ARTIKEL PILIHAN

GOOGLE TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

ARTIKEL PILIHAN

KPK VS POLRI

Written By Situs Baginda Ery (New) on Selasa, 07 Agustus 2012 | 14.00

Horee, KPK Lawan Polri Lagi..

Ada semacam rasa enggan para penegak hukum untuk melakukan saling tangkap diantara mereka sendiri. Baik itu polisi menangkap polisi, jaksa menangkap jaksa, maupun polisi menangkap jaksa atau sebaliknya. Kalaupun kejadian memborgol teman sejawat adakalanya juga terjadi, biasanya hal tersebut disebabkan oleh terlalu kuatnya tekanan publik, atau karena pertentangan tak “terdamaikan” yang terjadi di internal mereka. Kenapa bisa ada keengganan seperti itu?, apakah ini karena polisi dan jaksa memang kebanyakan terdiri dari orang-orang bersih, atau karena mereka merasa satu korp, yaitu sebagai “sesama bis kota yang tidak boleh saling mendahului”?.

Pertikaian antar penegak hukum memang sangat berbahaya, karena masing-masing pihak memegang “senjata”. Jika mereka sama-sama memiliki kelemahan yang bisa dijadikan sebagai sasaran tembak, maka “perang” antara para penegak hukum akibatnya bisa habis-habisan, mereka akan sama-sama “buntung” dan tidak ada pihak yang diuntungkan. Pertimbangan inilah barangkali yang melahirkan sistem “jeruk tidak boleh makan jeruk” diantara sesama penegak hukum. Walaupun ini adalah sebuah sistem yang buruk, namun dengan berjalannya waktu, dia telah menjadi sebuah kebiasaan yang seolah-olah bisa dibenarkan. Seperti kata banyak orang, bahwa kebiasaan buruk yang dilakukan berulang-ulang lama-lama akan menjadi sebuah tradisi. Dan pada akhirnya publikpun memaklumi, bahwa budaya “tahu sama tahu” ini telah menjadi way of life atau bagian yang terpisahkan dari tradisi para penegak hukum di Indonesia.

Ditengah-tengah budaya “sesama bis kota” diatas, tahu-tahu terdengar berita KPK mencokok Polisi!. Ini memang berita biasa, dia menjadi luar biasa karena sebagai “sesama bis kota”, kok tega-teganya KPK “menyalip di tikungan”?. Apa pasal KPK sampai berani merusak sistem “jeruk tidak boleh makan jeruk” yang sudah mengurat mengakar tersebut?. Sang Tersangka-pun tidak tanggung-tanggung, bukan cuma bintang dua, tapi juga merupakan simbol moral Polri, yaitu seorang jendral yang seharusnya paling dijadikan suri tauladan. Bukankah jabatan Gubernur Akpol adalah Kepala dari Badan yang akan melahirkan perwira-perwira polisi masa depan?,dialah yang dituduh korupsi!. Kalau Gubernur Akpol, seseorang dengan jabatan yang sangat terhormat saja melakukan korupsi, lantas bagaimana dengan yang lain?, ada apa dengan sistem kepangkatan dan jabatan di tubuh Polri?.

KPK memang seekor “cicak” yang pintar. Seekor “cicak” yang berani mengobrak-abrik sarang “buaya” bukanlah “cicak” sembarangan. KPK benar-benar memperhitungkan, bahwa perlawanan Polri pasti akan sia-sia. Gigitan “buaya” hanya akan merontokkan “gigi”nya sendiri, karena yang digigit adalah rakyat Indonesia. Dalam sejarah, tidak ada satu kekuatanpun yang dapat melawan rakyat. Peristiwa sejenis telah membuktikan, bahwa Polri pernah “lempar handuk”, terpaksa harus membebaskan Bibit-Chandra karena tekanan publik. Tampaknya dukungan rakyat telah membuat panas darah KPK. Kedepan, KPK mestinya harus semakin berani. Hampir semua departemen pernah merasakan “tamparan”nya, termasuk juga tikus-tikus yang bercokol dalam lembaga terhormat DPR. Kini, KPK baru saja menangkap seekor kakap di tubuh Polri, siapa tahu sebentar lagi mereka berani “nembak” Dephankam, sampai pada akhirnya “nyerempet-nyerempet” sekitar Istana juga.

Kapolri tentunya juga jangan sampai kalah pintar dibandingkan dengan para petinggi KPK. Polri tidak perlu terpancing oleh “serangan” KPK. Melakukan “perang” melawan KPK hanya akan memperburuk citra Polri sendiri, apapun prosedur hukum yang akan digunakan oleh Polri. Seorang pahlawan bukanlah jendral yang berhasil memenangkan sebuah peperangan. Pahlawan sejati adalah seorang jendral yang bisa menghindari terjadinya perang. Kasus Bibit-Chandra telah mengajari kita agar Polri tidak terperosok dua kali kedalam lubang yang sama. Kejahatan yang dilakukan oleh seorang polisi cuma kejahatan seorang oknum. Hanya oknum yang melindungi oknum. Lembaga yang melindungi oknum bisa dituduh rakyat sebagai lembaganya para oknum. Dijadikannya seorang jendral polisi sebagai tersangka adalah sebuah mementum untuk melambungkan kembali citra Polri. Inilah kesempatan untuk menunjukkan kepada publik, bahwa Ksatria Bhayangkara bukan cuma trampil menangkap teroris dan bandar narkoba. Tetapi juga mampu memberantas kurap dan kudis yang selama ini telah menggerogoti tubuhnya sendiri. Bila hal tersebut dilakukan, rakyat pasti akan berdiri dibelakang Polri.

Musibah yang menimpa Polri tentu saja membuat sebagian khalayak bertepuk tangan, terutama orang-orang yang tidak suka kepada pemerintah. Bila tidak hati-hati, kondisi ini bisa saja membuat KPK besar kepala. Orang yang merasa besar kepala adalah orang yang memiliki kepribadian lemah serta mudah ditunggangi oleh pihak lain. Dukungan rakyat tidak boleh membuat KPK menepuk dada. Polri juga tidak perlu berkecil hati, walaupun memiliki banyak titik nila yang merusak susunya sebelanga. Membangun istana tidaklah secepat mendirikan sebuah gubuk. Mengembalikan citra Polri tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Publik mengerti betul bahwa itu perlu waktu, mereka telah terlatih untuk bersabar. KPK dan Polri adalah sarana buat mengabdi, bukan wadah untuk membangun citra para petingginya. Berpetualang guna merebut pesona popularitas, hanya pantas dilakukan oleh kanak-kanak yang ingin gagah-gagahan. Tindakan demikian cuma akan menguntungkan pihak-pihak yang ingin mengail di air keruh.

14.00 | 0 komentar | Read More

Jenderal Polisi Jasin, tak tergiur emas dan permata empat besek

Jenderal Polisi Jasin, tak tergiur emas dan permata empat besek
jenderal m jasin. museum.polri.go.id

Bukan hanya Jenderal Hoegeng yang dikenal karena kejujurannya. Ada cerita lain soal sosok polisi jujur dan berani, Komjen Pol Mohammad Jasin. Jasin bahkan tak tergiur emas dan permata rampasan perang jumlahnya berkilo-kilogram.

Ceritanya penghujung tahun 1945, berbarengan dengan Pertempuran 10 November, situasi di Surabaya panas. Persaingan antar satuan dan tokoh-tokoh militer memanas. Walau sama-sama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Republik Indonesia, saling bunuh atau saling culik biasa terjadi. Motifnya sepele, soal pribadi atau berebut pengaruh.

Saat itu Komandan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR) Karesidenan Surabaya, Mayor Sabarudin sangat ditakuti. Kelakuan Sabarudin ini ibarat koboi. Enteng saja dia menembak mati dan memenggal orang-orang yang dianggapnya mata-mata Belanda. Sabarudin juga dikabarkan mengkorupsi dana perjuangan.

Dia gemar mengumpulkan tahanan wanita-wanita Belanda untuk dijadikan sebagai gundik. Tak ada yang berani menegur apalagi menghukum Sabarudin atas kelakuannya yang beringas.

Puncaknya Sabarudin menculik Mayor Jenderal Mohammad. Seorang petinggi TKR di Surabaya. Alasannya karena Mohammad yang bertanggung jawab atas urusan dana perjuangan ini tidak memberinya uang. Mohammad berpendapat Sabarudin tidak dapat mempertanggungjawabkan dana perjuangan yang diberikan pada kesatuannya.

Maka markas besar angkatan perang merasa perlu mengambil tindakan tegas. Jenderal Soedirman sendiri yang memanggil Inspektur Polisi Jasin ke Yogyakarta. Jasin adalah Komandan P3 atau Pasukan Polisi Perjuangan, saat ini disebut Brigade Mobil atau Brimob. Soedirman memerintahkan Jasin melucuti pasukan Sabarudin dan menangkapnya. Jasin sempat bertanya mengapa tugas ini tidak dberikan pada Angkatan Darat?

"Pimpinan Divisi Tentara itu takut pada Mayor Sabarudin. Oleh karena itu saya memberikan tugas itu pada Saudara Jasin. Panglima besarlah yang bertanggung jawab," demikian jawaban Sudirman seperti ditulis dalam buku Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta tahun 2010.

Maka Jasin pun mengumpulkan pasukannya di Surabaya dan menggerebek Markas Mayor Sabarudin. Tanpa perlawanan Sabarudin menyerah. Pasukan Jasin pun menahan dan melucuti mereka.

"Dalam penggerebekan itu ditemukan delapan wanita Eropa yang sedang hamil dan empat besek penuh perhiasan emas dan berlian. Wanita dan emas itu diduga dirampas dari kamp-kamp tahanan bangsa Eropa," kata Jasin.

Melihat emas dan berlian yang melimpah ruah itu Jasin tak tergoda. Sebenarnya bisa saja dia mengambil benda berharga tersebut. Apalagi saat itu suasana perang, Markas Tentara pun tak tahu jika Sabarudin memiliki kekayaan berlimpah. Tapi sebagai perwira polisi, Jasin punya integritas. Dia menyerahkan semuanya pada atasannya.

"Semua itu diserahkan sebagai bukti pada Dewan Pertahanan Surabaya di Mojokerto. Bagaimana selanjutnya penanganan hasil rampasan itu saya tidak tahu," kata Jasin.

Sementara Sabarudin akhirnya diadili dan diputus bersalah. Dia dihukum penjara.

M Jasin terus berkarir di kepolisian. Sejumlah jabatan penting pernah diembannya. Jasin digelari Bapak Brimob Indonesia.

13.57 | 0 komentar | Read More

Berhak kah Polisi Melindungi Org yg Bersalah

Upaya Polisi Melindungi Jenderalnya

Ribut ribut soal penanganan kasus korupsi di Korlantas Polri, sungguh sangat menggelikan, publik terperangah bagaimana ngototnya upaya Polisi untuk melindungi jenderalnya dari jerat hukum. Semangat korps ditunjukan dengan cara yang salah, sudah menjadi rahasia umum kalau perilaku polisi di negeri ini sangat korup, dari mulai tingkat bahwa sampai atas, sudah menjadi pemandangan sehari hari Polisi gemar menerima salam tempel dari pelaku pelanggaran lalu lintas, bahkan banyak sekali sikap dan perilaku Polisi yang senang mencari kesalahan para pengguna jalan. Polisi merasa menjadi penguasa dan merasa benar sendiri.

http://skalanews.com/filemodul/berita/file_item/4/10/2012-02-27/polisi-penembak-guru-ngaji-dituntut-12-tahun-penjara-_big__20120227132656_file_vino_cms.jpgDari persoalan salam tempel dijalanan sampai kasus rekening gendut para petinggi polisi, kasus cecak vs buaya yang ditutup dengan ending Susno Duaji masuk prodeo. Sudah membuat masyarakat kehilangan kepercayaan kepada polisi sebagai salah satu institusi penegak hukum di negeri ini. Dengan cerdik beberapa petinggi polisi merapat ke beberapa media masa untuk meredam berita berita miring tentang kepolisian. jelas beberapa media terkemuka di negeri juga sudah terkooptasi sehingga media ini jarang bahkan hampir tidak pernah memuat berita tentang perilaku korup aparat kepolisian.

