Lucu sekali melihat pemerintahan Jokowi dalam
menentukan harga BBM. Kalau ibarat supir, presiden ketujuh ini bisa
dibilang ugal-ugalan. Masa pemerintahan beliau belum sampai setahun,
tapi BBM naik turun sudah melampaui rekor 10 tahun SBY.
Pada kenaikan pertama saat BBM menjadi 8,500 per liter sempat saya bahas dalam artikel Harga Minyak Turun Kenapa BBM Naik? di sini. Saat itu harga minyak dunia perbarel adalah $75. Kesimpulan saya saat itu Presiden mengambil keputusan luar biasa berani dengan terang-terangan mencabut subsidi BBM dan mengalokasikan pada pembangunan sektor ril. Dari pencabutan subsidi ini, tidak ada lagi namanya BBM bersubsidi. Dan itu artinya secara otomatis harga BBM di Indonesia akan mengikuti dinamika pasar dunia.
Saya prediksi minyak dunia akan menyentuh $65 perbarel sebelum kemudian kembali merangkak naik. Namun rupanya rem harga jebol dan sempat terperosok ke angka $45 perbarel. Ini jelas di luar batas prediksi, namun kemudian menjadi lebih menarik untuk dicermati.
Saat BBM untuk pertama kalinya naik sebedar 2,000 rupiah pada November 2014 lalu, banyak rakyat oposisi ‘bergembira’ dan menyindir “salam dua ribu”. Dalam kacamata saya saat itu Presiden nampak terburu-buru karena harga minyak dunia menurut analisa masih akan turun. Namun di sisi lain sudah tepat jika prediksi ke depan harga komuditas seperti minyak dan emas pasti naik. Pada artikel 18 November tersebut saya memilih kesimpulan ke dua, Presiden ingin mengantisipasi lebih awal kenaikan harga minyak dengan begitu saat harga minyak naik, Indonesia tak perlu terlalu banyak menaikkan.
Namun semuanya di luar prediksi. Saya awalnya sepakat dengan para pakar bahwa rupiah akan menguat di bawah pimpinan Jokowi. Tentu saja dengan paket konsekuensi Dollar melemah karena emas dan minyak semakin mahal. Tapi yang terjadi saat ini adalah Dollar menguat dan pastilah diikuti rendahnya harga minyak (saat ini $58 perbarel), sementara rupiah terperosok ke angka 13,000 rupiah dan masih sangat memungkinkan untuk menembus 14,000 jika tidak ada fight kebijakan ekonomi nasional.
Skenario berubah. Artikel saya pada 18 November lalu benar-benar salah total kecuali bahasan Goods and Services Tax di Malaysia yang akan diterapkan 1 April mendatang.
Harga BBM Fluktuatif
Entah ide dari mana Presiden ke tujuh ini, harga BBM di Indonesia akan direvisi (naik-turun) setiap 2 minggu sekali. Negara yang sudah menerapkan sistem seperti ini adalah Filipina.
Awalnya saya sangat tidak setuju jika BBM dilepas pada mekanisme pasar. Tapi saya lupa satu hal, jika saya mendukung pengalihan subsidi BBM pada pembangunan, berarti secara otomatis saya mendukung melepas harga pada harga pasar. Kalau BBM tidak lagi disubsidi, artinya tidak ada lagi kalkulasi harga ekonomi BBM.
Ketidak setujuan saya sederhana, karena BBM adalah kebutuhan sehari-hari dan dibutuhkan oleh banyak orang. Mana bisa BBM dilepas ke pasar seperti harga emas? Akan ada efek domino yang sangat luar biasa jika BBM naik turun seenaknya. Terbukti dengan kenaikan 6,500 ke 8,500 pada sebulan pertama Presiden Jokowi menjabat, inflasi langsung naik cepat. Namun saat BBM premium saat ini berada di harga 7,400 saya jadi berpikir “oh…ini lho maksudnya Jokowi.”
