Menurutnya
sikapku kampungan hanya karena sikapku yang ingin dekat dengan setiap
orang. Kini, mantan kekasihku masih terpuruk sebab kesalahan yang ia
perbuat padaku, dan ia masih memohon untuk dapat kembali menikmati cinta
bersamaku seperti dulu.
***
“Hei, kau cuma
perempuan kampung yang bisa kuliah di kampus ini, itu pun hanya karena
beasiswa. Jika tidak, kau hanya menjadi buruh tani di kampungmu atau
sedang mengembala sapi,” cercanya diiringi tawa lantang yang menggema di
ruang kelasku
“Aku memang orang
kampung. Memang kenapa, masalah buatmu?” tanyaku padanya sambil
menantang tatapannya yang seolah ingin memangsaku. Mimik wajahnya
terlihat puas setelah mempermalukanku di hadapan teman-teman. Sambil
mencoba untuk tetap tegar, kulanjutkan kalimatku, “Jadi, kau mau
apalagi? Kalau tak ada yang mau kau katakan lagi, sebaiknya kau pergi
saja.”
Mendengar ucapanku,
seketika ia pun marah dan ingin melayangkan tamparannya ke pipiku.
“Tampar aku jika itu mampu puaskan hatimu.” Tantangku padanya. Mukanya
merah padam, seketika melayanglah kelima jari Ari di tempat dimana dia
sering mencubitku gemas sejak setahun lalu, ketika ia masih amat
menyayangiku.
***
Ari namanya. Ketika
itu, ia sedang melayang-layang akibat terkena virus cinta Fani, sang
perayu maya yang hanya memanfaatkannya. Bagaikan pungguk merindukan
bulan, ia terus menanti kabar dari Fani. Ketika itu, ia telah
benar-benar jatuh cinta pada Fani dan memutuskan pertunangan dengan anak
relasi papanya, Vira. Mungkin sebab rasa penasaran dan sifatnya yang
terlalu buru-buru, sehingga membuat Fani seperti di teror. Tak pelak,
Fani benar-benar menghilangkan jejak di setiap akun pribadinya.
Ketika ia sedang
terpuruk dan membutuhkan pendengar, aku menyimak setiap gundahnya, aku
memberikan waktuku hampir setiap malam lewat chatting di YM, hingga
suatu hari ia pun mengajakku untuk bertemu.
“Ni, selama ini kita
hanya saling bertegur sapa di YM, kepikiran ‘gak sih kamu tuh ketemu
sama aku?” tanyanya suatu malam di telepon.
“Kepikiran sih mungkin
ada ya, tapi gak mungkinlah aku yang ngajakin kamu. Aku Cuma orang
kampung yang beruntung bisa kuliah di Kota ini.” Jawabku sembari
harap-harap cemas menunggu tanggapannya.
Mungkin ia masih
berpikir, adakah manfaatnya jika kami bertemu? Atau mungkin ia sedang…
Ah, aku tak ingin memikirkan jika tiba-tiba ia menarik kembali
ucapannya. Namun pikiran buruk itu pun terjawab.
“Ok, kita ketemuan besok ya. Kamu tahu sendiri bahwa aku sangat penasaran, so what are you waiting for?”
“Baiklah, temui aku di Cafe Pelangi jam 4 sore.” Ucapku mengakhiri percakapan telepon itu.
Setelah telepon itu
berakhir, aku belum mampu memejamkan mata, masih setia mendengarkan
lagu favoritku yang liriknya hampir mirip seperti yang kurasa saat ini.
Aku berhayal di malam ini, aku bertemu dengan kekasihku. Dia menyapa, ooo sayangku… seolah nyata adanya. Inginku memelukmu dengan sejuta rasa. Cinta kasihku yang dulu hilang (Power Slave – Impian)
***
Memang aku pernah
merasakan kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupku,
seseorang yang hanya menjadikanku sebagai perempuan keduanya. Saat itu
aku harus merelakannya kembali kepada kekasihnya akibat perempuan itu
mengidap penyakit jantung. Kuakui memang saat itu aku telah membuat
kesalahan sebab telah menyakiti kaumku sendiri, apalagi perempuan itu
tak bisa menerima kejutan yang serius. Sungguh aku sangat menyesal jika
kematian itu terjadi, sebab cinta terlarangku dahulu hampir membunuhnya.
