Rumi
Cafe memang bukan seperti kafe biasa. Tempat ini tidak menyediakan
minuman beralkohol. Namun nuansa tenang dan damai langsung menyapa siapa
saja yang datang. Hot spot ini digadang-gadang Arief sebagai tempat
bertemu, berdiskusi, sekaligus menikmati sema atau whirling dervishes,
tarian sufi yang berputar-putar itu, yang diperkenalkan Jalaluddin Rumi,
sufi agung abad ke-13.
Kafe
kaum spiritualis ini menempati sebuah rumah toko berlantai dua. Dinding
interiornya dicat abu-abu tua. Sejumlah buku dan foto tokoh sufi,
termasuk Rumi, dipajang berjajar di etalase. Begitu hendak menaiki
tangga, ups, ada manekin pria berbusana whirling dengan topi khas,
sorban, dan jubah hitam. Setiap akhir pekan, di sini diperagakan tari
whirling. ”Siapa pun yang terjebak macet pasti ingin tahu sajian kami,”
kata Arief.
Rumi,
whirling, tasawuf? Inilah gejala sosial yang pada Ramadan ini kian
marak: sufi perkotaan. Tak usah berburu jauh-jauh ke Bagdad atau
Istanbul untuk asyik-masyuk dengan dunia kaum sufi yang menjanjikan
kedamaian dan cinta ini. Cukuplah nikmati cara baru berzikir dan
”mencari Tuhan” di Jakarta. Ini tentu saja tak lepas dari gaya hidup
para eksekutif, konsumen utama gejala urban ini.
Coba lihat di Padepokan Thaha atau Majelis Taklim Misykatul Anwar di Jalan Senopati, Jakarta. Di situ, pekan lalu, Anand Krishna menyampaikan pikirannya tentang sufisme dewasa ini. Di dalam ruangan 10 x 10 meter persegi yang penuh pendengar serius, penulis puluhan buku spiritual itu berujar, ”Sufi harus berani hadir ke pasar, ke market place.” Malam itu, Anand didaulat sebagai pembicara tamu di Padepokan Thaha.
Coba lihat di Padepokan Thaha atau Majelis Taklim Misykatul Anwar di Jalan Senopati, Jakarta. Di situ, pekan lalu, Anand Krishna menyampaikan pikirannya tentang sufisme dewasa ini. Di dalam ruangan 10 x 10 meter persegi yang penuh pendengar serius, penulis puluhan buku spiritual itu berujar, ”Sufi harus berani hadir ke pasar, ke market place.” Malam itu, Anand didaulat sebagai pembicara tamu di Padepokan Thaha.
Ia
membuka pembicaraan dengan pertanyaan yang memancing: mengapa kaum sufi
gagal membuat dunia semakin damai? Ya, Anand tidak lagi berbicara
tentang tasawuf sebagai jalan pembebasan individual, melainkan
pembebasan pada tingkat sosial politik. Ia berbicara tentang
gerakan-gerakan yang kehilangan toleransinya terhadap perbedaan
pandangan di kota-kota besar, tentang langkah mereka yang agresif, dan
pentingnya kaum sufi bangkit dengan pesan damai.
Anand
seolah berbicara kepada para penghuni kota besar yang bosan dengan
dugem, yang tidak sanggup melepaskan diri dari belitan masalahnya.
Pengajian itu tertuju pada para seeker yang tak kunjung menjumpai
kebenaran di jalan-jalan dan bangunan kota yang riuh rendah, atau yang
sekadar menunggu redanya lalu lintas macet. Semua digiring dan dihimpun
pada malam-malam tertentu ke sejumlah titik di Ibu Kota.
Mereka
para profesional, para eksekutif, yang senantiasa ada di sekitar kita
dan tak mencolok mata. Berpakaian laiknya orang kantoran, dengan kemeja
lengan panjang dan pantalon gelap, seperti biasa, penampilan fisik
mereka tak hendak mewakili identitas kelompok pengajian—yang biasanya
berpakaian serba putih, baju koko, plus songkok putih pula.
Lihatlah
Ahmad Rizal Tarigan, 39 tahun. Presiden Direktur PT Penta Manunggal
Mandiri ini rajin mengunjungi zawiyah (padepokan) tarekat Naqsabandiyah
Haqqani setiap Kamis malam. ”Dengan berzikir, kita mengendalikan ego,”
katanya. Rizal hanya berbaju batik, tidak berjanggut, dan tak ada
simbol-simbol tarekat, tulisan Allah ataupun Muhammad, pada mobil Nissan
X-Trailnya.
Identitasnya
sebagai pengikut tarekat Naqsabandiyah Haqqani baru ”terbongkar” bila
kita mengunjungi kantornya yang terletak di daerah elite Jalan Sudirman,
Jakarta, atau rumahnya di kawasan Kayu Putih, Pulomas. Foto yang sama
terpajang apik di dua tempat itu: foto ketika ia bersama Syekh Nazim
Kabbani, tokoh spiritual gerakan tarekat ini. Rizal memilih tarekat
”tradisional” di puncak karier.