Oke mari kita mulai mengingat dan berpikir. Saat BBM naik dari 6,500 ke 8,500 (17 November 2014) otomatis harga barang dan transportasi kompak naik. Namun saat BBM turun dari 8,500 ke 7,600 (1 Janurari 2015) harga barang dan transportasi tidak ikut turun. Bahkan saat harga BBM kembali turun dan nyaris kembali ke harga asal dari 7,600 ke 6,700 (19 Januari 2015) pun harga barang pokok dan transportasi belum juga turun.
Menjadi menarik karena BBM naik 200 rupiah menjadi 6,900 pada 1 Maret 2015 kemudian di akhir maret kembali naik ke harga 7,400 perliter. Sampai di sini DPR tak perlu memprovokasi bahwa pemerintah melanggar undang-undang dengan menaik turunkan BBM dalam waktu singkat, toh pada Januari lalu kalian semua diam saat harga BBM direvisi. Jika kalian para DPR menyetujui APBN-P yang di dalamnya tidak ada subsidi BBM sekian ratus triliun, itu artinya kalian juga setuju BBM akan naik turun mengikuti dinamika pasar. Lupakan kalkulasi dan membandingkan dengan pemeritahan SBY, sebab saat ini tidak ada subsidi BBM lagi dan tidak perlu kalkulasian.
Kembali ke soal BBM, setidaknya ada dua catatan penting dari saya. Pertama, Presiden Jokowi ingin mematahkan momok inflasi dari efek domino kenaikan harga BBM. Bukan cerita baru sebenarnya ketika pedagang tetap tidak menaikkan barang dagangannya saat BBM naik. Tentunya dengan berbagai cara mulai dari mengurangi porsi, mengecilkan dan sebagainya. Namun mereka yang memilih tidak menaikkan harga dagangannya hanyalah sebuah strategi persepsi agar pelanggan tidak kapok datang ke tempatnya saat BBM naik. Ada semacam membangun persepsi tetap murah. Namun seiring dengan berjalannya waktu, para pedagang tadi terpaksa harus menaikkan sedikit demi sedikit sampai masyarakat lupa dengan efek domino tadi.
Dalam kondisi seperti sekarang, para pedagang tadi benar-benar bisa bertahan dengan hitungan dagang yang tetap menguntungkan meski BBM naik. Mereka tidak lagi membangun persepsi, melainkan mempertahankan harga seolah tak peduli dengan kenaikan premium. Pedagang yang tetap menaikkan barang dagangannya akan ditinggal pelanggan. Dan ini akan membuat mereka sadar dan kembali berhitung soal kalkulasi dagang, tidak lagi memanfaatkan kenaikan harga BBM sebagai ajang menaikkan harga secara sporadis (aih bahasanya haha).
Yang kedua adalah tidak adanya keriuhan naik turunnya BBM. Ini asli kisah nyata, saat Januari lalu saya membeli bensin eceran. Saat itu harga premium sudah 6,700. Biasanya di eceran harga akan menjadi 8,000 rupiah. Saya enteng saja mengeluarkan uang selembar sepuluh ribuan. Saat kembalian, si pedagang dengan tanpa malunya bilang “maaf Mas, ini bensin sisa harga kemarin” sambil menyodorkan selembar seribuan.
Seketika itu saya tidak sadar. Namun ucapan pedagang tadi terus terngiang dan membuat saya mengerti. Rupanya bensin yang tadi saya beli adalah harga 7,600 bukan bensin yang baru saja turun waktu itu menjadi 6,700. Saya jadi tersenyum sendiri.
Jika sebelum ini kenaikan BBM wajib ditandai dengan kelangkaan bensin dan penimbunan, rasa-rasanya misi revolusi mental Jokowi sudah berhasil. Di daerah saya sudah tidak ada lagi kekosongan BBM menjelang kenaikan harga, masyarakatnya saja tidak tau harga sudah naik. Tidak sempat menimbun BBM dan tidak sempat mengisi full tangki kendaraanya. Pedagang eceran yang biasanya menguras habis pom bensin, kini sudah tidak antusias lagi. Mereka belajar profesional dan berhitung kalkulasi dagang.