Tak lama setelah
mengingat masa lalu itu, aku menagis dan tanpa tahu pukul berapa aku
tertidur. Seperti biasa, aku pergi ke kampus di pagi – siang hari. Pukul
2 siang, aku pun menerima SMS dari Ari yang mengingatkan janji kami
semalam. Sms itu segera kubalas dengan hanya mengatakan OK.
Pukul 16.00 wib aku
telah sampai di Cafe itu dan melihat ke seluruh ruangan, mencari sesosok
tubuh yang sejujurnya juga membuatku penasaran. Tak lama aku mendengar
suaranya, “Afni.. aku di belakangmu.” Sesaat aku menoleh ke belakang,
memperhatikannya yang tampak rapi walaupun tak serapi pria metroseksual
di kota ini.
***
Tak lepas pandangannya
dari menatapku hingga membuatku salah tingkah. Selang beberapa waktu
setelah obrolan hangat itu, tiba-tiba ia mengatakan, “kamu cantik”.
“Ah, gak kok. Aku Cuma
orang kampung biasa.” Jawabku. Kami terus bercerita hingga ia
mengatakan bahwa ia kakak kelasku di kampus tetapi beda jurusan. Sungguh
aku tak menyangka pertemuan ini begitu banyak memberikanku kejutan. Ia
begitu menghargaiku dan tak memandangku rendah. Aku merasakan kenyamanan
yang telah lama kuimpikan ketika berbicara dengannya hingga terbesit
dalam pikiranku, “diakah yang kucari?”
Tanpa terasa waktu menunjukkan pukul 20.00 wib, aku pun harus segera pulang sebab pagar kostku ditutup pukul 21.00 wib.
Setelah pertemuan itu,
intensitas pertemuanku dengannya pun menjadi semakin intim. Kami sering
menghabiskan waktu di Kampus, Cafe, dan Toko Buku.
Interaksi kami yang
semakin hari semakin hangat ini sejujurnya memberikan kenyamanan
tersendiri bagiku, mampu membuatku melupakan kesedihanku akibat lelaki
lalu. Harapku, semoga Ari pun merasakan rasaku. Sembari menghayal
tentangnya, tiba-tiba ponselku berdering. Di layar ponsel, tertera nama
Ari, namun aku tak segera mengangkatnya. Aku masih sibuk menetralkan
rasaku dan masih bingung harus berkata apa. “Hei, dia menghubungi.
Bukankah ini yang kau harapkan?” ronta hatiku.
Aku mengangkat ponselku dengan gugup pada hitungan ketiga deringnya, “Assalamu’alaikum Ri. Ada apa?”
“Ah, pertanyaanku
salah. Masa’ aku bertanya ada apa. Oh Tuhan… Ada apa denganku? Aku
gugup. Semoga Ari memaklumi setelah mendengar suaraku yang terbata-bata
tadi.” Pikirku lagi.
“gak ada apa-apa kok,
cu.. cu Cuma pengen ngobrol-ngobrol aja sama kamu.” Jawabnya tak kalah
gugup. “kamu kenapa Ri, kok suaranya gitu?”
“Eh, kayaknya kita
lanjutin ngobrol di chatting aja ya. Assalamu’alaikum cantik.” Dan
teleponpun berakhir setelah aku menjawab Wa’alaikumsalam.
Malam itu kami melanjutkan obrolan di chatting hingga tiba-tiba ia bertanya, “mau gak kamu jadi pacarku?”
“waduh… nembaknya masa’ sekarang sih? Di chatting pula itu. Gak romantis amat.” Tanyaku dalam hati.
“emang mesti dijawab
ya? Sekarang gitu?” tanyaku padanya. “eh, hehehe. Besok aja deh jawabnya
di kampus. Ya udah, kamu tidur gih. Udah malam.” Lanjutnya dan chatting
pun berakhir.
