ARTIKEL PILIHAN

GOOGLE TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

ARTIKEL PILIHAN

Berita Menggemparkan! BAHAYA BUMBU MIE INSTAN

Written By Situs Baginda Ery (New) on Kamis, 10 Oktober 2013 | 22.16

 


by: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=649437535096702&set=a.544796048894185.1073741826.528521597188297&type=1
BAHAYA BUMBU MIE INSTAN -------------------------------- Bagi penyuka MIE Instan. tolong diperhatikan : HATI-HATI, Bumbu Mie Instan TIDAK BOLEH DIMASAK !!!PERINGATAN BAGI KITA SEMUA BAHWA MIE INSTANT TIDAK BOLEH DIMASAK BERSAMAAN DENGAN BUMBUNYA, KARENA MSG (MONO SODIUM GLUTAMAT) BILA DIMASAK DI ATAS 120C AKAN BERPOTENSI MENJADI KARSINOGEN, PENCETUS KANKER. PERHATIKAN SEMUA KEMASAN MIE INSTAN, KEBANYAKAN PROSEDURNYA MASAK MIE DULU BARU DITABURI BUMBU. BUMBU DI TARUH DI MANGKOK DULU. JADI JANGAN PERNAH MASAK MIE BESERTA BUMBUNYA! BAHAYA !!! Tolong dapat diteruskan ke orang2 yang suka makan MIE. Dan dari hasil penelitian : Mengkonsumsi mie instant 4 hari berturut-turut berpotensi kanker, mioma, kista atau amandel sebesar 75%. Jika anda tidak percaya, cobalah ambil kuah / bumbu mie instant lalu taburkan ke atas pot yang berisi Bunga/ tumbuhan.. Beberapa hari kmdian tumbuhan trsb akan layu/ mati. Berlaku dalam ukuran (1 : 1). Sayangi keluarga anda...jauhi dr penyakit. Masih banyak zat kimia yang tidak sengaja masuk di dalam tbh lwt mknn spt: nasi non organik,bakso,tahu & tempe kedelai non organik,ayam potong dll Untuk mengeluarkan semua racun tsbt minumlah minyak ikan salmon alaska, plak dialiran darah hilang dan anda akan sehat kembali, buktikan sendiri yaa... Penting bagi wanita !! Tidak disarankan makan bayam & tahu bersamaan, karna jika digabungkan akan membentuk senyawa yg bisa mengakibatkan terbentuknya batu / kista dalam tubuh. (Hasil penelitian Prof. Dr. Asbudi,SPOG) Jangan makan timun saat haid karna bisa menyebabkan darah haid tersisa di dinding rahim, setelah 5-10 hari dpt sebabkan KISTA & KANKER RAHIM. Alangkah baiknya bila info ini disebarkan ke banyak wanita sebagai tanda kepedulian kita terhadap sesama. Mencegah lebih baik dari pada mengobati. Sedikit info dari admin Semua Ada Disini. Semoga artikel ini bermanfaat.
22.16 | 0 komentar | Read More

Tentang Nabi Adam: Allah Menciptakan Nabi Adam Menurut Bentuk-Nya

by: http://alhilyahblog.wordpress.com/2012/06/18/allah-menciptakan-nabi-adam-berdasarkan-bentuk-nya/


Pertanyaan:
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Adam berdasarkan bentuk-Nya. Apakah makna dari hal itu bahwa semua yang dimiliki Adam berasal dari sifat-sifat yang dimiliki Allah?

Tauhid nama dan sifat Allah 
Jawab:
Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
إِنَّ اللهَ خَلَقَ آدَمَ عَلَى صُوْرَتِهِ
“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam ‘alaihi salam berdasarkan bentuk-Nya.”
Disebutkan dalam riwayat Ahmad dan sejumlah ahli hadits,
عَلَى صُوْرَةِ الرَّحْمَنِ
“..berdasarkan bentuk ar-Rahman (Allah).”
Jadi dhamir (kata ganti ketiga) dalam hadits pertama kembali kepada Allah.
Para ulama seperti Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan ulama salaf lainnya berkata, “Kita wajib menetapkannya seperti yang dikabarkan sesuai dengan aspek yang layak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa menyamakan, menyerupakan dan meniadakan. Hal itu tidak berarti bentuk Allah seperti bentuk manusia, sebagaimana saat menetakan wajah, tangan, jari, telapak kaki, ridha, marah dan yang lainnya dari sifat Allah bukan berarti hal itu sama dengan sifat-sifat manusia. Allah disifati sesuai dengan apa yang Allah kabarkan tentang diri-Nya atau yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam berdasarkan aspek yang layak bagi-Nya tanpa ada kesamaan sedikitpun dengan makhluk-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS asy-Syura: 11)
Jadi kita wajib menetapkannya seperti dimaksudkan Nabi tanpa takyif (menanyakan bagaimana) dan tamtsil (penyerupaan).
Sedangkan makna hadits di atas – wallahu a’lam – Allah menciptakan Adam berdasarkan bentuk-Nya yang memiliki wajah, pendengaran dan penglihatan, dapat mendengar, berbicara, melihat dan berbuat apa saja yang ia inginkan. Namun tidak berarti bahwa wajahnya seperti wajah Allah, pendengarannya seperti pendengaran Allah, penglihatannya seperti penglihatan Allah dan seterusnya. Dan tidak berarti bahwa bentuknya seperti bentuk Allah. Inilah kaidah umum dalam masalah ini bagi ahlus sunnah wal jama’ah, yaitu menetapkan ayat dan hadits yang menerangkan sifat-sifat Allah seperti zhahirnya tanpa tahrif (menyelewengkan makna), takyif (menanyakan bagaimana), tanpa tamtsil (menyerupakan) dan tanpa ta’thil (meniadakan), tapi mereka menetapkan nama dan sifat-sifat Allah dengan penetapan tanpa tamtsil dan mereka mensucikan Allah dari menyamakan-Nya dengan makhluk-Nya dengan pensucian tanpa ta’thil.
Berbeda dengan ahli bid’ah dari golongan Mu’aththilah (menolak sifat-sifat Allah) dan Musyabbihah (menyamakan sifat Allah dengan makhluk-Nya). Karena pendengaran, penglihatan dan pengetahuan makhluk tidak sama dengan pendengaran, penglihatan dan pengetahuan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sekalipun keduanya sama dalam sifat pengetahuan, pendengaran dan penglihatan, tapi yang khusus bagi Allah tidak sama dengan yang dimiliki oleh seorang pun dari makhluk-Nya dan tidak ada yang serupa dengan-Nya. Karena sifat-sifat Allah sempurna, tidak ada kekurangan dari segala sisi. Sedangkan sifat-sifat makhluk memiliki kekurangan dan dapat hilang baik dalam hal pengetahuan, pendengaran, penglihatan dan segala sesuatu. Wallahu waliyyut taufiq. (Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah)
***
Disusun ulang dari Menjawab Ayat dan Hadits kontroversi Tim Dar ats-Tsabat penerbit Pustaka at-Tazkia 2010.
21.58 | 0 komentar | Read More

Inilah 3 Masalah Penting Perbedaan Shalat Wanita Dengan Laki-Laki


Perbedaan shalat wanita dengan laki-laki 
Ketahuilah, bahwa asal hukum-hukum syar’i tidak ada perbedaan antara wanita dan laki-laki. Termasuk dalam hal ini adalah masalah shalat. Dalam shalat ada beberapa hukum yang kaum wanita berbeda dengan laki-laki, yang paling kami anggap terpenting adalah sebagai berikut:

A. Tempat Berdirinya Wanita Adalah di Belakang Imam

Tidak ada perselisihan antara ahli ilmu bahwa yang sunnah adalah wanita berdiri di belakang laki-laki bila sedang shalat berjama’ah.[1]
Yang mendasari hal ini adalah haditsnya Anas, dia berkata,
Aku shalat bersama seorang anak yatim di rumahku, kami berdiri di belakang Rasulullah, dan ibuku -Ummu Sulaim- berdiri di belakang kami. (HR.Bukhari: 727, Muslim: 658)
Dari Abu Hurairoh bahwasanya Rasulullah bersabda,
“Sebaik-baiknya shof laki-laki adalah yang paling depan, dan yang paling jelek adalah yang paling belakang. Dan sebaik-baiknya shof wanita adalah yang paling belakang, dan yang paling jelek adalah yang paling depan.” (HR Muslim: 440)
Hadits ini menunjukkan bahwa wanita adalah berdirinya di belakang laki-laki. (Ahkam al-Imamah hal. 321)
Para wanita yang shalat bersama kaum laki-laki dalam satu tempat, adapun bila wanita shalat di tempat khusus mereka, sebagaimana dijumpai pada sebagian masjid, maka mereka statusnya sama seperti laki-laki, yaitu shof yang terbaik bagi mereka adalah yang paling depan, dan yang paling jelek adalah yang paling akhir. (Syarah Shohih Muslim 4/403)
Dari penjelasan diatas, dapat kita pahami bahwa bagi wanita jika shalat berjama’ah maka mereka tetap berbaris dalam shof tidak berpencar sendiri-sendiri, mereka tetap diperintah untuk meluruskan shof, merapatkan barisan sebagaimana keumuman dalil-dalil yang memerintahkan hal tersebut.
Maka apabila ada seorang wanita yang shalat sendirian di belakang shof wanita tanpa ada udzur, maka shalatnya tidak sah menurut pendapat yang benar dari kalangan ulama. (Majmu’ Fatawa 23/396)