Transparansi Harga
Sebelumnya saya sudah pernah menulis agar pemerintah membuka kalkulasi harga BBM pada publik lihat di sini. Jika Presiden Jokowi berani melepas harga pada mekanisme pasar, seharusnya beliau juga berani membuka harga BBM via Pertamina atau menteri ESDM. Penjelasan resmi harus segera dibuka agar masyarakat bisa lebih percaya pada pemerintah karena saat ini muncul hitung-hitungan banyak versi yang menyebutkan harga BBM harusnya cuma 5,000 rupiah. Banyak sosok yang tampil di televisi dengan data absurd dan hitungan siluman yang tujuannya adalah memprovokasi masyarakat. Dibanding masyarakat menerima hitung-hitungan provokatif tersebut, alangkah baiknya pemerintah dengan gentle membeberkan pada publik hitungan penetapan harga BBM yang selama puluhan tahun tidak pernah dibuka. Dengan begini, bisa jadi nantinya masyarakat akan membubarkan paksa mahasiswa yang masih bisa dibayar untuk berdemo padahal mereka tahu harga minyak dunia naik.
Saya rasa ini penting bagi masyarakat dibanding debat kusir politik oposisi dan partai pemerintah yang sudah tidak menarik lagi. Lucu sekali melihat Ramadan Pohan yang dengan tanpa bersalah mengatakan “Presiden Jokowi kan ini kader PDIP. Harusnya sang majikan bisa menasehati beliau dan tidak melepas begitu saja”
Lalu dengan tegas politisi PDIP menjawab (saya lupa namanya) “majikan Presiden adalah rakyat Indonesia, bukan PDIP. Partai tidak bisa mengintervensi presiden dalam menentukan kebijakan”
Semakin lucu karena Ramadan Pohan mengulangi ini untuk kedua kalinya agar Megawati sebagai ketum PDIP memanggil Presiden Jokowi. Hihihi nampak sekali muka setannya yang ingin mengadu banteng. Tapi hikmahnya masyarakat jadi tau, bahwa sindiran presiden boneka kini sudah terbantahkan. Atau jangan-jangan presiden boneka itu si anu? Ah sudah lah.
Terakhir, saya mendukung pemerintah untuk membuka hitungan harga BBM dari harga minyak dunia, dollar dan pertamina hingga sampai di pom bensin.
http://politik.kompasiana.com/2015/03/31/lucunya-bbm-era-jokowi-715534.html
Pada kenaikan pertama saat BBM menjadi 8,500 per liter sempat saya bahas dalam artikel Harga Minyak Turun Kenapa BBM Naik? di sini. Saat itu harga minyak dunia perbarel adalah $75. Kesimpulan saya saat itu Presiden mengambil keputusan luar biasa berani dengan terang-terangan mencabut subsidi BBM dan mengalokasikan pada pembangunan sektor ril. Dari pencabutan subsidi ini, tidak ada lagi namanya BBM bersubsidi. Dan itu artinya secara otomatis harga BBM di Indonesia akan mengikuti dinamika pasar dunia.
Saya prediksi minyak dunia akan menyentuh $65 perbarel sebelum kemudian kembali merangkak naik. Namun rupanya rem harga jebol dan sempat terperosok ke angka $45 perbarel. Ini jelas di luar batas prediksi, namun kemudian menjadi lebih menarik untuk dicermati.
Saat BBM untuk pertama kalinya naik sebedar 2,000 rupiah pada November 2014 lalu, banyak rakyat oposisi ‘bergembira’ dan menyindir “salam dua ribu”. Dalam kacamata saya saat itu Presiden nampak terburu-buru karena harga minyak dunia menurut analisa masih akan turun. Namun di sisi lain sudah tepat jika prediksi ke depan harga komuditas seperti minyak dan emas pasti naik. Pada artikel 18 November tersebut saya memilih kesimpulan ke dua, Presiden ingin mengantisipasi lebih awal kenaikan harga minyak dengan begitu saat harga minyak naik, Indonesia tak perlu terlalu banyak menaikkan.
Namun semuanya di luar prediksi. Saya awalnya sepakat dengan para pakar bahwa rupiah akan menguat di bawah pimpinan Jokowi. Tentu saja dengan paket konsekuensi Dollar melemah karena emas dan minyak semakin mahal. Tapi yang terjadi saat ini adalah Dollar menguat dan pastilah diikuti rendahnya harga minyak (saat ini $58 perbarel), sementara rupiah terperosok ke angka 13,000 rupiah dan masih sangat memungkinkan untuk menembus 14,000 jika tidak ada fight kebijakan ekonomi nasional.
