ARTIKEL PILIHAN

GOOGLE TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

ARTIKEL PILIHAN

BAGAIMANA TENTANG ULAMA YANG MENYESATKAN ULAMA (Sejarah saling menuding sesat terhadap satu kelompok oleh kelompok lain sudah sangat sangat lama bahkan sama tuanya dengan sejarah agama itu sendiri)

Written By Situs Baginda Ery (New) on Selasa, 16 Juli 2013 | 23.21

http://statis.dakwatuna.com/wp-content/uploads/2012/10/siluet-tangan-ilustrasi-demokrasi.jpg
Hai orang-orang yang beriman, apabila orang-orang fasiq datang membawa berita kepadamu, maka periksalah lebih dahulu dengan seksama. Supaya jangan sampai mencelakakan orang lain, tanpa mengetahui keadaanya, Sehingga kamu menyesal akan kecerobohanmu itu
(Al Hujurat Ayat 6)
Hai orang-orang beriman! Janganlah hendaknya satu kaum mencela kaum yang lain, dengan bentuk apapun. Boleh jadi mereka yang dicela, lebih baik dari mereka yang mencela.”
Hai orang-orang beriman! Jauhilah kebanyakan prasangka buruk. Sesungguhnya sebagian prasangka buruk itu, adalah dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain
(Al-Hujurat ayat 11-12)

Sejarah saling menuding sesat terhadap satu kelompok oleh kelompok lain sudah sangat sangat lama bahkan sama tuanya dengan sejarah agama itu sendiri. Perpecahan antara Sunni dan syiah mengawali sejarah saling tuding tersebut dimana ulama sunni yang menyebut diri sebagai Ahlul Sunnah dan di dukung oleh penguasa zaman itu menuding sesat bakan kafir kepada saudaranya dari kalangan Syiah. Konflik sunni syiah bukan hanya persoalan keyakinan akan tetapi lebih dominan unsur politik dan kepentingan penguasa saat itu.
Budaya sesat menyesatkan itu sepertinya sudah menjadi penyakit kronis di kalangan ulama dengan alasan mencegah kemungkaran dengan serta merta menunjuk telunjuk dengan lurus mengarahkan ke muka orang lain dan dengan mudah menuduh SESAT.
Kemarin (26/5) berita mengejutkan datang dari Aceh Timur dimana para ulama di sana mengeluarkan semua Ijma’ (kesepakatan) yang menyatakan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah yang di ajarkan oleh Prof. Dr. Kadirun Yahya MA M.Sc sebagai aliran sesat dan menyesatkan. Ulama juga menganjurkan kepada pengikut tarekat itu untuk segera bertaubat dan kembali ke jalan yang benar sesuai dengan aliran ahli sunnah waj jamaah. Demikian berita yang saya baca di sebuah harian lokal di Aceh.
Tengku Muhibuddin Waly yang juga sekaligus sebagai Mursyid Tarekat Naqsyabandi di Aceh membacakan hasil keputusan ulama se Kecamatan Darul Aman, Aceh Timur sebagai berikut :
Setelah meneliti, mengkaji, dan mempertimbangkan, serta merujuk kepada Al Qur’an serta hadist, maka Tarekat Naqsyabandiyah yang mursyidnya Kadirun Yahya kami nyatakan tidak sesuai dengan aliran ahli sunnah wal jama’ah”.
Sangat menggelikan memang, karena yang menuduh sesat itu disamping sama-sama pengamal Tarekat Naqsyabandi juga sama-sama bermazhab Syafii dan otomatis sama-sama pengikut ahlul sunnah.
Ijma’ yang dimaksudkan dalam berita di koran itu jangan anda bayangkan seperti sebuah pertemuan yang seluruhnya di hadiri oleh ulama dan mengadakan musyawarah dengan sungguh-sungguh dengan memgeluarkan berbagai macam kitab dan pendapat-pendapat ulama dahulu sebagai berbandingan. Kejadian di Aceh Timur itu tidak lebih sebuah penghakiman massa. Seluruh masyarakat dari berbagai golongan dikumpulkan bersama orang-orang yang menyatakan diri sebagai ulama dalam acara yang mereka sebut sebagai Musyawarah Akbar Terbuka kemudian secara sepihak mengeluarkan keputusan yang disebut “Ijma’” bahwa Tarekat Kadirun Yahya adalah SESAT!