B. Tempat Berdirinya Wanita Jika Jadi Imam

Apabila wanita masuk masjid dan ternyata shalat berjama’ah sudah selesai, atau ketika mereka berkumpul di tempat khusus, maka boleh bagi mereka untuk shalat berjama’ah, demikian pula jika shalat sunnah apabila tidak dijadikan kebiasaan. (I’lamul Muwaqqi’ien 2/357)
Maka yang sunnah jika wanita sedang jadi imam bagi jama’ah wanita dia berdiri ditengah-tengah shof wanita, tidak di depannya.[2] Karena hal itu lebih tertutup bagi mereka. (Majmu’ Fatawa 23/246)
Dasarnya adalah bahwa Aisyah dan Ummu Salamah pernah mengimami jama’ah wanita dan mereka berdiri ditengah-tengah shof wanita dan tidak maju ke depan. (Ma Sohha Min Aatsari as-Shohabah Fil Fiqh 1/372-373, Zakaria bin Ghulam al-Bakistani)

C. Bila Wanita Lewat di Depan Orang Shalat

Tidak ada perselisihan di kalangan ulama bahwa lewatnya seorang laki-laki di depan orang shalat tidak membatalkan shalat orang yang sedang shalat. (Marotib al-Ijma’ hal. 35)
Adapun wanita, jika lewat di depan orang yang sedang shalat, sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa orang yang sedang shalat tersebut shalatnya batal dan terputus, harus di mulai lagi dari awal. Ini adalah pendapatnya sebagian para sahabat seperti Abu Hurairoh, Anas bin Malik, Ibnu Abbas, Hasan al-Bashri, Ibnu Hazm dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.[3] Disetujui oleh Ibnu Qudamah[4], Ibnu Taimiyyah[5] dan muridnya Ibnul Qoyyim[6]. Dan ini adalah pendapat yang benar. Allohu a’lam.
Dasarnya adalah sebuah hadits dari Abu Dzar bahwasanya Rasulullah bersabda,
“Apabila salah seorang diantara kalian berdiri shalat, maka akan menutupinya jika dia mengambil penutup seperti pelana kuda, jika tidak ada penutupnya, maka dapat memutus shalatnya tiga hal; keledai, wanita dan anjing hitam.” (HR.Muslim: 510)
Ini adalah dalil yang shahih, jelas dan tidak ada cacatnya sedikitpun, sisi pendalillannya juga jelas, bahwa lewatnya seorang wanita di depan orang yang shalat akan membatalkan dan memutus shalat orang tersebut.
Yang dimaksud wanita yang dapat memutus shalat disini adalah wanita yang sudah baligh, adapun wanita yang masih kecil maka tidak dapat memutus shalat.[7] Sebagaimana riwayat Ibnu Abbas dari Nabi bahwasanya beliau bersabda,
“Dapat memutus shalat adalah anjing dan wanita yang haidh (sudah baligh).” (HR.Abu Dawud: 703, Nasai 2/64, Ibnu Majah: 949, Ahmad 5/293, dishohihkan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ 3/212)
Termasuk dalam hal ini pula adalah bila wanita lewat di depan wanita lain yang sedang shalat, maka hal inipun dapat memutus shalatnya, karena tidak ada bedanya antara yang shalat laki-laki atau wanita berdasarkan keumuman hadits diatas. Wallohu a’lam.[8]
***
Oleh Abu Anisah bin Luqman al-Atsari
yayasanalhanif.or.id
21.55 | 0 komentar | Read More

Ketahuilah Larangan Menyerupai Yahudi dan Nasrani dalam Menjadikan Kuburan Sebagai Tempat Ibadah

Larangan Menyerupai Yahudi dan Nasrani dalam Menjadikan Kuburan Sebagai Tempat Ibadah. Tree Grave - Courtesy of Deborah Sandidge www.betterphoto.com

by: http://alhilyahblog.wordpress.com/2011/10/01/larangan-menyerupai-yahudi-dan-nasrani-dalam-menjadikan-kuburan-sebagai-tempat-ibadah/
Sebagaimana kita ketahui, Islam adalah agama tauhid yang menegakan peribadahan hanya kepada Allah semata. Dakwah tauhid ini diserukan tidak hanya oleh Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam, tapi juga oleh seluruh Nabi dan Rasul. Dalam sebuah surat dalam al-Qur’an, yaitu Surat al-A’raf, Allah menyebut kisah beberapa Rasul yang mendakwahkan tauhid:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” (QS al-A’raf: 59)
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Ad saudara mereka, Hud. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (QS al-A’raf: 65)
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Saleh. Ia berkata. “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” (QS al-A’raf: 73)
“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syuaib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” (QS al-A’raf: 85)
Maka tidaklah mengherankan jika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam sangat memperhatikan masalah tauhid ini. Beliau berdakwah menitikberatkan pada masalah tauhid selama 13 tahun di Mekah. Berbagai hal yang bertentangan dengan tauhid pun telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam. Di antara perbuatan yang bisa menghilangkan atau mengurangi tauhid adalah mengaku mengetahui ilmu ghaib, sihir dan perdukunan, mengagungkan berhala atau patung-patung, berkurban untuk selain Allah, mengolok-olok agama, bertawasul kepada selain Allah atau bersumpah dengan selain nama Allah.
Di antara hal yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam terhadap umatnya adalah beribadah di kuburan atau menjadikan kubur sebagai tempat ibadah. Beberapa hadits yang menyebutkan pelarangan ini adalah sebagai berikut:
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia bercerita, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pernah bersabda ketika beliau sakit dan dalam keadaan berbaring,
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah (masjid).”
‘Aisyah berkata, “Kalau bukan karena (laknat) itu, niscaya kuburan beliau akan ditempatkan di tempat terbuka, hanya saja beliau takut kuburannya itu akan dijadikan sebagai masjid.” [1]
Dalam hadits lain, dari ‘Aisyah dan Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam menghadapi sakaratul maut, maka beliau menempelkan ujung baju beliau ke wajah beliau sendiri. Dan ketika ujung baju itu telah menutupi wajahnya, maka beliau membukanya kembali seraya bersabda, “Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka telah menjadikan makam Nabi-Nabi mereka sebagai masjid.” ‘Aisyah mengatakan, “Beliau memperingatkan agar tidak melakukan seperti apa yang mereka lakukan.” [2]
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengemukakan, “Seakan-akan Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam telah mengetahui bahwa beliau akan pergi
Larangan menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah.
Gereja Augustias di Portugal. Gereja yang dibangun di atas kubur Agostinho Xavier de Silva Vidigal yang meninggal pada tahun 1843.
selamanya melalui sakit yang beliau derita, sehingga beliau khawatir makam beliau akan diagung-agungkan seperti yang telah dilakukan orang-orang terdahulu. Oleh karena itu, beliau melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai isyarat yang menunjukkan celaan bagi orang-orang yang berbuat seperti perbuatan mereka.”
Dalam hadits lain, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia bercerita, ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam jatuh sakit, maka beberapa orang isteri beliau sempat membicarakan tentang sebuah gereja yang terdapat di negeri Habasyah (Ethiopia), yang diberi nama Maria – Ummu Salamah dan Ummu Habibah sudah pernah mendatangi negeri Habasyah – kemudian mereka menceritakan tentang keindahan gereja dan gambar-gambar yang terdapat di dalamnya. ‘Aisyah bercerita, “(Kemudian nabi shalallahu ‘alaihi wa salam mengangkat kepalanya) seraya berucap, “Mereka itu adalah orang-orang yang jika ada orang shalih di antara mereka yang meninggal dunia, maka mereka akan membangun masjid di makamnya itu lalu mereka memberi barbagai macam gambar di tempat tersebut. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah (pada hari kiamat kelak).” [3]
Pengertian Menjadikan Makam Sebagai Masjid
Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan di dalam kitab az-Zawaajir (I/121), “Menjadikan makam sebagai masjid berarti shalat di atasnya atau dengan menghadap ke arahnya.”
Larangan menyerupai Yahudi dan Nasrani dalam menjadikan kubur sebagai tempat ibadah.
Gereja St Servatius di Belanda yang dibangun di atas kubur pendeta St Servatius yang meninggal tahun 384. Telah menjadi tempat ziarah selama berabad-abad.
Imam al-Bukhari menerjemahkan hadits pertama dengan mengatakan, “Bab Maa Yukrahu min Ittikhaadzil Masaajid ‘alal Qubuur (Bab Dimakruhkan Membangun Masjid di Atas Kuburan).” Beliau mengisyaratkan bahwa larangan menjadikan kuburan sebagai masjid berkonsekuensi pada larangan membangun masjid di atasnya.
Tidak ada perbedaan antara membangun masjid di atas kuburan dengan menempatkan kuburan di dalam masjid, sehingga keduanya sama-sama diharamkan. Hal ini menunjukan bahwa masjid dan kuburan itu tidak dapat dikumpulkan dalam satu tempat dan berkumpulnya dua hal tersebut bertentangan dengan tauhid dan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan karena keikhlasan inilah masjid itu dibangun. Allah berfirman,
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS al-Jin: 18)
Al-Manawi di dalam kitab Faidhul Qadiir mengatakan, “Artinya, mereka menjadikan makam para Nabi itu sebagai arah kiblat mereka dengan keyakinan mereka yang salah. Dan menjadikan makam itu sebagai masjid menuntut keharusan pembangunan masjid di atasnya dan juga sebaliknya. Hal demikian itu menjelaskan sebab dilaknatnya mereka, yaitu karena tindakan tersebut mengandung sikap berlebihan dalam pengagungan. Al-Qadhi (yakni al-Baidhawi) mengatakan, “Orang-orang Yahudi bersujud kepada makam para Nabi sebagai pengagungan terhadap mereka dan menjadikannya sebagai kiblat, mereka juga menghadap ke makam itu dalam mengerjakan shalat dan ibadah lainnya, sehingga dengan demikian mereka telah menjadikannya sebagai berhala yang dilaknat oleh Allah. Dan Allah telah melarang kaum muslimin melakukan hal tersebut.”
Kenyataan yang ada akibat perbuatan menempatkan kuburan di masjid (atau sebaliknya) adalah berbagai penyimpangan dalam beribadah. Di antaranya berupa pengagungan terhadap penghuni kubur yang dianggap orang shalih lantas menjadikan kubur tersebut sebagai sarana bertaqarrub kepada Allah dengan melakukan berbagai ibadah seperti shalat,  dzikir dan berdo’a. Terlebih lagi jika mereka menjadikan penghuni kubur sebagai perantara dalam berdo’a kepada Allah atau memiliki keyakinan bahwa penghuni kubur tersebut berkuasa untuk dimintai pertolongan atau menghindari mudharat. Padahal Allah berfirman,
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS az-Zumar: 3)
***
Rujukan:
1. Larangan Shalat di Masjid yang Dibangun di Atas Kubur, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Pustaka Imam asy-Syafi’i, 2004
2. Kitab Tauhid 3, DR. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Darul Haq, 1999
[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (III/156, 198 dan VIII/114), Muslim (II/67)
[2] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (I/422, VI/386 dan VIII/116), Muslim (II/67), Abu Awanah (I/399), an-Nasa’i (I/115) dll.
[3] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (I/416 dan 422), Muslim (II/66), an-Nasa’i (I/115), Ahmad (VI/51) dll.
21.53 | 0 komentar | Read More

