rakyat secara kolektif, karena BKD dinilai terlalu kecil untuk menerima lisensi BPR sendiri-sendiri, dan pembukaan BKD baru tak diijinkan. Pada akhir tahun 1996, hanya terdapat 4906 BKD yang masih aktif, dan setiap BKD menyediakan pinjaman komersial kecil bagi para individu yang tinggal di desa. Tidak semua desa memiliki BKD, dalam prakteknya lembaga ini juga melayani penduduk di desa tetangga. Walau data dari jenis kelamin tidak tersedia, sebagian besar nasabah BKD adalah wanita.

Walau kedua orang tua saya berpenghasilan tetap, namun karena nenek seorang petani, ibu mengajarkan cara menabung secara sederhana, yaitu setiap kali akan menanak nasi, maka diambil segenggam beras yang dipisahkan pada wadah tertentu, yang pada akhir bulan bisa digunakan paling tidak untuk bahan menanak nasi selama dua hari. Masa kecilku, yang pernah merasakan bagaimana segala sesuatunya dijatah (mendapat kupon untuk mengambil beras, gula, minyak dan sebagainya), membuat para ibu rumahtangga harus kreatif untuk bisa mencukupi kebutuhan pangan bagi anggota keluarganya. Dan juga tak ada sejengkal tanahpun yang tersisa, tanpa ditanami bahan pangan, seperti cabe, bayam, kangkung, labu siam dan lain-lain. Pada saat itu, hanya bahan pokok tertentu yang masih harus dibeli diluar.

Entah kenapa, saat itu menabung jarang dilakukan melalui Bank, mungkin karena letak Bank di kota, yang memerlukan waktu cukup lama, dan harus naik sepeda atau becak ditambah jalan kaki. Cara menabung yang lain adalah menggunakan sistem arisan, dan hasil penerimaan arisan harus dapat digunakan untuk investasi dan tidak boleh untuk konsumsi rumahtangga. Yang sering adalah, uang arisan yang diterima adalah untuk membeli peralatan sekolah.

Jika sekarang pulang kampung, desaku telah termasuk kotamadya, dan sawah ladang telah digantikan oleh perumahan penduduk. Anak-anak yang dibesarkan oleh para petani, sebagian besar telah keluar dari kampung dengan berbagai profesi. Temanku saat SD, yang saat itu kalau belajar sambil menunggang kerbau di sawah, anaknya memang pandai, sekarang telah menjadi seorang dokter dan bekerja di sebuah rumah sakit di ibu kota propinsi, berjarak 5 (lima) jam perjalanan dari kotaku. Beberapa teman lain, rata-rata telah sukses di bidang pekerjaan masing-masing, dan jarang yang kembali ke sawah, atau karena memang sudah tak punya sawah. Sawahnya adalah bidang pekerjaannya tadi. Musim memang telah berganti, namun menabung tetap merupakan kebiasaan yang perlu di biasakan, karena dengan menabung tadi kita bisa melakukan perencanaan, seperti halnya petani yang menabung melalui lumbung desa, agar jika terjadi paceklik, karena musim kemarau berkepanjangan, tetap masih punya uang untuk memberi makan anggota keluarganya.

Sumber data:

  1. The Micro Finance Revolution. Vol 2: Lessons from Indonesia. Marguerite S. Robinson. The World Bank, Washington, D. C. Open Society Institute, New York
  2. Beberapa catatan dan pengamatan penulis

0 komentar:

Posting Komentar

1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.

Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.

( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )

Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.

Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar

Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com

BACA JUGA

DAFTAR LENGKAP ARTIKEL BLOG BAGINDAERY

Ikuti situs Bagindaery

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...