“Angka 973 hari itu saya
dapat dari jumlah hari dalam rentang waktu sejak saya ditangkap 5 maret
2007 sampai hari pembebasan 31 oktober 2009. Mudah-mudahan tidak salah
hitung “
Itulah yang pertama ditulis BAHARMI dalam pengantar Bukunya yang
ditulis setebal 176 Halaman.Apa yang menarik dari buku ini ? Tentunya
banyak sekali karena isi dari buku inilah bukanlah tulisan fiksi
melainkan aktualisasi dari apa yang dialami,dilihat dan didengar oleh
penulisnya selama ia mendekam dalam penjara. Mungkin tidak banyak orang
yang bisa melakukannya kebetulan saja BAHARMI yang selama ini nota bene
sebagai seorang Wartawan senior yang malang melintang didunia jurnalis
mengalami sendiri sehingga dengan mudah dia merekam apa saja yang
dialaminya selama ditahan di Rumah Tahanan Kelas 1 Surabaya yang Populer
disebut Rutan Medaeng..Sisi lain yang menarik dari buku ini adalah
menguatkan realitas tentang kotornya praktik penegakan hokum dinegeri
ini, mungkin masih segar bdalam ingatan kita ketika SATGAS Pemberantasan
Korupsi yang dibentuk Presiden memergok ARTALITA seorang Narapidana
Kasus Suap membangun Istana didalam penjara ternyata bukan hanya terjadi
dipenjara dimana ARTALITA ditahan tapi juga terjadi di LP yang lain
bahkan mungkin juga diseluruh Indonesia.Sehingga tidak salah kalau
BAHARMI mengatakan dalam bukunya : “Buku ini hanyalah sebuah testimony
tentang hitam putihnya kehidupan didalam penjara,itupun hanya sedikit
dari banyak hal yang saya lihat ,saya dengar dan saya alami”
Kalau dilihat secara sepintas pada Cover buku ini,pembaca akan mengira
bahwa penulisnya adalah Roy Marten karena Cover depannya fhoto Roy
Marten sebagai ilustrasinya. Kenapa ? Karena Roy Marten adalah bagian
dari isi faktual buku ini. Ternyata sang penulis pernah bersama Roy
menjalani hari – harinya di Rutan Medaeng Surabaya. Mungkin saja penulis
bermaksud menarik minat pembaca tapi sebenarnya semakin menguatkan buku
ini jauh dari mengada – ada.
Didalam Pengantar Bukunya BAHARMI mengatakan : “ Kalau tidak punya uang
jangan masuk Penjara” sama artinya dengan kalimat “dipenjara tidak ada
yang Gratis”. Kenapa Demikian ??? Karena untuk mendapatkan hak, seorang
napi harus dengan uang. Harus beli. Untuk mendapatkan kenyamanan dan
keamanan juga pakai uang.Apa-apa uang,uang dan uang.Tahanan dan napi
sungguh tidak berdaya dalam cengkeraman “gurita” penguasa penjara.
Kamar dipenjara tidak ada yang Gratis paling murah Rp.250 ribu dan yang
termahal Rp.10 Juta. Kalau tidak punya uang ? Jadi gelandangan tidur
diemperan. Ada juga istilah ngedek. Kalau tidak mau pindah ke
LP yang lain, harus ngedek setiap bulan Rp.300 ribu,Rp.750 ribu dan bisa
sampai satu Juta perbulan, tergantung jenis kasus.
Pada halaman 35 BAHARMI menuliskan, Ditahanan Polwiltabes ada istilah
“tamasa” yaitu berjalan – jalan ke lantai 2 tempat tahan wanita kita
bisa berkencan walau harus bayar Rp.50 Ribu. Kalau sudah terjalin
hubungan, ada kata sepakat saling mencintai bisa melangkah ke istilah 86
? yaitu pertemuan tuntas tidak hanya bisa pegang tangan, ciuman bibir
beberapa menit. Berapa tarifnya ? Rp.200 Ribu, kalau tidak punya uang
bias nawar jadi Rp.100 Ribu. Tapi tentu saja ada perbedaan Fasilitas.