Tuduhan Menyakitkan
Selaku pengamal Tarekat Naqsyabandi, saya sangat menyayangkan sikap ulama di Aceh Timur terutama Tgk Muhibbudin Wali yang seharusnya bisa lebih bijak dan arif dalam menyikapi persoalan-persoalan tentang Tarekat. Beliau sebagai ulama tarekat yang disegani di seluruh Aceh seharusnya bisa menjadi jembatan penghubung antara orang-orang syariat dengan pengamal tarekat dan bisa menjadi pelindung para pengamal tarekat lain bukan malah menusuk dari belakang.
Ada beberapa tunduhan yang disampaikan kepada para pengamal Tarekat Kadirun Yahya dan mungkin tidak saya bahas disini secara mendetail karena tuduhan-tuduhan itu bukanlah fakta akan tetapi lebih kepada fitnah semata.
Menarik kita simak kesimpulan dari ulama di Aceh Timur : “Setelah meneliti, mengkaji, dan mempertimbangkan, serta merujuk kepada Al Qur’an serta hadist, maka Tarekat Naqsyabandiyah yang mursyidnya Kadirun Yahya kami nyatakan tidak sesuai dengan aliran ahli sunnah wal jama’ah”
Kalau mau di teliti seharusnya Tgk Muhibbudin Wali beserta ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Nanggro Aceh (MUNA), HUDA dan MPU kecamatan Darul Aman Aceh Timur juga meneliti pusat tarekat ini di Universitas Panca Budi dan surau-surau lain bukan hanya meneliti di satu tempat kemudian menetapkan hukumnya. Sekitar akhir tahun 1998 di depan Prof. Dr. Jamaan Nur (murid Prof. Dr. Kadirun Yahya MA M.Sc) Tgk. Muhibbudin Wali menyatakan bahwa terekat Kadirun Yahya adalah muktabarah dan kalaupun ada perbedaan dengan tarekat naqsyabandi yang diamalkannya ibarat makan nasi yang berbeda lauk pauk sedangkan nasinya sama. Lalu kenapa dibelakang menyatakan pernyataan yang berbeda?
Kalaupun ada diantara pengikut tarekat Kadirun Yahya yang mengeluarkan pernyataan aneh dan tidak lazim seharusnya yang disesatkan adalah pribadinya bukan institusi. Sama halnya kalau ada polisi mencuri bukan lembaga kepolisian yang dibubarkan akan tetapi oknumnya yang di tindak. Kalau ingin menjadi ulama yang baik, seharusnya Tgk. Muhibbudin Waly memanggil para pengamal tarekat kemudian memberikan arahan dan bimbingan serta menasehati pengamal tarekat Kadirun Yahya agar hati-hati dalam menyampaikan kajian hakikat kepada masyarakat awam. Tgk. Muhibbudin bisa menghubungi pimpinan tarekat Kadirun Yahya yang ada di Medan dan saling bermusyawarah serta menjelaskan duduk persoalannya. Bukankah murid-murid Prof. Dr. Kadirun Yahya MA, M.Sc sebagian besar juga ulama yang memiliki ilmu pengetahuan syariat Islam di atas rata-rata, salah satunya adalah Prof. Dr. KH. Jamaan Nur, Guru Besar IAIN Raden Fatah Palembang.
Tgk Muhibbudin Wali tahun 2002 pernah ikut dalam acara pertemuan tarekat serumpun di Universitas Panca Budi dan dari hasil pertemuan itu disimpulkan bahwa Tarekat Serumpun semuanya muktabarah dan tidak menyimpang dari ajaran Islam. Tarekat Serumpun adalah tarekat Naqsyabandi yang mursyidnya bertemu di silsilah Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Qubis Mekkah dan Tarekat Kadirun Yahya termasuk salah satu tarekat serumpun yang muktabarah.
Syekh Sulaiman Zuhdi mempunyai banyak murid di Indonesia antara lain :
  1. Syekh Abdul Wahab Rokan yang di kenal dengan Syekh Basilam yang mendirikan perkempungan Tarekat Babussalam di Langkat Sumatera Utara.
  2. Syekh Sulaiman Hutapungkut di daerah Sidempuan, Sumatera Utara. Salah seorang Murid Syekh Hutapungkut adalah Syekh Muhammad Hasyim Al-Khalidi dari Padang yang kemudian melanjutkan berguru kepada Syekh Ali Ridho di Jabal Qubais.
  3. Syekh Ali Ridha di Mekkah yang kemudian meneruskan silsilahnya kepada Syekh Muhammad Hasyim Al-Khalidi di Buayan Sumatera Barat dan kemudian meneruskan silsilahnya kepada Syekh Kadirun Yahya MA. M.Sc Al-Khalidi.
  4. Syekh Usman Fauzi di Jabbal Qubais yang meneruskan silsilahnya kepada Syekh Abdul Gani Batu Basurat di Riau dan kemudian meneruskan Silsilahnya kepada Abuya Syekh Muhammad Waly Al-Khalidy yang dikenal juga dengan sebutan Syekh Muda Wali di Labuhan Haji Aceh Selatan.
Abuya Syekh Muda Waly yang juga orang tua kandung dari Tgk. Muhibbudin waly mempunyai beberapa orang anak yang kesemuanya meneruskan misi orang tua mereka menyebarkan tarekat yaitu :
  1. Tgk Muhibbudin Waly
  2. Tgk. Amran Waly
  3. Tgk. Jamaluddin Waly
  4. Tgk. Muhammad Nasir Waly LC
Antara Abuya Syekh Muda Waly dengan Prof. Dr. S.S. Kadirun Yahya masih satu guru dan sama-sama berada pada urutan ke-35 di hitung sejak Saidina Abu Bakar Siddiq. Kedua Syekh ini bertemu pada Ahli Silsilah ke-32 yaitu Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Qubis Mekkah.
Kalau hari ini Tgk. Muhibbudin Wali menyatakan sesat kepada Prof. Dr. S.S. Kadirun Yahya itu sama dengan anda menyatakan sesat kepada diri sendiri karena ajaran tarekat yang beliau amalkan itu bersumber kepada satu Guru.
Kalau tulisan ini dibaca oleh Tgk Muhibbudin Waly atau salah seorang muridnya, saya ingin membuat sebuah permisalan. Misalkan suatu saat anda mempunyai banyak sekali murid dan meneruskan tarekat yang anda bawa dan murid anda pada generasi ke tiga saling menyalahkan dan menyesatkan, bagaimana perasaan anda?
Suatu saat murid dari Tgk. Amran Waly di Labuhan Haji mengeluarkan pernyataan sesat kepada salah seorang murid anda, bagaimana perasaan anda dan bagaimana sedihnya Abuya Syekh Muda Wali mengetahui hal ini.
Saya dapat informasi, Tgk. Amran Waly mengeluarkan pernyataan hakikat bahwa nabi Mumammad adalah wadah dari Allah dan orang-orang Aceh Utara yang awam sekali ilmu hakikat menyatakan Beliau sesat dan Tgk Muhibbudin Waly berdiam diri tanpa ada pembelaan padahal itu adalah saudaranya. Apakah anda juga ikut menyalahkan Tgk. Amran Waly?
Apakah pernah Abuya Syekh Muda Waly menyatakan sesat kepada orang lain?
Beliau tidak pernah menuduh orang lain sesat walaupun hampir semua pengikut Muhammadiyah menyatakan Beliau sesat bahkan kafir. Beliau adalah orang yang telah sampai kepada makrifat dan tentu saja tidak dengan mudah menyatakan orang lain sesat. Saya bisa maklumi kondisi Tgk. Muhibbudin Waly yang belum cukup ilmu untuk memahami rahasia-rahasia Allah.
Kalau Tgk. Muhibuddin ingin menjadi satu-satunya Mursyid tarekat di seluruh Aceh tidak harus dengan cara menginjak tarekat lain karena kalau sikap itu dipertahankan maka suatu saat anda akan disesatkan oleh orang lain.

Sesat Menyesatkan dan Konflik Berdarah di Aceh
Nurudin Ar-Raniry yang berasal dari Ranir India ingin sekali menjadi ulama nomor satu di Aceh. Salah satu cara yang dilakukannya adalah menyatakan sesat kepada ulama selain dia. Nurudin Ar-Raniry mengeluarkan pernyataan sesat kepada Hamzah Fanshury yang berpaham wahdaul wujud dan menfatwakan pengikut Hamzah Fanshury halal darahnya. Setelah Nurudin Ar-Raniry mengeluarkan fatwa sesat dan halal darah maka efeknya sungguh tragis dan memilukan. Hampir semua murid-murid Hamzah Fanshury di bunuh. Di depan mesjid raya Baiturahman, pengikut Hamzah Fanshury di bakar hidup-hidup beserta karya-karyanya. Akibat dari perbuatan itu, 100 tahun kemudian Belanda menyerang Aceh dan membakar habis mesjid Raya Baiturahman tanpa sisa dan Aceh melewati sejarahnya dengan berdarah dan konflik yang tak berkesudahan.
Apakah anda ingin menjadi Ar-Raniry di zaman ini?
Mungkin sebagian yang membaca tulisan ini tidak percaya hubungan antara tuduhan sesat menyesatkan dengan konflik di Aceh. Coba renungi fakta berikut:
  1. Zaman Sultan Iskandar Muda hampir seluruh Aceh menjadi pengamal berbagai macam Tarekat, pengikut terbesar dari Tarekat Syattariyah yang mursyidnya adalah Syekh Abdul Ra’uf As-Singkily yang dikenal dengan Syiah Kuala dan merupakan keponakan dari Hamzah Fanshuri. Aceh mengalami kemajuan dan kemakmuran yang luar biasa. Kemudian pada masa Sultan Alaidin Iskandar Tsani (menantu Iskandar Muda) telah melarang tarekat secara resmi. Pemimpin Tarekat pada masa itu adalah Syamsudin As-Sumatrani (Wafat tahun 1630), murid dari Hamzah Fanshuri. Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba dalam bukunya “Ilmu Thariqat dan Hakikat” menceritakan bahwa Ulama-ulama Aceh telah mengadakan musyawarah dibawah pimpinan Mufti Syekh Nurudin Ar-Raniry dan musyawarah memutuskan bahwa penganut tarekat dianggap kafir, murtad dan harus di bunuh mati. Menurut Tgk. H. Hasan Krueng Kale, seorang tokoh ulama di Aceh, pada masa itu telah terbunuh 70 orang penganut tarekat. Akibat tindakan itu Aceh seperti menerima azab dari Allah, diserang oleh Belanda, mesjid di Bakar dan konflik tak berkesudahan.
  2. Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh, sebagian besar yang duduk disana adalah orang-orang berpaham wahabi mengadakan musyawarah Tanggal 3-8 November 1974 di Banda Aceh dan mengeluarkan fatwa antara lain bahwa Tarekat-terakat yang berkembang di Aceh saat ini pada prakteknya bertentangan dengan Syari’at Islam. Menyatakan sesat dan menyesatkan kepada pengikut Tarekat Mufarridiah yang diajarkan oleh Syekh Makmum Yahya berpusat di Tanjung Pura Langkat, Sumatera Utara. Setelah mengeluarkan sesat menyesatkan itu 2 tahun kemudian 4 Desember 1976 dimulailah konflik berdarah di Aceh sampai di cabut DOM tahun 1998.
  3. Pada bulan Oktober 1998 Surau Panton Labu Aceh Utara milik yayasan Prof. Dr. SS. Kadirun Yahya MA M.Sc dibakar masa atas pengaruh beberapa ulama termasuk pernyataan Tgk. Muhibbudin Wali yang mangatakan sesat kepada tarekat Kadirun Yahya. Setelah Alkah Zikir Panton Labu di bakar tidak lama kemudian mulai lagi konflik berdarah di Aceh dengan episode yang lebih memilukan, di mulai dengan Tragedi Ara Kundo, Simpang KKA dan diikuti berbagai macam tragedi lain, ribuan nyawa melayang sampai masa damai sekarang ini.
  4. Hari ini Tgk. Muhibbudin Wali beserta ulama-ulama yang terpengaruh oleh politik mengeluarkan peryataan sesat kepada Tarekat Kadirun Yahya, semoga Allah mengampuni dosa Tgk. Muhibbudin Wali beserta ulama lain dan segera menarik pernyataannya agar kelak generasi penerus Aceh tidak menyalahkan anda oleh bencana yang akan menimpa. Jangan sampai Azab Allah menimpa orang-orang yang tidak berdosa hanya gara-gara segelintir ulama.
Apa hubungan memusuhi orang-orang yang dikasihi Allah dan orang-orang yang ikhlas berzikir kepada-Nya dengan bencana?
Hal ini di terjawab dengan sebuah hadist qudsi :
Barang siapa yang memusuhi Wali-KU akan KU nyatakan perang kepadanya” (HR. Bukhari)
Silahkan meneruskan permusuhan anda dengan orang-orang Tarekat dan kita hanya menunggu Allah menyatakan perang kepada anda dalam bentuk yang tidak pernah terbayangkan.