Masayarakat sudah paham benar bahwa 3 institusi penegak hukum di negeri ini sudah dicengkeram perilaku korup, ketiga institusi itu adalah Polisi, Kejaksaan dan Kehakiman. Masih teringat peristiwa penangkapan Jaksa Urip oleh KPK yang sempat diwarnai tarik ulur antara KPK dan Kejaksaan. Semangat korps yang salah kaprah kembali diperlihatkan.

Bagaimana negeri ini bisa membersihkan korupsi dengan menggunakan sapu yang kotor, kepolisian, kejaksaan dan kehakiman sudah kotor saking kotor nya jika kita mau jujur separuh dari aparat ketiga institusi tersebut seharusnya diprodeokan. Dari korupsi kelas teri yang kasat mata sama mega korupsi yang canggih dan halus sudah umum terjadi dilingkungan institusi institusi tsb.

Lucunya perseteruan soal rebutan penanganan kasus ini antara Polisi dan KPK, seharusnya bisa ditengahi oleh presiden, sebagai institusi langsung dibawah kendali presiden seharusnya presiden bisa segera memerintakan Kapolri untuk secara legawa menyerahkan kasus ini ditangani oleh KPK, atau bahkan Kapolri bisa memerintahkan langsung bawahan nya untuk mundur dari perkara, sehingga bisa dipandang sebagai langkah positip kapolri untuk membersihkan diri Polisi dari borok borok nya sendiri.

Namun semua itu tidak dilakukan, yang ada semua pejabat hanya berwacana dengan argumentasi masing masing yang membuat masyarakat semakin bingung, tidak ada ketegasan, tidak sikap positip yang memberi sinyal bahwa pemberantasan korupsi harus terus didukung secara nyata. KPK sebagai satu satunya penegak hukum yang masih dipercaya dan diandalkan masyarakat di negeri ini harus terus diberikan dukungan. The silent mayority ada dibelakang KPK, dan masyarakat sudah cerdas untuk menilai siapa salah siapa yang benar dalam kasus ini.

Jangan lah kasus hukum ini kemudian dibawa ke ranah politik jika itu terjadi maka bukan mustahil para pelaku akan bebas , dan kasus ini tidak pernah terungkap dengan tuntas.

Maju Terus KPK. Rakyat mendukung mu.

13.54 | 0 komentar | Read More

Waw,ada Cafe Kucing

Ngopi Bersama Kucing

13441007651154766001

Cat cafe. Kafe kucing. Kafe untuk kucing? Bukan, tapi kafe yang isinya kucing. Unik? Tentu. Jijik? Mungkin bagi sebagian orang (“kafe kok ada binatangnya, nanti kalau bulu-bulunya masuk ke makanan gimana?”). Afternoon tea saya hari ini di Minimal Cafe, satu di antara sekian banyak kafe/restoran aneh di Taipei (dari yang temanya toilet sampai rumah sakit).

Katanya, Minimal Cafe ini adalah cat cafe pertama di dunia. Entah bagaimana ceritanya kafe ini bisa mengambil tema kucing, namun kebanyakan kucing di sana adalah kucing rescue, kucing liar yang kemudian dipelihara oleh si pemilik kafe. Dari satu dua kemudian menjadi puluhan.

Agak sulit menemukan tempatnya karena posisinya yang nyempil di gang kecil, meski terletak di area pasar malam yang happening di Taipei. Jika cuaca cerah, di luar pasti beberapa kucing nongkrong dengan santai. Mereka tidak takut dengan manusia, jadi silakan dipegang-pegang. Paling mereka tidak bereaksi. Hahaha. Begitu masuk ke kafe-nya, ada lebih banyak lagi kucing yang bertebaran dimana-mana. Kucing-kucing itu dibiarkan berkeliaran bebas, jadi mereka tidur di meja, kursi, di dekat mesin espresso, di meja bar. Jangan ngambek kalau begitu datang harus menunggu karena kursi yang tersedia dipakai oleh beberapa kucing. Hehehe. Jenis kucingnya bukan yang eksotis semacam kucing Persia, kucing-kucing ras biasa karena mereka asalnya adalah kucing jalanan. Besar kecil, warna, dan kelakuannya bervariasi. Ada yang hitam kelam, belang-belang, putih-hitam; ada yang tiduuurrr terus, ada yang berjemur, ada yang lincah berlarian naik turun ke atas meja (yap, meja pengunjung). Jadi jangan kaget kalau tiba-tiba salah satu kucing itu naik ke pangkuan Anda lalu naik ke meja. Di salah satu sudut juga disediakan mainan bagi pengunjung yang ingin bermain dengan kucing-kucing di sana. Semuanya nurut-nurut kok. Dan sudah dikebiri, jadi tidak berisik dan banyak tingkah.

13441008081079797066

kucing yg nempel terus ke mesin espresso

13441008612139038291

nongkrong di bar

13441009081739722125

naik ke meja

Soal makanan, karena modelnya yang kafe, jadi isinya ya kopi, teh, smoothie, dan beberapa makanan berat tapi tidak terlalu berat seperti waffle, sandwich, pasta. Kopi dan tehnya enak, rasa makanannya standar. Kafe ini memang ramai bukan karena makanannya yang lezat, melainkan konsep kafe-nya yang unik.

Bagi mereka yang agak rewel soal kebersihan makanan, memang lebih baik tidak mengunjungi kafe ini. Meski begitu, setiap kali kesana, saya selalu melihat ruangannya cukup bersih. No problem untuk saya, untuk yang alergi kucing, jangan kesana yaaa (:D).

1344100995366544551

happy face :D *suka kucing sih*

Kafe ini populer di kalangan cewek-cewek (yang memang suka kucing). Cowok-cowok yang kesana biasanya dipaksa pacarnya, atau memang suka sekali dengan kucing. Seorang teman cowok berkomentar, “ga ngerti gue gimana bisa nyaman ngafe di tempat begini”. Hihihi.

Untuk pengalaman, kalau berkunjung ke Taipei, boleh lho mampir kesini. Minum kopi aja segelas, sisanya ngelus-elus kucing (:D).

XOXO,

-Citra

P.S. Foto koleksi pribadi si tukang makan dan pecinta kucing :D
13.50 | 0 komentar | Read More

Nasihat utk SBY & Pencekalan Kick Andy

“Nasihat untuk SBY” yang Membuat SBY Marah

13380201011428132927

Adnan Buyung Nasution ketika menghadiri peluncuran buku terbaru, Nasihat untuk SBY (Sumber: Tribunnews.com)

Waktu pertamakali melihat buku Nasihat untuk SBY oleh mantan anggota Dewan Penasihat Presiden (Wantimpres) periode pertama (2007-2009), Adnan Buyung Nasution, di Toko Buku Gramedia, Grand City, Surabaya, saya langsung tertarik untuk membelinya. Apalagi, setelah membaca sinopsis di bagian belakang cover-nya. Saya pikir buku tersebut pasti akan menimbulkan kontroversial dan kemarahan dari pihak SBY (yang kita semua sudah tahu karakternya bagaimana). Ternyata, benar. Pihak SBY merasa tersinggung dengan penerbitan buku tersebut. Kontroversial pun mulai menyeruak. Apalagi dilihat dari aspek hukum formal apa yang dilakukan oleh Buyung itu memang melanggar Undang-Undang. Yaitu, UU No. 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Pasal 6, ayat 1 UU itu mengatur: Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, anggota Wantimpres tidak dibenarkan memberikan keterangan, pernyataan, dan/atau menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangan kepada pihak mana pun.

Lalu, kenapa Adnan yang sudah tahu dan mengakui perbuatannya menerbitkan buku tersebut melanggar undang-undang, tetap saja nekad melakukannya? Inilah sisi menariknya. Tentu, yang lebih menarik lagi, kita menjadi sangat ingin tahu apa saja yang terjadi selama Wantimpres dengan Adnan sebagai salah satu anggotanya (bidang hukum) menjalankan tugasnya itu? Bagaimana terjadi interaksi dan komunikasi dengan Presiden SBY? Apakah Wantimpres tersebut berfungsi secara efektif?

Menurut Adnan memang UU melarang setiap anggota Wantimpres untuk memberi keterangan, pernyataan, dan/atau menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangan kepada pihak manapun. Tetapi, menurut Adnan juga, tiada suatu kerahasian yang sifatnya mutlak. Kemutlakan itu akan bersifat relatif, apabila ada kepentingan yang lebih tinggi darinya. Dalam hal ini adalah kepentingan rakyat Indonesia. Keberadaan Wantimpres dengan segala status, wewenang, dan privelege itu dibayar dari dan oleh uang rakyat, maka harus ada pertanggungjawaban kepada rakyat atas tugas konstitusional.

Dalam Kata Pengantar-nya di buku itu, Adnan menulis alasan dia memilih untuk mempublikasikan apa yang pernah dia (bersama anggota Wantimpres lainnya) lakukan dalam menjalankan fungsinya sebagai anggota Wantimpres 2007-2009.

Sepertinya, Adnan selama ini gundah, atau terjadi perang dalam bathinnya karena selama menjadi anggota Wantimpres itu merasa tidak berdaya, karena keberadaan mereka itu dirasakan hanya sebagai formalitas atau pencitraan bagi Presiden SBY. Padahal adalah SBY sendirilah sampai memohon-mohon kepadanya untuk mau menjadi bagian dari Wantimpres itu. Karena jangankan pertimbangan-pertimbangan mereka didengar, bertemu saja nyaris tak pernah. Selama masa 1,5 tahun menjalankan jabatan itu, efektif hanya tiga kali Wantimpres bisa komunikasi langsung dengan Presiden SBY. Selebihnya harus bergerilya, melalui Mensesneg, dan Mensekkab. Bahkan dalam satu tahun terakhir sama sekali tidak ada pertemuan. Jadi, hanya 6 bulan pertama saja keberadaannya terasa benar-benar ada. Setelah itu seolah-olah saja ada.

Adnan munlis:

Perlu dipertanyakan lebih jauh sampai di mana kerahasiaan itu berlaku? Apakah segalanya itu serba rahasia sehingga masyarakat tidak boleh mengetahui apapun? Kalau begitu masyarakat tidak tahu apa tugas dan tanggung Wantimpres. Lebih jauh lagi masyarakat juga tidak akan pernah tahu apakah Wantimpres sungguh-sungguh bekerja memberikan nasihat dan pertimbangan yang tepat kepada Presiden atau tidak? Kalau Presiden melakukan kesalahan dalam tindakan dan keputusannya,apakah karena sebelumnya Wantimpres tidak memberikan nasihat dan pertimbangan? Lalu kenapa pula Wantimpres tidak memberikan nasihat dan pertimbangannya? Bisa timbul berbagai pertanyaan seperti itu dari masyarakat.