Tapi ada pula Saraswati Sastrosatomo, 36 tahun, Senior Council Chevron Indonesia Company, yang masuk tarekat Qadiriyah di kawasan Ciawi, Bogor. Alkisah, Saraswati, yang begitu mudah memperoleh segala yang diinginkannya dari dunia profesional dan akademis, akhirnya suatu kali jatuh terduduk. ”Saya pernah bekerja di lembaga bantuan hukum, law firm, hingga corporate. Sekolah ke Amerika dan Belanda pun sudah saya jalani. Pokoknya, dunia bagi saya sudah cukup. Lantas apa lagi?” tuturnya.
Tapi ada pula Saraswati Sastrosatomo, 36 tahun, Senior Council Chevron Indonesia Company, yang masuk tarekat Qadiriyah di kawasan Ciawi, Bogor. Alkisah, Saraswati, yang begitu mudah memperoleh segala yang diinginkannya dari dunia profesional dan akademis, akhirnya suatu kali jatuh terduduk. ”Saya pernah bekerja di lembaga bantuan hukum, law firm, hingga corporate. Sekolah ke Amerika dan Belanda pun sudah saya jalani. Pokoknya, dunia bagi saya sudah cukup. Lantas apa lagi?” tuturnya.
Perempuan
yang menamatkan pendidikan S-1 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia
dan pendidikan pascasarjana di Universitas Leiden ini pun sudah jenuh
dengan jalan keluar selepas kerja: clubbing di klub malam Ebony,
Dragonfly, dan banyak lagi.
Enam
tahun silam, ia mencoba sesuatu yang baru: bergabung dengan klub kajian
Paramadina dan kajian tasawuf Tazkiya. Dan rupanya itulah mukadimah
dari sesuatu yang hingga kini tak pernah lepas dari hidupnya. Ia melebur
dalam tarekat. Tiap akhir pekan kita bisa mendapati Saraswati
bertafakur di padepokan syekhnya. ”Saya butuh charge setelah Senin
hingga Jumat berurusan dengan dunia,” katanya. Di dinding apartemennya
di Puri Casablanca, Kuningan, Jakarta, terpampang sembilan potret
idolanya, Wali Songo. Di samping mereka, terdapat foto Syekh Abdul Qadir
Jaelani dan Sunan Kalijaga.
Tarekat
Naqsabandiyah Haqqani dan Qadiriyah sama-sama ”tradisional”. Keduanya
ditopang lima komponen dasar tarekat: mursyid (guru), murid, wirid, tata
tertib, dan tempat. Dua dasawarsa silam, masyarakat kota lebih bisa
menerima tasawuf kontemporer seperti yang ditawarkan Paramadina dan
Tazkiya ketimbang pola-pola pengajaran tradisional di pesantren, di
desa-desa.
Baiat
atau komitmen spiritual yang mengikat dan kemudian mengukuhkan hubungan
hierarkis mursyid-murid mungkin tak menarik bagi orang kota yang
demokratis. Uzlah alias mengundurkan diri dari dunia orang banyak justru
menumbuhkan waswas bahwa tasawuf sama saja dengan mengasingkan diri.
Dan zuhud atau asketisisme, pantangan terhadap kesenangan duniawi, tentu
saja terlalu jauh dari gaya hidup hedonis orang kota.
Kini
dunia kita seakan berubah. Ungkapan tasawuf yes, tarekat no yang
demikian tepat mewakili periode itu seakan sudah berlalu. Dan mungkin
tasawuf yes, tarekat yes cukup mengena di hati orang kota.
Di
Padepokan Thaha, setiap usai tausiyah, para murid langsung menyerbu
sang mursyid, Syekh Sayid Hidayat Muhammad Tasdiq, yang biasa dipanggil
Kiai Rahmat. Dalam suasana yang cair, masing-masing murid mengungkapkan
rasa takzim dengan mencium tangan guru yang karismatis dan berilmu itu.
”Beliau mudah tune-nya,” kata Pardamean Harahap, salah seorang pengurus
padepokan itu, menjelaskan karakter sang guru yang komunikatif. Kamis
malam itu, di padepokan, Kiai Rahmat mengenakan baju hem putih tanpa
dasi dengan balutan jas biru dan celana biru. Ia memakai peci hitam
dengan renda air emas di sekeliling; suaranya ringan seperti beraksen
Sunda, kulitnya agak gelap.
Bayang-bayang
suram hubungan mursyid-murid yang menuntut kepatuhan total sang murid
sesungguhnya belum juga terbang jauh. Menurut Jalaluddin Rakhmat, dosen
komunikasi Universitas Padjadjaran yang ikut melahirkan pengajian
Tazkiya, kelompok pemujaan atau cult sering kali membungkus niat
buruknya dengan aksesori tasawuf. Lalu murid yang silau dengan
penampilan luar itu pun kerap menjadi korban penipuan. Memakai istilah
sufi seperti hakikat dan makrifat, sang guru menawarkan paket-paket
instan yang tak masuk akal. seperti ”bertemu Tuhan dalam seminggu”.