Penutup
Tuduhan sesat kepada Tarikat Kadirun Yahya menandakan kurang matangnya ilmu yang dimiliki oleh orang-orang yang mengaku ulama termasuk Tgk. Muhibbudin Waly karena persoalan Hakikat kalau dilihat dari kacamata syariat tidak akan pernah ketemu. Prof Dr. Kadirun Yahya telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk kepentingan ummat dan mempunyai murid jutaan orang di seluruh dunia dan menerima ilmu tarekat lewat jalur silsilah yang benar tentu sangat tidak bijak kalau setelah Beliau tiada kita menuduh tarekat Beliau sebagai tarekat sesat.
Saya kagum dengan ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Prof. Dr. Muslim Ibrahim MA, yang tidak pernah sembarang mengeluarkan pernyataan. Ketika orang menanyakan pendapat Beliau tentang tarekat yang disesatkan orang dengan senyum beliau menjawab : Jangan mudah kita menuduh sesat kepada orang lain karena pertanggung-jawabannya bukan hanya di dunia akan tetapi juga di akhirat kelak di hadapan Allah. Hanya Allah yang mengetahui siapa sesat dan siapa benar.
Semoga di Aceh akan banyak ulama-ulama arif seperti Prof. Dr. Muslim Ibrahim MA yang sangat bijak menyikapi setiap persoalan dan selalu berpihak kepada ummat bukan berpihak kepada kepentingan politik segelintir orang.
sumber tulisan: http://sufimuda.net/
23.21 | 1 komentar | Read More

ARTIKEL INI DITULIS OLEH SEORANG PENULIS YANG HEBAT= Menyembah Ka’bah (VERSI LENGKAP 1 SAMPAI 5)

http://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/kabah-di-masjidil-haram-makkah-arab-saudi-selasa-_121024122905-989.jpg
Syukur alhamdulillah di pagi Jum’at yang penuh berkah dan karunia yang melimpah ini, saya berkesempatan menulis tulisan ini, tulisan yang sudah lama ingin saya tulis sebuah judul yang menarik untuk kita telaah dan kita renungi bersama. “Menyembah Ka’bah” adalah tulisan yang saya buat bersambung karena memang pembahasannya panjang dan tidak mungkin selesai dalam sekali menulis. Tulisan ini hendaknya dibaca secara perlahan, dengan pikiran terbuka untuk menerima perbedaan-perbedaan dan membaca sampai selesai sehingga tidak menimbulkan salah tafsir. Dalam tulisan yang akan anda baca bersambung ini akan saya uraikan tentang banyak hal yang berhubungan dengan hakikat dan makrifat. Menyembah Ka’bah adalah judul yang menarik untuk dijadikan bahan bacaan dan bahan renungan untuk kita semua.
Ka’bah adalah titik sentral ibadah seluruh ummat Islam di dunia. Ibadah apapun di dalam Islam menjadikan ka’bah sebagai pusatnya. Shalat sebagai ibadah wajib yang dilaksanakan 5 kali sehari, menghadapkan wajah mengarah kepada ka’bah yang ada di makkah. Ketika dikuburpun wajah seorang muslim dihadapkan kepada ka’bah. Begitu penting posisi ka’bah sebagai rumah Allah sehingga seluruh ibadah dianggap tidak sah apabila dilakukan tidak menghadap ka’bah.
Seluruh ummat Islam dalam melaksanakan shalat meskipun badan dan wajah dihadapkan kepada ka’bah sebagai syarat wajib, tapi seluruhnya sepakat bahwa kita tidak sekali-kali menyembah ka’bah, yang kita sembah adalah Allah pemilik dari ka’bah.
Ummat Islam menghadapkan wajah ke arah ka’bah adalah sebagai wasilah antara hamba dengan Tuhannya. Orang-orang yang menentang wasilah tanpa sadar dalam keseharian melakukan tawasul dalam beribadah kepada Allah.
Syahadat adalah Wasilah
Mengucapkan Kalimah Syahadah adalah syarat utama seseorang bisa disebut sebagai orang Islam, ini adalah pondasi, rukun Islam yang pertama. Syahadat terdiri dua kalimat, pertama mengakui Allah sebagai Tuhan dan kedua mengakui Muhammad sebagai utusan-Nya. Kalau hanya mengakui Allah sebagai Tuhan dan tidak mengakui Muhammad sebagai Rasul-Nya maka syahadatnya tidak sah. Kenapa?
Karena dari zaman jahiliyah sebelum muncul Islam, masyarakat di mekkah mengakui Allah sebagai Tuhan dari segala tuhan, dan mereka meyakini bahwa berhala yang mereka sembah adalah sebagai penghubung atau media bagi mereka untuk menyembah Allah. Nama-nama Allah seperti ar-Rahman, ar-Rahim dan lain-lain memang sudah dikenal di dalam masyarakat jahiliyah. Keterangan lengkap anda bisa telesuri dibeberapa karya yang membahas tentang masyarakat Arab Pra Islam, salah satunya ada di buku History of The Arabs karya Prof Philip K. Hitti.
Masyarakat jahiliyah tidak menolak Allah sebagai Tuhan, tapi mereka tidak mau menerima Muhammad sebagai utusan Allah, mereka lebih yakin kepada berhala-berhala yang sebenarnya tidak ada hubungan sama sekali dengan Allah. Menyakini berhala sebagai penghubungan manusia dengan Allah inilah yang di sebut syirik, menyekutukan Allah karena memang tidak ada hubungan sedikitpun dengan Allah. Inilah wasilah yang dilarang di dalam agama.
Kalau orang mengaku bertauhid menyembah Tuhan Yang Esa tapi tidak mengenal yang disembah, dalam ibadah yang dilakukan hadir tuhan-tuhan lain, apakah itu masalah duniawi, harta, wajah manusia dan lain-lain itu sama dengan melakukan syirik tersembunyi, menyembah Allah tapi masih menyimpan berhala dalam pikiran dan hatinya.
Kalau kita menelusuri dengan teliti, diseluruh dunia sebenarnya tidak ada yang disembah manusia selain Tuhan, seluruh manusia menyembah Tuhan, menyembah suatu kekuatan di luar manusia yang mempunyai kemampuan tidak terbatas. Agama Majusi sekalipun yang konon katanya mereka menyambah api sebenarnya mereka tidak menyembah api. Bagi mereka api adalah simbol keabadian, memberikan manfaat yang sangat besar dalam kehidupan manusia, api adalah anugerah dari Tuhan yang memberikan mereka nafas kehidupan. Api bisa juga mendatangkan bala atau kemurkaan bila digunakan dengan cara salah. Jadi mereka menghormati api dengan sebuah keyakinan itu ada hubungan dengan Tuhan, jadi mereka bukan menyembah api tapi menyembah Tuhan yang mereka yakini bisa terhubungan lewat api. Ini juga salah satu bentuk wasilah yang dilarang menurut Islam, karena api bukanlah Allah dan Allah juga bukan api, keduanya sangat berbeda.
Kalau kita lihat fokus ummat Islam kepada ka’bah dengan segala jenis ritual yang dilakukan, mungkin bisa jadi masyarakat non muslim akan menganggap ummat Islam menyembah ka’bah. Hal ini pernah dikemukan oleh salah seorang teman saya non muslim, dalam pandangannya ummat Islam dalam beribadah seperti menyembah ka’bah. Saya menjelaskan bahwa seluruh ummat Islam menyakini bahwa ka’bah adalah rumah Allah, karena itu seluruh ibadah difokuskan ke ka’bah sebagai wasilah ummat Islam, bukan menyembah ka’bah. Kalau kita  sedikit kritis maka ka’bah juga tidak bisa dijadikan sebagai wasilah karena ka’bah adalah buatan manusia. Allah Maha Suci dari segala sifat-sifat terbatas dan terkurung.
Menarik kita telusuri dari pengalaman beberapa tokoh sufi ketika menunaikan ibadah haji, salah satunya adalah Mansur Al-Halaj. Ketika dia menunaikan ibadah haji pertama dia melihat ka’bah dan tidak menemukan Allah disana. Al-Halaj berkata, “Ibadah haji aku tidak sempurna, aku datang kemari bukan untuk menemui ka’bah tapi menemui pemiliknya”. Pada haji berikutnya, yang dia temui adalah ka’bah dan juga pemiliknya yaitu Allah swt. Kemudian dia berkata, “Haji aku masih belum sempurna, yang aku kemui Allah dan ka’bah”. Kemudian dilain kesempatan ketika dia menunaikan ibadah haji, yang dilihat hanya Allah, tidak ada selain itu termasuk ka’bah, baru dengan gembira dia berkata, “Sekarang barulah sempurna ibadah haji yang aku lakukan, aku tidak melihat apapun selain Allah”.
Pengalaman serupa bukan hanya dialami oleh Mansur Al-Halaj, tapi juga dialami oleh tokoh sufi yang lain yang intinya mereka menganggap ibadah haji nya tidak sempurna kalau mareka belum menjumpai Allah disana.
Guru Sufi mengatakan, “Ka’bah itu bukan tempat untuk dikurung Allah, Maha Suci Allah dalam segala sifat-sifat itu, ka’bah adalah sebagai simbol persatuan ummat Islam seluruh dunia, maka kesanalah kita menghadapkan wajah”. Jadi Allah tidak berada di ka’bah, itu hanya sebagai simbol persatuan, sebagai pemersatu ummat, semua meyakini itu sebagai rumah Allah.
Hamzah Fanshuri salah seorang penyair dan juga tokoh sufi pernah menulis, “Pergi ke makkah mencari Allah, pulang ke rumah bertemu Dia”. Pengalaman yang dialami oleh Hamzah Fanshuri sama dengan al-Halaj, dia tidak menemukan Allah di ka’bah. Hamzah Fanshuri menjumpai Allah yang adalah dalam “rumah” yaitu dalam dirinya sendiri. Kalau Allah telah dijumpai dalam diri maka dimanapun Dia bisa dijumpai.
Kalau di Indonesia, dirumah kita sendiri tidak pernah bisa menjumpai Allah, maka pergi ke ka’bah sekalipun tetap juga tidak bisa menjumpai Allah. Sama halnya dengan berenang, “Kalau di Jakarta tidak bisa berenang, maka disamudera atlantik juga tidak bisa karena berenangnya sama-sama di air”. Kalau di Jakarta atau ditempat kita tinggal bisa berenang, maka dimanapun bisa beranang karena kuncinya adalah berenang di air, selama tempatnya adalah air apakah dikolam, di sungai, danau bahkan samudera atlantik sekalipun tetap bisa berenang.
Kalau manusia tidak mengenal Allah di dalam dirinya, tidak mengenal Allah ketika masih hidup di dunia, maka di akhirat pun tetap Allah tidak dikenal karena Allah yang ada di dunia dengan akhirat adalah sama.
Saya sudahi dulu tulisan ini, setelah shalat Jum’at nanti akan saya lanjutkan lagi. Semoga Allah SWT selalu membimbing dan menuntun kita ke jalan-Nya yang lurus dan benar, Amin ya Rabbal ‘Alamin 