***
Setahun lalu, aku
menerimanya menjadi kekasihku. Perlakuannya begitu lembut, jangankan
memukul atau menamparku, membentakku saja ia tak pernah. Ia begitu
menjaga perasaanku, begitu memahami seluruh keluh kesahku, dan yang
pasti ia tak pernah menyebutkan aku sebagai orang kampung yang beruntung
dapat menempuh pendidikan di kota.
Bahkan ia telah
mengenalkanku kepada kedua orang tuanya saat di rumahnya tengah
berlangsung acara ulang tahun perkawinan perak kedua orang tuanya.
Sesungguhnya aku sangat minder saat itu, aku merasa sangat rendah,
apalagi aku harus mendampinginya diantara kerumunan keluarga besarnya.
Oh Tuhan… Aku sangat gugup. Untunglah Ari sangat mengerti akan
ketidaknyamananku, ia pun mengajakku pergi.
“Kamu kenapa? Kok mukamu ditekuk terus?” tanyanya sesampainya kami di kostku.
“Aku gugup, malu, dan
merasa tak pantas berada di tengah keluargamu. Mereka orang kaya,
sementara aku hanya orang biasa.” Jelasku.
“Ah, jangan merasa
begitu. Orang tuaku sangat welcome lho sama kamu. Ayo.. buang pikiran
itu. Kami menerimamu” Jawabnya sembari tersenyum.
Senyuman itu. Senyuman
termanis. Senyuman yang telah mampu luluhkan hati kerasku hingga mampu
membuatku mau melupakan hal buruk dan mau mengenal laki-laki lagi. Ya…
Senyuman itu milik Ari kekasihku, saat ini. Kebaikan Ari yang begitu
tulus telah mampu luluhkan kerasnya hatiku akibat sakit hati yang
teramat dalam, dahulu.
Ari sangat tahu dengan
siapa aku bergaul. Seluruh temanku telah kukenalkan padanya agar ia tak
curiga sehingga aku tak merasa khawatir lagi. Apalagi aku telah
berjanji bahwa aku hanya mencintainya.
Namun, kedekatanku
dengan Rio membuatnya cemburu. Berkali-kali telah kukatakan bahwa Rio
hanyalah sahabatku dari kampung yang juga menempuh pendidikan di sini,
tetap tak dipercayainya. Sejak kedatangan Rio bulan lalu, ia mulai
sering memarahi dan berkata kasar padaku. Perlakuannya yang semakin hari
semakin kasar, sesungguhnya telah membuatku tak nyaman hingga aku
berpikir bahwa mungkin aku harus merelakan diri bila patah hati lagi.
***
“Kamu gak usah
berteman lagi sama si Rio itu, aku gak suka!” bentaknya suatu hari di
kostku. Suaranya yang keras itu tentunya mengejutkan para temanku hingga
mereka semua keluar dari kamarnya masing-masing.
“Maaf sayang, Rio itu
sahabatku sejak kecil. Kami selalu bersama, dan sejujurnya aku senang
dengan kepindahannya ke sini. Aku punya teman senasib sepenanggungan.
Gak mungkinlah kalau aku gak berteman lagi sama dia. Tolong, jangan
batasi hubungan persahabatanku sama Rio, ya.” Jawabku.
“gak ada cerita, aku gak suka kamu berteman sama dia. Kedekatan kalian itu buatku cemburu, tau!” lanjutnya.
“Cintaku itu sama kamu, bukan sama Rio.” Jawabku.
“Sudahlah, sekarang kamu pilih aja. Dia atau aku?” tantangnya lagi.
“Aku gak bisa memilih sayang, kalian itu orang-orang terdekatku.” Jawabku sembari tersenyum.
“Ya sudah, lupakan tentang kita. Kita putus” Ari pun berlalu dan meninggalkanku dalam tangis.
Semudah itu ia bisa
memutuskanku, membuang cerita cinta kami setahun ini hanya karena ia tak
bisa menerima sahabatku. Aku patah hati lagi. Ya… sakit yang kurasakan
kali ini lebih sakit ketimbang dulu.
***
Beberapa minggu
kemudian, aku melihatnya tengah berjalan dengan perempuan lain.
perempuan itu cantik, tampak dari dandananya yang glamour, sepertinya ia
memang orang kaya. “Semudah itu kau melupakanku, Ri” tanyaku dalam
hati.