Sebab itulah di dalam buku ini saya dengan sadar selaku mantan anggota Wantimpres membuka semua pengalaman dan pemikiran saya dengan niat dan tujuan yang bersih untuk memberikan pertanggungjawaban moral, hukum, dan politik, kepada masyarakat. Karena

Keberadaan Wantimpres dengan segala status, wewenang, dan privelege itu dibayar dari dan oleh uang rakyat, maka harus ada pertanggungjawaban kepada rakyat atas tugas konstitusional.

Rupanya, Adnan khawatir bahwa masyarakat akan menilainya selama bertugas sebagai anggota bagian hukum dari Wantimpres itu hanya makan gaji buta. Hanya demi popularitas, hanya demi menaikkan nilai jualnya saja, menerima jabatan tersebut dari Presiden.

Bahwa dia tidak sungguh-sungguh bekerja untuk memberi pertimbangan-pertimbangan yang sangat penting kepada Presiden. Padahal, menurut Adnan dia itu sudah bekerja dengan ekstra keras, sampai stres berat, capek, kehilangan banyak waktu dan uang (dengan rela untuk sementara meninggalkan firma hukumnya, karena ada larangan jabatan rangkap), tetapi semua upayanya itu tidak dihargai Presiden SBY. Sementara itu kebijakan-kebijakan Presiden SBY sangat bertolak belakang dari prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Jangan sampai masyarakat menilai bahwa semuanya itu juga akibat dari Wantimpres di masanya itu tidak pernah mengingatakn dan memberi nasihat-nasihat kepada Presiden SBY, atau malah memberi nasihat yang keliru, sehingga membuat Presiden SBY berperilaku seperti “pemerintahan yang sesat,” sampai seperti sekarang ini.

Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, yang juga adalah mantan anggota Wantimpres periode setelah Adnan, Jimly Asshiddiqie menilai apapun alasannya, Adnan tidak patut menyebarluaskan isi nasihat Wantimpres yang pernah disampaikan kepada Presiden itu, seperti yang telah dilakukan Adnan melalui bukunya itu. Itu melanggar etika dan UU Wantimpres.

Menurut Jimly, alasan Adnan itu juga tidak tepat. Tanggung jawab kepada rakyat adalah tanggung jawab politik, dan bukan tanggung jawab hukum. Biasanya, itu hanya dipakai sebagai jargon politik agar terlihat gagah dan heroik. (Kompas.com, 26/05/2012).

Secara hukum, lanjut Jimly, Wantimpres dan para anggotanya bertanggung jawab hanya kepada presiden yang mengangkatnya. Wantimpres tidak diangkat oleh rakyat, maka secara moral dan hukum harus tanggung jawab kepada presiden. Demikian Jimly.

Yang saya khawatirkan adalah jika pendapat Jimly itu dibenarkan secara mutlak, maka sangat mungkin presiden yang “tidak beres” itu akan berlindung di balik hukum tersebut, untuk menutup-nutupi fakta-fakta yang sebenarnya terjadi. Bahwa keberadaan Wantimpres itu sebenarnya hanyalah formalitas saja, hanya sebagai pencitraan saja. Sementara itu, untuk semua kebijakan yang dia putuskan dan lakukan hanyalah berdasarkan pertimbangannya semata. Keberadaan Wantimpres itu hanya berguna baginya agar masyarakat melihatnya sebagai seorang presiden yang demokratis, yang mau mendengar nasihat dan pertimbangn dari pihak-pihak lain. Padahal faktanya tidak begitu. Kalau kerahasian itu bersifat mutlak, dan secara kaku UU itu diterapkan, maka niscaya “kebobrokan” Presiden SBY itu pun akan tertutup rapat.

Jika Presiden SBY melakukan kesalahan, yang merugikan pencitraannya, dia bisa berbagi, atau menimpakan kesalahan kepada Wantimnpres. Atau membuat masyarakat melihatnya seolah-olah seperti itu. Padahal, Wantimpres sudah mengingatkannya untuk (jangan) memutuskan/melakukan sesuatu hal itu. Halmana, inilah yang dirasakan Adnan, sehingga dia akhirnya memutuskan membukanya ke publik lewat bukunya itu. Agar publik tahu segalanya, Bahwa Adnan sudah pernah mengingatkan, atau sudah pernah menasihatkan Presiden SBY, tetapi SBY tidak mau mendengarnya.

Misalnya, Adnan pernah memberi pertimbangan kepada Presiden SBY agar jangan mau ikut menandatangani UU Pornografi yang telah disetujui oleh DPR itu. Pertimbangannya adalah karena UU tersebut tidak mengakomodir aspirasi banyak kalangan, dan mengingkari kebhinekaan di dalam masyarakat Indonesia. Ada beberapa pasal yang mayoritas masyarakat tidak setuju, terutama seniman, kaum muda, dan kaum perempuan karena mengancam kebhinekaan di Republik ini.

Tetapi SBY tetap saja menandatanganinya. Menurut Adnan, sikap SBY yang tidak mau mendengar nasihatnya itu, karena SBY sudah terbawa arus kepentingan politik sempit dan sesaat dari elite politik di DPR yang dikendalikan oleh obsesi-obsesi politik identitas (terutama agama), yang mengancam kemajemukan NKRI.

Meskipun sesuai dengan ketentuan setiap UU yang telah disetujui DPR, meskipun tidak ditandatangani Presiden, tetap berlaku 30 hari setelah pengesahan oleh DPR itu. Tetapi, kata Adnan, dengan tidak ikut mengesahkan UU Pornografi itu, akan memberi makna atau pesan yang dalam kepada masyarakat tentang nilai-nilai moral yang harus dijunjung tinggi bersama dalam menghormati, menghargai, dan menjaga kebhinekaan yang hidup dan terus berkembang dalam masyarakat, sekaligus untuk menjaga keutuhan dan integritas bansa, sekarang, maupun masa depan.

Kini, buku Nasihat untuk SBY itu telah beredar luas. Ketersinggungan dan kemarahan pihak Presiden SBY, dan kontroversialnya malah akan membuat buku ini menjadi semakin laris, dan bersamaan dengan itu akan semakin membuat semakin banyak orang yang tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Wantimpres angkatan pertama (2007-2009) dengan Presiden SBY itu versi salah satu anggotanya, Adnan Buyung Nasution.

Sejak awal seharusnya SBY tidak mengajak, apalagi sampai memohon-mohon kepada Adnan untuk bergabung di Wantimpres ini. Karena karakter Adnan yang terkenal keras, blak-blakan tanpa kompromi ini tidak sinkron dengan karakter SBY yang halus, melankolis, menjunjung tinggi pencitraan diri, dan mudah tersinggung itu. Kini, SBY harus “menangung akibatnya”. Adnan yang merasa tidak bisa menerima cara Presiden memperlakukannya selama di Wantimpres itu pun “mengamuk” lewat bukunya itu.

Sejak awal saja, belum apa-apa sebetulnya keduanya sudah tidak cocok. Yaitu, ketika baru saja Presiden SBY, pada 29 Maret 2007 mengumumkan nama anggota-anggota Wantimpres, yang salah satunya adalah Adnan Buyung Nasution, Adnan sudah mendapat undangan dari Andy F. Noya untuk mengisi acara Kick Andy di Metro TV. Dalam acara itulah ada pernyataan Adnan yang membuat Presiden SBY tersinggung berat. Sampai-sampai sempat meminta iklan yang mempromosi acara tersebut, yang menayangkan kutipan pernyataan Adnan itu supaya dihentikan tayangannya. Tetapi, ditolak oleh Adnan, yang mengatakan dia tidak punya wewenang untuk itu. Yang punya wewenang adalah pihak Metro TV. Pihak Istana pun menelepon Andy Noya untuk keperluan tersebut. Apakah isi pernyataan Adnan yang membuat SBY marah itu?

Apakah benar ketika mengajak Adnan untuk bergabung di Wantimpres itu Presiden SBY sampai memohon-mohon? Kesan itulah yang saya dapatkan setelah membaca buku tersebut.

Selanjutnya silakan disimak di

“Nasihat untuk SBY”, “Kick Andy” pun Mau Dicekal

13380507811506670495

Pengacara Senior Adnan Buyung Nasution menyampaikan kata sambutan saat peluncuran bukunya, Nasihat untuk SBY (Sumber: Mediaindonesia.com)

Belum apa-apa, sebenarnya, hubungan antara Presiden SBY dengan Adnan Buyung Nasution itu sudah kurang bagus. Karena karakter keduanya tidak cocok. Kalau di kepercayaan tradisional Tiongkok tentang shio, mungkin bisa dikatakan shio kedua orang ini ciong (tidak cocok, menimbulkan kesialan). Adnan mempunyai karakter yang keras, tegas, blak-blakan, dan tanpa kompromi. Sedangkan SBY terkenal dengan kelambah-lembutannya, peragu, tidak percaya diri, melankolis, mementingkan pencitraan, kompromis, dan mudah tersinggung. Tetapi tetap dipaksakan agar keduanya bekerja sama, ketika Adnan diminta untuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) periode pertama (2007-2009). Maka, tak heran terjadilah ketidakcocokan di antara mereka selama dalam periode tersebut. Yang kemudian terungkap luas ketika Adnan Buyung Nasution menerbitkan bukunya dengan judul Nasihat untuk SBY (Penerbit Buku Kompas, 2012). Terbitnya buku tersebut pun melahirkan perseteruan baru antara kubu SBY dengan Adnan. Pihak SBY marah dan tersinggung atas apa yang diungkapkan oleh Adnan di buku tersebut. Adnan dinilai telah melanggar UU tentang Wantimpres, yang melarang setiap anggotanya menyebarluaskan isi nasihat Wantimpres kepada siapapun juga. Selain itu Adnan dinilai telah berperilaku tidak etis.

Di awal start saja ketika Adnan diminta untuk bersedia bergabung dalam tim Wantimpres sudah ada tanda-tanda ketidakcocokan tersebut. Kesan itulah yang bisa didapat ketika kita membaca buku Nasihat untuk SBY itu.

Awalnya, Adnan yang waktu itu (Jumat, 21 Maret 2007) berada di Singapura, ditelepon oleh Menteri Sekretaris Kabinet (Menseskab) Indonesia Bersatu, Sudi Silalahi. Sudi memberitahu kepada Adnan bahwa Presiden akan membentuk Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang beranggota sembilan orang. Salah satunya adalah Adnan untuk Bagian Hukum.

Adnan mengaku kaget namanya dimasukkan begitu saja oleh Presiden SBY, tanpa menanyakan lebih dulu kepadanya. Adnan tambah kaget, ketika Sudi mengatakan lagi bahwa besoknya, Presiden SBY akan langsung mengumumkan nama-nama tersebut. Surat Keputusannya sudah dibuat.

Adnan pun protes, tidak terima. Dia bilang, tidak bisa begini caranya. Dia harus bertemu dulu dengan Presiden, untuk mengetahui terlebih dulu apa visi dan misi Presiden SBY tentang Wantimpres itu. Setelah itu baru bisa dia mengambil keputusan, terima atau tidak jabatan itu.

Sudi membujuk, “Begini saja Bang, nama Abang sudah dimasukkan di dalam SK yang akan diumumkan besok, hari Sabtu. Boleh tidak kita umumkan saja dulu nama Abang? Nanti setelah Sabtu baru kita atur pertemuan dengan Presiden.”

