• Islam

  • Baligh

  • Akil

  • Merdeka

  • Iffah

  • Tazwij

    Maksudnya adalah orang yang pernah bersetubuh dengan wanita yang halal dari nikah yang sahih. Meski ketika bersetubuh itu tidak sampai mengeluarkan mani. Ini adalah yang maksud dengan ihshan oleh Asy-Syafi`iyah. Bila salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka pelaku zina itu bukan muhshan sehingga hukumannya bukan rajam.

    Penetapan Vonis Zina

    Dalam syariat Islam, pelaksanaan rajam bisa dilakukan namun harus ada ketetapan hukum yang sah dan pasti dari sebuah mahkamah syariah atau pengadilan syariat. Dan semua itu harus melalui proses hukum yang sesuai pula dengan ketentuan dari langit yaitu syariat Islam. Allah telah menetapkan bahwa hukuman zina hanya bisa dijatuhkan hanya melalui salah satu dari dua cara :

    a. Ikrar atau pengakuan dari pelaku

    Pengakuan sering disebut dengan `sayyidul adillah`, yaitu petunjuk yang paling utama. Karena pelaku langsung mengakui dan berikrar di muka hakim bahwa dirinya telah berzina, maka tidak perlu adanya saksi-saksi.

    Di zaman Rasulullah SAW, hampir semua kasus perzinahan diputuskan berdasarkan pengakuan para pelaku langsung. Seperti yang dilakukan kepada Maiz dan wanita Ghamidiyah.

    Teknis pengakuan atau ikrar di depan hakim adalah dengan mengucapkannya sekali saja. Hal itu seperti yang dikatakan oleh Imam Malik ra., Imam Asy-Syafi`i ra., Daud, At-Thabarani dan Abu Tsaur dengan berlandaskan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW kepada pelaku zina. Beliau memerintahkan kepada Unais untuk mendatangi wanita itu dan menanyakannya,`Bila wanita itu mengakui perbuatannya, maka rajamlah`. Hadits menjelaskan kepada kita bahwa bila seorang sudah mengaku, maka rajamlah dan tanpa memintanya mengulang-ulang pengakuannya.

    Namun Imam Abu Hanifah ra. mengatakan bahwa tidak cukup hanya dengan sekali pengakuan, harus empat kali diucapkan di majelis yang berbeda. Sedangkan pendapat Al-Hanabilah dan Ishaq seperti pendapat Imam Abu Hanifah ra., kecuali bahwa mereka tidak mengharuskan diucapkan di empat tempat yang berbeda.

    Bila orang yang telah berikrar bahwa dirinya berzina itu lalu mencabut kembali pengakuannya, maka hukuman hudud bisa dibatalkan. Pendapat ini didukung oleh Al-Hanafiyah, Asy-Syafi`iyyah dan Imam Ahmad bin Hanbal ra. Dasarnya adalah peristiwa yang terjadi saat eksekusi Maiz yang saat itu dia lari karena tidak tahan atas lemparan batu hukuman rajam. Lalu orang-orang mengejarnya beramai-ramai dan akhirnya mati. Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau menyesali perbuatan orang-orang itu dan berkata,

    `Mengapa tidak kalian biarkan saja dia lari?`
    .

    Sedangkan bila seseorang tidak mau mengakui perbuatan zinanya, maka tidak bisa dihukum. Meskipun pasangan zinanya telah mengaku.

    Dasarnya adalah sebuah hadits berikut :

    Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata bahwa dia telah berzina dengan seorang wanita. Lalu Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk memanggilnya dan menanyakannya, tapi wanita itu tidak mengakuinya. Maka Rasulullah SAW menghukum laki-laki yang mengaku dan melepaskan wanita yang tidak mengaku.

    b. Adanya Saksi yang Bersumpah di Depan Mahkamah

    Ketetapan bahwa seseorang telah berzina juga bisa dilakukan berdasarkan adanya saksi-saksi. Namun persaksian atas tuduhan zina itu sangat berat, karena tuduhan zina sendiri akan merusak kehormatan dan martabat seseorang, bahkan kehormatan keluarga dan juga anak keturunannya. Sehingga tidak sembarang tuduhan bisa membawa kepada ketetapan zina. Dan sebaliknya, tuduhan zina bila tidak lengkap akan menggiring penuduhnya ke hukuman yang berat.

    Syarat yang harus ada dalam persaksian tuduhan zina adalah :

    1. Jumlah saksi minimal empat orang. Allah berfirman,`Dan terhadap wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu yang menyaksikan`..

    2. Bila jumlah yang bersaksi itu kurang dari empat, maka mereka yang bersaksi itulah yang harus dihukum hudud. Dalilnya adalah apa yang dilakukan oleh Umar bin Al-Khattab terhadap tiga orang yang bersaksi atas tuduhan zina Al-Mughirah. Mereka adalah Abu Bakarah, Nafi` dan Syibl bin Ma`bad.

    3. Para saksi ini sudah baligh semua. Bila salah satunya belum baligh, maka persaksian itu tidak syah.

    4. Para saksi ini adalah orang-orang yang waras akalnya.

    5. Para saksi ini adalah orang-orang yang beragama Islam.

    6. Para saksi ini melihat langsung dengan mata mereka peristiwa masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita yang berzina.

    7. Para saksi ini bersaksi dengan bahasa yang jelas dan vulgar, bukan dengan bahasa kiasan.

    8. Para saksi melihat peristiwa zina itu bersama-sama dalam satu majelis dna dalam satu waktu. Dan bila melihatnya bergantian, maka tidak syah persksian mereka.

    9. Para saksi ini semuanya laki-laki. Bila ada salah satunya wanita, maka persaksian mereka tidak syah.

    Di luar kedua hal diatas, maka tidak bisa dijadikan dasar hukuman rajam, tetapi bisa dilakukan hukuman ta`zir karena tidak menuntut proses yang telah ditetapkan dalam syariat secara baku.

    Dan syarat yang paling penting adalah bahwa perbuatan zina itu dilakukan di dalam wilayah hukum yang secara formal menerapkan hukum Islam. Syarat lainnya adalah bahwa hukuman zina itu hanya boleh dilakukan oleh pemerintah yang berdaulat secara resmi. Bukan dilakuakn oleh orang per orang atau lembaga swasta. Ormas, yayasan, pesantren, pengajian, jamaah majelis taklim, perkumpulan atau pun majelis ulama tidak berhak melakukannya, kecuali ada mandat resmi dari pemerintahan yang berkuasa.

    Sehingga semua kasus zina di Indonesia ini, tidak ada satu pun yang bisa diterapkan hukum rajam, sebab secara formal pemerintah negara ini tidak memberlakukan hukum Islam. Tentu saja perbuatan itu tetap harus dipertanggung-jawabkan di mahkamah tertinggi di alam akhirat nanti. Baik bagi si pelaku zina maupun di penguasa yang tidak menjalankan hukum Allah.

    والله أعلم بالصواب والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

    Ahmad Sarwat, Lc.

    Sumber hukum rajam : http://assunnah.or.id