Urgensi Segera Menyambut Seruan Allah dan Rasul-Nya Serta Pengaruhnya Terhadap Petunjuk dan Taufik Allah Azza wa Jalla


 

by: http://alhilyahblog.wordpress.com/2013/07/15/urgensi-segera-menyambut-seruan-allah-dan-pengaruhnya-thd-petunjuk/

1. Antara Petunjuk dan Kesesatan

Berkali-kali di dalam al-Qur-an dijelaskan bahwa amal perbuatan yang dilakukan dengan hati dan anggota badan merupakan sebab datangnya dua hal; petunjuk atau kesesatan. Maka sedikit banyaknya perbuatan yang dilakukan seorang hamba dengan hati dan anggota badannya, merupakan penyebab utama datangnya petunjuk atau kesesatan.
Perbuatan yang dilakukan dengan hati dan anggota badan tersebut dapat mendatangkan petunjuk bagi seseorang, layaknya suatu sebab mendatangkan akibat dan pengaruh. Demikian pula yang berlaku pada kesesatan.
Dengan kata lain, semua amal kebajikan yang dilakukan dapat berbuah petunjuk bagi pelakunya. Semakin banyak amal kebajikan yang dilakukan semakin banyak pula petunjuk yang diperoleh. Demikian pula sebaliknya. Semakin banyak perbuatan buruk yang dilakukan, semakin banyak pula kesesatan yang diperoleh. Hal itu karena Allah menyukai kebajikan, sehingga Dia membalasnya dengan petunjuk dan keberuntungan. Tapi Allah tidak menyukai keburukan, sehingga Dia membalasnya dengan kesesatan dan kesengsaraan.
Allah Mahabaik dan mencintai orang-orang yang suka berbuat Baik. Dia menjadikan hati mereka dekat kepada-Nya sesuai dengan kadar kebaikan yang mereka lakukan. Allah pun membenci keburukan dan orang-orang yang suka berbuat buruk. Dan hati mereka dijauhkan dari-Nya sesuai dengan kadar kejahatan yang dilakukan.
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa kebajikan membawa kepada petunjuk adalah firman Allah ta’ala:
الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
“Alif laam miim. Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 1-2)
Ayat ini mengandung dua makna berikut:
  1. Dengan al-Qur-an ini Allah memberikan hidayah kepada orang-orang yang menjaga diri mereka dari segala yang di benci-Nya, sebelum diturunkannya al-Qur’an kepada mereka. Sebab, meskipun mempunyai kepercayaan yang beraneka ragam, umat manusia sebenarnya mengakui bahwa Allah sangat membenci kedzaliman, kekejian dan kerusakan di muka bumi, serta membenci para pelaku perbuatan tersebut. Di samping itu, mereka pun mengetahui bahwa Allah mencintai keadilan, kebaikan, kemurahan hati, kejujuran dan upaya-upaya perbaikan di muka bumi, serta mencintai orang-orang yang mengusahakan hal-hal tersebut. Setelah al-Qur’an diturunkan, Allah lantas memberikan pahala kepada orang yang suka berbuat kebajikan itu, yaitu berupa taufik untuk beriman, sebagai balasan kebaikan dan ketaatan mereka. Di samping itu, Allah menelantarkan orang-orang yang suka berbuat jahat, keji dan aniaya pada waktu itu, sehingga mereka terhalang untuk mendapatkan hidayah-Nya.
  2. Apabila seorang hamba telah mengimani al-Qur’an mengikuti petunjuknya secara umum, serta menerima perintah dan membenarkan kandungan berita di dalamnya, niscaya al-Qur’an menjadi pendorong baginya untuk mendapatkan hidayah lain, hingga ia memperoleh hidayah al-Qur’an ini secara terperinci. Sebagaimana dimaklumi, hidayah Allah tidaklah terbatas. Berapa pun banyaknya hidayah yang diperoleh seorang hamba, pasti masih ada hidayah di atasnya, lalu di atasnya ada lagi hidayah lainnya, dan demikian seterusnya.

