Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Penglima Burung. Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Panglima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.
Panglima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.
Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer dibicarakan dan ditakuti itu?
Panglima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Ritual adat yang di Kalimantan Barat dinamakan Mangkuk Merah akan dilakukan untuk mengumpulkan para prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, Mengayau (memenggal kepala) dan membawa kepala yang di anggap musuhnya tersebut kemana-mana dan baru bisa berhenti apabila kepala adat yang dianggap perwakilan Panglima Burung menyadarkan mereka.
Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah agama manapun dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya.
Panglima Kumbang dianggap sebagai perintis untuk bantuan awal dalam sebuah konflik. Jika kehadiran Panglima Kumbang belum menyelesaikan konflik, apakah itu untuk sebuah kemenangan atau untuk kesepakatan damai, maka barulah Panglima Burung didatangkan.
Seperti Panglima Kumbang, Panglima Burung juga berasal dari suku Dayak, Kalimantan Tengah. Panglima Burung akan datang setelah melakukan semedi di tempat tertentu. Kesaktiannya, mampu memasukkan roh kepada semua anggota pasukan di lapangan sehingga mereka mengamuk dalam kondisi di bawah alam sadar.
Di luar kesadaran itu, pedang-pedang di tangan menebas leher orang-orang yang telah ditentukan melalui ritual Panglima Burung. Ada yang bahkan mengatakan bahwa pedang itu melayang sendiri mencari lawan-lawan yang telah ditentukan sebelumnya.
Antara percaya dan tidak, kesaktian Panglima Burung inilah yang ditakuti para warga. Jangan-jangan itu bukan sekadar mitos. Jangan-jangan itu akan terjadi di Tarakan. Jangan-jangan pula akan meluas ke wilayah lainnya, seperti Samarinda dan Nunukan. Soalnya, kedua daerah ini segera menghelat pemilukada yang tentu saja rawan konflik.
Warga pun mendengar cerita bahwa kesaktian Panglima Burung itu pula yang digunakan di Sampit sehingga banyak jatuh korban dengan sadis. Ciri-cirinya adalah, leher korban dicincang karena kepala harus dijadikan tumbal atas ritual yang telah dilakukan.
"Boleh jadi itu hanya mitos. Namun, di sisi lain, disebutkan juga bahwa Panglima Burung sebetulnya sangat bijak. Dia orang baik. Ia dituakan. Kalau masih ada jalan damai, Panglima Burung memilih yang terbaik untuk kebaikan semua.
Dia itu simbol dari orang-orang sabar dan sederhana. Kalau sudah menyangkut harga diri dan penghinaan dan tidak ada jalan lain, barulah turun. Makanya, Panglima Burung tidak sembarang turun. Ia sangat selektif," kata Jaya, 78, tetua adat Tidung yang kesehariannya mencari rumput laut.
Lantas bagaimana menangkal kesaktian Panglima Burung? Seorang tetua adat asal Sulsel di Nunukan mengisahkan dengan bahasa konon. Katanya, kesaktian Panglima Kumbang dan Panglima Burung terjadi pada ratusan tahun silam. Yang ada sekarang tinggal generasinya.
Ia juga mengisahkan bahwa antara suku Tidung dan suku Bugis masih punya hubungan darah. Buktinya, banyak orang Bugis yang kawin dengan suku Tidung. Demikian pula sebaliknya.
Salah seorang anggota Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan, Jamil, ayahnya suku Bugis Makassar dan ibunya orang Tidung. Ayahnya termasuk salah seorang tokoh masyarakat yang sangat disegani di Nunukan. Sekkab Nunukan, Zainuddin HZ juga beristrikan orang Bugis.
Mungkin itu sebabnya sehingga antara suku Bugis dan Tidung selalu menghindari konflik berdarah. Ketika terjadi konflik di Nunukan pada 2008, ada kabar bahwa sekelompok orang dari Kajang turun dari kapal. Beberapa saat kemudian, kelompok yang terlibat konflik menghindar. Beberapa kawasan di Nunukan pun sepi. Konflik berdarah pun terhindar.
Beberapa warga di Nunukan mengaku sering mendengar bahwa kesaktian Panglima Burung pernah mendapat tantangan dari orang Bugis yang datang dari Kajang. Kisah ini lagi-lagi bernuansa mitos. Betapa tidak, ketika Panglima Burung mendemonstrasikan kesaktiannya, datang pula orang sakti dari Bugis Kajang.