bagian 2:
Kalau di Undang Oleh Allah, kenapa tidak berjumpa?

Menarik untuk dibahas, bahwa haji sebagai puncak ibadah ummat Islam, tempat seluruh manusia berkumpul, melaksanakan ibadah dengan satu tujuan agar bisa merasakan kedekatan dengan Allah, bisa berjumpa dengan Allah. Wukuf di Arafah bukan sekedar menunggu kekosongan, bukan menunggu waktu habis, tapi menunggu turun nur Allah SWT yang Maha Agung.

Kalau kita diundang oleh Bupati misalnya, yang membuat undangan bupati, di undang ke pendopo atau rumahnya, tentu bisa dipastikan kita akan berjumpa dengan bupati. Begitu juga kalau kita diundang oleh Presiden, yang membuat undangan presiden dan itu merupakan undangan resmi dan kita di undang ke istana negara, bisa dipastikan bahwa kita akan berjumpa dengan presiden. Kita tidak berjumpa dengan presiden ada kemungkinan undangan yang kita terima palsu, presiden tidak pernah mengundang kita atau kita tidak mengenal sama sekali sosok presiden.
Sama halnya dengan menunaikan ibadah haji menemui undangan Allah, berapa banyak di antara jamaah haji yang konon kabarnya memenui undangan Allah tapi tidak pernah berjumpa dengan Allah disana. Dimana salahnya?
Apakah undangan yang kita terima palsu atau kita tidak mengenal Allah sama sekali. Bisa jadi kedua-duanya benar. Orang yang memenuhi undangan Allah, datang sebagai tamu Allah di Baitullah tentu akan disambut oleh Allah dengan suka cita, Allah akan memperlakukan tamu-Nya dengan sangat baik. Permohonan para tamu akan dikabulkan sebagai wujud kasih dan sayang-Nya. Namun dari seluruh orang yang menunaikan ibadah haji, berapa orang yang benar-benar memiliki pengalaman berjumpa dengan Allah, berdialog dengan sang pemilik ka’bah, TUAN yang dituju oleh segenap hamba.
Seluruh orang yang datang menunaikan ibadah haji tentu saja akan disambut oleh Allah SWT tanpa kecuali. Tapi pertemuan dengan Allah antara satu dengan lainnya memiliki tingkatan yang berbeda. Sebagian merasakan Allah begitu dekat ketika mereka berdekatan dengan ka’bah, ketika mencium hajarul aswad atau ketika berada di padang arafah, mereka menangis merasakan kehadiran Allah. Perasaan itu yang sulit untuk dijelaskan tapi semua meyakini dan merasakan akan perasaan tersebut. Bagi yang sudah mencapai tahap makrifat kepada Allah, perasaan itu bukan sekedar perasaan tapi bisa berupa kepada pertemuan yang begitu di dambakan.
Harus di ingat bahwa Allah itu tidak berada di ka’bah, tidak berada di mesjid atau tempat suci lainnya di muka bumi, dia berada di hati hamba-Nya yang lembut dan tenang. Dia bersemayam dalam diri hamba yang dikasihi-Nya, disanalah Dia berada.
Kiblat ada 4
Tentang Kiblat atau arah pandangan dalam beribadah memiliki 4 tingkatan yang berbeda :
Kiblat Syariat adalah Ka’bah, kesana seluruh muslim menghadapkan wajah ketika beribadah.
Kiblat Tarikat adalah Qalbu, disamping menghadapkan wajah kepada ka’bah, seorang yang telah menekuni tarekat, menemukan metode untuk menyebut nama Allah, maka Qalbu menjadi kiblatnya, dari sana terpancar cahaya Allah yang terus menerus dirasakannya. Dalam Qalbu yang berada dalam dirinya tersebut dia menemuka Sang Maha Sempurna. Benar ucapan Rasulullah SAW, “Barang siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya”. Barangsiapa yang telah mengenal dirinya, telah mengetahui letak Qalbunya, kemudian dari sana dia menyebut nama Allah maka dia telah mengenal Tuhannya secara perlahan-lahan.
Kiblat Hakikat adalah Mursyid. Disamping menghadapkan wajah kepada ka’bah sebagai syarat utama di dalam syariat dan merasakan getaran Ilahi di dalam Qalbu, maka seorang yang ingin memasuki alam hakikat wajib memiliki pembimbing rohani, wajib memfokuskan pandanganya kepada Mursyid yang membimbing rohaninya menuju kehadirat Allah SWT. Junaidi Al-Baghdadi berkata, “Makrifat kepada Guru Mursyid adalah mukadimah Makrifat kepada Allah”, mengenal Guru Mursyid adalah awal atau pembuka dalam mengenal Allah SWT.
Berzikir tanpa adanya pembimbing maka seseorang tidak akan sampai kepada alam hakikat, akan tersesat ditengah perjalanan. Abu Yazid mengingatkan akan bahaya orang yang menuntun ilmu hakikat tanpa memiliki guru, hanya dengan membaca atau mendengar.  “Barangsiapa yang menuntun ilmu tanpa memiliki Syekh, maka wajib setan Syekh nya”.
Guru dan Mursyid itu sebenarnya dua unsur yang terpisah, yang satu berhubungan dengan jasmani dan yang satu lagi berhubungan dengan rohani. Guru akan membimbing jasmani para murid, mengajarkan tentang kebaikan, memberikan arahan tentang tata cara ibadah yang benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Mursyid adalah pembimbing rohani murid. Mursyid adalah rohani Guru yang telah diberi izin oleh Guru sebelumnya dan jalur keguruannya bersambung sampai pada Rasulullah SAW sehingga hakikat izin yang diterima oleh Guru Mursyid adalah berasal dari Rasulullah langsung untuk membimbing ummat menuju kehadirat Allah swt. Mursyid ini sering disebut sebagai khalifah Rasul, yang melayani ummat dengan membimbing mereka secara zahir dan bathin.
Karena Guru dan Mursyid itu berkumpul dalam satu pribadi maka sering disebut dengan Guru Mursyid atau Syekh Mursyid. Guru Mursyid sudah pasti harus mempunyai kualitas seorang Wali Allah, dan seorang Wali Allah belum tentu mempunyai kualitas sebagai Mursyid, banyak Wali Allah yang ilmu diperolehnya bukan untuk disebarkan tapi cukup untuk diamalkan sendiri.
Imam al Ghazali berpendapat bahwa sangat penting bagi seseorang yang menempuh perjalan rohani mempunyai seorang Guru Mursyid yang membimbing agar tidak tersesat sebagaimana yang beliau kemukakan :
Di antara hal yang wajib bagi para salik yang menempuh jalan kebenaran adalah bahwa dia harus mempunyai seorang Mursyid dan pendidikan spiritual yang dapat memberinya petunjuk dalam perjalanannya, serta melenyapkan akhlak yang tercela. Yang dimaksud pendidikan di sini, hendaknya seorang pendidik spiritual menjadi seperti petani yang merawat tanamannya. Setiap kali melihat batu atau tumbuhan yang membahayakan tanamannya, maka dia langsung mencabut dan membuangnya. Dia juga selalu menyirami tanamannya agar dapat tumbuh dengan baik dan terawat, sehingga menjadi lebih baik dari tanaman lainnya. Apabila engkau telah mengetahui bahwa tanaman membutuhkan perawat, maka engkau akan mengetahui bahwa seorang salik harus mempunyai seorang mursyid. Sebab Allah mengutus para Rasul kepada umat manusia untuk membimbing mereka ke jalan lurus. Dan sebelum Rasulullah SAW`wafat, Beliau telah menetapkan para Khalifah sebagai wakil Beliau untuk menunjukkan manusia ke jalan Allah. Begitulah seterusnya, sampai hari kiamat. Oleh karena itu, seorang salik mutlak membutuhkan seorang Mursyid.
Tentang kriteria dan syarat Guru Mursyid serta pentingnya Guru Mursyid di dalam menempuh jalan kepada Allah serta dalil-dalil al-Qur’an dan Hadist yang menjelaskan panjang lebar tentang Mursyid bisa anda baca di 9 tulisan yang sudah pernah saya tulis di bawah ini :
Tentang Kiblat ke empat yang sangat penting untuk kita ketahui dan menjadi kunci dalam beribadah akan saya uraikan pada tulisan berikutnya. Silahkan anda baca dulu 9 tulisan di atas yang menjelaskan secara lengkap tentang Guru Mursyid dan Hakikat Ibadah. Semoga Allah senantiasa menuntun dan membimbing kita ke jalan-Nya yang lurus dan benar, Amin.