2. Antara Takwa dan Hidayah

Semakin meningkat ketakwaan seorang kepada Rabbnya, semakin meningkat pula hidayah yang diperolehnya. Sebaliknya, sebesar kegagalan seorang hamba dalam merajut ketakwaan dirinya, maka sebesar itu pula kegagalannya dalam menggapai hidayah. Dengan kata lain, setiap kali ia menambah kualitas takwanya, maka bertambah pula hidayahnya. Dan setiap kali ia mendapatkan hidayah, berarti kualitas ketakwaannya telah meningkat.
Allah berfirman,
“… sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”  (QS. al-Maidah: 15-16)
Allah juga berfirman,
“…  Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. asy-Syuraa: 13)
Allah pun berfirman,
“Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran.” (QS. al-A’laa: 10)
Dan Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya…” (QS. Yunus: 9)
Dari beberapa ayat ini dapat dipahami bahwa mula-mula Allah memberikan hidayah iman kepada orang-orang tersebut. Setelah beriman, diberikanlah kepada mereka hidayah untuk meningkatkan keimanan tersebut. Lalu hidayah demi hidayah pun akan dianugerahkan kepada mereka.
Makna yang sama juga ditunjukkan oleh firman Allah,
“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.” (QS. Maryam: 76)
Begitu pula firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan…” (QS. al-Anfaal: 29)
Di antara makna kata furqaan di dalam ayat itu adalah cahaya yang diberikan kepada manusia, sehingga mereka bisa membedakan antara yang haq dan yang  bathil. Atau bisa juga berarti pertolongan dan kemenangan yang mereka peroleh dalam menegakkan yang haq dan menghancurkan yang bathil. Jadi, kata furqaan di dalam ayat itu bisa ditafsirkan dengan kedua makna tersebut.
Allah juga berfirman,
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Tuhan) bagi setiap hamba yang kembali (kepada-Nya).” (QS. Saba’: 9)
Sebagaimana firman-Nya di beberapa tempat dalam al-Qur’an,
“… Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur.” (QS. Luqman: 31, Ibrahim: 5, Saba’: 9 dan asy-Syuraa: 33)
Dalam ayat-ayat di atas Allah memberitahukan bahwa yang dapat mengambil manfaat dari tanda-tanda kebesaran-Nya hanyalah orang-orang yang bersabar dan bersyukur.
Sementara di dalam ayat yang lain Allah menyebutkan bahwa yang dapat mengambil manfaat dari ayat-ayat tentang keimanan hanyalah orang-orang yang bertakwa dan takut kepada Allah, serta orang-orang yang senantiasa bertaubat dan selalu berupaya mengikuti segala yang diridhai-Nya. Sebagaimana firman-Nya,
“Thaahaa. Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah).” (QS. Thaha: 1-3)
Dan firman-Nya mengenai hari kiamat,
“Kamu (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari kiamat).” (QS. an-Naazi’at: 45)
Adapun orang yang tidak mengimani hari kiamat, tidak mengharapkan dan tidak takut kepadanya, maka tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah (yang terlihat oleh mata) tidak akan memberikan manfaat baginya.
Oleh karena itu di dalam surat Hud, setelah menyebutkan hukuman umat terdahulu yang mendustakan para rasul Allah serta kehinaan yang mereka peroleh di dunia, Allah berfirman,
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat.” (QS. Hud: 103)
Pada ayat ini Allah ‘Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hukuman bagi orang-orang yang mendustakan para rasul itu akan menjadi pelajaran oleh orang yang takut kepada adzab akhirat. Sedangkan orang yang tidak mengimani hari akhir dan tidak takut terhadap adzab-Nya, niscaya pmberitahuan-Nya tersebut tidak akan menjadi pelajaran dan peringatan baginya. Bahkan apabila mendengar tentang itu, dia akan berkata: “Kebaikan dan keburukan, nikmat dan sengsara, bahagia dan celaka, semua itu akan selalu ada sepanjang masa!” Bahkan tidak jarang ia menyangkutpautkan hal itu dengan faktor astronomis dan mental manusia semata.

3. Tauhid Pangkal Syukur

Sabar dan syukur merupakan faktor yang dibutuhkan seorang hamba untuk dapat mengambil manfaat dari ayat-ayat Allah. Sebab iman dibangun di atas pondasi sabar dan syukur. Dikatakan demikian karena pangkal dari syukur adalah tauhid, dan pangkal dari sabar adalah tidak menuruti hawa nafsu.
Sesungguhnya orang musyrik dan orang yang selalu menuruti hawa nafsu tidak akan pernah bisa menjadi orang yang sabar dan bersyukur. Akibatnya ayat-ayat Allah tidak bermanfaat dan tidak berpengaruh terhadap iman di dalam diri mereka.
Perlu kita ingat kembali bahwa kefasikan, kesombongan dan kebohongan akan membawa seseorang pada kesesatan. Ada banyak ayat al-Qur’an yang menerangkan hal ini. Di antaranya adalah beberapa firman Allah di bawah ini:
“Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. al-Baqarah: 26-27)
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)
“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri?” (QS. an-Nisaa: 88)
“Dan mereka berkata, ‘Hati kami tertutup.’ Tidak! Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; maka sedikit sekali mereka yang beriman.” (QS. al-Baqarah: 88)
“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti pertama kali mereka tidak beriman kepadanya (al-Qur’an).” (QS. al-An’aam: 110)
Melalui ayat-ayat di atas, Allah memberitakan bahwa Dia menghukum hamba-hamba-Nya yang tidak beriman, bahkan berpaling setelah keimanan datang kepada mereka dan mereka pun mengetahui. Allah menghukum mereka dengan cara memalingkan hati dan penglihatan mereka, hingga hal itu menghalangi mereka untuk beriman. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila dia menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya…” (QS. al-Anfaal: 24)
Maka dari itu Allah memerintahkan manusia agar memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya pada waktu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak mereka untuk menempuh jalan kebahagiaan. Allah juga memperingatkan hamba-hamba-Nya agar tidak melanggar atau menunda seruan tersebut sehingga menyebabkan terhalangnya petunjuk itu masuk ke dalam hati mereka, sebagaimana firman-Nya:
“… Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. ash-Shaf: 5)
Allah juga berfirman,
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (QS. al-Muthaffifin: 14)
Dalam ayat ini Allah memberitahukan bahwa perbuatan orang-orang yang zhalim itu telah menutupi hati mereka sendiri. Akibatnya, hati mereka tidak dapat mengimani ayat-ayat Allah. Oleh sebab itu pula, mereka berani mengatakan bahwa al-Qur’an hanyalah cerita warisan masa lalu, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
“… al-Qur’an ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu.” (QS. al-An’aam: 25)
Adapun mengenai orang-orang munafik, Allah berfirman,
“… mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.” (QS. at-Taubah: 67)
Allah membalas kelupaan (kelalaian) kaum ini atas-Nya dengan melupakan mereka. Karenanya Allah tidak mengingatkan mereka kepada petunjuk dan rahmat-Nya. Bahkan Dia kemudian membuat mereka lupa kepada diri mereka sendiri [sebagaimana disebutkan dalam al-Hasyr: 19].
Akibatnya orang-orang yang telah memperdayai diri mereka secara tidak sadar tersebut pun enggan menggapai kesempurnaan diri sendiri dengan mempelajari ilmu yang bermanfaat dan berbuat amal shalih. Padahal ilmu dan amal adalah petunjuk dan agama yang haq. Allah menjadikan mereka lalai dalam mencari, mengenal dan mencintai dua hal ini. Dia juga melemahkan semangat mereka untuk meraih keduanya, sebagai hukuman karena telah melupakan-Nya.
Mengenai kaum munafik ini pula Allah berfirman,
“Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka. Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaan mereka.” (QS. Muhammad: 16-17)
Di dalam ayat ini Allah menggandengkan penyebutan menuruti hawa nafsu dan kesesatan yang merupakan akibat dari perbuatan mereka sendiri, sebagaimana Allah menggandengkan penyebutan takwa dan petunjuk-Nya bagi orang-orang yang mendapat petunjuk.
***
Disusun ulang dari Fawaidul Fawaid sebagian dari bab Di Antara Metode Penjelasan al-Qur’an karya Ibnu Qayyim al-jauziyyah, Pustaka Imam Asy-Syafi’i 2012
21.52 | 0 komentar | Read More

Fenomena Bertekad Tobat Ketika Hendak Bermaksiat ( Peringatan bagi orang yang terpedaya dan sering mengulangi kemaksiatan )