Yang Lima puluh ribu cukup dikamar mandi,yang seratus ribu dikamar sel
anak-anak.
Dihalaman lain Dalam buku ini,Baharmi juga mengungkapkan betapa didalam
Penjara berjudi bisa dilakukan dengan aman asal saja oknum petugas itu
mendapat jatah dari Bandar dadu. Sementara untuk bisa buka praktik judi
dadu si Bandar harus minta ijin kepada pejabat Rutan dan bayaran sebesar
satu juta. Selain itu harus membayar Upeti kepada para petugas lain
yang datang keliling.
Bukan
Judi Saja, NARKOBA juga beredar bebas didalam penjara bahkan seorang
Napi bisa menjalankan Bisnis narkobanya dari dalam penjara.
Prof.Dr.H. Sam Abede Pareno,MM yang juga ikut memberikan pengantar dalam
buku ini mengatakan : Kegelisahan baharmi adalah kegelisahan wartawan,
karena puluhan tahun dia menggeluti jurnalistik. Nalurinya sebagai
wartawan telah menggelitiknya untuk menulis buku ini.Buku ini tidak
memuat penyiksaan fisik sebagaimana yang terjadi di Guantanamo ataupun
Siberia. Buku ini juga tidak mengharu biru seperti karya Pramoedya
ananta toer. Namun buku ini membedah kebobrokan ditempat yang telah
berganti nama menjadi “Lembaga Permasyarakatan” itu. Sebagai Wartawan
tentu penulisan buku ini bersifat factual yang sedikitpun tak boleh
dicampuri fitnah,lebih – lebih hanya isapan jempol. Bagi Pemerintah,
Buku ini bisa dijadikan Refrensi dalam memperbaiki pengelolaan LP,
Rutan, Tahanan Kepolisian maupun kejaksaan, serta pembinaan Narapidana.
Demikianlah
sekilas tentang Buku ini, Buku ini pantas untuk kita baca dan miliki
agar kita lebih tahu betapa kejam nya kehidupan didalam penjara. Semoga
menjadi Pelajaran bagi kita. Inilah pesan sang penulis.
SEDIKIT TENTANG PENULIS
BAHARMI
adalah seorang Wartawan senior di beberapa Media cetak di Surabaya
seperti Surabaya Minggu, Suara Indonesia dan terakhir di Tabloid Nyata
sebagai Redaktur sebelum beliau ditahan sebagai pecandu NARKOBA.Beliau
lahir di Uthan-sumbawa-NTB Tahun 1958. Menyelesaikan Pendidikan
Formalnya di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr.Soetomo Surabaya
Tahun 1966.
Komentar pilihan:
Baharmi berkata:
Salah satu artikel dalam buku Napi 973 Hari. Silahkan disimak:
Bayar Biar Cepat ‘Dilayar’
Ada ungkapan yang sangat bagus dan pantas kita dicermati.
“Untuk membersihkan lantai yang kotor, tidak bisa dengan menggunakan sapu yang kotor”
Artinya, untuk memberantas kejahatan, tidak akan bisa dengan
mengandalkan aparat yang tidak bersih. Aparat yang korup, aparat yang
tidak jujur.
Apakah banyak aparat yang tidak jujur?
Kalau saya yang ditanya, tidak ada jawaban lain dan tidak perlu harus berpikir dua atau tiga kali. Langsung saya jawab “ya”.
Anda bertanggungjawab atas jawaban tersebut?
“Tentu saja ya.”
Sampai sekarang, saya masih merasa kesal dan kadang ingin mendatangi
aparat yang saya nilai tidak jujur, tidak bersih. Saya masih ingat
ketika saya ditawari untuk mempercepat “layar” (pindah sel) dari tahanan
Polwiltabes ke Rutan Medaeng. Saya dan kebanyakan tahanan lainnya,
selalu berharap ingin cepat dilayar ke Rutan Medaeng.
Kenapa?