bagian 3: 
Kiblat ke 4 adalah Allah. Syariat mengajarkan kita untuk menghadap kepada Ka’bah yang kita yakini sebagai Baitullah (Rumah Allah), kemudian setelah belajar metode mengenal Allah yaitu Tarekat maka diperkenalkan kepada kita Qalbu sebagai fokus dalam berzikir, kemudian ketika akan memasuki alam hakikat kita tidak boleh melupakan Mursyid yang wajahnya ada Nur Allah sehingga kita tidak bisa diperdaya oleh musuh semua manusia yaitu Setan. Atas bimbing Guru Mursyid itu kemudian kita mencapai tahap makrifat mengenal Allah SWT. Ketika telah mencapai tahap makrifat maka fokus kita bukan lagi kepada ka’bah, Qalbu ataupun Guru Mursyid akan tetapi langsung kepada Allah SWT.
Kalau kita lihat sekilas tidak ada perbedaan antara syariat, tarekat, hakikat dan makrifat karena memang ke 4 pilar Islam ini pada hakikatnya satu. Orang yang masih dalam tahap syariat atau sudah mencapai tahap makrifat cara beribadahnya sama, tidak ada beda sama sekali, yang membedakan hanya diketahui oleh masing-masing individu.
Nabi mengatakan, “Awaluddini Makrifatullah” artinya awal beragama itu mengenal Allah. Orang sudah bisa digolongkan kepada orang yang beragama kalau sudah mengenal Allah sudah mencapai tahap makrifat. Sebelum mencapai tahap makrifat maka orang masih dalam tahapan belajar agama belum termasuk orang yang sudah beragama.
Begitu pentingnya makrifat ini sehingga Rasulullah berulang kali mengingatkan kita dalam hadist-hadist Beliau. Orang yang tidak mencapai tahap makrifat, tidak mengenal Allah dengan baik maka segala ibadahnya akan tertolak.
Syahadat-nya akan tertolak, shalatnya akan tertolak, puasanya tidak diterima apalagi hajinya, semua ditolak oleh Allah.
Syahadat adalah ucapan atau sumpah kita untuk bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Kita telah bersaksi artinya kita berani mengucapkan sumpah kalau kita telah menyaksikan apa yang kita ucapakan. Kita telah menyaksikan benar ada Dzat Allah yang Maha Agung, yang tidak serupa dengan makhluk sehingga dalam ibadah selanjutnya kita bisa membedakan mana Tuhan dan mana makhluk. Ini hal yang sangat pokok yang harus diketahui oleh segenap muslim diseluruh dunia agar ibadahnya tidak sia-sia.
Orang yang beribadah tidak mengenal Allah, tidak benar-benar bisa menyaksikan Wajah Allah yang Maha Agung maka selamanya kiblat dan sembahannya adalah ka’bah, sajadah atau dinding mesjid. Alangka ruginya ibadah yang dilakukan bertahun-tahun dalam jumlah yang begitu banyak ternyata di tolak oleh Allah.
Harus di ingat bahwa shalat adalah ibadah yang mempunyai kedudukan yang istimewa sehingga di akhirat nanti yang pertama sekali di periksa adalah shalat, kalau shalatnya tidak benar maka Allah tidak memeriksa ibadah yang lain, seluruh ibadah akan tertolak dengan sendirinya.
Shalat yang ditolak oleh Allah adalah shalat yang dilakukan oleh hati yang lalai dalam mengingat Allah. Lalai yang dimaksud bukan masalah tepat waktu atau tidak. Lalai yang dimaksud adalah hatinya tidak mengingat Allah sama sekali di dalam shalatnya.
Shalat atau ibadah apapun yang kita kerjakan tanpa Ikhlas akan langsung tertolak, tidak diterima oleh Allah. Bagaimana mungkin hati bisa ikhlas kalau di dalam hati masih bersemayam setan dan bala tentaranya. Kita tidak pernah fokus untuk menghilangkan segala macam tentara Iblis yang ada dalam diri.
Shalat, membaca Al-Qur’an dan ibadah lain tidak akan bisa menghilangkan setan yang ada dalam diri yang telah bersemayam sejak manusia lahir ke dunia. Tidak ada manusia yang mampu melawan setan. Jangankan setan dewasa atau abang setan, anak setan yang masih kecil pun tidak bisa kita lawan. Bagaimana mau kita lawan, Iblis itu tamatan universitas langit, berguru langsung kepada Allah, umurnya jutaan tahun, bisa keluar masuk surga, sedangkan kita?
Maka manusia yang merasa mampu melawan Iblis atau setan termasuk manusia sombong yang belum mengenal dirinya. Kalau kita menyaksikan ada orang yang menaklukkan hantu, atau ada acara  mengusir hantu dan lain-lain, saya curiga itu ibarat maling teriak maling atau ibarat jeruk minum jeruk. Orang yang taat kepada Allah dan telah mengenal Allah serta telah mengalami kemenangan dalam shalat dan ibadahnya tidak akan pernah mau berhubungan dengan hantu apalagi pakai acara mengusir hantu segala.
Kembali kepada Iblis, yang ditakuti oleh Iblis hanyalah Allah, hanya Kalimah Allah yang Maha Tinggi, hanya itu yang ditakuti, selebihnya tidak. Kalimah Allah yang ditakuti oleh Iblis adalah yang asli, yang berasal dari Allah, bukan tiruan. Kalimah Allah yang mana? Kalimah Allah yang tidak berhuruf dan tidak bersuara yang getarannya mampu menghancurkan bala tentara Iblis dalam diri manusia.
Tentang Kalimah Allah atau nama Allah ini saya ceritakan dalam ilustrasi berikut yang mungkin tidak sepenuhnya persis paling tidak untuk lebih mudah dipahami.
Nama Presiden Republik Indonesia saat ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono atau akrab di panggil dengan SBY. Nama Presiden ini membuat kekuatan hukum yang luar biasa, bukan hanya nama, tanda tangan dan apapun yang berhubungan dengan presiden mempunyai kekuatan hukum dan dihormati oleh segenap rakyat Indonesia. Pertanyaannya apakah nama presiden atau tanda tangannya bisa ditiru? Jawabnya sangat bisa. Tapi apakah nama yang ditiru serupa dengan nama SBY itu mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan nama asli? Jawabannya Tidak. Mungkin di kampung pak SBY di pacitan sana atau disekitar Jawa Timur ada orang yang memiliki nama persis seperti Beliau, Susilo Bambang Yudhoyono dan juga dipanggil dengan SBY, apakah orang yang serupa ini mempunyai pengaruh di Indonesia? Jawabanya tidak.
Nama Presiden melekat dengan jabatan yang disandangnya, tidak bisa dipisahkan walau se detik pun selama dia menjabat sebagai presiden. Kalau presiden mengeluarkan perintah yang resmi diumumkan dan dicatat pada lembaran negara akan menjadi undang-undang yang dipatuhi oleh segenap lapisan masyarakat dan berlaku untuk seluruh Indonesia. Seluruh angkatan bersenjata akan mendukung apa yang di ucapkan oleh presiden. Siapapun yang menentang kebijakan Presiden akan berhadapan dengan seluruh aparat negara yang selalu siap mengamankan perintah presiden. Menghina presiden berarti menghina negara dan anda siap-siap berhadapan dengan hukum, bisa jadi anda akan dipenjara.
Pertanyaannya, apakah orang yang nama serupa dengan Presiden RI tadi, namanya juga SBY bisa mengeluarkan power seperti kekuatan yang dimiliki oleh presiden RI? Tentu saja tidak. Kalau Presiden mengumumkan harga BBM naik maka seluruh Indonesia akan berlaku, dan seluruh aparat keamanan ikut mendukung. Tapi kalau yang umumkan kenaikan BBM itu presiden palsu atau nama yang mirip dengan presiden tentu saja akan menjadi bahan tertawaan.
Maka harus direnungi secara mendalam, jika bacaan Al-Qur’an dan sebutan Allah yang anda ucapkan lewat mulut tidak memberikan efek apa-apa kepada setan dan Iblis bahkan setan malah tersenyum mendengarnya, itu barangkali karena anda hanya mengucapkan nama tanpa dikuti oleh Sang Pemilik Nama.