Disaster - Courtesy of itsnature.org
Peringatan bagi orang yang terpedaya dan sering mengulangi kemaksiatan. Semoga kita terhindar dari fenomena ini. Sekedar sharing sebuah artikel pendek namun bermanfaat. **
Ada fenomena ‘aneh’ pada sebagian orang. Ketika akan berbuat maksiat, sudah ditanamkan untuk tobat setelah perbuatan buruk yang ia lakukan. Dalam hatinya ia berbisik, “Nanti setelah aku melakukan maksiat ini, saya akan bertaubat.”
Memang betul, pintu tobat akan tetap terbuka sebelum matahari terbit dari arah barat. Siapa saja bertobat kepada Allâh dengan tobat sebenarnya (tobat nashuha) dari perbuatan syirik dan perbuatan lain yang lebih rendah darinya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menerima tobatnya.
Tobat nashûhâ ialah tobat yang mencakup beberapa aspek yaitu berhenti dari perbuatan dosa, menyesali dosa yang diperbuat dan bertekad kuat untuk tidak mengulangi lagi sebagai realisasi dari rasa takutnya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala, pengagungannya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan demi mengharap maaf dan ampunan-Nya.
Syarat sahnya tobat bertambah menjadi empat bila kesalahan seseorang berhubungan dengan hak sesama (orang lain). Yaitu dengan menyerahkan hak-hak orang tersebut yang diambil secara zalim, baik berupa harta (yang dicuri) atau meminta dibebaskan (dihalalkan) darinya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa pernah berbuat zalim kepada saudaranya terhadap kehormatannya atau yang lain, henadaknya meminta orang itu untuk menghalalkan kesalahannya dari perbuatan aniaya tersebut hari ini sebelum datang hari tidak ada uang dinar dan dirham. Apabila ia memiliki kebaikan, maka sejumlah kebaikan akan diambil darinya sebanding dengan perbuatan kezhalimannya (untuk diserahkan kepada orang yang teraniaya). Apabila tidak memiliki kebaikan, maka akan diambilkan dosa saudaranya dan dilimpahkan kepada dirinya.” (H.R. al-Bukhâri, no. 2269) .
Tekad untuk bertobat dari perbuatan dosa merupakan tekad baik yang berhak untuk dihargai. Namun, ketika bisikan “bertobat” ini justru mendorongnya untuk mengawali rencana tobatnya dengan perbuatan maksiat, ini yang perlu diwaspadai. Jika ini yang terjadi, tidak diragukan lagi, ini termasuk tipu daya setan pada diri manusia untuk memudahkan berbuat maksiat dengan dalih di kemudian hari ia akan bertobat usai berbuat maksiat. Tidakkah si pelaku mengkhawatirkan dirinya? Bisa saja Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyulitkan jalan bertobat baginya, sehingga akan mengalami penyesalan yang tiada kira dan kesedihan yang tak terukur di saat penyesalan tiada berguna lagi.
Kewajiban seorang muslim adalah menghindari perbuatan syirik dan hal-hal yang menyeret kepadanya, serta menghindari seluruh perbuatan maksiat. Sebab, bisa saja ia dicoba dengan bergelimang dalam maksiat, namun tidak mendapat taufik untuk bertobat. Oleh karena itu, ia harus selalu menjauhi seluruh perkara yang diharamkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan memohon keselamatan dari-Nya, tidak menuruti bujukan setan, sehingga berani berbuat maksiat dengan menyisipkan niat di hati untuk bertobat sebelumnya.
Simaklah firman-firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikut yang berisi perintah untuk selalu takut kepada-Nya, ancaman bagi siapa saja yang nekat berbuat maksiat, dan larangan mengikuti bisikan hawa nafsu dan rayuan setan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِيَّاىَ فَارْهَبُونِ
“dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).” (Q.S. al-Baqarah/2: 40).
Dalam ayat lain, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ
“Dan Allâh memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.” (Q.S. Ali ‘Imrân/3: 28).
Dalam ayat yang lain, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya,
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allâh adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allâh. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Q.S. Fâthir/35: 6).
***
Diadaptasi dari Majmû Fatâwa wa Maqâlât Mutanawwi’ah, Syaikh Bin Bâz, 5/410-411
Artikel http://www.Salafiyunpad.wordpress.com disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01 Tahun XIV April 2010.
21.51 | 0 komentar | Read More

Manusia Ditakdirkan Masuk Neraka dan Surga?


Takdir Allah terhadap manusia
Ada sebuah hadits shahih yang mungkin cukup sulit dipahami dan terasa menyesakan dan berat di hati untuk menerimanya. Hadits tersebut berkaitan dengan nasib atau takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi manusia apakah akan bahagia atau celaka serta akhir kehidupan manusia apakah akan menjadi penghuni surga atau neraka. Hadits ini yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya, pada kitab Bada’ul Khalq Bab Dzikrul Mala’ikah no. 3208, kitab Ahaditsul Anbiya no. 3332 dan Imam Muslim dalam Shahih-nya, pada kitab al-Qadar no. 2643 yang berbunyi:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قالَ: حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ: إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ، فَوَاللهِ الَّذِيْ لاَ إِلَهَ غُيْرُهُ، إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا. (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)
Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan kepada kami, dan beliau adalah ashshadiqul mashduq (orang yang benar lagi dibenarkan perkataannya), beliau bersabda,

‘Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula. Kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) seperti itu pula. Kemudian seorang malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya. Maka demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Dia, sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli surga, sehingga jarak antara dirinya dengan surga hanya tinggal sehasta, tetapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka dengan itu ia memasukinya. Dan sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli neraka, sehingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya tinggal sehasta, tetapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli surga, maka dengan itu ia memasukinya.’”

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan bahwa di sana, dan segala puji bagi Allah, terdapat nash-nash lain yang melegakan orang-orang mukmin dengan menghilangkan rasa kekhawatirannya yang berkaitan dengan hadits ini. Di antaranya adalah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
“Tidaklah ada seorang pun dari kalian melainkan telah dituliskan (ditetapkan) tempat duduknya di surga dan tempat duduknya di neraka.” Bertanyalah para sahabat, “Ya Rasulullah, (kalau begitu) apakah tidak (sebaiknya) kita pasrah saja terhadap tulisan itu dan kita tinggalkan amalan-amalan itu.” Beliau menjawab, “ Beramallah kalian, (sesungguhnya) tiap-tiap diri itu akan dimudahkan (jalan menuju) apa-apa yang telah Allah ciptakan (tetapkan), adapun ahli keberuntungan mereka pun akan dimudahkan (jalan menuju) amalan ahli keberuntungan, sedangkan ahli celaka, mereka pun akan dimudahkan (jalan menuju) amalan ahli celaka.” [HR Bukhari Juz 6 Kitab at-Tafsir]
Kemudian beliau membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (QS al-Lail: 5-10)
Jadi ini adalah sebuah kabar gembira bagi manusia dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, yaitu ketika ia beramal dengan perbuatan-perbuatan ahli keberuntungan maka ini adalah dalil bahwasanya ia telah dituliskan termasuk golongannya ahli keberuntungan, maka hendaklah merasa gembira dengannya.
Imam al-Bukhari juga meriwayatkan di dalam kitab Shahihnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam berada di dalam sebuah peperangan ketika bersama beliau ada seorang pemberani dan pantang mundur, maka pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya orang ini termasuk ahli neraka beserta kegagahan dan juga keberaniannya.” Maka menjadi besarlah perkaranya di kalangan para sahabat dan mencemaskan suasana mereka, maka berkatalah salah seorang sahabat, “Demi Allah aku akan senantiasa menyertai orang itu,” maka ia pun senantiasa menyertai dan mengawasi orang itu.  Lalu orang itupun terkena panah dari musuh, maka ia pun murka, lalu ia taruh pedangnya di dadanya untuk kemudian ia bersandar padanya sampai keluarlah pedangnya itu menembus punggungnya. Ia pun telah membunuh dirinya. Maka sahabat itu pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, lalu ia berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasul Allah!” Nabi bertanya, “Dan apa yang terjadi?” Ia pun menjawab, “Sesungguhnya orang yang engkau katakan kepada kami bahwa ia termasuk ahli neraka itu berbuat begini dan begini.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya seseorang itu beramal dengan amalan ahli surga hanya pada apa yang nampak bagi manusia saja, sedangkan dia adalah termasuk ahli neraka.” [HR Bukhari Juz 4 dan Muslim Juz 4 Kitab al-Qadar]
Aku memohon kepada Allah agar Allah mensucikan keikhlasan amalan-amalan rahasiaku dan amalan-amalan rahasia kalian semuanya, sebagaimana kita ketahui, bahwa sebuah kerahasiaan itu memiliki peranan yang sangat besar di dalam mengarahkan seorang manusia. Maka hati adalah sesuatu yang menjadi motor yang mengarahkan manusia dan dia juga merupakan pokok utamanya. Oleh sebab itu wajib bagi kita untuk senantiasa memperhatikan hati-hati kita dan senantiasa membersihkan dan mensucikannya dari kotoran-kotoran yang menempel padanya. Sebab terkadang pada hati itu terdapat sifat yang menjijikkan, seseorang menampakkan kebaikan dengan amalan zhahirnya namun di dalam hatinya ada sifat yang merusak yang menggelincirkannya ke dalam jurang kehinaan di kemudian hari.
***
Sumber:
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Tarbiyah Imaniyah Jibril alaihis salam Bab Beriman Kepada Takdir Baik dan Takdir Buruk, Dar el-Hujjah 2001
21.50 | 0 komentar | Read More

Sebuah Makna Ayat ‘Wahuwa Ma’akum Aina Maa Kuntum’ (QS. Al-Hadiid: 4)

Dimanakah Allah?


by: http://alhilyahblog.wordpress.com/2013/10/09/makna-ayat-wahuwa-maakum-aina-maa-kuntum-qs-al-hadiid-4/