Adnan menolak usulan yang bernuansa formalitas seperti itu. Dia merasa di-fait a compli. Dia tetap bersikeras untuk bertemu dulu dengan Presiden SBY. “Baiklah, nanti saya bicara dulu dengan Bapak Presiden,” kata Sudi mengalah.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Sudi telepon lagi. Kata dia, SBY bersedia bertemu dengan Adnan pada Senin, 24 Maret 2007 (Adnan pulang ke Indonesia pada Minggu, 23 Maret 2007), tetapi SBY tetap meminta Adnan menyatakan bersedia dulu untuk menerima jabatan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden karena SK-nya sudah dibuat, dan akan diumumkan keesokan harinya.

Adnan tetap tidak mau. Penjelasan Sudi ini pada intinya sama saja dengan sebelumnya. Hanya kalimatnya saja yang berbeda.

“Tidak bisa Sudi, Abang tidak mau fait a compli begitu. Abang merasa dipaksa tanpa tahu visi dan misi Presiden. Kalau sudah diumumkan ternyata Abang tidak setuju, bagaimana? Nanti nama Abang jelek. Serba sulit nantinya. Abang tidak mau. Bilang saja kepada Presiden, Abang tidak bersedia kalau caranya begitu. Lebih baik tidak usah saja dimasukkan nama Abang.”

Sudi menyerah. Telepon yang ketiga masuk, kali ini Sudi mengatakan kepada Adnan bahwa Presiden SBY sendiri yang bicara langsung dengannya.

Presiden SBY menjelaskan kepada Adnan tentang latar belakang dan maksudnya membentuk Dewan Pertimbangan Presiden itu, serta membujuk Adnan agar bersedia menjadi anggotanya, yang akan diumumkan keseokan harinya. “ … Saya mohon Bang Buyung bersedia menjadi anggotanya. Abang ‘kan tokoh yang amat kami hormati. Saya sudah kenal Abang begitu lama, sebagi pejuang dan aset bangsa kita.”

Tetapi Adnan bergeming. Dia tetap bersikukuh dengan prinsipnya bahwa dia harus bertemu empat mata dengan Presiden SBY terlebih dahulu (di Jakarta), agar bisa tahu cocok atau tidak. “Jangan sampai saya menerima suatu jabatan tapi tidak cocok, lalu kita berantem,” kata Adnan.

Ternyata, meskipun kelak sudah bertemu empat mata, dan sudah jelas visi dan misi Presiden SBY membentuk Wantimpres itu, tetap saja mereka berdua berantem. Karena rupanya, SBY mengkhianati sendiri visi dan misinya itu. Sekarang, perseteruan mereka bertambah seru lagi, dengan terbitnya buku Nasihat untuk SBY itu.

Setelah tak berhasil membujuk Adnan. Presiden SBY pun mengalah, dan bersedia menunda pengumuman pembentukkan Wantimpres berserta nama anggota-anggotanya itu, sampai setelah ada pertemuannya dengan Adnan Buyung Nasution.

Sepulangnya dari Singapura, kembali ke Tanah Air, Adnan masih meminta masukkan dari keluarganya, dan lawyers di Adnan Buyung Nasution and Partners (ABNP) tentang permintaan Presiden SBY iru. Dia juga meminta asistennya, Ali Nurdin untuk mengumpulkan data-data tentang Dewan Pertimbangan Presiden itu. Guna dipakai dalam dskusi pertemuannya dengan SBY kelak.

Setelah tertunda beberapakali, akhirnya Adnan bertemu juga dengan Presiden SBY di Istana Negara, pada Rabu, 28 Maret 2007. Seperti permintananya, pertemuan tersebut hanya dilakukan di antara mereka berdua. Empat mata. Dalam pertemuan itu SBY menjelaskan panjang lebar tentang visi dan misinya membentuk Wantimpres itu. Sesudah mendapat penjelasan itu, Adnan memutuskan menerima tawaran SBY itu. SBY menjabat tangannya erat-erat, memeluknya dan cipika-cipiki pun terjadi. Besoknya, Kamis, 29 Maret 2007, Presiden SBY mengumumkan pembentukan Dewan Pertimbangan Presiden berserta nama-nama sembilan anggotanya.

Baru saja pengumuman itu disampaikan, datanglah undangan kepada Adnan Buyung Nasution dari Andi F. Noya untuk mengisi acara Kick Andy di Metro TV. Acara tersebut direkam terlebih dahulu sebelum ditayangkan dua minggu kemudian.

Di dalam acara Kick Andy yang terkenal dengan pertanyaan-pertanyaannya yang kritis, spontan, dan penuh kejutan itu terlontar pertanyaan pertama dari Andi Noya yang langsung membuat Adnan merasa terpojok, “Bang Buyung oleh publik Abang dikenal selama puluhan tahun berjuang di luar struktur pemerintahan, kenapa sekarang Abang mau masuk, padahal ibarat kapal, pemerintahan sekarang yang nahkodanya SBY sudah mau karam, kok Abang malah masuk?”

Adnan menjawab, “ Memang benar, selama ini saya berjuang dari luar, memberikan kritik, komentar, masukkan, bahkan berdemonstrasi. Sekarang saya diminta masuk ke dalam pemerintahan yang bagai kapal yang hampir karam, justru karena saya merasa wajib masuk untuk menyelamatkannya. Saya tidak tega dan tidak rela melihat kapal ini atau bahkan negara ini karam. Saya sebagai pejuang harus turun tangan membela kapal ini jangan sampai tenggelam, supaya kita bisa terus berlayar mencapai cita-cita berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini dengan memberi nasihat dan pertimbangan kepada Presiden. Diminta, maupun tidak diminta.”

Andi kemudan bertanya lagi, “Di dalam memberikan arahan kepada Kapten supaya kapal jangan tenggelam, kalau bentuknya nasihat, apa ukurannya nasihat Abang diterima atau tidak? Bagaimana Abang mengukur berhasil atau tidaknya nasihat Abang itu, atau percuma saja Abang memberi nasihat?”

Adnan menjawab begini, “ … Tidak ada parameter atau ukuran yang pasti. Taruhlah dengan berpikir sederhana, ada sepuluh point of interst kepentingan bangsa dan negara yang dipertaruhkan, dan saya memberikan nasihat. Kalau sembilan dari sepuluh nasihat saya diterima, berarti berhasil nasihat saya itu. Tetapi kalau dari sepuluh nasihat saya hanya satu yang diterima, berarti gagal, tidak ada gunanya saya kasih nasihat. Lebih baik saya keluar, saya cabut saja dari situ, buat apa saya ada di situ.”

Pernyataan Adnan Buyung Nasution yang saya jadikan huruf tebal itu kemudian dijadikan cuplikan untuk iklan acara Kick Andy itu itu setiap hari di Metro TV sebelum penayangannya. Iklan yang gencar dengan kutipan kalimat-kalimat yang keras dan pedas dari Adnan itu rupanya sampai di telinga Presiden SBY. Membuat telinganya memerah. SBY tidak terima. Dia tersinggung dan marah.

Lewat T.B. Silalahi, Adnan ditegur melalui telepon: “Bang, saya ini dekat dengan Presiden, saya tahu perasaannya terpukul sekali dengan pernyataan Abang itu. Abang ‘kan belum dilantik, belum mulai bekerja tapi sudah ngancam mau keluar, kenapa sih Abang begitu?”

Lho, itu memang sikap Abang,” jawab Adnan tegas, “Abang mau masuk ke situ memang niatnya seperti itu. Mesti didengar dong nasihat kita. Kalau tidak, buat apa kita ada di situ, sama saja dengan DPA zaman dulu.”

“Tapi ‘kan belum dilantik, Abang sudah ngancam-ngancam mau keluar.”

“Bukan ngancam, tapi memberitahusikap Abang dari awal, supaya semua orang tahu. Menangnya kenapa? Apa salahnya?”

Adnan mengaku dia dengan T.B. Silalhi pun ribut, bertengkar di telepon gara-gara tayangan iklan Kick Andy itu.

Akhirnya, T.B. Silalahi bilang kepada Adnan, “Tolong, Bang, stop itu advertensinya, jangan terus-terusan!”

Tentu saja Adnan menolaknya, “Lho, tidak bisa. Bukan hak sayauntuk menghentikan, itu haknya pers, haknya Metro TV.”

Rupanya, pihak Istana belum mau menyerah. Ternyata SBY sangat gerah dengan ucapan keras Adnan itu. Tetapi seperti biasa, tidak berani bersikap tegas. Watak dan jurus Orde Baru pun dikeluarkan. Mereka pun menelepon Andy Noya untuk menghentikan iklan tersebut. Andi Noya menghubungi Adnan, minta pertimbangannya.

Adnan menjawab Andy, “Abang tahu, Abang tidak keberatan, kok. Bukan Abang yang minta dihentikan. Abang senang saja. Terserah kalianlah, bagaimana mengatasinya.”

Entah bagaimana cerita selanjutnya, yang pasti iklan acara Kick Andy dengan tokoh utamanya Adnan Buyung Nasutiuon itu tetap disiarkan terus-menerus. Sampai pada waktu acaranya ditayangkan. Rupanya, pihak Istana tidak berdaya untuk menaklukkan Andy Noya, atau lebih tepatnya Metro TV. Mungkin kalau pemilik Metro TV itu bukan Surya Paloh, ceritanya lain lagi. Tetapi, menurut Adnan inilah buah dari perjuangan reformasi terhadap kebebasan berekspersi yang tidak mampu ditaklukan oleh pemerintah lagi. Dalam momen-monen seperti ini mungkin pimpinan-pimpinan seperti SBY rindu dengan cara memerintah dengan sistem diktaor dan otoriter. Rindu dan ingin cara-cara rezim Orde Baru memerintah bisa diterapkan kembali.

Apabila Adnan tidak menulis buku Nasihat untuk SBY ini, kita tentu tidak bakal tahu kejadian-kejadian seperti ini. kejadian-kejadian yang membuat kita bisa menilai macam apakah rezim yang sedang memerintah sekarang ini. ***

Sumber: Nasihat untuk SBY, oleh Adnan Buyung Nasution (Penerbit Buku Kompas, April 2012)
13.48 | 0 komentar | Read More

FLASH BACK:Cicak Vs Buaya Part I & II

Menengok Kembali Cicak vs Buaya Jilid I, dan Menyaksikan Cicak vs Buaya Jilid II (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

1344275988229893772

(Sumber: Rakyatmerdeka.com)

Membaca sikap Presiden SBY yang tetap diam, tak berbuat sesuatu terhadap perselisihan antara KPK dengan Polri terkait kasus dugaan korupsi pengadaan simulator mengemudi di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri yang semakin memanas, pantas membuat siapa saja yang perduli terhadap penegakan hukum di negeri ini merasa sangat gemas. Kita menjadi semakin bisa memahami kenapa Adnan Buyung Nasution menjadi sedemikian kecewa dan geram terhadap sikap Presiden SBY ketika menghadapi kasus-kasus hukum besar di negeri ini. Sebagaimana dia tulis di bukunya yang sempat membikin heboh, Nasihat untuk SBY.

Di dalam buku tersebut Adnan Buyung Nasution menulis pengalamannya ketika menjadi anggota Badan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bagian hukum, angkatan pertama (2007-2009). Selama dua tahun menjadi anggota Wantimpres itu Adnan lebih sering tersulut emosinya, merasa sangat kecewa dan geram terhadap sikap SBY dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum besar di masa itu. Selain sering tidak responsif, tidak menjawab berbagai surat, disposisi, dan sebagainya yang disampaikan Wantimpres kepada Presiden SBY. Presiden juga sangat lambat dan peragu dalam mengambil keputusan, padahal segala pertimbangan dan rekomendasi sudah disampaikan oleh Wantimpres, khususnya di bidang hukum itu.