bagian 4:
Seperti yang sudah saya jelaskan pada tulisan sebelumnya, bahwa Iblis dan balatentaranya tidak akan mungkin bisa dilawan oleh manusia, bahkan anak setan yang kecil pun tidak bisa dilawan. Setan makhluk yang tersembunyi tidak bisa dilihat sedangkan dia bisa melihat dengan jelas manusia. Bagaimana mungkin manusia bisa melawan musuh yang tidak terlihat sementara musuh dengan mudah menyerangnya.
Disinilah pentingnya kita mengetahui cara untuk bisa berhubungan dengan Allah secara sempurna, dengan menggunakan metodologi yang tepat, dengan demikian Nur Allah akan bisa sampai dan bersemayam dalam hati sanubari kita. Ketika Nur Allah bersemayam dalam hati sanubari manusia maka segala bentuk kebathilan, segala angkara murka, iblis beserta bala tentaranya akan ikut hilang musnah dari hati. Ini memerlukan proses yang panjang, perjuangan ini memerlukan kesabaran, ini yang disebut dengan mujahadah.
Ketika setan dalam hati lenyap dengan hadirnya Nur Allah dalam hati, maka akan tersikap tirai yang selama ini menghalangi antara kita dengan Allah. Tersikapnya tirai tersebut dikenal dengan mukasyafah dengan demikian akan sampai kepada tahap musyahadah atau penyaksian. Setelah mengalami musyahadah inilah baru kita akan benar bersaksi, menyaksikan Dzat Maha Agung dan Maha Mulia, dengan demikian syahadat kita tidak lagi sekedar diucapkan oleh mulut dan dibenarkan oleh hati, tapi bathin ikut menyaksikan tanpa keraguan. Dalam hal ini Abu Yazid ketika ditanya apa itu makrifat, Beliau menjawab, “Tiada keraguan sedikitpun bahwa yang aku saksikan adalah Allah”.
Untuk menghilangkan was was atau keraguan dalam hati maka diperlukan latihan yang terus menerus, istiqamah dalam berdzikir, melakukan secara intensif lewat suluk sehingga akan sampai kepada apa yang dijanjikan Allah dalam surat Al-Maidah ayat 35 yaitu mendapat kemenangan. Kemenangan yang dimaksud adalah kememenangan hakiki, mampu melawan setan yang bersemayam dalam diri, mampu melawan diri kita, diri yang selalu diliputi oleh hawa nafsu. Salah satu penghalang antara manusia dengan Tuhan bukan berada diluar dirinya, yang menghalangi adalah diri manusia sendiri.
Ketika manusia telah mampu melawan dirinya sendiri, telah menang berperang melawan hawa nafsunya maka Allah akan menyikapkan tirai pembatas, saat itu lah manusia bisa menyembah Allah dengan benar.
Hijab atau pembatas antara manusia dengan Tuhan yang lebih halus dari nafsu adalah ilmu. Dengan segudang ilmu yang dihapal dan di ingat dalam pikirannya seringkali menjadi penghalang antara manusia dengan Tuhan, karena pada saat itu manusia tidak lagi berniat mencari, telah merasa cukup dengan ilmu yang dimiliki.
Imam Al-Ghazali menyindir orang-orang yang menghapal ilmu atau orang-orang yang hanya berpedoman kepada bacaan ibarat orang yang berjalan memakai tongkat. Buku adalah ibarat tongkat yang membantu kita tahap awal untuk berjalan, ketika telah mampu berjalan maka tongkat itu tidak membantu sama sekali bahkan menjadi penghalang bagi kita dalam berjalan.
Untuk bisa beribadah dengan benar maka kunci nya adalah Makrifat. Tanpa makrifat maka ibadah yang kita lakukan tidak bernilai sama sekali.Tanpa makrifat maka manusia tidak bisa menyembah dengan benar. Kita disuruh untuk setiap saat mengingat Allah, bagaimana mungkin akal pikiran kita bisa mengingat sesuatu yang tidak pernah kita lihat, sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam pikiran, sesuatu yang tidak ada serupa di dunia ini. Coba anda renungkan dalam-dalam hal ini, bisakah kita mengingat sesuatu yang belum pernah kita lihat?
Maka syarat utama untuk bisa mengingat-Nya adalah ketika kita telah berada di alam Rabbani, telah pernah menyaksikan wajah-Nya, barulah kemudian kita bisa mengingatkan dalam setiap saat, bisa berhubungan dengan-Nya dalam segala bentuk ibadah, barulah kita bisa mencapai tahap shalat yang khusyuk karena kita telah mengenal dengan baik bahkan bisa mengingat dengan benar Allah SWT.
Inilah sebenarnya yang menjadi problem terbesar ummat ini, satu sisi banyak yang setuju dengan pemahaman yang baru muncul dalam dunia Islam, sebuah pemahaman yang menolak kehadiran tarekat, menolak metodologi yang telah terbukti selama 1300 tahun mengantarkan manusia sampai kehadirat Allah. Satu sisi lain, kita di bingungkan dengan istilah Wajah Allah, mengingat Allah, makrifat kepada Allah, shalat Khusyuk yang seluruh pelajarannya ada di dalam tarekat, sebuah metode berharga yang diwariskan oleh Rasulullah SAW.
Ketika tarekat ditolak maka ummat mulai mencari cara beragama dengan pemahaman akalnya sendiri, menguraikan  Al-Qur’an dengan akal pikirannya yang sudah bisa dipastikan lebih banyak salahnya dari benarnya. Rasulullah sudah mengingatkan tentang hal ini, “Barangsiapa yang menguraikan Al-Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Setiap ada perbedaan selalu menggunakan Al-Qur’an sebagai senjata untuk membenarkan tindakannya. “Al-Qur’an bilang begini..”, “Nabi bilang begini..”, “perbuatan kamu tidak sesuai dengan perintah Allah dalam Al-Qur’an” dan sebagainya sehingga al-Qur’an dijadikan senjata untuk menyerang kelompok yang berbeda dengannya.
Satu hal yang sering dilupakan adalah bahwa al-Qur’an memiliki makna yang tersurat, tersirat dan tersembunyi. Pada umumnya orang bisa dengan mudah memaknai isi yang tersurat dari al-Qur’an, sedikit yang mengetahui makna di balik itu yaitu makna yang tersirat kecuali orang-orang yang dalam pengetahuannya dan sangat jarang orang yang bisa menjelaskan rahasia tersembunyi di balik al-Qur’an, ini hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang hubungannya sangat dekat dengan Allah.