Skenario berubah. Artikel saya pada 18 November lalu benar-benar salah total kecuali bahasan Goods and Services Tax di Malaysia yang akan diterapkan 1 April mendatang.
Harga BBM Fluktuatif
Entah ide dari mana Presiden ke tujuh ini, harga BBM di Indonesia akan direvisi (naik-turun) setiap 2 minggu sekali. Negara yang sudah menerapkan sistem seperti ini adalah Filipina.
Awalnya saya sangat tidak setuju jika BBM dilepas pada mekanisme pasar. Tapi saya lupa satu hal, jika saya mendukung pengalihan subsidi BBM pada pembangunan, berarti secara otomatis saya mendukung melepas harga pada harga pasar. Kalau BBM tidak lagi disubsidi, artinya tidak ada lagi kalkulasi harga ekonomi BBM.
Ketidak setujuan saya sederhana, karena BBM adalah kebutuhan sehari-hari dan dibutuhkan oleh banyak orang. Mana bisa BBM dilepas ke pasar seperti harga emas? Akan ada efek domino yang sangat luar biasa jika BBM naik turun seenaknya. Terbukti dengan kenaikan 6,500 ke 8,500 pada sebulan pertama Presiden Jokowi menjabat, inflasi langsung naik cepat. Namun saat BBM premium saat ini berada di harga 7,400 saya jadi berpikir “oh…ini lho maksudnya Jokowi.”
Oke mari kita mulai mengingat dan berpikir. Saat BBM naik dari 6,500 ke 8,500 (17 November 2014) otomatis harga barang dan transportasi kompak naik. Namun saat BBM turun dari 8,500 ke 7,600 (1 Janurari 2015) harga barang dan transportasi tidak ikut turun. Bahkan saat harga BBM kembali turun dan nyaris kembali ke harga asal dari 7,600 ke 6,700 (19 Januari 2015) pun harga barang pokok dan transportasi belum juga turun.
Menjadi menarik karena BBM naik 200 rupiah menjadi 6,900 pada 1 Maret 2015 kemudian di akhir maret kembali naik ke harga 7,400 perliter. Sampai di sini DPR tak perlu memprovokasi bahwa pemerintah melanggar undang-undang dengan menaik turunkan BBM dalam waktu singkat, toh pada Januari lalu kalian semua diam saat harga BBM direvisi. Jika kalian para DPR menyetujui APBN-P yang di dalamnya tidak ada subsidi BBM sekian ratus triliun, itu artinya kalian juga setuju BBM akan naik turun mengikuti dinamika pasar. Lupakan kalkulasi dan membandingkan dengan pemeritahan SBY, sebab saat ini tidak ada subsidi BBM lagi dan tidak perlu kalkulasian.
Kembali ke soal BBM, setidaknya ada dua catatan penting dari saya. Pertama, Presiden Jokowi ingin mematahkan momok inflasi dari efek domino kenaikan harga BBM. Bukan cerita baru sebenarnya ketika pedagang tetap tidak menaikkan barang dagangannya saat BBM naik. Tentunya dengan berbagai cara mulai dari mengurangi porsi, mengecilkan dan sebagainya. Namun mereka yang memilih tidak menaikkan harga dagangannya hanyalah sebuah strategi persepsi agar pelanggan tidak kapok datang ke tempatnya saat BBM naik. Ada semacam membangun persepsi tetap murah. Namun seiring dengan berjalannya waktu, para pedagang tadi terpaksa harus menaikkan sedikit demi sedikit sampai masyarakat lupa dengan efek domino tadi.
Dalam kondisi seperti sekarang, para pedagang tadi benar-benar bisa bertahan dengan hitungan dagang yang tetap menguntungkan meski BBM naik. Mereka tidak lagi membangun persepsi, melainkan mempertahankan harga seolah tak peduli dengan kenaikan premium. Pedagang yang tetap menaikkan barang dagangannya akan ditinggal pelanggan. Dan ini akan membuat mereka sadar dan kembali berhitung soal kalkulasi dagang, tidak lagi memanfaatkan kenaikan harga BBM sebagai ajang menaikkan harga secara sporadis (aih bahasanya haha).