Ya… dia memang telah
melupakanku. Itu terbukti saat ia dengan bangganya memperkenalkan
perempuan barunya itu padaku ketika kami tak sengaja bertemu. Sheila
namanya. “Sheila ini lebih baik darimu dan ia akan bertunangan denganku
bulan depan.” Saat itu Sheila pun tersenyum. “Selamat ya. Semoga
bahagia.” Ucapku singkat dan mereka pun pergi dari hadapanku.
Bagai disambar petir
di siang bolong, seketika tubuhku terhuyung hingga hampir jatuh ke
belakang. Sakit sekali rasanya, setelah ia memberi cinta padaku,
melambungkan harapku, sekarang ia membuangku, mencabik-cabik hatiku
seperti seekor singa tengah mencabik mangsanya.
***
Dunia serasa hancur.
Semakin hancur saat di kampus kemarin, ia mempermalukanku. Ia boleh
mengatakan apa saja, tapi tak perlu meneriakiku perempuan kampung.
Bagiku, ucapannya itu telah menjatuhkan harga diriku. Ia telah menjadi
mantan kekasihku. Sesosok sopan yang sebelumnya hanya bersahabat
denganku di dunia maya. Namun entah setan apa yang merasuki tubuh kekar
yang dahulu sering memelukku hingga menjadikannya begitu buas.
Aku benar-benar marah
karena penghinaannya. Saat ini juga, telah kucampakkan rasa cintaku
padanya ke got yang paling jorok sekalipun. Yang tertinggal saat ini
hanya rasa benci dan aku berjanji pada diriku, suatu hari nanti ia yang
akan memohon-mohon untuk kembali padaku. Kini yang harus kulakukan
adalah membuatnya menyesal.
***
Suatu malam ia
menghubungiku, mencurahkan lagi masalah yang tengah ia hadapi. “Aku baru
putus dari Sheila, kamu memang yang terbaik Ni.” Ucapan sesalnya di
telepon yang membuatku menyunggingkan senyum. “Akhirnya!” batinku. Namun
aku tetap menempatkan diri sebagai tong sampahnya.
Ia berkata bahwa
menyesal mengakhiri kisah kami 6 bulan lalu. Ia kembali menyanjungku,
membuaiku dengan kalimat-kalimat manisnya, seperti saat kami masih
bersama.
Setelah hampir 2 jam menghabiskan waktu mengobrol yang kurasa tak penting itu, ia pun kembali memintaku menjadi pacarnya.
“Ni, aku minta maaf
sama kamu, aku masih sayang sama kamu. Aku sadar, kamu yang terbaik
buatku. Makasih banyak udah tetap mau peduli sama aku. Ni, Aku mau
balikan sama kamu.” Lagi-lagi kalimatnya tak pernah romantis.
Aku terdiam. Benar, di
sudut hatiku masih terpatri namanya, Ari. Namun aku tak mau kembali
padanya. Ah… paling tidak, bukan untuk saat ini.
“gimana Ni? Kamu maukan CLBK sama aku? Kamu masih sayang, kan sama aku? Tanyanya tak sabar.
“Hmmm.. ya, maafmu kuterima. Aku memang masih sayang sama kamu. Tapi maaf, aku tak bisa kembali padamu.” Jelasku.
Malam itu, aku telah mengecewakannya sekaligus menyakiti dan membohongi perasaanku
***
Aku tahu, aku
telah bodoh menolak tawarannya yang mungkin tak akan diulanginya lagi.
Namun bagiku, harga diri yang telah diinjak-injaknya 6 bulan lalu masih
begitu membekas dalam ingatanku. Bagi orang kampung sepertiku yang tak
punya harta melimpah seperti mereka, aku masih punya harga diri. Harga
diri itu harus kupertahankan. Harga diri itu harus kujunjung
setinggi-tingginya. Biar mereka tahu, jangan pernah meremehkan orang
kampung apalagi menghinanya. Harga diri adalah harga mati bagiku.
by: http://fiksi.kompasiana.com/novel/2013/03/13/aku-memang-orang-kampung-tapi-aku-punya-harga-diri-536452.html
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com