Saat pemilihan ketua BEM – ketika masih kuliah dulu – seorang teman saya bertanya kepada salah seorang kandidat: “Ainallaah?” (Dimanakah Allah). Sang kandidat menjawab dengan menggunakan ayat:
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” [QS. Al-Hadiid : 4]
Jadi gimana? Allah ada dimana-mana? Tidak jelas jawabannya, mengambang. Sebagian saudara-saudara kita (yang mengaku) Aswaja pun ada yang menjawab demikian. Bahkan di antara mereka ada yang meyakini berdasarkan ayat tersebut Allah ada di mana-mana, di setiap tempat, dimana pun kita berada.
Berikut sedikit akan saya bawakan beberapa komentar dan pemahaman ulama Ahlus-Sunnah tentang ayat dimaksud.
Al-Bukhaariy rahimahullah berkata:
وَقَالَ ابْنُ مَعْدَانَ، سَأَلْتُ الثَّوْرِيَّ: وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ، قَالَ: ” عِلْمُهُ “
Dan telah berkata Ibnu Ma’daan: Aku bertanya kepada (Sufyaan) Ats-Tsauriy tentang ayat: ‘Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada’ (QS. Al-Hadiid : 4). Ia menjawab: “(Yaitu) ilmu-Nya.” [Khalqu Af’aalil-‘Ibaad, 1/30]
Ath-Thabariy rahimahullah berkata:
وهو شاهد لكم أيها الناس أينما كنتم يعلمكم، ويعلم أعمالكم ومتقلبكم ومثواكم، وهو على عرشه فوق سمواته السبع، وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ.
“Ayat tersebut merupakan syaahid bagi kalian wahai sekalian manusia. Dimanapun kalian berada, Allah mengetahui kalian. Allah mengetahui amal-amal kalian, tempat kalian berusaha, dan tempat kalian tinggal, sedangkan Dia berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas langit-langit-Nya yang tujuh. ‘Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan’ (QS. Al-Hadiid : 4)” [Jaami’ul-Bayaan, 23/169]
Al-Baihaqiy rahimahullah berkata:
وَفِيمَا كَتَبْنَا مِنَ الآيَاتِ دَلالَةٌ عَلَى إِبْطَالِ قَوْلِ مَنْ زَعَمَ مِنَ الْجَهْمِيَّةِ أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِذَاتِهِ فِي كُلِّ مَكَانٍ، وَقَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ، إِنَّمَا أَرَادَ بِهِ بِعِلْمِهِ لا بِذَاتِهِ
“Dan di dalam ayat-ayat yang kami tulis merupakan petunjuk atas bathilnya perkataan orang-orang Jahmiyyah yang menyangka bahwasannya Allah subhaanahu wa ta’ala ada di setiapnya tempat dengan Dzat-Nya. Adapun firman-Nya: ‘‘Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada’ (QS. Al-Hadiid : 4), maka yang dimaksudkan dari ayat tersebut hanyalah (kebersamaan) dengan Ilmu-Nya, bukan dengan Dzat-Nya.” [Al-I’tiqaad, hal. 91]
Yahyaa bin ‘Ammaar As-Sijistaaniy rahimahullah berkata:
لا نقول كما قالت الجهمية إنه تعالى مداخل للأمكنة وممازج لكل شيء أو لا نعلم أين هو، بل نقول: هو بذاته على العرش وعلمه محيط بكل شيء، وذلك معنى قوله: وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ، فهذا الذي قلناه هو كما قاله الله ورسوله
“Kami tidak mengatakan seperti yang dikatakan Jahmiyyah bahwasannya Allah ta’ala masuk di setiap tempat, bercampur dengan segala sesuatu, atau kita tidak mengetahui di manakah Allah berada. Akan tetapi kami berkata: ‘Dzat Allah berada di atas ‘Arsy dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Itulah makna firman-Nya ta’ala : ‘Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada’ (QS. Al-Hadiid : 4). Yang kami katakan ini adalah sebagaimana yang dikatakan Allah dan Rasul-Nya.” [Al-‘Ulluw, hal. 177-178]
Abu ‘Umar Ath-Thalamankiy rahimahullah berkata:
 أجمع المسلمون من أهل السنة على أن معنى قوله : “وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ” . ونحو ذلك من القرآن : أنه علمه ، وأن الله تعالى فوق السموات بذاتـه مستو على عرشه كيف شاء
“Kaum muslimin dari kalangan Ahlus-Sunnah telah bersepakat bahwa makna firman-Nya: ‘Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada’ (QS. Al-Hadiid : 4) dan semisal itu dari ayat-ayat al-Qur’an adalah: Ilmu-Nya. Dan bahwasannya Allah ta’ala dengan Dzat-Nya berada di atas langit-langit-Nya, beri-istiwaa’ di atas ‘Arsy-Nya bagaimana pun yang Ia kehendaki.” [Al-‘Ulluw, hal, 178]
Abul-Qaasim Al-Ashbahaaniy rahimahullah berkata:
فإن قيل: قد تأولتم قوله، عَزَّ وَجَلَّ: وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ. وحملتموه عَلَى العلم. قلنا: مَا تأولنا ذَلِكَ، وإنما الآية دلت عَلَى أن المراد بذلك العلم، لأنه قَالَ فِي آخرها: إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ.
“Apabila dikatakan: ‘Kalian telah menta’wilkan firman-Nya: ‘Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada’ (QS. Al-Hadiid : 4). Kalian mena’wilkan dengan membawa maknanya pada ilmu.’ Kami katakan: ‘Kami tidak mena’wilkannya, karena ayat tersebut memang menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah ilmu, karena Allah ta’ala berfirman di akhir ayat: ‘dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu’”[1] [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah, no. 420]
Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahullah berkata:
وَقَالَ حَنْبَلٌ، قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ: مَا مَعْنَى قَوْلِهِ: وَهُوَ مَعَكُمْ، وَ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلاثَةٍ إِلا هُوَ رَابِعُهُمْ؟ قَالَ: عِلْمُهُ، عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، عِلْمُهُ مُحِيطٌ بِكُلِّ شَيْءٍ
“Hanbal berkata: Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal): ‘Apa makna firman-Nya: ‘Dan Dia bersama kamu’ (QS. Al-Hadiid : 4) dan ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya’ (QS. Al-Mujaadilah : 7)?’ Abu ‘Abdillah menjawab: ‘(Yaitu kebersamaan dengan) ilmu-Nya, Yang mengetahui semua yang ghaib dan yang nampak. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.” [Itsbaatu Shifatil-‘Ulluw, hal. 168]
Ibnu Abi Ya’laa rahimahullah berkata:
فإن احتج مبتدع ومخالف بقول اللَّه عَزَّ وَجَلَّ: وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ وبقوله: وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وبقوله: مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلاثَةٍ إِلا هُوَ رَابِعُهُمْ إلى قوله هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ونحو هذا من متشابه القرآن. فقيل: إنما يعني بذلك العلم، لأن اللَّه تعالى عَلَى العرش فوق السماء السابعة العليا، ويعلم ذلك كله، وهو بائن من خلقه، لا يخلو من علمه مكان
“Pelaku bid’ah dan penyimpangan berhujjah dengan firman Allah ‘azza wa jalla: ‘dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya’ (QS. Qaaf : 16). Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada’ (QS. Al-Hadiid : 4), ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya…… hingga sampai ayat: ‘Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada’ (QS. Al-Mujaadilah : 7), dan yang semisalnya dari ayat-ayat mustasyaabihaat. Maka dikatakan: Yang dimaksud dari ayat tersebut adalah Ilmu Allah, karena Allah ta’ala berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas langit-langit yang tujuh lagi tinggi. Dan Allah mengetahui itu semuanya. Allah terpisah dari makhluk-Nya. Tidak ada tempat yang luput dari ilmu-Nya.” [Thabaqaatul-Hanaabilah, 1/32]
Dari beberapa perkataan di atas dapat kita simpulkan bahwa:
1.     Kebersamaan Allah yang dimaksudkan dalam QS. Al-Hadiid ayat 4 adalah kebersamaan dengan ilmu-Nya, karena ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.
2.     Dzat Allah berada di atas langit dan Dia beristiwaa’ di atas ‘Arsy-Nya.
Semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
http://abul-jauzaa.blogspot.com
***
_________
[1]      Mungkin yang dimaksud Abul-Qaasim rahimahullah adalah {وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ} ‘Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan’ – karena itulah kelanjutan QS. Al-Hadiid ayat 4. Adapun ayat {إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ} ‘dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu’ terletak pada ayat 3.
21.48 | 0 komentar | Read More

Jika Saling Mencintai [ Allah Swt. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatang­kan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya.” (Q.s. Al-Maidah: 54). ]

Written By Situs Baginda Ery (New) on Rabu, 09 Oktober 2013 | 19.05

by:http://kafe-sufi.blogspot.com/2008/12/saling-mencintai.html
Allah Swt. berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatang­kan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya.”
(Q.s. Al-Maidah: 54).


Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw telah bersabda:
“Barangsiapa mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun mencintai pertemuan dengannya. Dan barangsiapa tidak mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak mencintai pertemuan dengannya.” (H.r. Bukhari).