Karena hidup di sel polisi, sangat menyiksa. Bayangkan, setiap hari
selama 24 jam, kita hanya bisa keluar sehari 1 jam ketika jam besuk, pk
14.00 s/d pk 15.00 WIB. Itu pun baru bisa keluar dari dalam kerangkeng
besi kalau kita dibesuk keluarga. Ketemu dengan keluaraga yang datang
membesuk pun tidak akan lebih dari 15 menit. Bisa bicara dari balik
terali besi yang masih dilapisi kawat rajutan.
Hanya 15 menit kemudian disemprit untuk gantian dengan yang lain.
Selesai besukan, masuk lagi ke dalam kerangkeng. Kemudian kita
merindukan lagi esok pagi, setelah esok pagi kita menanti-nanti dengan
rasa cemas datangnya jam besuk. Kerinduan yang terus menerus setiap
hati. Rutinitas yang sangat membosankan sekali.
Saya ingin menceritakan tentang segelintir dari banyak kebobrokan yang
dilakukan oleh oknum polisi. Sejak minggu pertama mendekam di tahanan
Polwiltabes, ketika saya sedang menderita secara psikis, datanglah
tawaran dari penyidik.
“Kamu mau dipercepat?” tanya penyidik bernama Rosit, anggota Unit Binluh
Polwiltabes. Reserse bertubuh tambun itu menawarkan pada saya. Tentu
saja saya mau karena menurut dia, saya hanya akan mendekam sekitar 40
hari saja. Tidak sampai 2 bulan (60 hari) berkas sudah bisa P 21
(sempurna) untuk diserahkan ke kejaksaan.
“Berapa pak?”
“Terserah, berapa saja asal ikhlas,” jawab Rosit.
“Tapi saya tidak tahu berapa dana yang harus saya sediakan.”
“Biasa seperti orang-orang lainnya. Pokoknya asal ikhlas saja,” katanya
tetap tidak bersedia membuka harga. Saya memang sudah dengar dari teman
sesama tahanan bahwa untuk urusan mempercepat layar cukup Rp 1 juta.
“Saya hanya punya Rp 750 ribu, apa bisa pak?” tanya saya penuh harap.
“Ya asal ikhlas saja,” jawabnya.
Saya pun menyerahkan uang Rp 750 ribu langsung kepada Kanit Binluh.
Kanit kemudian memanggil anak buahnya bernama Rosit itu untuk
menyerahkan amplop berisi uang untuk tujuan mempercepat proses P 21 dan
ingin segera dilayar ke Rutan Medaeng. Saya sengaja menyerahkan uang itu
lewat Kanit karena dengan demikian, anak buahnya yang akan mengurus
percepatan itu bisa lebih bertanggungjawab.
Beres! Saya sudah bilang pada teman-teman bahwa saya akan lebih cepat
layar ke Rutan Medaeng. Beberapa teman lain juga melakukan hal yang sama
dan juga akan bicara sedikit bangga bahwa dia akan lebih cepat berada
di Rutan Medaeng. Konon, di sana jauh lebih enak. Lebih merdeka karena
bisa bebas berkeliaran di dalam Rutan dari pagi sampai sore hari. Tidak
dikurung seperti di tahanan polisi.
Empat hari setelah menyerahkan uang untuk percepatan layar, saya dipanggil lagi oleh Rosit.
“Begini, berkas-berkas kamu sudah rampung, saya tinggal memperbanyak.
Saya harus foto copy. Biar lebih cepat, tolong dibantu untuk foto copy,”
pintanya setengah berbisik. Sepertinya dia tidak mau kalau ada yang
dengar.
“Jangan sampai teman saya tahu. Pokoknya berkas kamu sudah beres dan
kamu bisa lebih cepat dilayar,” katanya tetap dengan suara pelan.
“Berapa?”
“Terserah, sak ikhlasnya aja,” katanya.