Presiden SBY sendiri yang berinisiatif untuk membentuk Wantimpres (yang terdiri dari beberapa bidang kerja, salah satunya bidang hukum) dengan maksud untuk membantunya menangani dan mencari solusi terbaik dalam menghadapi setiap kasus. Tetapi ironisnya, ketika nasihat, pertimbangan, dan rekomendasi itu sudah disampaikan, SBY seperti tidak mau menganggapnya, dengan cara tidak meresponnya, lambat sekali meresponnya, atau malah mementahkan kembali pertimbangan tersebut dengan menyerahkan kepada instansi lain lagi untuk dipelajari kembali.

Sikap SBY di “Cicak versus Buaya” Jilid Pertama / Tim Delapan

Sikap Presiden SBY yang disebut terakhir itu adalah ketika SBY terdesak untuk harus segera mengambil sikap terkait kasus terjadinya perseteruan antara KPK versus Polri pada 2009. Perseteruan tersebut berawal dari isu yang beredar adanya penyadapan oleh KPK terhadap Kabareskrim Mabes Polri saat itu, Komjen Polisi Susno Duadji, terkait pencairan dana dari nasabah Bank Century, Boedi Sampoerna. Dalam wawancara Tempo dengan Susno Duadji yang dimuat di Majalah Tempo edisi 6-12 Juli 2009 itulah Susno menggoblok-goblokkan KPK yang dinilainya bodoh karena berani dengan Polri, khususnya dengan Kabareskrim. Padahal dia tidak bersalah. Dari sinilah muncul istilah Susno, “cicak” melawan “buaya,” yang kemudian sangat populer itu.

Ketika Tempo bertanya kepada Susno Duadji, “Menurut Anda, kenapa ada pihak yang berprasangka negatif kepada Anda?” Susno menjawab, “Kalau orang berprasangka, saya tidak boleh marah, karena kedudukan ini (Kabareskrim) memang strategis. Tetapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang nggak akan dapat apa-apa.”

Tak lama kemudian Mabes Polri melakukan gebrakan dengan menetapkan dua pimpinan KPK waktu itu Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah (Bibit-Chandra) sebagai tersangka dan kemudian ditahan dengan tuduhan menerima suap dari Anggodo. Ketika sangkaan itu lemah, diubah menjadi penyalahgunaan jabatan. Polri bersikeras meneruskan kasus tersebut sampai ke tingkat pengadilan. Padahal dasar hukum penahanan dan bukti-bukti yang mendukung dugaan tersebut sangat lemah. Maka, dengan mudah diduga bahwa langkah Polri ini merupakan serangan balasan terhadap KPK yang telah berani mengusik Kabareskrim-nya. Istilah kriminalisasi KPK pun merebak.

Polri sengaja mengkriminalkan Bibit-Chandra untuk memperlemahkan KPK. Penetapan tersangka dan ditahannya Bibit-Chandra itu diduga sebagai serangan balik Polri terhadap KPK yang waktu itu diketuai oleh Antasari Azhar. Dugaan itu semakin kuat dengan beredarnya rekaman percakapan antara Antasari Azhar dengan kakak Anggodo, yakni Anggoro di Singapura. Seolah-olah Antasari pula hendak menerima suap dari Anggoro. Sedangkan menurut pengakuan Antasari itu merupakan bagian dari proses penyidikannya.

Kasus perseteruan Polri melawan KPK inilah kemudian oleh media dengan meminjam julukan yang dibuat Susno Duadji sendiri, disebutkan dengan kasus “cicak versus buaya.”

Waktu itu, — seperti sekarang terulang — banyak tokoh masyarakat, termasuk pakar dan praktisi hukum yang mendesak Presiden SBY segera turun tangan menangani perseteruan KPK (“cicak”) versus Polri (“buaya”) yang sudah berlarut-larut tersebut.

Sekitar dua bulan Presiden SBY tak melakukan apa-apa atas terjadinya perseteruan KPK versus Polri itu. Alasannya, SBY menghormati hukum, maka itu dia tidak mau turut campur tangan dalam kasus itu. Padahal masyarakat bukan menghendaki SBY melakukan intervensi materi hukumnya. Tanpa harus melakukan intervensi pada materi hukumnya, SBY seharusnya segera berinisiatif minimal memanggil kedua belah pihak, bersama para pakar hukum independen untuk dicari solusinya secepatnya. Bilamanya perlu dilakukan pemeriksaan oleh tim independen untuk memeriksa sebenarnya apa yang terjadi. Tetapi itu tidak segera dilakukan SBY.

Sekarang, SBY sedang melakukan kesalahan yang sama untuk keduakalinya. Dia sebagai seorang Presiden dan atasan langsung dari Polri, kembali lepas tangan, lepas tanggung jawabnya, dengan terus membiarkan perseteruan Polri melawan KPK yang semakin memanas. Tetapi, bersamaan dengan itu pemerintahan SBY berseru agar jangan sampai terjadi “Cicak melawan Buaya” jilid II. SBY selaku kepala pemerintahan menyerukan itu, tetapi dia tak berani melakukan apapun. Menurut saya, sekarang juga sudah terjadi “Cicak melawan Buaya” jilid II. Dan, SBY kembali berlindung di balik alasan demi menghormati hukum, tidak mau turun tangan menengahi konflik itu.

Perseteruan “Cicak vs Buaya” jilid I pada waktu itu sudah sangat mengganggu kinerja KPK. Pada taraf itu saja sebenarnya telah membuat KPK menjadi lemah, karena sebelumnya Ketua KPK Antasari Azhar sudah ditahan Polri dengan tuduhan sebagai otak pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin. Dengan ditetapkan Bibit-Chandra sebagai tersangka dan ditahan, maka praktis pimpinan KPK hanya tersisa dua orang. Bayangkan, pada situasi genting begini, SBY hanya diam saja! Dengan harapan “Cicak” dan “Buaya” menyelesaikan persoalannya sendiri. Sekarang juga SBY bersikap sama. Dia mengatakan bahwa masih akan mendengar usulan dari masing-masing KPK dan Polri terkait konflik tersebut.

Setelah terus mendapat tekanan dari publik, akhirnya SBY memutuskan membentuk tim independen pencari fakta kasus Bibit-Chandra pada 2 November 2009. Tim ini kemudian diberi nama Tim 8 (karena terdiri dari delapan orang) dengan ketua Adnan Buyung Nasution. Tim ini diberi tugas untuk mencari fakta-fakta apa sebenarnya yang terjadi di kasus tersebut, hasil dan rekomendasinya kemudian wajib disampaikan kepada Presiden. Hal pertama yang dilakukan Tim 8 adalah upaya membebaskan Bibit–Chandra dari tahanan Polisi, dengan alasan dan bukti hukum tidak cukup.. Berhasil.

Tanggal 3 November 2009 Tim 8 langsung mulai bekerja dengan memanggil banyak orang dan saksi-saksi terkait, termasuk dan terutama Susno Duadji, Bibit dan Chandra, para penyidik dari Kepolisian.

Dalam melakukan pemeriksan kasus tersebut Tim 8 antara lain meminta para penyidik untuk melakukan gelar perkara di depan Tim 8 dengan direkam video. Pada waktu itu Tim 8 melihat banyak sekali lubang-lubang yang menunjukkan perkara itu tidak jelas/rekayasa. Dari hasil pemeriksaan sementara itu juga ditemukan pengakuan penyidik bahwa dalam menjalankan tugasnya mereka telah diarahkan oleh atasannya. Sehingga walaupun keterangan si A, B, dan C saling bertentangan, penyidik sengaja tidak melakukan konfrontir. Atau dengan sengaja tidak memeriksa orang-orang tertentu.

Sampai dengan 9 November 2009, Tim 8 sudah berhasil membuat kesimpulan sementara, yakni bahwa tidak cukup bukti bagi Kepolisian selaku penyidik untuk mengirim berkas perkara sebagai P21 (berkas berisi bukti-bukti lengkap dari suatu kasus) kepada Kejaksaan untuk diteruskan ke pengadilan.

Tim 8 sangat terkejut ketika malah Susno Duadji menyatakan bahwa berkas perkara akan diserahkan kepada Kejaksaan pada hari Senin, 9 November itu juga. Mereka bertambah terkejut ketika Jaksa Agung Hendarman Supandji pada hari yang sama mengatakan bahwa telah dapat dipastikan berkas perkara Bibit-Chandra sudah lengkap, dengan bukti-bukti yang cukup untuk diteruskan ke pengadilan. “Saya bisa memastikan berkas perkara ini sudah lengkap dengan bukti-bukti dan akan diserahkan nanti malam oleh Kepolisian ke Kejaksaan.” Kata Hendarman

Oleh karena itu Tim 8 segera melakukan rapat kilat bagaimana caranya untuk bisa mendahului Jaksa Agung sebelum dia mengumumkan kepada publik bahwa berkas perkara telah lengkap dan bukti-bukti telah cukup untuk disampaikan ke pengadilan. Karena kalau itu sudah terjadi, maka sia-sialah kerja Tim 8 dengan kesimpulan sementaranya itu. Hasilnya, rekomendasi sementara yang hendak disampaikan kepada SBY yang isi intinya mengatakan bahwa hasil kesimpulan sementara Tim 8 adalah tidak alasan hukum yang cukup untuk terus menahan dan memidanakan Bibit-Chandra, dan bahwa pernyataan Jaksa Agung itu tidak benar.

Rekomendasi sementara itu lalu diserahkan kepada Menkopolkam Djoko Suyanto untuk segera diserahkan kepada Presiden SBY. Tim 8 juga meminta agar segera bisa bertemu dengan SBY. Namun tunggi punya tunggu, ternyata rekomendasi itu tidak segera mendapat respon dari SBY. SBY tak juga menampakkan dirinya. Tidak mau didahului Jaksa Agung, setelah menunggu SBY belum juga memberi respon, Tim 8 terlebih dahulu, segera mengumumkan kepada publik bahwa kesimpulan sementara hasil pemeriksaan Tim 8 terhadap perkara Bibit-Chandra adalah tidak terdapat bukti yang cukup dan berkas perlkara tidak bisa dinyatakan telah lengkap.

Jangan-jangan sikap tidak segera merespon dan menemui Tim 8 itu disengaja oleh SBY, untuk memberi waktu kepada Jaksa Agung untuk mempersiapkan pengumumannya itu lebih dulu daripada Tim 8?

Indikasinya, seperti yang ditulis Adnan di bukunya itu, tindakan Tim 8 itu membuat pihak pemerintah kaget dan marah. Tetapi, semua sudah terjadi, maka Jaksa Agung dan Kepolisian pun tak bisa berbuat banyak. Publik telah tahu bahwa ternyata tidak terdapat bukti yang cukup untuk meneruskan perkara Bibit-Chandra.

Selanjutnya, pada akhirnya, dari hasil kerja marathon selama 2 minggu non-stop, Tim 8 berhasil menyelesaikan tugasnya, dengan mengambil kesimpulan akhir bahwa dasar hukum dan bukti-bukti hukum yang dipakai oleh Polri untuk mempidanakan Bibit-Chandra adalah sangat lemah. Oleh karena itu memberi rekomendasi kepada Presiden untuk menghentikan proses hukum tersebut. Secara hukum, mekanisme penghentian perkara pidana dapat dilakukan dengan penghentian penyidikan di kepolisian; atau penghentian penuntutan oleh Jaksa penuntut umum; pengenyampingan perkara pidana demi kepentingan umum oleh Jaksa Agung; atau peniadaan penuntutan demi kepentingan negara (abolisi) oleh Presiden. Keputusan akhir ada di tangan Presiden SBY.