Diriwayatkan oleh Anas bin Malik dari Nabi Saw, dari Jibril as. yang memberitahukan bahwa Tuhannya Allah Swt telah berfirman:
http://rismanrasa.files.wordpress.com/2010/03/0214_love_heart_light.jpg
“Barangsiapa menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu-­ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun kematian itu harus terjadi. Tak ada cara taqarrub yang paling Kucintai bagi seorang hamba-Ku dibanding melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dan senantiasa dia mendekati Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan siapa pun yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang penopang yang kokoh baginya.”
(Hadis dikeluarkan oleh Ibnu Abud Dunya, al-Hakim, Ibnu Mardawieh dan Abu Nu’aim serta Ibnu Asaakir, riwayat dari Anas r.a.).

“Barangsiapa menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu-­ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun kematian itu harus terjadi. Tak ada cara taqarrub yang paling Kucintai bagi seorang hamba-Ku dibanding melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dan senantiasa dia mendekati Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan siapa pun yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang penopang yang kokoh baginya.”
(Hadis dikeluarkan oleh Ibnu Abud Dunya, al-Hakim, Ibnu Mardawieh dan Abu Nu’aim serta Ibnu Asaakir, riwayat dari Anas r.a.).
19.05 | 0 komentar | Read More

Seorang Wali Allah

by: http://kafe-sufi.blogspot.com/2008/12/wali-allah.html
Subahanallah Walhamdulillah Alhuakbar.

Tasawuf bukan membaca buku-buku Tasawuf dan mengkaji dari berbagai teori tasawuf
seperti Ibnu Arabi, Syadzili, Qodiri, Mevlevi Rumi seperti banyak kajian tasawuf diberbagai Masjid saat ini. Itu hanya baru mempelajari mengenal tasawuf bukan
bertasawuf. Sangat berbeda jauh antara bertasawuf dan mempelajari buku atau hadir dalam ceramah tasawuf jauh, dampak dan pemahamannya bagai setetes air
dibanding samudera. Bertasawuf adalah melaksanakan dzikir dan mengambil Mursyid dengan berbayat. Bila ia mendengarkan ceramah dari Mursyid tasawuf yang Wali
Allah, maka ia akan mendapatkan ilmu sekaligus Hikmah.

Ilmu seperti pesawat terbang yang indah bentuknya.
Hikmah seperti Bahan Bakarnya. Begitu banyak orang
yang bangga dengan keindahan ilmunya, tetapi tanpa
bahan bakar hikmah ia tetap didarat tak dapat terbang.
Hikmah didapatkan dari mendengarkan langsung dan
bersama Wali Allah, sementara ilmu dari ulama biasa
kadnag membebani. Himah tak dapat terlupa dan
mengatkan, sementara ilmu ketika kita sudah tua, maka
yang menghancurkan ilmu adalah LUPA ( Hadist Nabi
saw). Hikmah adalah langsung mendengar dan bertemu,
karena ada dua macam ilmu. Ilmu Awroq ( tulisan) dan
Ilmu Azwaq (Rasa). Ketika kita mendengar seorang
Kekasih Allah/Wali Allah bicara, maka ilmu rasa yang
ditransfer langsung kedalam kalbu kita. Ketika kita
menulis dari ceramah Wali Allah, maka yang semula kita
terima dalam bentuk Hikmah, berubah menjadi Ilmu.
HImah adalah RASA, peretmuan langsung dengan Para Wali
Allah. Berjamaah dengan wali Allah, bagaikan iabadah
70 tahun, maka carilah para Wali Allah.

Itulah sebabnya Umar ra ketika berencana membunuh Nabi
saw dan ketika berhadapan langsung dengan Nabi saw,
maka ia masuk islam. Inilah ilmu Rasa yang ditransfer
melalui tatapan mata, melalui pertemuan langsung, ilmu
para Nabi dan Kekasih Allah, yang merubah benci
menjadi cinta. Ada dua macam ilmu, Ilmu yang darei
ucapan ulama biasa dan Ilmu yang sejati ditransfer
dengan langsung bicara dan kemudian ditransfer dari
hati ke hati. Ilmu Ulama yang bukan Wali Allah, ketika
kalian mendengarnya kadang ego menolak, karena berasal
dari luar. Tetapi Ilmu Wali Allah bekerja dengan dua
cara , dari luar dan dari dalam, dari luar berupa
ucapan, dari dalam berupa ilham ilahiah yg dimasukkan
kehati setiap muridnya. Dan ketika muridnya
melakukannya ia mersakan hal itu dari inspirasinya
sendiri sehingga ia ihklas melakukannya tanpa beban
sedikitpun. Itulah cara kerja Wali Allah dalam
membersihkan dan membenahi para muridnya.
Seorang siswa kedokteran ahli bedah, tidak bisa
menjadi ahli bedah hanya dengan membaca buku2 tentang
ilmu bedah. Seperti orang yang menulis tentang mabuk
tetapi ia sendiri belum pernah merasakan mabuk.
Seorang ahli bedah haruslah telah menjalani praktek
bedah, latihan dengan langsung membedah dibawah
bimbingan dokter ahli bedah yang ahli yg telah
berkali2 membedah manusia.
Demikian pula tasawuf, ada banyak profesor, DR
mendalami tasawuf dan mengajar tasawuf, tetapi ketika
ditanya siapa Mursyidnya, mereka mengatakan tidak
memiliki mursid. Artinya bagaimana seorang penulis
tentang jantung bicara tentang membedah jantung
padahal dia bukan dokter ahli jantung, padahal dia
belum pernah melakukan pembedahan? Bagaimana seorang
yang belum pernah memiliki mursyid bicara tentang
tasawuf padahal dia belum bertasawuf? Tasawuf adalah
pengalaman rasa, bukan ilmu tulisan. Tasawuf adalah
Ilmu Azwaq ( Ilmu Rasa) bukan ilmu Awroq, Ilmu
tulisan. Tasawuf adalah mengambil bay’at dari Mursyid
hakiki dan melaksanakan dzikir yang telah ditetapkan
sesuai tariqahnya, dan menjalankan amalan hanya dengan
perintah Syaikh/Mursyid yang Hakiki.
Ada begitu banyak sufi palsu, ada begitu banyak Guru
sufi palsu yang hanya menjelekkan citra sufi. Secara
syariah mereka tidak mengerjakan, secara sunah mereka
menjauhi sunah. Tak ada tariqah tanpa syariah, karena
seumpama syariah adalah lilin penerang untuk menjalani
jalan tariqah agar tak tersesat dan menuju hakikat.
Imam Malik, Imam Mazhab Maliki mengatakan Syariat
tanpa tasawuf adalah zindik, dan tasawuf tanpa syariat
adalah sesat. Jadi muslim sejati harus memiliki
keduanya, untuk mencapai maqam mukmin (memiliki iman
yg sejati) dan mencapai maqam muhsin ( ihsan, dimana
ketika solat seolah berhadapan dgn Allah, Allah selalu
melihat kita)
Setiap orang perlu pembimbing ruhani sejati, hanya
124.000 wali disetiap masa yang merupakan pembimbing
sejati. Berdoalah,”Ya Allah kirimkanlah para KekasihMU
untuk membimbing hamba yang lemah ini”. Siapa berdoa,
maka ia akan medapat jawabannya. Siapa yg mencari
Mursyid sejati, maka ia akan menemukannya. Tetapi saat
ini setiap orang bangga dengan dirinya, mereka
mengatakan gurunya cukup dengan buku. Padahal ketika
mereka secara fisik sakit dan harus menjalani operasi,
mereka bagaikan orang lemah yg setuju harus
menandatangani berita acara operasi. Bahkan tanpa
mereka perlu membacanya, karena mereka telah pasrah
dengan penyakitnya.
Tetapi ketika qalbu mereka sakit, ketika hati mereka
berkarat, ketika mereka tak mampu mengalahkan egonya,
mereka tetap tak mau mencari obat dari Sang Pembimbing
Ruhani Sejati para Wali Allah. Mereka para Awliya (
Wali-Wali Allah) tak butuh uang anda, tak butuh
pujian, mereka orang yg ikhlas bekerja sepanjang hari
tak kenal lelah tanpa bayaran, cukup Allah dan
Rasulullah saw bagi mereka. Ketika kalian akan
menyebrang padang pasir yang tak dikenal, kalian
perlukan penunjuk jalan, agar tak tersesat, agar tahu
bahaya yg menanti disetiap langkah, mungkin badai
pasir, binatang buas, ular, pasir yang menelan dsb.
Tentu saja penunjuk jalan itu telah melalui padang
pasir itu berkali2 sehingga mengetahui karakter padang
pasir itu.
Demikian juga apakah kalian pikir meniti jalan ruhani
jauh lebih mudah daripada menyebrang padang pasir tak
dikenal?. Mereka yang dikuasai ego , memerlukan
bimbingan guru ruhani sejati yg telah mengalahkan
egonya, dan mengetahui cara memotong tangan2 gurita
ego dari korbannya. Setiap orang perlu mencari Wali
Allah sebagai pembimbing, bukan hanya ulama biasa yang
terkadang masih memiliki ego yang tinggi.
Ilmu Ulama biasa dibanding Wali Allah, ilmunya bagai
setetes air dari samudera ilmu wali Allah. Ilmu Wali
Allah dibanding ilmu sahabat Nabi saw, bagai setetes
dari samudera ilmu sahabat. Dan ilmu sahabat Nabi
dibanding Nabi saw, bagai setetes dari samudera ilmu
Nabi saw. Carilah Wali Sejati yang akan membimbing
kalian, begitu banyak jalan tariqah sufi ini telah
ditunjukkan tetapi ego selalu menolak. Ketika kita
akan melangkah kepada yang Haqq, maka seratus setan
dalam bentuk manusia, jin mencegah kalian untuk
mendekati yang Haqq. Berjuanglah untuk mencari yang
Haqq. Ada dua kubu dalam islam, Islam yang Penuh Cinta
dan Islam yang penuh kebencian. Hanya jalan CINTA yang
nanti akan Allah ridhoi. Hanya jalan cinta yang
merupakan jalan Nabi saw. Mengapa kalian tak megikuti
Nabi saw ketika dihujani batu di Thaif tetapi tetap
mendoakan umatnya agar selamat, tanpa dendam, itulah
jalan cinta.
Mengapa kita perlu Mursyid? Imam Ghazali dalam buku
Ihya Ulumudin mengatakan tanpa Mursyid maka mursyid
kalian adalah setan. Ya setan bermain dengan ego
kalian, karena kalian selalu akan terhambat mencapai
kemajuan spiritual bila tak memiliki bimbingan. Bahkan
untuk belajar matematika saja kalian perlu guru. Tentu
berbeda matematika SD dan Perguruan tinggi. Tentu
berbeda islamnya kalian ketiaka kecil dan untuk
mencapaiiman dan ihsan. Untuk mencapainya kalian perlu
mensucikan jiwa kalian, membersihkan dari ego,
membersihkan karat hati dari maksiat. Jalan pintas
tercepat adalah memiliki guru para Wali Allah yang
penuh cinta, dialah pembimbing sejati.
Mengapa kalian perlu guru dan bay’at? Karena di
Mahsyar nanti meskipun mereka ahli tahajud, ahli
quran, ahli puasa, mereka akan ditanya, Siapa Imam mu?
Apa yang kalian jawab, tak punya Imam, maka kalian
akan dibiarkan di mahsyar selama 50.000 tahun dimana
sehari sama dengan seribu tahun. Sampai kalian
mendapat syafaat Nabi saw atau ampunan Allah baru
kalian diperkenankan masuk surgaNYA. Itulah sebabnya
di Al-Quran dikatakan masukilah rumah melalui
pintu2nya. Artinya mengenal agama ini melalui
pintu2nya. Nabi saw mengenal islam melalui Malaikat
Jibril as, Abu Bakar ra mengenal agama melalui Nabi
saw, terus hingga tabiin, tabiit, Imam Mazhab dan
sampai kepada Wali Akhir Zaman ini. Merekalah yang
perlu kalian ikuti. Insya Allah siapapun yang mencari
dan berdoa, untuk memdapatkan Pembimbing Sejati Para
Kekasih Allah, maka mereka akan mendapatkannya. Amin
Ya Rabbal alamin. Karena Allah selalu menjaga Walinya
124.000 Wali disetiap jaman., Mereka adalah manusia
yang selalu dijaga Allah.
19.02 | 0 komentar | Read More