Kata ikhlas selalu saja disebutkan oleh Rosit. Saya kira, kata ikhlas
itu sebagai ungkapan yang santun dan familier. Sambil membungkukkan
tubuhnya, Rosit memperlihatkan dua jari tangannya. Saya paham, itu
artinya Rp 200 ribu. Demi mendengar kalimat bahwa saya bisa lebih cepat
dilayar, saya menyerahkan uang Rp 200 ribu. Dengan bahasa isyarat dia
minta agar saya menyelipkan di bawah kertas yang ada di mejanya.
Apa yang terjadi?
Belakangan saya baru tahu bahwa kata ikhlas yang selalu diucapkan itu
mengandung arti yang sangat dalam. Punya makna yang bisa dijadikan
tempat berlindung. Kata ikhlas artinya saya tidak boleh kecewa kalau
ternyata tidak bisa cepat seperti yang dijanjikan.
Saya dipindah 4 hari menjelang habis masa tahanan (2 bulan) di sel
polisi. Itu sama artinya saya tidak dipercepat. Lalu uang yang saya
berikan total Rp 950 ribu itu bagaimana?
Ya…. saya harus ikhlas? Tapi sesungguhnya saya tidak pernah ikhlas. Saya
ingin uang tadi kembali. Tapi saya hanya bisa mengangkat kedua bahu,
membuka kedua belah tangan sambil mencibirkan bibir dan cuma bisa
berkata:
“Saknooo…sakno” (kasihaaan…kasihan).
Di tahanan Polwiltabes ada istilah “tamasa” yaitu berjalan-jalan ke
lantai 2 tempat sel tahanan wanita. Waktu itu, tahanan pria berada di
lantai bawah dan boleh jalan-jalan ke lantai dua pada pagi hari, sekitar
pukul 05.00 s/d 06.30 WIB. Mendapat kesempatan bisa bertemu dan
berkencan dengan tahanan wanita tentu saja tidak ingin menyia-nyiakan
walau harus bayar Rp 50 ribu.
Yang punya kekasih atau ada cewek yang sedang ditaksir, tamasa menjadi
sarana paling menyenangkan. Kalau sudah terjalin hubungan, ada kata
sepakat saling mencintai, bisa melangkah ke istilah 86. Apa yang
dilakukan dengan 86.
Pertemuan tuntas, tidak hanya bisa pegang tangan, ciuman bibir beberapa
menit? Tapi tuntas tas tas. Berapa tarifnya? Rp 200 ribu. Kalau tidak
punya uang, merengek dikit bisa turun jadi Rp 100 ribu. Tapi tentu
saja ada perbedaan fasilitas,. Yang 50 ribu cukup di kamar mandi, yang
100 ribu, di kamar sel anak-anak yang memang sering tidak terisi.
Pernah Anda lakukan?
Tuh, pertanyaan yang bodoh, ya tentu saja pernah. Wong apa yang saya
tulis di sini semua atas dasar pengalaman pribadi, dosa pribadi bukan
pengalaman orang lain. Kalau tidak percaya, Anda bisa coba.
Caranya?
Masak tidak tahu, ya harus jadi tahanan dong. Mau?
***
choepidz berkata:
bener bgt apa yg ditulis diats.. itu
smua jg saya alami skr.. sampai dng komentar ini saya posting, saya msh
di dlm Rutan Klas I Sby..br menjalani 1 th dr 4.2th masa hukuman (patang
blek rong centung istilah dsini)
andai ada fas. upLoad gmb, pst sdh saya kirimi foto kond C17 (karantina)
yg bener2 menyedihkan.. dsini smua ada tarifnya. mulai yg terkecil,
10rb/per mlm (utk bs skedar tidur diluar karantina) sampai yg seharga
jutaan (tnp lwt proses karantina)
Pencari Keadilan berkata:
Diadili Tanpa Barang Bukti
DIVONIS 10 TAHUN
EDIH MENCARI KEADILAN
Edih Kusnadi,warga serpong Tangerang yang dituduh menjadi bandar
narkoba,disiksa polisi,dipaksa mengaku lalu dijebloskan kepenjara.