Saya mohon maaf lewat tulisan ini kalau saya mengatakan bahwa tentang shalat khusyuk mustahil bisa dicapai tanpa melalui tarekat. Shalat khusyuk sampai kapanpun tidak akan bisa di dapat kalau belum sampai ke tahap makrifat. Pemahaman keliru selama ini adalah orang menyamakan khusyuk dengan tenang, kalau sudah tenang dalam shalat berarti sudah khusyuk. Ini pemahaman yang harus diluruskan karena kalau tenang dijadikan sebagai ukuran khusyuk maka dengan semedi juga akan memperoleh ketenangan, dengan konsentrasi pikiran menggunakan metode hypnoterapi atau NLP juga akan memperoleh ketenangan. Khusyuk juga bukan merupakan kekosongan, karena di dunia ini tidak ada yang kosong, kalau mengalami kekosongan maka akan ada yang mengisi, yang dikhawatirkan kekosongan dan kehampaan yang kita alami akan di isi oleh unsur-unsur yang tidak disukai oleh Allah SWT.
Khusyuk adalah suasana hati lalai bersama Tuhannya, sepi dalam keramaian dan ramai dalam kesunyian. Khusyuk adalah dimana hamba menyaksikan keagungan wajah-Nya, yang bisa memberikan getaran maha dahsyat ke dalam hati sanubari, dari sana akan diperoleh kenikmatan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Khusyuk seperti ini lah yang bisa menyelamatkan manusia dari ancaman neraka karena dalam dirinya telah ada surga yang abadi.

bagian 5: 
Kalau harus mencapai tahap makrifat terlebih dulu baru bisa mengingat Allah dengan benar, lalu bagaimana dengan para pemula, orang yang baru menekuni tarekat sementara mereka belum mencapai tahap makrifat?. Jawabanya sangat sederhana, dzikir yang diajarkan oleh Guru kepada anda bukan bacaan biasa, itu adalah bacaan yang ketika diucapkan akan tersambung langsung kehadirat Allah swt karena bacaan itu diucapkan dengan menggabungkan rohani murid dengan rohani Sang Guru. Tahap awal setiap kita diajarkan Dzikir, menyebut nama Allah, dengan melakukan rabithah kepada Guru Mursyid.
Rabithah atau merabit dalam tarekat dimaknai dengan sederhana yaitu mengingat. Merabit mursyid artinya mengingat Mursyid. Dari segi bahasa Rabithah bermakna menggabungkan, dalam hal ini yang digabungkan adalah rohani dengan rohani. Jasmani dengan jasmani tidak bisa digabungkan karena jasmani adalah benda padat sedangkan rohani yang tersusun dari unsur yang sangat halus bisa saling bergabung. Sama hal dengan air, antara satu yang lain bisa bergabung karena sifatnya cari dan gas bisa bergabung karena sifatnya lebih halus demikian juga dengan roh.
Manusia dilarang bersekutu dengan Allah karena memang itu merupakan hal yang mustahil. Antara manusia dengan Allah memiliki sifat yang sangat berbeda, tidak mungkin yang diciptakan bisa bergabung dengan Sang Maha Pencipta Yang Maha Suci lagi Maha Mulia. Karena itulah Allah mengutus Rasul, dengan Rasul lah kita bersekutu, menggabungkan diri rohani kita, lewat penggabungan itulah yang kemudian mengantarkan rohani sampai kehadirat Allah swt. Kalau dipahami secara mendalam hubungan ini bukanlah hubungan perantara akan tetapi hubungan Langsung.
Bagi yang sudah memiliki Guru Mursyid maka dia telah memulai perjalanan menuju kehadirat Allah swt dengan di temani oleh sahabat setia yang senantiasa menuntun dan membimbingnya dalam perjalanan yaitu Guru Mursyid. Guru Mursyid akan mengetahui dimana lembah, dimana tempat berbahaya, dimana gunung yang terjal sehingga murid selama dari bahaya selama dalam perjalanan.
Sangat keliru kalau ada yang menganggap bahwa Guru adalah perantara kepada Allah swt. Guru Mursyid adalah pembawa wasilah yang berasal dari Allah swt, dengan wasilah itulah kita bisa sampai kehadirat Allah swt. Wasilah itu bukan manusia, bukan Guru Mursyid, bukan pula Nabi, Wasilah adalah sesuatu yang berasal dari Allah yang telah ada sejak sebelumnya ada. Wasilah adalah Nur Ala Nurin, Nur Muhammad, Cahaya Allah yang dijelaskan dalam surat an-Nur ayat 35.
Wasilah adalah frekwensi atau gelombang Allah yang dengan kita menemukan frewensi tersebut maka kita akan bisa sampai kehadirat Allah swt. Ibarat menonton TV, ketika TV dihidupkan dan chanel atau frekwensinya tepat maka di layar televisi akan kita saksikan sesuatu yang ada diluar TV. Walaupun kita berada dalam rumah, maka lewat TV kita seolah-olah telah berada diseluruh dunia, bisa menyaksikan tempat-tempat yang jauh pada saat itu juga. Ini teknologi buatan manusia yang canggih, namun wasilah adalah teknologi Allah yang super canggih, dalam detik per detik rohani bisa tersambung kepada arwahul muqadasah Rasulullah dan otomatis akan tersambung kepada Allah swt.
Inilah warisan yang sangat berharga dari Rasulullah yang selama ini mulai dilupakan orang. Tarekat dianggap bid’ah bahkan tanpa rasa bersalah memasukkan ke dalam aliran sesat.
Karena ilmu yang terbatas, referensi hanya dari golongan yang tidak menyukai tarekat akhirnya sebagian orang yang tidak paham kemudian setuju memasukkan tarekat sebagai perbuatan bid’ah. Kemudian barulah muncul kebingungan ketika berhadapan dengan istilah Wajah Allah, Memandang Wajah Allah, Makrifat, kemudian mencari dalil-dalil untuk menghindari istila tersebut atau menggantikan dengan makna yang sama sekali berbeda.
Karena metode berhubungan Allah berupa Tarekatullah ini ditinggalkan, maka manusia menyembah Allah dalam kekosongan, hanya merasa yakin doa di dengar, merasa yakin dekat dengan Allah. Ketika metode ini tidak dipakai maka tanpa sadar yang kita sembah bukan Allah melainkan ka’bah atau dinding di depan kita atau sajadah.
Ketika metode ini ditinggalkan maka putuslah hubungan manusia dengan Allah, putuslah Tali yang bersambung dengan Allah sehingga manusia menyembah dalam kekosongan. Semua kita setuju bahwa di dalam ibadah kita tidak sekali-kali menyembah ka’bah tapi menyembah Allah, pertanyaan sederhana Allah yang mana yang kita sembah? Nama Allah yang berupa tulisan, Allah yang kita dengarkan nama-Nya atau?
Pertanyaan ini harus bisa terjawab dengan tuntas, karena setiap nama memiliki sosok dibalik nama, begitu juga dengan Allah.
Semoga tulisan ini bermanfaat hendaknya, amin ya Rabbal ‘Alamin
( Tamat ) 
sumber tulisan: http://sufimuda.net/
gambar oleh: bagindaery.blogspot.com