Namun di luar dugaan Tim 8, SBY bukannya segera memutuskan sesuai dengan rekomendasi tersebut, dia malah membawa rekomendasi tersebut kepada Kapolri dan Jaksa Agung untuk dikonsultasikan lagi. “Bola sudah ditaruh di depan gawang oleh Tim 8, Presiden tinggal menendang masuk (gawang), ternyata dioper dulu kepada Kapolri dan Jaksa Agung,” tulis Adnan di bukunya tersebut mengutip perumpamaan Dr. Komaruddin Hidayat.

Beberapa hari kemudian dengan terpaksa Jaksa Agung mengeluarkan SKP2 (Surat Keterangan Penghentian Penuntutan), perintah penghentian perkara Bibit-Chandra. Tetapi alasannya bukan demi hukum, melainkan dengan alasan karena faktor sosiologis dan adanya tekanan publik. Suatu alasan yang tidak ada dalam sistem hukum Indonesia, demikian menurut Adnan.

*

Menyaksikan “Cicak vs Buaya” Jilid Kedua

Kini, perseteruan KPK melawan Polri kembali merebak. Perseteruan “Cicak vs Buaya,” jilid II bukan lagi akan terjadi, tetapi sudah terjadi. Bahkan lebih panas daripada sebelumnya. Hal ini berawal dari pada 30 Juli 2012, KPK melakukan penggeladahan dan penyitaan barang bukti di Kantor Korlantas Lalu Lintas Polri, Jalan M.T. Haryono, Jakarta Selatan. Kemudian mengumumkan penetapan dua jenderal Polri, yakni Irjen Djoko Susilo dan Brigjen Didik Purnomo sebagai tersangka. Ini adalah pertamakali dan langkah paling berani KPK karena merasuk masuk sampai ke “sarang Buaya” dan menetapkan dua jenderalnya yang masih aktif sebagai tersangka.

Begitu KPK mengumumkan Irjen Djoko Susilo dan Brigjen Didik Purnomo sebagai tersangka, terjadilah rentetan kejanggalan yang dilakukan oleh Polri. Tiba-tiba mereka mengumumkan bahwa mereka juga sebenarnya sedang menyidik kasus korupsi yang sama. Berbareng dengan itu mengumumkan lima tersangka versi mereka. Padahal, sebelumnya, berkaitan dengan laporan investigasi Majalah Tempo (edisi 23-29 April 2012: “Sim Salabim Simulator SIM”) tentang dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi di Korlantas Polri, Mabes Polri telah mengirim hak jawabnya dan dimuat di Majalah Tempo edisi berikutnya.

Surat jawab yang ditulis oleh Kadiv Humas Mabes Polri saat itu, Irjen Pol. Saud Usman Nasution membantah bahwa ada korupsi di proyek tersebut. Di dalam surat itu antara lain disebutkan bahwa Tim Irwil V pada Inspektorat Pengawasan Umum Mabes Polri telah mengadakan audit investigasi. Hasilnya, tidak ada korupsi. “Tidak ada bukti telah terjadi tindak pidana korupsi di Korps Lalu Lintas Polri sebesar Rp 196 miliar terkait dengan pengadaan driving simulator roda dua dan empat …,” demikian Mabes Polri mengawali hak jawabnya yang dimuat Tempo itu.

Tetapi, “sim salabim” juga, begitu KPK menggebrak, eh, tiba-tiba Polri bilang ada korupsi di sana. Bahkan mereka sedang menyidiknya, mungkin lupa pernah kirim surat bantahan itu di Tempo. Segera mengumumkan tersangka versi mereka, dan segera menahan Brigjen Didik Purnomo. Polri juga bersikeras merebut kasus ini dari KPK. Kabareskrim Komjen Sutarman juga mengatakan bahwa tidak akan menyerahkan tersangka KPK yang berasal dari Polri (Djoko dan Didik) kepada KPK. Langkah-langkah aneh Polri ini jelas membuat publik sangat curiga bahwa gebrakan Polri yang terkesan sedang panik dan kalap itu sebenarnya adalah demi mencegah sesuatu yang lebih busuk lagi, yang ada di tubuh Polri.

Bahkan sebelum KPK melangkah lebih lanjut, Polri secepat kilat telah menahan lebih dulu Didik Purnomo. Mungkin lebih tepat ini bukan penahanan murni, melainkan suatu langkah mengamankan Didik dari potensi dia buka mulut kalau sampai ditahan KPK terlebih dahulu. Sama dengan Polri yang ngotot mempertahankan barang bukti sitaan KPK supaya tidak keluar dari kompleks Kantor Korlantas. Membuat KPK “disandera” selama hampir satu hari di sana, tidak diperbolehkan keluar dengan barang-barang bukti itu yang hendak dibawa ke Kantor KPK.

Setelah dilakukan perundingan yang alot antara Ketua KPK Abraham Samad dengan Kabareskrim dari Mabes Polri, Irjen Sutarman, dilanjutkan dengan Kapolri Jenderal Timur Pradopo, barulah KPK diizinkan membawa keluar barang-barang bukti itu. Tetapi, ternyata sampai sekarang, KPK tidak bisa mengaksesnya, karena barang-barang bukti yang telah disimpan di dalam sebuah gudang kontainer KPK itu dijaga terus-menerus oleh beberapa oleh polisi dari Mabes Polri, dengan perintah tidak memperbolehkan KPK atau siapapun menyentuhnya. Mabes Polri bersikeras meminta kembali barang-barang bukti itu, atau memaksa KPK harus mau bekerjasama dengan mereka. Bahkan pihak Polri sempat mengancam akan mengambil paksa barang-barang bukti tersebut jika KPK tidak kunjung mau menyerahkan kembali secara sukarela.. Polri juga mengancam akan menuntut KPK ke pengadilan perihal ini.

BERSAMBUNG

13.45 | 0 komentar | Read More

Dilema Antara Polisi & Soal Korupsi

Pelajaran “Korupsi” dari Gubernur Akpol

http://ichwankalimasada.files.wordpress.com/2009/11/borgol-polisi.jpg?w=594Irjen.Pol.Djoko Susilo (DS) yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus pengadaan alat simulator pada saat yang bersangkutan menjabat sebagai Kakorlantas. Sungguh ironis sekali bilamana Irjen.Pol.Djoko Susilo ini nantinya benar terbukti sebagai koruptor. Barangkali masyarakat pemerhati Kepolisian sudah was-was,bahwa kalau Gubernur Akpol yang mencetak perwira-2 Kepolisian saja korupsi,bagaimana kira-2 jadinya jebolan Akpol sesungguhnya? Apakah ada pelajaran khusus untuk berbuat korup yang diajarkan oleh sang Gubernur Akpol?

Dari sejak awal kasus itu ditiupkan oleh sebuah majalah (TEMPO),lama sekali kasus itu tidak terdengar dan mungkin dikira oleh banyak orang akan menjadi kasus yang “dilupakan” oleh KPK maupun aparat penegak hukum lainnya. Apalagi kemudian DS tiba-tiba diangkat sebagai Gubernur Akademi Kolisian di Semarang. Orang menduganya itu sebuah lompatan untuk menjernihkan namanya yang disangkut-pautkan dalam pengadaan alat simulator yang penuh kejanggalan. Masyarakat juga sudah pesimis kasus itu akan dibongkar habis.

Entah mimpi apa dan ada motivasi apa hingga KPK koq tiba-2 saja menggerebek Kantor Lantas di MT Haryono Jakarta. Sekali lagi,semua orang menduga KPK disuplai data oleh “penguasa” untuk meramaikan dunia dalam berita di Indonesia,agar kasus-2 besar yang sedang diusut oleh KPK tak kunjung disidik. Istilah “pesanan” untuk diramaikan khusus menjadi ketara sekali,sebab kasus-2 korupsi yang menyeret petinggi Partai Politik Penguasa bolak-balik mentah dan tersapu angin sepoi-sepoi …..KPK seperti lembaga yang kerjanya “by order” saja…!

Calon Polisi-polisi muda yang sekarang sedang belajar di AkPol Semarang tentunya saat ini sedang shock berat,sebab Gubernurnya ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Ini tentu mimpi buruk bagi mereka yang sedang belajar disana. Bisa jadi yang sungguh-2 belajar dan akan memperbaiki nasib bangsa ini dari keterpurukan korupsi sudah was-was di cap sebagai bakal koruptor baru. Walau bisa jadi motivasi para pemuda yang sekarang sedang belajar di Akpol tidak berbuat korup kelak,namun bayang-2 kebejatan moral sang pemimpin atau seniornya yang tidak memberi contoh baik akan melekat pada mereka. Apakah nantinya mereka tidak bersemboyan “daripada dicurigai,lebih baik korupsi saja…!?”

Sungguh suatu dilema besar bagi Kepolisian sekarang untuk mengangkat imej korpsnya. Selain sudah dipersepsi sebagai lembaga yang korup,sekarang pendidikannya pun bisa jadi akan mencetak polisi korup di masa akan datang. Yang salah dalam hal ini bilamana sampai DS dinyatakan bersalah adalah dewan kepangkatan yang ada di POLRI,sebab mereka tidak peka terhadap apa yang terjadi pada para perwira tinggi & menengah yang ada di Polri. Kasus yang sudah lama muncul seolah dibiarkan dan malah personilnya mendapatkan promosi luar biasa. Inilah kesalahan besar bagi Polri. Ataukah memang sudah begitu busuknya hingga yang ada di dalam Polri pun sebenarnya sudah busuk sehingga tidak bisa mencium kebusukan diluar?

Polri sedang menghadapi dilema kali ini……

13.32 | 0 komentar | Read More

Hitam Putih Meja Bundar Indonesia

Hitam dan Putih, Melihat Indonesia di Atas Meja Bundar

13359085911971499292

On Air

13359086701205533554

Meja Bundar

13359089871458657545

Studio

Hanya sepi ketika hitungan mundur di mulai 5, 4, 3, 2,… Action. “Selamat bertemu kembali dengan saya……….. dan opening atau salam pembuka pun di mulai, dari sana kemudian acara talk show itu berjalan hingga satu jam kedepan, sebelum selesai lalu sunyi kembali. Seringkali semua harus diam termasuk saya, berbicara pun harus berbisik kala nara sumber yang ada terlalu pelan bicaranya.

Satu demi satu para pemimpin negri ini datang dan duduk, lalu membuka peta Indonesia dan menceritakan apa yang akan di hadapi Indonesia kemarin, hari ini dan yang akan datang, mereka datang dengan sejuta harap akan Indonesia yang lebih baik, mereka berkata ’saya sudah lakukan ini dan itu, saya akan coba ini dan itu’. Tenang tanpa ada kekawatiran yang berarti, semua pasti beres jika kita mau berusaha dan mereka juga selalu mendorong semangat “saya yang akan berada pada garis depan!”