Bugis Kajang menebar beras ke bumi. Hanya dengan mengayunkan telunjuknya dengan gerakan melingkar, ribuan biji beras itu pun bergerak sendiri hingga bersatu dalam sebuah onggokan.
Panglima Burung yang menyaksikan adegan itu, awalnya biasa-biasa saja. Namun, ketika dijelaskan, bahwa ini hanya contoh bagaimana orang Bugis Kajang mampu mengumpulkan lawan-lawannya yang tersebar di medan konflik seperti dengan mudahnya mengumpulkan biji-biji beras itu. Setelah lawan-lawannya terkumpul, barulah dengan mudah diperdayai. Mereka tidak bisa melawan.
"Namun demikian, orang Bugis tidak akan memperdayai orang-orang yang sudah tidak berdaya lagi," kata Ketua Perguruan Seni Bela Diri Tapak Suci Putra Muhammadiyah, Pimda 212 Kabupaten Nunukan, Andi Kaharuddin Andi Tokkong, Rabu 6 Oktober.
Perguruan ini berupaya mengakomodasi "orang-orang yang awalnya merasa jago" untuk dibina akhlaknya. Dikatakan, awalnya merasa jago, karena banyak anggotanya yang sebelum masuk perguruan ini, merasa jago berkelahi. Namun, ketika masuk perguruan dan menyalurkan kejagoannya, sedikit-demi sedikit diberi pembinaan akhlak sehingga pada akhirnya akan sadar sendiri dan tidak akan berkelahi.
Perguruan ini merangkul multietnis di Nunukan. Baik Bugis, Dayak, Tidung, maupun suku lainnya, seperti Jawa dan lain-lain. Strategi ini digunakan untuk menghindari konflik etnis di Nunukan.
Pembinanya berasal dari Parepare, yaitu Pendekar Utama Sukri Saleh. Pendekar Madya-nya dari tokoh masyarakat suku Tidung, yaitu Zainuddin HZ yang juga Sekkab Nunukan. Pelatihnya dari pemuda Dayak dan Tidung.
Jumlah kader sabuk biru 23 orang yang terdiri atas multietnis di Nunukan. Persebarannya di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Nunukan, Nunukan Selatan, Sebatik, dan Sebatik Barat. Termasuk yang dalam proses di Kecamatan Sembakung dan Lumbis.
Lantas apakah ini nantinya tidak akan menjadi laskar-laskar dan jagoan-jagoan yang bisa memicu konflik? "O, tidak. Tidak sama sekali. Kita ini daerah perbatasan. Kita butuh cadangan bela negara. Para pemuda harus ada bekal bela diri. Bukan hanya bela diri, melainkan juga akhlakul kharimah.
Ini bahkan wahana pemersatu untuk menghindarkan tumbuhnya primordialisme kesukuan yang berlebihan. Dengan demikian, akan menghindarkan dari hal-hal yang memicu konflik horizontal," kata Kaharuddin yang ditemui usai salat asar berjemaah dengan anggotanya di sekitar pusat latihan, kemarin.
Kaharuddin yang juga sejarawan itu menuturkan, bahwa sebagaimana orang Bugis, suku Tidung juga memiliki sejarah tersendiri. Mereka juga hidup berpindah-pindah. Mereka sesungguhnya tidak menyukai kekerasan.
Hal ini dapat dilihat dari kesenian mereka, yaitu tari Zapin (Jeppeng) yang kemelayu-melayuan. Ada kemiripan dengan kesenian Bugis. Ada bahkan komunitas Bugis yang melakoni tarian ini dalam kebudayaan mereka.
Kalau ditelusuri sejarah, kerajaan Tidung berdiri pada 1551-1916, didahului oleh Kerajaan Tidung Kuno dan digantikan oleh Tarakan. Raja terakhirnya adalah Monarki Amiril Rasyid bergelar Datoe Radja Laoet Datoe Adil.
Kerajaan Tidung atau dikenal pula dengan nama Kerajaan Tarakan (Kalkan/Kalka), yaitu kerajaan yang memerintah suku Tidung di Utara Kalimantan Timur, berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu.
Sebelumnya terdapat dua kerajaan di kawasan ini. Selain Kerajaan Tidung, terdapat pula Kesultanan Bulungan yang berkedudukan di Tanjung Palas. Berdasarkan silsilah yang ada, diterangkan bahwa di pesisir Timur pulau Tarakan, yakni kawasan Binalatung sudah ada Kerajaan Tidung Kuno (The Ancient Kingdom of Tidung), kira-kira tahun 1076-1156.
