Partai el clasico antara Barcelona dan Real Madrid.
KOMPAS.com — Hampir dalam tiap ajang olahraga, selalu
ada rivalitas menyertai. Di arena balap Formula 1, dunia pernah
menyaksikan Niki Lauda-James Hunt, Ayrton Senna-Alain Prost, hingga
Michael Schumacher-Mika Hakkinen adu salip menjadi juara dalam tiap
grand prix.
Di
ring tinju pun kita mengenal persaingan Muhammad Ali dan Joe Frazier.
Sementara di lapangan hijau, rasanya persaingan antara Barcelona dan
Real Madrid mewakili rivalitas yang setara dengan contoh-contoh itu.
Sejak
pertemuan perdana kedua klub pada 1929 hingga terakhir pada 2 Maret
2013, rivalitas Barca dan Madrid telah mengalami transformasi. El
Clasico
—begitu sebutan pertandingan ini—semula adalah simbol
perlawanan bangsa Catalan terhadap sentralisasi kekuasaan Jenderal
Franco di ibu kota Madrid.
Perjalanan waktu menggeser laga kedua
klub sebagai pertarungan memperebutkan klaim menjadi yang paling
superior di negara Semenanjung Iberia itu. Beragam bumbu pun turut
mewarnai adu sikut antara
Blaugrana dan
Los Blancos. Mulai dari rebutan pemain, transfer kontroversial, hingga persaingan manajer dan pemain terbaik.
Embrio FrancoMembahas
rivalitas Barca-Madrid, sulit untuk tidak memulainya dari Francisco
Franco, eks diktator Spanyol yang berkuasa sejak 1939 hingga meninggal
pada 1975. Seusai Perang Saudara di Spanyol, Barcelona menjadi salah
satu sasaran manuver Franco dalam memulai sentralisasi kekuasaan.
Setelah
mengeksekusi Presiden Barcelona Josep Sunyol pada 1936, Franco
"mengacak-acak" internal klub Barcelona. Ia menempatkan salah satu
tangan kanannya sebagai presiden klub, mengganti lambang klub Barcelona,
menghapus simbol
senyera, serta mengganti nama Barcelona dengan Barcelona Club de Futbol yang lebih bernuansa Spanyol.
Warga Catalan menjadikan Barcelona dan Stadion Les Corts sebagai bagian dari pernyataan politik melawan Franco. Bukunya
El Clasico: Barcelona vs Real Madrid: Football's Greatest Rivalry, karya jurnalis Richard Fitzpatrick menggambarkannya.
Fitzpatrick mengutip pernyataan Joan Maria Pou, seorang penyiar radio Catalan, menuturkan bagaimana menjadi
socio (anggota) klub Barca merupakan sikap politik bagi warga Catalan.
"Ayahku
lahir pada 2 Januari 1945. Ketika ia lahir, kakekku langsung
mendaftarkannya ke Les Corts. [...]. Di balik tindakan ini ada pesan
terselip. Kakekku memang sangat menyukai Barcelona. Tapi lebih dari itu,
ia adalah orang Catalan dan ia benci Franco. Ia menentang institusi
pemerintahan resmi. Barca-lah satu-satunya institusi yang mewakili
perasaannya." [...] "Zaman sekarang, Anda tak perlu menggunakan Barca untuk mendefinisikan diri Anda. Tapi masa itu beda." Dalam
buku tersebut, Fitzpatrick menyebut identitas penduduk Barcelona
terbentuk dari sentimen anti-Madrid. Warga Catalan kerap membanggakan
identitas mereka, terlihat dari cara mereka mempertahankan bahasa asli
Catalan ketimbang bahasa Castilla yang lebih umum digunakan di Madrid.
Warga
Catalan juga berupaya keras memperoleh otonomi daerah. Meski Franco
sudah lama wafat dan era pemerintahan Spanyol telah berganti, tensi
politik antara Catalan dan Madrid tetap terasa hingga kini.
Dua kuda pacu kayaSelain
faktor sejarah dan muatan politisnya, El Clasico dipanaskan pula dengan
perebutan pengaruh kedua klub sebagai penguasa utama Liga Spanyol.
Indikasi soal ini dapat terlihat sejak musim 2004/05.
Menurut statistik di situs
Goal.com,
tim yang mampu menang setidaknya dalam satu laga El Clasico punya kans
lebih besar untuk menjuarai liga pada akhir musim. Sebutlah musim
2005/06 sebagai contoh pertama.