Hierarki Kewalian ( Syaikhul Akbar Ibnu Araby dalam kitab Futuhatul Makkiyah membuat klasifikasi tingkatan wali dan kedudukannya )

by: http://kafe-sufi.blogspot.com/2009/04/hierarki-kewalian_22.html
Syaikhul Akbar Ibnu Araby dalam kitab Futuhatul Makkiyah membuat klasifikasi tingkatan wali dan kedudukannya. Jumlah mereka sangat banyak, ada yang terbatas dan yang tidak terbatas. Sedikitnya terdapat 9 tingkatan, secara garis besar dapat diringkas sebagai berikut :
http://www.fadhilza.com/wp-content/uploads/2011/06/berdoa-274x300.jpg
  1. Wali Aqthab atau Wali Quthub

  2. Wali yang sangat paripurna. Ia memimpin dan menguasai wali diseluruh alam semesta. Jumlahnya hanya seorang setiap masa. Jika wali ini wafat, maka Wali Quthub lainnya yang menggantikan.

  3. Wali Aimmah
    Pembantu Wali Quthub. Posisi mereka menggantikan Wali Quthub jika wafat. Jumlahnya dua orang dalam setiap masa. Seorang bernama Abdur Robbi, bertugas menyaksikan alam malakut. Dan lainnya bernama Abdul Malik, bertugas menyaksikan alam malaikat.


  4. Wali Autad
    Jumlahnya empat orang. Berada di empat wilayah penjuru mata angin, yang masing-masing menguasai wilayahnya. Pusat wilayah berada di Kakbah. Kadang dalam Wali Autad terdapat juga wanita. Mereka bergelar Abdul Haiyi, Abdul Alim, Abdul Qadir dan Abdu Murid.


  5. Wali Abdal
    Abdal berarti pengganti. Dinamakan demikian karena jika meninggal di suatu tempat, mereka menunjuk penggantinya. Jumlah Wali Abdal sebanyak tujuh orang, yang menguasai ketujuh iklim. Pengarang kitab Futuhatul Makkiyah dan Fushus Hikam yang terkenal itu, mengaku pernah melihat dan bergaul baik dengan ke tujuh Wali Abdal di Makkatul Mukarramah.
    Pada tahun 586 di Spanyol, Ibnu Arabi bertemu Wali Abdal bernama Musa al-Baidarani. Abdul Madjid bin Salamah sahabat Ibnu Arabi pernah bertemu Wali Abdal bernama Mu’az bin al-Asyrash. Beliau kemudian menanyakan bagaimana cara mencapai kedudukan Wali Abdal. Ia menjawab dengan lapar, tidak tidur dimalam hari, banyak diam dan mengasingkan diri dari keramaian.


  6. Wali Nuqoba’
    Jumlah mereka sebanyak 12 orang dalam setiap masa. Allah memahamkan mereka tentang hukum syariat. Dengan demikian mereka akan segera menyadari terhadap semua tipuan hawa nafsu dan iblis. Jika Wali Nuqoba’ melihat bekas telapak kaki seseorang diatas tanah, mereka mengetahui apakah jejak orang alim atau bodoh, orang baik atau tidak.


  7. Wali Nujaba’
    Jumlahnya mereka sebanyak 8 orang dalam setiap masa.


  8. Wali Hawariyyun
    Berasal dari kata hawari, yang berarti pembela. Ia adalah orang yang membela agama Allah, baik dengan argumen maupun senjata. Pada zaman nabi Muhammad sebagai Hawari adalah Zubair bin Awam. Allah menganugerahkan kepada Wali Hawariyyun ilmu pengetahuan, keberanian dan ketekunan dalam beribadah.


  9. Wali Rajabiyyun
    Dinamakan demikian, karena karomahnya muncul selalu dalam bulan Rajab. Jumlah mereka sebanyak 40 orang. Terdapat di berbagai negara dan antara mereka saling mengenal. Wali Rajabiyyun dapat mengetahui batin seseorang. Wali ini setiap awal bulan Rajab, badannya terasa berat bagaikan terhimpit langit. Mereka berbaring diatas ranjang dengan tubuh kaku tak bergerak. Bahkan, akan terlihat kedua pelupuk matanya tidak berkedip hingga sore hari. Keesokan harinya perasaan seperti itu baru berkurang. Pada hari ketiga, mereka menyaksikan peristiwa ghaib.

    Berbagai rahasia kebesaran Allah tersingkap, padahal mereka masih tetap berbaring diatas ranjang. Keadaan Wali Rajabiyyun tetap demikian, sesudah 3 hari baru bisa berbicara.

    Apabila bulan Rajab berakhir, bagaikan terlepas dari ikatan lalu bangun. Ia akan kembali ke posisinya semula. Jika mereka seorang pedagang, maka akan kembali ke pekerjaannya sehari-hari sebagai pedagang.


  10. Wali Khatam
    Khatam berarti penutup. Jumlahnya hanya seorang dalam setiap masa. Wali Khatam bertugas menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan ummat nabi Muhammd,saw.
19.01 | 0 komentar | Read More

BACA JUGA

DAFTAR LENGKAP ARTIKEL BLOG BAGINDAERY

Ikuti situs Bagindaery

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...