1335909056629026065

Daniel Sparringa

13359091551237651153

Hatta Rajasa

1335909352637055185

Dahlan Iskan

13359094291909406116

Purnomo Yusgiantoro

1335909502416541102

Djoko Suyanto

13359096101992397044

Zulkifli Hasan

13359097471050602838

Suswono

1335910341491010450

Her Excellency Ms. ZHANG Qiyue

13359104201221945495

H.E. Mr. Mahmoud Farazandeh

Menurut kacamata para Dubes untuk Indonesia seperti dua foto di atas ini, Indonesia bukanlah negara yang tanpa suara, pada tataran dunia, posisi Indonesia sangat di hormati, Indonesia menonjol di ASEAN, kemudian dalam APEC, bahkan dalam tingkat G-20 sekalipun, Kenyataan bahwa Indonesia diakui oleh dunia untuk menempati posisi tertentu di antara bangsa-bangsa yang lain sebenarnya adalah prestasi. Hal ini memang sudah di akui di mata dunia, potensi SBY untuk menempatkan diri, dengan dukungan dari orang-orang yang ahli diplomasi. Sebuah prestasi yang tidak mudah di capai oleh negara-negara lainnya.

Namun jujur dalam hati kecil saya jika prestasi itu bisa di bawa pada tataran domestik, di mana nama harum Indonesia itu bisa di rasakan oleh rakyat kebanyakan, sehingga selain kita bangga akan bangsa ini, kita bangga hidup di dalamnya, kesejahteraan yang merata, kepastian hukum, keamanan, hak untuk mendapatkan pendidikan hinga setinggi-tingginya, dan kenyamanan dalam menjalankan ibadah.

Semoga para pemimpin negeri ini mendapatkan kembali kesadarannya untuk membangun demi Indonesia dan kesejahteraan seluruh rakyatnya, kursi yang empuk dan suasana yang dingin di istana semoga tidak membuat lupa pemimpin tertinggi negri ini, karena saya pun sempat merasakan betapa empuknya kursi yang ada di istana negara.

1335910488513808369

Presiden RI,

NB: Semua foto dokumen pribadi, kecuali foto SBY, milik pribadi diambil oleh fotografer istana

Ini dalam rangka mengikuti WPC 2: BW Photography, oleh Kampret


13359056611286444182

13.24 | 0 komentar | Read More

Dilema Kegagalan & Kehidupan

Dilema HIDUP BERANI UNTUK GAGAL

Hidup Berani Untuk Gagal, aku berani… kamu? hehe

Salam,
Pernah tak dalam hidup kamu berada dalam keadaan dilema untuk buat keputusan? Apa yang akan kamu lakukan jika berhadapan dengan senario semacam ni? … dan macam mana perasaannya, susah? Senang? atau macam biasa juga bah!

Tu intro jak tu… kisah sebenarnya macam ni…

Hari Isnin lepas, 21 Disember 2009, sepatutnya aku menghadiri exam untuk subjek terakhir semester ni. Exam sepatutnya bermula pada pukul 9.00 pagi.. Jadi sepatutnya aku kena berada di sana selewat-lewatnya pukul 8.30 pagi.. Tapi masa tu aku tak ada pun dekat dewan exam, nak tahu aku di mana masa tu?

Aku berada di pejabat. Pejabat yang letaknya lebih kurang ~160 km dari tempat exam tu. Cukup jauh sebenarnya. Kalau diikut masa perjalanan lebih kurang 2 ½ – 3 jam bergantung kepada kelajuan kereta (Maklumlah, jalan sini tak bagus). Kalau aku pegi ke sana pun masa tu, memang tidak sempat. Naik helikopter pun belum tentu sampai sebelum jam 9.00 pagi.

Senang tak hati aku tak pegi exam time tu? Mana ada orang senang hati tak pegi exam… kecuali yang tak normal.. Dalam hati tu memanglah gelabah semacam… Habis tu kenapa tak datang? Amacam nak datang, time tu aku kena bagi taklimat penting di daerah… Salah satu tugas yang wajib aku buat. Jadi kalau dah tak datang exam, maknanya pihak U dan confirm bagi aku Gred F.

Dua tiga hari sebelum tarikh tu, hati aku dilanda kebimbangan… apa tidaknya, tarikh untuk buat taklimat tu telah kami (aku dengan bossku) persetujui bersama. Terpaksa pilih tarikh tu sebab minggu sebelumnya kami masing-masing sibuk dengan urusan lain. Dan kebetulan pula tarikh 21 hb tu tarikh akhir daerah masukkan data yang diperlukan secara online (data yang ada kaitan dengan taklimat tu). Lepas daripada 21 hb, tak boleh masukkan data lagi… maknanya kena juga buat taklimat dan masukkan data time tu.. tiada pilihan lain.

Kenapa Aku Pilih Untuk Gagal?

Ini adalah atas pilihan dan pertimbangan aku sendiri… bukan sebab boss aku paksa. Sebelum tu Boss aku tak tahu sebenarnya yang pada tarikh tu aku ada exam, kalau dia tahu, gerenti dia suruh aku datang exam. Boss aku hanya tahu pada masa taklimat tu… Dia cukup terharu dan berterima kasih dengan keputusan yang aku buat…dan akupun sebenarnya banyak berterima kasih kepada Bossku sebab dia memang seorang pentadbir yang baik. Seorang yang mempunyai ciri-ciri kepimpinan yang mahu aku jadikan contoh…

Kalau boss tak paksa aku buat kerja time tu, kenapa aku berani buat keputusan macam tu? Memang dilema juga untuk buat keputusan… susah nak pikir… Tapi akhirnya aku main berani ambil keputusan untuk teruskan taklimat tu… Yang aku ingat, aku pertimbangkan dari segi kepentingan hasil keputusan yang aku buat. Kalau aku ambil keputusan untuk duduk exam, maknanya study aku selamat, tapi kerja aku tak berapa selamat. Lagipun ini melibatkan satu daerah… maknanya satu daerah akan terjejas. Pasti tak sedap kalau nama daerah buruk gara-gara maklumat tak disampaikan dan data tak dimasukkan. Boss aku tentunya paham dengan masalah ni, tapi pihak atasan yang lagi atas… mana diorang mahu tahu masalah kita? …tapi kalau aku tak duduk exam kali ni… aku masih ada peluang untuk repeat paper next semester. Lagipun belajar secara jarak jauh ni boleh diambil dalam tempoh yang lama (kalau tak silap 8 – 12 tahun had maksimum nak habiskan study).. tak kisahlah kalau ambil lama sekalipun. Kan menuntut ilmu sampai ke liang lahad.. Selagi ada usia, sampai bila-bila boleh sambung study pun..

Tu sajalah karangan skema SPM berdasarkan tajuk Hidup Berani Untuk Gagal yang dapat aku kongsikan kali ni.. Tapi ini cerita yang sebenar tau! Aku kongsi cerita ni bukan sebab nak minta puji, konon nak tunjukkan pengorbanan untuk kepentingan orang lain… Ni sekadar untuk renungan bersama.. Aku tak paksa pun kamu pilih keputusan untuk gagal.. tapi moralnya, kalau mengambil sesuatu keputusan, biarlah dengan keberanian… manalah tahu suatu masa nanti kamu menghadapi dilema yang hampir sama, bolehlah juga kisah ni dikongsikan bersama..

12.42 | 0 komentar | Read More

Wajah Pecundang''

Kau pikir aku ini siapa? Seorang pecundang yang marah-marah tanpa sebab dan alasan yang jelas?. Atau seorang teman yang berbeda dengan teman-temanmu itu?. Kau tidak tahu, apa yang telah mereka lakukan padaku. Aku ini wanita, namun aku bukanlah pecundang yang berlari dan bersembunyi dibalik nama orang lain. Lantas dengan seenaknya, mencerca, mencaci, dan menjelek-jelekkan nama didepan orang lain tanpa melihat bahwa dirinya adalah seorang pecundang asli.

http://kathleenkoenig.com/gallery/images/Hurting.jpgKau itu menyebalkan, sudah kuanggap sebagai kakak tapi ternyata aku salah. Kau itu tidak lebih hanya seorang “pengecut”. Apa kau tidak “sadar” bahwa kau itu “laki-laki”. Senang sekali kau “menerorku”, juga teman-temanmu itu. Kau bilang mereka benci denganku dan kau juga membawa-bawa nama temanku. “Aneh, sekali?”. Mulutmu itu seperti “bukan” laki-laki. Bahkan kau itu senang sekali membuat keributan. Kau juga menuduhku bahwa aku menyuruh teman-temanku untuk membelaku. “Itu, bukan sikapku!?”. Apa tidak terbalik? alasanmu apa mengatakan banyak teman-teman yang benci padaku?. Padahal aku tidak mengenal satu pun nama-nama yang kau sebutkan itu.

Kau menusukku dari belakang, dan kau semakin girang dengan ulahmu. Aku tak pernah menanggapimu dan aku tidak ingin lagi berteman denganmu. Tapi tetap saja mulutmu menebarkan bisa. Seseorang telah menyerangkau tanpa sebab yang jelas, siapa lagi jika bukan kamu pelakunya?. Kau memintaku agar bersikap “gentle”. “Tapi kau lihat tidak, dirimu seperti apa?.” Kakekku ini seorang pejuang, ia berjuang ditahun 1945 sebagai pembantu letnan dan mendapat kehormatan Bintang Gerilya. “Apa pantas, aku menjadi seorang pecundang?.” Kau itu tidak mengenalku, tapi kau bilang pada semua orang bahwa kamu adalah orang yang menyayangi aku dengan panggilan “sayang”. “Kau pikir panggilan sayang itu adalah suatu ikatan?”. “Aku tidak pernah berkata “cinta” denganmu. Bahkan aku ingin menghindarimu?!. Aku ini wanita dan bukan pria sepertimu. “Tapi kau mengatai aku pria, sebab aku galak padamu. “kau itu sungguh menyedihkan?!.”

Kenapa juga kau itu tega mempermainkan “perasaan” temanmu itu?. “Yang aku tahu, ia mencintaimu.” dan kau mengadunya denganku, seperti “aduan” ayam jago. Sementara itu kau tertawa “kegirangan” seakan-akan kami “memperebutkanmu”. Sebenarnya apa sih, maumu?. “Buat apa sekarang kau tanya kabarku dan menelponku?.” Untuk apa?. “Maaf, kita bukan lagi teman….” Dulu kita tidak saling kenal dan sebaiknya sekarang pun begitu. “Maaf, ya…..”

Aku tak ingin mengingat kejadian itu, tapi ternyata aku masih ingat. Dan rupanya kau tak pernah jera berbuat banyak ulah. Kau itu menyamar seperti “bunglon” kadang hijau,merah, dan kuning. Seperti pelangi dilangit yang biru. Jika warna pelangi tentu indah, sedangkan bunglon? itu mengerikan!. Orang bisa saja tertipu karenamu. “Apa kau tidak takut dosa?.” Kau pikir Tuhan bisa terttidur sepertimu? Dan teman-temanmu itu, apa tidak berpikir,”bahwa membela seseorang yang berbuat salah dosanya adalah sama dengan yang melakukannya?. “Kau itu maling, malah teriak maling?!.” Apa aku harus berteman dengan orang seperti itu?. Semoga engkau mengerti, mengapa aku tak ingin lagi bertegur sapa denganmu selamanya. Tak ada gunanya bagiku dan sekali lagi,”maaf, cukup sampai disini pertemanan kita.”

NOTE: Seorang pecundang selalu memangsa temannya

Entah dengan cara apapun ia lakukan itu

Hey…hey…. coba pikir dan luluhkan hatimu

Kau merasa orang menelanjangimu, itu karena hatimu mengatakan,”kau itu salah”

Aku tidak pernah mengumbar kata-kata diluar sana sepertimu

Coba renungkan,”siapa yang melakukan semua itu?