Semua itu dilakukan penegak hukum tanpa ada barang bukti dari tersangka
Edih. Sialnya lagi fakta-fakta hukum yang diajukan Edih tak digubris dan
hakim memberinya vonis 10 tahun penjara. Memang lebih ringan dari
tuntutan jaksa yang 13 tahun,tapi Edih tetap tidak terima karena merasa
tidak bersalah. Dia mengajukan banding namun dikuatkan oleh putusan
Pengadilan Tinggi DKI mengajukan kasasi namun ditolak, Ia mendekam di
Rutan Cipinang. Ditemui di Rutan Edih yang sangat menderita itu
menyampaikan kronologi kasusnya. Dia menganggap kasusnya itu direkayasa
oleh polisi “SAYA MOHON BANTUAN AHLI-AHLI HUKUM UNTUK MEMBANTU
MEMBONGKAR REKAYASA KASUS INI” katanya. Sedihmya lagi, dan Edih tidak
habis pikir mengapa hakim menjatuhkan vonis 10 tahun atas keterangan
satu orang saksi. Padahal dia dituduh mau terima narkoba,ditangkap tanpa
barang bukti. Saksi tersebut adalah iswadi yang ditangkap tangan
membawa narkoba.
Kasus ini bermula ketika Edih ditangkap di jalan Gajah Mada jakarta
pusat,pada 14 mei 2011 “saya dituduh mau terima narkoba dari iswadi,tapi
saya ketemu iswadi dipolda. Tidak ada barang bukti narkoba disaya
maupun dikendaraan saya tetapi dibawa kepolda” kata Edih.
Sebelumnya polisi sudah menangkap dua orang Iswadi Chandra alias kiting
dan Kurniawan alias buluk. Ditemukan barang bukti sabu 54 gram yang
sudah dicampur tawas, dia mendapatkannya dari pulo gadung. Saya hanya
mengenal Iswadi dan tidak kenal dengan Kurniawan katanya. Edih menduga
dia ditangkap lantaran dijebak oleh Iswadi. Saat polisi menangkap Iswadi
dan Kurniawan kebetulan Edih menghubungi Iswadi,tapi tidak diangkat
beberapa jam kemudian baru Iswadi yang menghubungi saya terus untuk
ketemu,karena mau kekota saya janjian saja ketemu sekalian untuk
membicarakan pekerjaan asuransi. Saya bekerja diperusahaan asuransi,
ujar dia.
“pada saat setelah penangkapan,sebelum dites urine, saya dikasih makan
dan minum kopi 2 kali bersama kurniawan. Hasilnya positif tapi samar
samar. Saya menduga itu direkayasa polisi memasukan amphetamine kedalam
minuman saya. mereka kesal karena dinilai saya tidak kooferatif. Kata
Edih.
Edih mengatakan ia mempunyai hasil rontgen dan surat dokter dari poliklinik Bhayangkara yang menyatakan bahwa lengannya patah.
Seluruh isi vonis hakim pengadilan Negeri Jakarta Timur itu dianggapnya
tak masuk akal. AMAR PUTUSAN “MENYATAKAN TERDAKWA EDIH SECARA SAH DAN
MEYAKINKAN BERSALAH TANPA HAK ATAU MELAWAN HUKUM MENERIMA NARKOTIKA
SEBANYAK LEBIH DARI 5 GRAM MELALUI PEMUFAKATAN JAHAT” Ini aneh sekali,
saya menyentuh barang itu saja tidak,apalagi menerimanya. Barang bukti
dari saya sebuah ponsel, tidak ada sms atau pembicaraan tentang narkoba
didalamnya. Ini sungguh tidak adil, kata Edih.
Sementara dalam pertimbangannya majelis menyatakan: MENIMBANG BAHWA
WALAUPUN PADA SAAT TERDAKWA DITANGKAP,TERDAKWA BELUM MENERIMA SABU YANG
DIPESANNYA TERSEBUT, MENURUT HEMAT MAJELIS HAL ITU DIKARENAKAN TERDAKWA
KEBURU DITANGKAP OLEH PETUGAS. DAN WALAUPUN TERDAKWA MEMBANTAH BAHWA
DIRINYA TIDAK PERNAH MEMESAN SABU PADA ISWADI MAUPUN RIKI,NAMUN
BERDASARKAN BERDASARKAN HASIL PEMERIKSAAN URINE NO B/131/V/2011/DOKPOL
YANG DIBUAT DAN DITANDATANGANI OLEH dr. BAYU DWI SISWANTO TERNYATA URINE
TERDAKWA POSITIF MENGANDUNG AMPHETAMINE”. Sedangkan terdakwa tidak
pernah mengajukan dari pihak yang berkompeten.