Dalam El Clasico di Santiago
Bernabeu, Barca pulang dengan kemenangan 3-0. Lalu pada kunjungan
balasan Madrid ke Camp Nou, kedua tim bermain imbang 1-1. Hasilnya, pada
akhir musim, Barca-lah yang menjuarai liga.
Sebaliknya adalah
musim 2006/07. Madrid menang 2-0, lalu imbang 3-3 dalam dua kali
pertemuan kedua klub. El Real pun sukses mengudeta Barca sebagai juara.
Musim
2012/13 barangkali adalah pengecualian. Meski Madrid sempat mengalahkan
Barca 2-1 di Santiago Bernabeu, tetapi justru Barcelona yang merajai
liga pada akhir musim.
Dalam sebuah pernyataannya pada Agustus,
gelandang andalan Barca Xavi Hernandez pernah menolak anggapan bahwa
Liga Spanyol merupakan ajang dua kuda pacu. Ia berpendapat, saat ini
lebih banyak klub Spanyol yang bisa menjadi kekuatan baru. Malaga, sebut
dia, adalah salah satunya.
"Aku tak percaya kompetisi Liga BBVA
hanya untuk dua kuda pacu. Seluruh klub berjuang meraih kemenangan.
Malaga telah membuktikan hal tersebut," jelas Xavi seusai menaklukkan
Malaga 1-0, Minggu (25/8/2013).
Namun nyatanya, sejak 2004 Barca
dan Madrid praktis adalah penguasa La Liga. Seperti yang dikemukakan
Fitzpatrick, sulit bagi suporter selain kedua klub untuk memikirkan kans
juara. Klub-klub lain hanya berkonsentrasi untuk bertahan di La Liga,
atau memburu tiket kompetisi Eropa.
Mengapa Barca dan Madrid?Tak bisa dimungkiri, ada kekuatan dana bicara. Bukan rahasia soal besarnya anggaran kedua klub raksasa itu.
Fitzpatrick
menyebutkan, anggaran belanja kedua tim ini empat kali lebih besar
dibanding klub-klub lain. Favoritisme penonton televisi terhadap dua
klub ini pun turut berpengaruh.
Sistem pembagian hak siar di
Spanyol tidak sama dengan di Inggris, misalnya. Klub-klub Spanyol tidak
bernegosiasi secara kolektif mengenai pembagian hak siar. Masing-masing
klub bernegosiasi sendiri. Hanya sedikit klub yang bisa menawar dengan
harga tinggi, yang itu adalah Madrid dan Barca di antaranya.
Dalam
satu musim, baik Madrid maupun Barca bisa menangguk 110 juta euro dari
hak siar televisi. Jumlah ini dua kali lipat dibanding juara Premier
League Manchester United yang "hanya" mendapat 50 juta euro.
Bandingkan
dengan Valencia yang hanya menangguk 37 juta euro. Klub-klub pesaing
pun tak berdaya sehingga menyuarakan perlunya pembagian hak siar yang
lebih adil.
Keuntungan dari hak siar, ditambah penjualan tiket stadion serta
merchandise
ini, memungkinkan Barca maupun Madrid membeli pemain-pemain yang
dinilai layak menjadikan skuad mereka mampu bersaing. Kehadiran
bintang-bintang juga menjadi "penghias" setiap episode El Clasico,
membuat pertemuan kedua kubu menjadi begitu memikat.
"By-product" rivalitasPada
akhirnya, apa pun sejarah dan latarnya, di lapangan hijaulah bermuara
persaingan kedua klub ini. Karena itu, El Clasico pun kerap "melahirkan"
rivalitas baru.
Dalam tiap laga kedua tim, akan ada dua pelatih
yang memutar otak demi menemukan strategi terbaik meredam lawan. Di
lapangan, akan ada dua pemain tengah yang beradu lihai mengatur
permainan, dan dua penyerang beradu tajam untuk mencetak gol. El Clasico
bukan lagi soal klub Barca atau Madrid.
Tengoklah era 2010/11
dan 2011/12. Ketika Barca masih dilatih Josep Guardiola dan Madrid masih
diarsiteki Jose Mourinho. Setiap panggung El Clasico menghadirkan pula
sosok Pep dan Mou kerap sebagai penyita perhatian dunia, baik dari
kejeniusan masing-masing beradu strategi maupun adu mulut mereka di
media.