Yang kedua adalah tidak adanya keriuhan naik turunnya BBM. Ini asli kisah nyata, saat Januari lalu saya membeli bensin eceran. Saat itu harga premium sudah 6,700. Biasanya di eceran harga akan menjadi 8,000 rupiah. Saya enteng saja mengeluarkan uang selembar sepuluh ribuan. Saat kembalian, si pedagang dengan tanpa malunya bilang “maaf Mas, ini bensin sisa harga kemarin” sambil menyodorkan selembar seribuan.
Seketika itu saya tidak sadar. Namun ucapan pedagang tadi terus terngiang dan membuat saya mengerti. Rupanya bensin yang tadi saya beli adalah harga 7,600 bukan bensin yang baru saja turun waktu itu menjadi 6,700. Saya jadi tersenyum sendiri.
Jika sebelum ini kenaikan BBM wajib ditandai dengan kelangkaan bensin dan penimbunan, rasa-rasanya misi revolusi mental Jokowi sudah berhasil. Di daerah saya sudah tidak ada lagi kekosongan BBM menjelang kenaikan harga, masyarakatnya saja tidak tau harga sudah naik. Tidak sempat menimbun BBM dan tidak sempat mengisi full tangki kendaraanya. Pedagang eceran yang biasanya menguras habis pom bensin, kini sudah tidak antusias lagi. Mereka belajar profesional dan berhitung kalkulasi dagang.
Transparansi Harga
Sebelumnya saya sudah pernah menulis agar pemerintah membuka kalkulasi harga BBM pada publik lihat di sini. Jika Presiden Jokowi berani melepas harga pada mekanisme pasar, seharusnya beliau juga berani membuka harga BBM via Pertamina atau menteri ESDM. Penjelasan resmi harus segera dibuka agar masyarakat bisa lebih percaya pada pemerintah karena saat ini muncul hitung-hitungan banyak versi yang menyebutkan harga BBM harusnya cuma 5,000 rupiah. Banyak sosok yang tampil di televisi dengan data absurd dan hitungan siluman yang tujuannya adalah memprovokasi masyarakat. Dibanding masyarakat menerima hitung-hitungan provokatif tersebut, alangkah baiknya pemerintah dengan gentle membeberkan pada publik hitungan penetapan harga BBM yang selama puluhan tahun tidak pernah dibuka. Dengan begini, bisa jadi nantinya masyarakat akan membubarkan paksa mahasiswa yang masih bisa dibayar untuk berdemo padahal mereka tahu harga minyak dunia naik.
Saya rasa ini penting bagi masyarakat dibanding debat kusir politik oposisi dan partai pemerintah yang sudah tidak menarik lagi. Lucu sekali melihat Ramadan Pohan yang dengan tanpa bersalah mengatakan “Presiden Jokowi kan ini kader PDIP. Harusnya sang majikan bisa menasehati beliau dan tidak melepas begitu saja”
Lalu dengan tegas politisi PDIP menjawab (saya lupa namanya) “majikan Presiden adalah rakyat Indonesia, bukan PDIP. Partai tidak bisa mengintervensi presiden dalam menentukan kebijakan”
Semakin lucu karena Ramadan Pohan mengulangi ini untuk kedua kalinya agar Megawati sebagai ketum PDIP memanggil Presiden Jokowi. Hihihi nampak sekali muka setannya yang ingin mengadu banteng. Tapi hikmahnya masyarakat jadi tau, bahwa sindiran presiden boneka kini sudah terbantahkan. Atau jangan-jangan presiden boneka itu si anu? Ah sudah lah.
Terakhir, saya mendukung pemerintah untuk membuka hitungan harga BBM dari harga minyak dunia, dollar dan pertamina hingga sampai di pom bensin.
http://politik.kompasiana.com/2015/03/31/lucunya-bbm-era-jokowi-715534.html
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com