Mereka kemudian berpindah ke pesisir Barat pulau Tarakan, yakni di kawasan Tanjung Batu, kira-kira pada tahun 1156-1216. Lalu bergeser lagi, tetapi tetap di pesisir Barat, yakni ke kawasan sungai Bidang, kira-kira pada tahun 1216-1394. Setelah itu berpindah lagi yang relatif jauh dari pulau Tarakan, yakni ke kawasan Pimping bagian Barat dan kawasan Tanah Kuning, berkisar tahun 1394-1557.
Sebuah sumber menerangkan bahwa riwayat tentang kerajaan maupun pemimpin (raja) yang pernah memerintah di kalangan suku Tidung terbagi atas beberapa tempat yang sekarang sudah terpisah menjadi beberapa daerah kabupaten.
Daerah-daerah itu antara lain Kabupaten Bulungan (Salimbatu, Kecamatan Tanjung Palas Tengah), (Malinau Kota, Kabupaten Malinau), Sesayap, Kabupaten Tana Tidung, (Sembakung, Kabupaten Nunukan (Kota Tarakan), dan lain-lain hingga ke daerah Sabah (Malaysia) bagian Selatan.
Referensi ini menunjukkan bahwa suku Tidung memang memiliki tradisi berpindah, mirip dengan orang Bugis. Oleh karena itu, untuk menyebut orang Bugis sebagai pendatang dan orang-orang Tidung sebagai penduduk asli, masih memerlukan kajian mendalam. Itu pula sebabnya, ada anekdot bahwa sesama pendatang tidak boleh berkonflik.
Tak heran ketika mitos Panglima Burung dengan orang-orang sakti dari Kajang tadi memilih menghindari konflik berdarah. Buktinya, konflik berdarah di Tarakan begitu cepat redam ketika ada pula kabar bahwa kelompok suku Bugis juga akan bergerak ke Tarakan. (*)
Oleh : Syamsuddin Rudiannoor, S. Sos (HP 0813 4960 6504)
Legenda, kisah atau apa pun bentuk khabar tentangPanglima Burung tidak terdengar antara kurun 1960 sampai tahun 2000. Dengan demikian maka generasi yang lahir antara tahun tersebut dipastikan asing kepada nama Panglima Burung. Namun tatkala terjadi kerusuhan etnis tahun 2001 di Sampit dan seantero Kalimantan Tengah, tiba-tiba Panglima Burung muncul mendadak. Sekonyong-konyong namanya meroket, sangat menghebohkan dan sangat luar biasa istimewa. Saat itu Panglima Burung sangat dihajatkan kehadirannya sebagai tokok gaib Dayak dalam menghadapi serangan etnis tertentu dari seberang laut. Apa boleh buat, sesuatu yang sangat lama tidak diketahui dan telah dilupakan oleh sejarah, menjadi bangun dan dihadirkan ke alam nyata. Lalu apa, siapa dan bagaimana Panglima Burung berikut latar belakang ketokohannya? Inilah sebagian kecil jawabannya versi oang-orang kampung yang mendiami Barito pantai.
Kiyai Haji M. Juhran Erpan Ali, Ketua Pondok Pesantren Ushuluddin, Martapura, berkata: “Panglima Burung seorang wanita berparas cantik namun berwatak bengis. Selain itu ia juga bergelar hajjah”.*1)
Agaknya, kerusukan etnis yang mulai pecah sejak 18 Pebruari 2001 di Sampit mampu memaksa Panglima Burung hadir “dan membantu warga suku Dayak berperang dan mengusir warga etnis Madura. Sebagai Panglima Besar, tentu saja Panglima Burung tidak turun sendiri tetapi membawa sejumlah pengawal alias Pasukan Khusus. Kata Abdul Hadi Bondo Arsyad, seorang Temanggung Dayak dari Tumbang Senamang, Katingan Hulu, “Panglima Burung muncul dengan membawa 87 orang pasukan khususnya”.
Disamping Panglima Burung sebagai panglima tertinggi Dayak,rusuh Sampit juga menghadirkan beberapa tokoh legenda alam gaib lainnya seperti Panglima Palai, Panglima Api, Panglima Angsa, Panglima Hujan Panas, Panglima Angin dan beberapa panglima sakti lainnya. Yang pasti dari beberapa panglima itu terdapat dua panglima wanita cantik yakni Panglima Burung dan Panglima Api.