Rivalitas lain yang muncul pula dari El Clasico adalah
Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi. Kerap digadang sebagai dua pesepak
bola terbaik muka bumi saat ini, CR7 dan Messi selalu dibandingkan,
didiskusikan, hingga dijadikan perdebatan soal siapa yang lebih baik.
Setiap El Clasico datang, perhatian yang sudah menggunung terhadap
keduanya pun akan semakin bertambah.
Selain CR7 dan Messi, lampu
sorot di lapangan hijau musim ini juga akan jatuh pada dua pemain lain.
Neymar, pemain berbakat Brasil yang didatangkan Barca dari Santos, serta
Gareth Bale yang kedatangannya ke Madrid memecahkan rekor pemain
termahal dengan banderol 100 juta euro. Pertanyaan untuk dua nama ini
adalah "sejauh apa kontribusi mereka di El Clasico".
Dari semua
persaingan kontemporer, barangkali yang paling menarik adalah pengaruh
El Clasico terhadap media massa di Spanyol. Baik Madrid maupun Barca
masing-masing disokong media olahraga besar di negara Semenanjung Iberia
tersebut.
Madrid didukung oleh
AS dan
Marca, sementara Barca didukung
Sport dan
Mundo Deportivo.
Keempat media ini kerap terlibat "perang propaganda" mengenai Madrid
dan Barca demi menciptakan berita utama yang bombastis. Contohnya saja
saat Barcelona menang melawan Athletic Bilbao.
Contoh lain, tabloid
AS memuat gambar yang menunjukkan seolah bek Barca Dani Alves berada dalam posisi
offside.
Belakangan diketahui, foto tersebut telah diedit sedemikian rupa dan
menghilangkan bek lawan yang berada dalam posisi sejajar dengan Alves.
Mengutip Sid Lowe, kolumnis sepak bola Spanyol untuk tabloid Inggris
Guardian, hal ini berbeda dengan media massa di Inggris. Media Inggris seperti
Guardian,
The Sun, atau
Mirror yang tak memihak klub mana pun di Premier League.
"Di
Madrid, cerita yang menjual adalah Madrid menang. Editor sebuah surat
kabar mengakui, penjualan korannya meningkat setiap Madrid menang. Di
Spanyol, prisma untuk melihat ini (persaingan Madrid-Barca) sangat
bias," kata Lowe, masih dikutip dari buku Fitzpatrick.
Perkataan Lowe mendapat dukungan Santiago Segurla, penulis
Marca.
"Perseteruan Madrid-Barca menciptakan jurnalisme kacangan yang
menciptakan (sikap) agresif dan mengakar pada kedua klub. Jurnalisme
seputar dua klub ini mengarahkan munculnya konfrontasi. Pemberitaan yang
ada lebih ke arah menyesatkan, ketimbang menunjukkan bahwa Barca-Madrid
hanya bersaing di sepak bola," kata dia.
Saling memacu Tingginya
tensi persaingan Barca dan Madrid, ditambah masifnya pemberitaan media,
memberi tekanan berat kepada kedua klub. Akibatnya, kekalahan menjadi
sesuatu yang tak bisa ditoleransi.
Tekanan ini juga yang
menimbulkan sikap paranoia terhadap hal lain. Misalnya, terhadap
kepemimpinan wasit dalam pertandingan kedua kubu. Ujungnya, tetaplah
ambisi kedua klub untuk makin mengalahkan.
Namun pada akhirnya,
persaingan antara Barca dan Madrid pula yang memicu satu sama lain untuk
terus memperbaiki diri. Hal ini diutarakan oleh Lowe.
"Mereka
saling memacu. Kalau saja Barcelona tak sebagus itu, Madrid takkan
begitu berambisi menghabiskan banyak uang. Kalau Madrid tak begitu
ngotot mengejar Barcelona, Barcelona takkan repot-repot berpikir
melakukan penambahan pemain di skuad," kata Lowe.
El Clasico
harus diterima bukanlah rivalitas biasa. Jejak sejarah, gengsi, ambisi,
bahkan propaganda media massa menjadi bensin yang membakar dan menjaga
nyala perseteruan ini.
Apakah sejarah panjang El Clasico berikut
segala bumbu dan nuansanya itu masih berlanjut, lapangan hijau yang
kembali akan menguji. Kesempatan itu datang pada Sabtu (26/10/2013)
pukul 22.30 WIB. Saat jutaan mata terpaku ke pertandingan mereka, El
Clasico pun akan menguji dirinya sendiri.