Saya dites urine 22 jam setelah ditangkap, sempat dikasih makan dan
minum kopi 2 kali, saya menduga mereka mencampurkan amphetamine kedalam
kopi saya. Bagi saya tidak masuk akal ada benda itu dalam urine saya
karena saya tidak menkomsumsi narkoba. Kata Edih lagi. Dia cuma berharap
para hakim bertindak adil dan mendengarkan keluhannya dan
membebaskannya.
“Demi Intervensi Berdasarkan Kedudukan Yang Berada” By @edih_one has been chirpified!
http://t.co/AFZsXw5GLc“
rivela berkata:
Benar apa yg sudah ceritakan semuanya tentang kehidupan didalam penjara khususnya di rutan cipinang jakarta.
semua tahanan disini hanya dijadikan lahan untuk pendapatan oleh semua
petugas disini.. dari mulai karutan,kpr,karupam sampai petugas paste
atau sipir.
UANG,UANG DAN UANG…
semua bisa didapat asal ada uang.. dari mulai kebebasan menggunakan hp ,
berjudi , membeli dan menggunakan narkoba bahkan membawa perempuan ke
dalam “bilik mesra” semua tersedia buat mereka yg punya uang.., semua
jadi HALAL jika punya uang dan semua bentuk kebebasan bisa didapat
disini dengan UANG ALIAS DUIT.
penjara adalah SURGA dan tempat paling AMAN buat para pedagang dan
pengguna narkoba tanpa harus takut ditangkap.. selama bisa kordinasi dgn
petugas penjara.. yg penting “86” T.S.T.
penjara adalah tempat paling “basah” buat para petugas disini.. segala
bentuk pungutan ada disini.. mulai dari pungutan uang harian, mingguan
sampai bulanan , semua menjadi kewajiban bagi semua warga binaan agar
dapat kebebasan yg diinginkan. di rutan cipinang ada pungutan “wajib”
setiap hari sabtu. semua wajib setor.. dari mulai kepala lapak, kepala
kamar, formen, sampai para pengedar narkoba.. , dan itu semua harus di
setor untuk KPR (CAMP), RUPAM, PASTE . biasanya ada tamping yg
ditugaskan untuk datang meminta uang tersebut.
itulah yg terjadi disini.. di rutan cipinang klas 1 jakarta dan begitupun yg terjadi di lapas narkotik maupun kriminal.
begitu hebatnya “kerajaan” ini sehingga ini menjadi “surga” bagi petugas
maupun para penghuni tanpa bisa dilihat dari luar apalagi tersentuh krn
mereka sangat pintar untuk menutupi semua…, intinya penjara adalah
tempat yg penuh konspirasi tingkat tinggi dimana semua yg hitam bisa
menjadi putih dan semua yang putih bisa menjadi hitam…, tapi jangan
berharap bisa enak di penjara kalau tanpa uang…. , tanpa uang anda akan
merasa tersiksa dan merasakan penjara yang sebenarnya tanpa ada rasa
kemanusiawian…, tanpa uang anda akan terhina.., seekor kucingpun masih
lebih dihargai oleh petugas daripada anda yang tidak mempunyai uang..,
jadi klo anda mau masuk penjara…. siapkanlah UANG sebanyak mgkn.. krn
anda akan berhadapan dgn para MONSTER UANG yang akan menghisap uang anda
sampai habis dan kemudian anda akan dioper (dipindah ke penjara lain)
klo uang anda sdh habis krn fasilitas yang sdh anda dapatkan sebelumnya
(hp , narkoba) itu adalah kesalahan anda yg mereka simpan selama ini dan
akan ditindak pada saat anda sudah tidak ada uang lagi untuk “86”.