Jawablah dalam hatimu dan itu cukup bagiku(*)

12.02 | 0 komentar | Read More

Dilema Air Mata Rhoma Irama Si Raja Dangdut

Membaca Dilema di Balik Air Mata Rhoma

134428137559270525

DILEMA AIR MATA RHOMA. (sumber photo: http://kedaulatanrakyat.co.id/)

Belum reda ‘badai’ kontroversi drama perpolitikan ibukota dengan hembusan isu SARA, raja dangdut Rhoma Irama kembali membuat ‘drama’ lanjutan yang tak kalah hebatnya. Air mata sang mega star tertumpah saat menjalani pemeriksaan di kantor Panwaslu. Siapa yang tak dibuat bertanya-tanya, sebab air mata ini bukan sembarang air mata. Air mata seorang bintang, selebriti, musisi, seniman, muballigh, ulama, atau berbagai atribut lain yang tersemat pada nama besar seorang Raden Haji Oma Irama, Rhoma Irama.

Ada apa di baik air mata Rhoma? Mari kita coba membaca dengan lebih bijak, terlepas dari atribut politik pesan-pesan SARA. Sebab ia membantah mentah-mentah atas tuduhan sebagai tim kampanye Foke. Mungkin Rhoma memang tidak bermaksud menyeret ranah agama ke dalam ranah politik. Kita coba percaya bahwa Rhoma bukan sedang kampanye SARA, sebab ia berceramah dalam kapasitasnya sebagai ulama, lagipula di di dalam masjid, tempat khusus umat muslim. Seperti ditegaskan olehnya, bahwa bukan hanya di tempat ibadah, di forum-forum umum seperti televisi pun seluruh agama, pasti menyampaikan hal sama.

Kita juga mungkin bisa membenarkan ‘fatwa’ Rhoma, bahwa warga harus tahu siapa calon pemimpin sejelas-jelasnya, agama dan sukunya. Maka ia paparkan bahwa Foke-Nara adalah muslim-Betawi, sedang Jokowi adalah muslim-Jawa, Ahok adalah Kristen-Tionghoa. Kalaupun ada kesalahan dalam taushiahnya, mungkin Rhoma tak bermaksud memfitnah, hanya khilaf ketika menyebutkan orang tua Jokowi adalah Kristen, lagi pula Jokowi sendiri sudah memaafkannya.

Dan kita juga coba lepaskan dari penghakiman soal benar-salah, lurus-sesat atau iman-kafir. Itu hanya perdebatan abadi tanpa pernah ada hasil akhir. Sebab ketika memasuki wilayah agama dan keyakinan, setiap manusia pasti dan berhak mengklaim dirinya benar dan menganggap orang lain salah. Jika sependapat sebagai sahabat dan jika bereda pendapat sebagai musuh.

Kita juga coba lepaskan dari anggapan bahwa Rhoma hendak mengadu domba warga ibukota, sebab sepikun-pikunnya Rhoma tak mungkin lupa dengan sya’ir lagunya sendiri, meskipun telah berlalu bertahun-tahun lamanya. Rhoma bahkan dengan kecerdasan egalitarian “loncatan pemikiran” menembus zaman telah menyadarkan kepada kita dengan suara lantang, bahwa pemilu kerap dijadikan ladang para elit politik untuk mengadu domba rakyat kecil demi kesenangan, kemenangan dan kekuasaan.

Air mata Rhoma, memang misteri. Yang pasti, itu bukan air mata penyesalan, sebab dari pernyataannya Rhoma masih tetap bersikukuh bahwa ia hanya menyampaikan kebenaran ayat suci Al Qur’an. Sedang penyesalan hanya tumbuh jika sesrang sadar dan mengakui telah berbuat kesalahan.

Mungkin air mata Rhoma adalah air mata kesedihan. Bahwa ia secara tak sengaja telah memecah belah umat Islam, sebagaimana pernyataannya, “…kalau ada orang Islam memilih orang non Islam maka konsekuensinya menjadi musuh Allah. Saat menyampaikan ceramah, kapasitas saya sebagai muballigh.” Artinya, jika ada seorang warga ibukota yang muslim memilih Ahok yang non muslim sebagai wagub ibukota, konsekuensinya orang itu telah menjadi musuh Allah, yang nota bene musuh Islam. Musuh harus diperangi, itu juga perintah Allah.

Alhasil, jika separoh warga ibukota muslim, dengan alasan dan pertimbangan tersendiri ternyata memilih Ahok, warga muslim ibukota terbelah dua. Dari ‘versi’ fatwa Rhoma, maka separoh dari mereka adalah muslim sejati dan separohnya muslim ‘pengkhianat’ yang otomatis menjadi musuh Allah dan musuh agama. Konsekuensinya, dua kubu muslim berpotensi akan bermusuhan hanya karena perbedaan memaknai kriteria pemimpin.

Kalaupun muslim ‘musuh Allah’ ini tidak menganggap sebagai permusuhan, paling tidak muslim sejati versi fatwa Rhoma yang fanatik akan menganggap mereka sebagai musuh, konsekuensinya, perpecahan antar muslim. Jika Jokowi-Ahok kelak memenangi ‘duel’ warga ibukota yang kalah bisa jadi akan mendendam, dan menganggap bahwa kekalahan jagoannya dikarenakan ada sebagian saudaranya yang ‘tersesat’ agamanya dan menentang agama Allah.

Kita percaya, bahwa warga muslim ibukota tak sedangkal itu, tapi kita juga percaya, tidak semua warga muslim ibukota tak mengindahkan ‘fatwa Rhoma’ sebagai ulama. Buktinya, dalam pemeriksaan Rhoma, turut hadir rombongan fans para simpatisan dan pembela sang ulama. Bahkan sebagian dari mereka membawa spanduk bertuliskan Rhoma sebagai “mujahid pembela Islam.”

Kita bisa percaya, bahwa Rhoma bukan sedang bermain drama dengan tetesan air mata. Kita juga bisa percaya, bahwa air mata Rhma bukan air mata politik, bukan air mata penyesalan, bukan air mata kesedihan. Kita dibuat kebingungan, mungkin seperti itulah hal yang dirasakan Bang Haji, air mata kebingungan, air mata dilema. Tak hanya wanita, orang kecil atau awam yang menjadikan airmata sebagai senjata terakhir di kala terhimpit dalam kesulitan dan jalan buntu. Seorang lelaki, tokoh ternama, ulama dan selebriti juga berhak untuk menitikkan air mata ketika menghadapi hal yang sama.

Air mata Rhoma sebagai air mata kebingungan seseorang menghadapi dilema besar, terjebak di persimpangan. Persimpangan antara seni dan agama. Di satu sisi, Rhoma adalah seniman besar yang jiwanya tak bisa terlepas dari idealisme akan nilai-nilai humanisme universal. Pelukis, penya’ir, sastrawan, pujangga, pemahat, termasuk penyanyi bisa menjadi seniman besar karena kebebasan berekspresi lepas dari kurungan atribut batasan.

Seniman sejati selalu menyuarakan pembebasan, pembaharuan, perlawanan terhadap kungkungan tiran. Itulah yang terihat dari karya-karya besar Rhoma Irama sepanjang kariernya. Lagu “135 juta” (1977) yang legendaris tentang pentingnya kearifan menyikapi kebhinnekaan antar suku bangsa di Indonesia menjadi salah satu contohnya. Pun dalam lagu “Hak Asasi” (1978), Rhoma dengan begitu lantang menyuarakan pentingnya menghargai kebebasan beragama dan bersuara dalam demokrasi Pancasila.

Lagu “Indonesia” (1980) mengkritik tajam ironi kesenjangan ekonomi dan elit kekuasaan yang memperkaya diri membabi buta demi kepentingan golongan semata, sehingga “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.” Pesan lagu seni, sebagai “bahasa pemersatu antar bangsa” tanpa mengabaikan norma dan etika masih menjadi kenangan indah era 90-an dan tetap faktual. Dan masih banyak lagi pesan-pesan dari sya’ir lagu Rhoma Irama yang tetap ‘nyambung’ di setiap garis momentum. Karya seni memang lintas dimensi ruang-waktu, karena ia muncul dari nilai-nilai filosofi mendasar kemanusiaan universal, selalu menjadi spirit, kapan pun, di mana pun.

Dilema muncul ketika Rhoma memasuki ‘dunia’ politik dan agama. Sayangnya, tokoh sekaliber Rhoma gagal mentransformasi nilai-nilai idealisme murni seni dan terjebak dalam lingkaran pragmatisme politik praktis dan agama sempit. Dilema yang sebenarnya pernah dirasakan dengan beberapa kali meloncat-loncat dari partai ke partai untuk mengaktualisasikan idealisme seninya. Hingga akhirnya ia memilih agama sebagai wadah dengan lebih aktif sebagai juru dakwah, muballigh, dan umat menempatkannya sebagai ulama.

Di sinilah Rhoma memasuki ‘wilayah pergulatan batin’ tabrakan idealisme seni dan aktualisasi praktek agama. Dalam Islam sendiri, hukum halal-haram lagu-nyanyian masih menjadi perdebatan panjang berbagai kalangan. Terlepas dari hukum nyanyian, bagaimanapun, tak mudah menjalani dua dunia yang ‘nyaris’ berseberangan, seperti agama dan politik, seni dan politik, atau agama dan seni.

Sudah banyak contoh mereka yang ‘bersikukuh’ memadukan keduanya namun gagal, kecuali ‘nilai yang satu menggeser nilai yang lain.’ Berapa banyak idealisme seni bernurani seniman tergeser oleh pragmatisme tanpa nurani ketika terjun ke dunia politik praktis. Berapa banyak tokoh agama mengalami hal sama, semula berdiri di atas seluruh umat, namun akhirnya hanya berdiri di atas sekelompok umat ketika masuk ke dalam lingkaran politik praktis.

Dan Rhoma Irama, tokoh seni yang bermaksud memadukannya dengan agama kini mungkin bernasib sama. Terpaksa mengalami penyempitan kaca mata, dari universal menjadi parsial, dari inklusif menjadi eksklusif, dari merdeka-idealis menjadi terpenjara-pragmatis. Tangis Rhoma adalah tangis dilematis, tangis kepedihan seorang artis yang jiwanya ingin tetap idealis tapi raganya terjebak dalam kurungan agamis bercampur politik praktis. Terlalu sulit menggabungkan keduanya agar selaras dalam jiwa dan membawa maslahat bagi banyak manusia, menyampaikan kebenaran agama sekaligus menyatukan keragaman warga ibukota, apalagi negara.

Air mata Rhoma, air mata dilema, air mata kesedihan dan kepedihan bersama seluruh anak bangsa, “ter-la-lu” sulit memadukan nilai-nilai agama rahmatan lil ‘alamin agar bersintesa dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Pilkada DKI menjadi momentum bersejarah dan bahan pembelajaran bersama, jalan masih panjang bagi republik ini untuk berjuang merangkak menggapai cita-cita amanat proklamasi sebagai negara merdeka. Kita merindukan pemimpin terbaik yang menjadi teladan dalam memahami kebhinnekaan. Bukan hanya ketika ia duduk manis di kursi kekuasaan, namun juga bagaimana proses meretas jalan lewat demokrasi sejati, pertarungan elegan bernurani etika, bukan ‘perang bar-bar’ budaya primordial menghalalkan segala cara, salah satunya dengan memperalat sentimen SARA sebagai senjata.

Salam…
El Jeffry

12.01 | 0 komentar | Read More

BACA JUGA

DAFTAR LENGKAP ARTIKEL BLOG BAGINDAERY

Ikuti situs Bagindaery

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...