Namun
coba bedakan dengan tarekat Akmaliyah. Tarekat yang berada di Kota
Malang ini mengambil jalan pintas: memangkas pendek hubungan
mursyid-murid yang sangat berat sebelah. Gerakan sufi yang meneruskan
ajaran Syekh Siti Jenar dan kemudian dipopulerkan oleh Sultan Hadiwijoyo
(alias Joko Tingkir, Raja Pajang) ini berangkat dari pemikiran tunggal:
setiap manusia berhak bertemu dengan Tuhannya.
Akmaliyah
tak mengenal mursyid (guru) sebagaimana aliran tarekat lain, melainkan
sekadar sosok koordinator belaka. Lelakunya ringan, jumlah zikirnya tak
dibatasi bilangan, cukup disesuaikan dengan kemampuan. Tarekat ini juga
tidak mengenal tradisi pemondokan dan baiat. Setelah berdiskusi dengan
koordinator untuk meluruskan persepsi, jemaah bisa membaca wirid sendiri
di rumah.
Tasawuf perkotaan kontemporer selama dua dekade telah menyodorkan jalan lebih ”aman”, tapi dengan pendekatan yang mengingatkan kita pada kursus body language, bahasa Inggris tiga bulan lancar, dan sejenisnya. Ada pelatihan salat khusyuk, lokakarya tiga jam untuk mengalami hakikat syahadat tanpa tarekat, dan masih banyak lagi.
Tasawuf perkotaan kontemporer selama dua dekade telah menyodorkan jalan lebih ”aman”, tapi dengan pendekatan yang mengingatkan kita pada kursus body language, bahasa Inggris tiga bulan lancar, dan sejenisnya. Ada pelatihan salat khusyuk, lokakarya tiga jam untuk mengalami hakikat syahadat tanpa tarekat, dan masih banyak lagi.
Instan
memang. Bahkan, menurut Bambang Pranggono, dosen Fakultas Teknik
Universitas Islam Bandung, gejala ini memperlihatkan ”indikasi betapa
materialisme merasuk ke dalam semua sendi keislaman, ketika semua harus
dinilai dengan uang, dari syahadat, salat, hingga haji”—seperti tertulis
dalam makalahnya, ”Sufisme Perkotaan”, yang dibacakannya pekan lalu di
Bandung.
DI
sebuah hotel di Jalan Pelajar Pejuang, Bandung, anak-anak muda pengikut
pengajian tasawuf berkumpul untuk menyambut sesuatu yang besar:
lailatul qadar. Ritual yang berawal pada pukul 21.00 itu ditutup dengan
doa Kumail (doa khusus Nabi Khaidir), lalu Jausyan Kabir pada pukul
02.00, hanya beberapa saat menjelang sahur.
Tasawuf,
yang selama beratus tahun divonis sebagai sumber keterbelakangan, kini
memiliki citra yang baru—ia wisdom dari desa yang kemudian dimodifikasi
sesuai dengan selera kota. Tiga tahun mengikuti Paramadina, Rara
Rengganis Dewi, 45 tahun, yang menyukai musik Scorpion, Queen, Hadad
Alwi, dan Opick, membuat kesimpulan menarik. ”Saya lebih mampu
berbahagia dan menikmati kehidupan,” katanya. Rara, yang tinggal di
Jakarta dan gandrung tasawuf, mengambil magister Islamic Mysticism ICAS
(Islamic College for Advanced Studies).
Melalui kajian yang sama, Arief Aziz, 25 tahun, kemudian memahami perbedaan antara Ibn Arabi dan Jalaluddin Rumi. Anak muda ini mengenal sejumlah nama besar dengan gagasan besar: Rabiah al-Adawiyah, Rumi, Arabi, juga martir yang kontroversial seperti Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Arief juga mengaku menerapkan zuhud dalam kehidupan kesehariannya. Memakai telepon seluler tua, ia berpegang pada asas manfaat dan menolak ikut latah.
Melalui kajian yang sama, Arief Aziz, 25 tahun, kemudian memahami perbedaan antara Ibn Arabi dan Jalaluddin Rumi. Anak muda ini mengenal sejumlah nama besar dengan gagasan besar: Rabiah al-Adawiyah, Rumi, Arabi, juga martir yang kontroversial seperti Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Arief juga mengaku menerapkan zuhud dalam kehidupan kesehariannya. Memakai telepon seluler tua, ia berpegang pada asas manfaat dan menolak ikut latah.
Sufisme
perkotaan merupakan anak modernisme. Kehadirannya berdampingan
dan berinteraksi dengan produk-produk modernisme lain: liberalisme,
ateisme, feminisme, konsumerisme, materialisme, dan sebagainya. Ada
yang berdiri dalam tarekat tradisional, ada pula yang tanpa tarekat.
”Semua bisa kita pahami dengan penuh empati sebagai kegelisahan setetes
air yang rindu akan kebahagiaan, bersatu lagi dengan lautan,” demikian
Bambang Pranggono mengakhiri makalahnya.
Idrus F. Shahab, Sita Planasari, Munawwaroh, Iqbal Muhtarom, Alwan Ridha Ramdan
Sumber : Tempointeraktif
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com