Kembali kepada keberadaan Panglima Burung yang legendaris, kata Kiyai Haji M. Juhran Erpan Ali (56), “Keberadaannya memang nyata, berwujud seorang wanita berparas cantik namun berwatak bengis. Panglima Burung sudah ada jauh sebelum Indonesia terbentuk”.*2) Namun begitu, yang mengejutkan dari penuturan Kiyai Juhran adalah karena sosok Panglima Burung selaku Panglima Perang Tertinggi Suku Dayak ternyata beragama Islam dan menyandang titel seorang hajjah.
Dibawah judul: “Bulan Jihad itu Panglima Burung?”, Anggraeni Antemas mengabarkan: “Pada 52 tahun yang lalu, tepatnya dalam bulan Januari 1949″, dalam kapasitas sebagai wartawan dan kolomnis Harian “WARTA BERITA” Medan, beliau pernah menulis tentang “seorang pejuang wanita suku Dayak di udik Barito yang sakti mandraguna. Konon, dia mengagumkan bukan saja karena keberaniannya menghadapi serdadu Belanda pada awal abad ke-19 tetapi juga wajah dan sosok puteri Dayak tersebut adalah cantik namun beringas”. Kata Anggraeni, “Saya bersama Arsyad Manan, wartawan mingguan “WAKTU” memang telah bersepakat untuk menulis tentang kepatriotan pejuang wanita Dayak tersebut. Saya menulis untuk WARTA BERITA dan Arsyad Manan untuk WAKTU. Sumber utama kami adalah dua orang tokoh Dayak Kuala Kapuas yaitu Willem Anton Samat dan Adonis Samat (ayah dan anak), yang sama-sama senasib dengan kami sebagai orang politik “Republikein” yang tertawan masuk “Interneerings camp” Belanda pada clash II tahun 1948 di Banjarmasin. WA Samat dan Adonis Samat bertutur bahwa pahlawan cantik tersebut keberaniannya luar biasa sekali. Salah satunya adalah saat berperang mendampingi Gusti Zaleha dalam Perang Barito. “Amuk Barito itu terjadi pada tahun 1900-1901, dimana suku-suku Dayak Dusun, Ngaju, Kayan, Kinyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam atau pun Kaharingan bersatu bahu membahu menghadapi serangan Belanda. Nama-nama pahlawan Banjar seperti Antasari, Muhammad Seman dan Gusti Ratu Zaleha selalu bersanding bahu membahu dengan (para pahlawan Dayak seperti) Temanggung Surapati, Antung, Kuing, Temanggung Mangkusari dan lain-lain yang merupakan kesatuan kekuatan dalam perjuangan”.*3)
Dalam masa perjuangannya melawan kaum kafir kolonialis Belanda, Panglima Burung yang sangat cantik memiliki beberapa panggilan akrab oleh masyarakat. “Ada yang menyebutnya Ilumatau Itak, namun ada pula nama popular lain yang disandarkan kepadanya yaitu Bulan Jihad.Kabarnya, nama Bulan Jihad dipakai Panglima Burung sebagai nama Islamnya dan dia memeluk agama Islam dengan perantaraan Gusti Zaleha kawan akrab seperjuangannya. Dan kita ketahui bahwa Gusti Zaleha adalah puteri Gusti Muhammad Seman, putera Pangeran Antasari yang memimpin Perang Banjar hingga memasuki kawasan Barito Utara dan Selatan, dengan semboyannya: “Haram Manyarah, Waja Sampai ka Puting”.
Dan karena ceritera kepahlawanan ini tetap diragukan orang maka Anggraeni Antemas dalam kesempatan berjumpa dengan Bapak Tjilik Riwut (Gubernur pertama Kalteng) di Istana Merdeka Jakarta tahun 1950 menanyakan kebenaran kisah ini. Tjilik Riwut membenarkan keberadaan srikandi Dayak itu tetapi menurut beliau Bulan Jihad (bukan pejuang wanita asli Dayak Kalteng tetapi) berasal dari Suku Dayak Kinyah (Kaltim). Yang pasti, “nama Bulan Jihad sangat terkenal di antero Barito Hulu dan Barito Selatan”, imbuh Tjilik Riwut. “Dia pendekar sakti mandraguna, punya ilmu kebal tahan senjata, bisa menghilang dan melibas lawan hanya dengan selendang saja. Dia selalu berjuang berdampingan dengan Gusti Zaleha si pejuang puteri Banjar”. Dengan demikian maka ceritera yang disampaikan oleh WA Samat dan Adonis Samat (1948) sejalan dengan ceritera Pak Tjilik Riwut (1950).