inilah yang terjadi dan yang penulis alami sekarang pada saat tulisan ini dibuat.
entah sampai kapan hal ini bisa berakhir……
Baharmi berkata:
Dari buku Napi 973 Hari:
Ritual untuk Si Bondet
Saya, ibarat bocah TK (Taman Kanak-kanak) yang masuk sekolah pada
hari pertama. Takut-takut cemas dengan lingkungan baru. Takut pada siapa
saja yang saya temui. Tidak berani beradu pandang. Saya lebih banyak
menundukkan muka. Sesekali saya berani memandang sekeliling. Saya
melihat ke arah taman, banyak orang bergerombol duduk. Mereka memandang
saya. Ruang hati saya selalu dipenuhi rasa curiga.
Saya juga melihat ke arah lorong-lorong blok. Di sana banyak orang
berseliweran. Ada juga yang berdiri di sisi pagar, ada yang duduk
berkelompok. Saya berharap ada di antara mereka yang saya kenal agar
rasa takut sedikit bisa berkurang. Tidak ada, tak satu pun di antara
mereka yang saya kenal.
Setiap melihat ke arah mereka, ada yang cuek-cuek saja tapi ada juga
yang tajam menatap saya, memperhatikan saya. Ketika mereka bicara dengan
temannya, hati saya menduga bahwa dia sedang membicarakan saya. Serba
tidak nyaman.
Kamu Takut?
“Ya, saya takut”
Kenapa harus takut?
“Mereka-mereka itu masuk ke sini karena kejahatan kekerasan, membunuh.
Orang baru seperti saya ini akan mereka incar. Bukan begitu?”
Dari mana rasa takut itu muncul?
“Dari hati, dari perasaan, dari perasaan saya yang ada di hati”
Katakan saja pada hatimu bahwa rasa takut disakiti itu sebenarnya lebih sakit dari rasa sakit itu sendiri.
“Sudah saya katakan tapi suara hati tidak mau berhenti”
Suara hati tidak akan pernah mampu dihentikan. Dia akan terus saja
bersuara, berbisik pada kamu. Dan, kamu tidak akan bisa menghindar dari
suara itu sekalipun telingamu jadi tuli. Dia dari dalam dan suara hati
itu adalah yang membimbing kamu. Suara hati itu adalah sebuah pertanda
dan pesan-pesan. Apakah kamu bisa menangkap dan bagaimana kamu
menyikapinya?
Itu adalah dialog hati saya. Dialog yang tiba-tiba saja muncul seakan
mempermainkan perasaan saya sendiri. Dialog itu seakan menggiring saya
sampai pada satu titik silang, yaitu antara dunia fisik dan medan
psikologis.
Dalam dunia fisik yang saya pahami adalah “melihat dulu baru percaya”
semenentara medan psikologis berlaku sebaliknya, “percaya dulu baru
melihat”.
Berkaitan dengan dunia fisik di atas, dimana rasa percaya itu baru
muncul setelah kita melihat. Dan, saya memang sudah melihat dan
akhirnya percaya bahwa kekejaman menjadi bagian dari dunia preman. Itu
yang membuat hati saya jadi takut.
Saya ingin menceritakan apa yang saya lihat ketika masih menjadi tahanan
di Polwiltabes Surabaya. Saya menghuni blok B berdesak-desakan dengan
36 tahanan dari berbagai kasus. Satu di antaranya yang akan saya
ceritakan di sini. seorang pria berkulit gelap, tubuh kekar, berkumis
tebal, usia sekitar 35 tahun.
Orangnya pendiam. Saking pendiamnya, tidak pernah sekali pun saya
mendengar dia bersuara. Batuk saja, kalau tidak salah ingat, cuma
sekali. Itu ketika dia sikat gigi sewaktu mandi pagi. Si Kumis itu juga
tidak pernah berinteraksi dengan sesama penghuni blok. Dan, yang
mengundang rasa penasaran lagi, dia selalu menangis terisak-isak ketika
berdoa sehabis menunaikan sholat lima waktu.