Tatkala tokoh perlawanan Gusti Muhammad Seman meninggal dunia pada tahun 1905, lalu pada aw
Dengan berat hati keluarlah Gusti Zaleha dari hutan menuju Muara Teweh dan selanjutnya dibawa oleh kaum peal tahun 1906 Gusti Zaleha berkeputusan turun gunung untuk menyerah kepada Belanda, lantas apa keputusan Bulan Jihad dan sisa prajurit lainnya? Ternyata Bulan Jihad tetap haram menyerah dan tetap bertekad meneruskan perjuangan sekaligus meneruskan pengembaraannya. Maka terjadilah perpisahan yang sangat memilukan.njajah ke Banjarmasin bersama ibunya Nyai Salmah. Sejak perpisahan itu, tidak banyak orang yang tahu dimana keberadaan Bulan Jihad dan kelanjutan perjuangannya. Barulah pada tanggal 11 Januari 1954, Bulan Jihad datang melaporkan diri ke Kantor Pemerintahan setempat di Muara Joloi sehingga saat itulah dia baru mengetahui kalau Indonesia sudah merdeka. Hatinya pun semakin luluh begitu mengetahui sahabat karibnya Ratu Zaleha telah meninggal dunia (24 September 1953) di Banjarmasin. Hari itu orang kembali melihat pemunculannya dan hari itu pula dia kembali mengembara ke hutan rimba untuk selama-lamanya. Inilah sekilas kisah seorang muslimah bernama Bulan Jihad yang setia berperang mendampingi perjuangan Gusti Puteri Zaleha (1903-1906), bahkan dia terus berjuang melewati masa juang pahlawan anti kolonialis lainnya di tanah Dayak ini.
Dari bukti-buki sejarah yang ditunjukkan para pendahulu kita dengan gamblang menyatakan fakta bahwa kebulatan tekad persatuan, tekad perjuangan mengusir penjajahan dari negeri ini, tertuang sangat jelas di dalam Perang Banjar dan Perang Barito. Saat itu, Pangeran Antasari, Demang Leman, Gusti Muhammad Seman, Temanggung Surapati, Gusti Zaleha, Bulan Jihad, Panglima Batur, Temanggung Mangkusari, Panglima Wangkang dan lainnya, adalah gambaran bersatunya kesatuan suku-suku Dayak Ngaju, Dayak Dusun, Kayan, Kenyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam maupun Kaharingan. Kata Kiyai Juhran Erpan Ali kemudian, “Masa itu telah ada kesepakatan tekad bahwa suku Dayak dan suku Banjar tidak akan pernah berperang sesamanya sampai kapan pun juga”.*4)
*1) Tabloid Bebas, Nomor 092, 7-13 Maret 2001, halaman 5.
*2) Tabloid Bebas, No. 092, 7-13 Maret 2001, hlm 5.
Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak orang yang mengaku sebagai Panglima Burung, entah di Tarakan, Sampit, atau pun Pontianak. Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini dengan tiga cara yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan ada yang ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah satunya adalah benar-benar Panglima Burung yang sejati.
Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Penglima Burung. Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Panglima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.
Lalu bagaimanakah seorang Panglima Burung itu, bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Panglima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.
Dan kenyataan di lapangan membuyarkan semua stereotipe terhadap orang Dayak sebagai orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual. Seperti Penglima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang.
Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun sosok yang diagungkan, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam. Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, atau rokok dengan mereka.
Panglima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.
Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer dibicarakan dan ditakuti itu? Ada satu perkara Panglima Burung turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan kesabarannya itu habis. Panglima burung memang sosok yang sangat penyabar, namun jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan menjadi lain. Ia akan berubah menjadi seorang pemurka. Ini benar-benar menjadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu, dan penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam jika sudah kesabarannya sudah habis.
Panglima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Ritual–yang di Kalimankan Barat dinamakan Mangkuk Merah–dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, mengayau–memenggal dan membawa kepala musuh. Inilah yang terjadi di kota Sampit beberapa tahun silam, ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut kota.
Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah–agama manapun–dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut ditakuti itu.
Kemisteriusan memang sangat identik dengan orang Dayak. Stereotipe ganas dan kejam pun masih melekat. Memang tidak semuanya baik, karena ada banyak juga kekurangannya dan kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan, yang apapun bentuk dan alasannya, tetap saja tidak dapat dibenarkan. Terlepas dari segala macam legenda dan mitos, atau nyata tidaknya tokoh tersebut, Panglima Burung bagi saya merupakan sosok perlambang sejati orang Dayak.
dari : internet
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com