Dua hari setelah masuk blok, tidak satu pun teman-teman yang tahu
tentang jati diri Si Kumis. Tidak seperti teman-teman lainnya, suka
berbagi cerita. Kalau dia jarang bicara, apakah karena suaranya jelek
karena pita suaranya rusak? Terus, dosa macam apa yang ditanggung Si
Kumis hingga dia selalu memohon dengan tangis penyesalan setiap dia
berdoa?
Pertanyaan pertama langsung bisa terjawab ketika saya mendekatinya. Dia
saya ajak bicara. Suaranya bagus bahkan lebih bagus dari suara saya.
Dia tidak bindeng.
“Penggelapan sepeda motor,” jawabnya soal kasus yang menimpanya.
Lalu mengapa dia menangis dalam doa? Saya tidak tanya itu. Saya tidak
etis kalau saya langsung bertanya. Saya menunggu dia balik bertanya,
tapi tidak dilakukannya. Dia menunduk membisu. Saya hanya bilang sabar
dan semua yang ada di sini punya masalah. Lalu saya tinggalkan dia lagi
Teman lain juga tidak ada yang tahu. Umumnya, jika tahanan lebih banyak
diam, maka yang lain tidak akan mau perduli. Takut salah terima dan
berahir dengan berantam. Kecuali orang tersebut buka diri dan berdiskusi
tentang jalan keluar dan kemungkinan-kemungkinan bisa divonis ringan di
pengadilan.
Pada hari kelima dia ditahan, semua terungkap sekaligus jadi hari nahas
buat Si Kumis. Saat tiba jam besuk, pk. 14.00, pintu masing-masing
blok, dari A sampai E dibuka. Belasan orang dari belok lain, menyerbu
masuk ke dalam blok saya sambil memaki-maki.
“Anjing, bangsat, bajingan hajar dia”. Saya tidak tahu siapa yang
memaki-maki dan memberi komando untuk menghajar. Yang saya tahu,
tiba-tiba saja Si Kumis berpelanting jatuh kena pukulan telah di bagian
muka. Di susul yang lain bak bik bug, ada yang memukul pakai selalang,
ada yang menendang dan menginjak-injak tubuhnya.
Tak ada yang merasa iba mendengar jeritan minta tolong. Entah berapa
pukulan yang mendarat di muka dan kepala si kumis itu. Saya terpaku diam
dan hanya melihat dari jarak dua meter peristiwa main hakim sendiri
itu. Konon, hal macam itu sudah jadi kabiasaan di penjara.
“Dia ini bondet, kasus bondet” teriak seorang di antara mereka sambil
memperlihatkan sebuah foto di koran harian. Bondet artinya pelaku
perkosaan. Foto tersebut sangat amat jelas adalah foto Si Kumis. Tidak
dikaburkan bagian muka dan baju yang dia kenakan pada hari nahas itu,
sama dengan baju ketika dia di foto oleh wartawan harian tersebut.
Apa yang terjadi selanjutnya? Penghuni blok B, yang satu blok dengan Si
Kumis bondet itu ikut bag big bug juga. Sudah babak belur, tidak
berdaya dan mengerang-erang minta ampun, masih ada satu “ritual” yang
wajib dijalani oleh pelaku kasus bondet.
Apa itu?
Si Kumis ditelanjangi, kemudian kemaluannya dilumuri balsem.
Selanjutnya, dia harus beronani, diharuskan dan jika berhenti makan
pukulan akan menghujam di tubuhnya. Balsem itu akan semakin terasa panas
ketika kemaluannya makin menegang.
Beruntung (biar sudah babak belur dan kemaluannya kepanasan, masi
dibilang beruntung) tiga personil segera men gamankan Si Kumis bondet
itu. Dia kemudian ditempatkan di sel khusus di lantai dua. Hanya
sendirian, dia diisolasi.
***
https://ihinsolihin.wordpress.com/buku/napi-973-hari-menguak-kehidupan-dibalik-penjara/