 





 
23.17 | 0 komentar | Read More

Kupas Habis Tentang Pakaian (VERSI LENGKAP 1 - 3)

http://ww1.prweb.com/prfiles/2012/11/08/10104970/Clothing%20Black%20Friday%20Cyber%20Monday%202012%20Deals.jpg
Lebih kurang 8 tahun yang lalu, di bandara saya berjumpa dengan sahabat lama yang sudah lama tidak berjumpa. Dia pernah berguru kepada Guru saya walau tidak begitu aktif karena sebelumnya beliau sudah menekuni tarekat di tempat lain dan kabarnya sudah mendapat izin untuk membawa tawajuh, sebuah kedudukan yang terhormat di dalam tarekat. Dari dulu saya mengenalnya dengan pakaiannya yang khas, memakai jubah dan serban. Jarang saya jumpai orang yang begitu istiqamah dengan pakaian jubah dan surbannya sehingga dalam pandangan saya itu sudah seperti pakaian dinas bagi seorang prajurit militer. Bukan hanya ketika beribadah, dalam keseharian, menjalani profesi sebagai pedagang di pasar pun, jubah dan surban tidak pernah ditinggalkan.

Satu sisi saya kagum dengan sikapnya, dalam usia muda tanpa ragu memilih pakaian yang menurut dia mengikuti sunnah Rasul, tidak tergoda dengan pakaian-pakaian terkini yang lazim dipakai orang. Naik sepeda motor pun jubah dan serban tetap dipakai dan dia menolak untuk memakai helm yang menurutnya tidak sesuai dengan sunnah Rasul, dan polisi pun sepertinya sudah maklum karena setiap lewat depan polisi tidak pernah di berhentikan.

Di bandara saya melihat dia dengan kawan-kawan nya yang sama-sama memakai jubah dan surban, usia mereka sekitar 40-50 tahun dan kemudian saya tahu bahwa sahabat saya itu sudah menjadi pengurus salah satu ormas yang fokus kepada Nahi Munkar. Saya memakai pakaian biasa, celana jean dan baju kaos, layaknya anak muda, dengan agak sedikit ragu menghampiri dia. Dengan senyum dan rasa gembira dia berdiri menyambut saya dan memberikan tempat disampingnya. Saya berbincang dengan dia dalam suasana akrab sama seperti dulu ketika sering berjumpa di surau setiap malam selasa dan malam jum’at.

Dia memperkenalkan saya kepada teman-temanya, “Ini sahabat saya, walaupun pakaiannya seperti preman, tapi hatinya mulia, walaupun muda, dia ini orang yang paling mendalam pemahaman tentang hakikat, saya banyak belajar dari dia” sambil menepuk bahu saya. Saya merasa kurang nyaman diperkenalkan seperti itu, apalagi berada di antara orang-orang yang berbeda dengan saya. Tidak nyaman bukan karena pakaian saya disebut pakaian preman, tapi karena dia memperkenalkan saya sebagai orang yang ahli agama, sedangkan pakaian saya tidak seperti yang mereka harapkan sebagai orang yang ahli agama. Saya kemudian mohon izin kepada dia karena kebetulan jadwal penerbangan saya 1 jam lebih cepat dari penerbangan dia. Walaupun sudah 8 tahun tidak bertemu sejak pertemuan terakhir di bandara, saya tetap teringat dengan sahabat saya yang memakai jubah serta serban tersebut.

Ingatan kepada sahabat yang memakai jubah dan surban itu muncul ketika saya membaca sebuah buku yang baru saya beli 3 hari yang lalu berjudul “Bukan Bid’ah, Menimbang Jalan Pikiran Orang-orang Yang Bersikap Keras Dalam Beragama” terjemahan dari bahsaa Arab, judul aslinya “Al-Mutasyaddidun: Manhajum… wa Munaqasyad Ahamm Qadhayahum” karya Prof. Dr. Ali Jum’ah.

Karya Prof. Dr. Ali Jum’ah bagus untuk dijadikan rujukan ditengah kebingungan sebagian orang tentang pakaian Islami. Akhir-akhir ini banyak aturan aneh tentang pakaian khusus untuk daerah yang menerapkan syariat Islam, misalnya perempuan hanya boleh menggunakan rok tidak boleh menggunakan celana, perempuan tidak boleh duduk mengangkang di atas sepeda motor dan terakhir perempuan di larang menari walaupun dengan pakaian sopan sekalipun. Aturan-aturan yang dibuat dengan semangat beragama yang tinggi sementara ilmu agamanya rendah menimbulkan keresahan dalam masyarakat.

Islam awal munculnya adalah agama yang membebaskan manusia dari keterikatan dan tekanan. Perempuan di zaman jahiliyah tidak mendapat hak sama sekali, kemudian Islam memberikan hak-hak kepada perempuan, sampai kepada hak menerima warisan, hal yang tidak pernah ada di zaman itu. Seiring berjalannya waktu, pemahaman Islam dari kaum ekstrimis di Arab Saudi di adopsi mentah-mentah oleh ummat Islam di beberapa tempat di seluruh dunia, kemudian lahirlah benturan-benturan di dalam masyarakat. Islam yang dianut oleh kelompok ekstrimis bukan lagi sebagai agama pembebas tapi justru menjadi agama yang mengekang. Islam disebarkan oleh pendahulu kita yang memahami agama bukan hanya tekstual, lebih jauh mereka sangat memahami hakikat dari ruh Islam. Para Ulama, Wali Songo dan pendakwah lain bisa memasukkan unsur Islam ke dalam budaya masyarakat yang sudah ada sehingga tidak terjadi benturan. Islam di terima dengan begitu indah, hal yang tidak ada dalam pemahaman kaum ekstrimis.

Mengambil mentah-mentah budaya Arab yang diyakini sebagian orang terutama kelompok ekstrim sebagai budaya Islam tanpa mau mengkaji lebih dalam hal yang cocok dan tidak cocok dengan budaya kita akan menimbulkan benturan di dalam masyarakat kita. Tentang pakaian, berikut saya kutip karya dari Prof. Dr. Ali Jum’ah :

Orang-orang yang bersikap ekstremis dalam beragama selalu berusaha untuk berpenampilan khusus, sehingga bisa dikenali begitu dilihat oleh orang lain. Mereka bersikeras mengenakan pakaian yang berbeda dengan yang biasa dipakai oleh umumnya kaum muslimin pada zaman ini. Mereka mengenakan pakaian yang mewakili masa lalu dan adat istiadat kelompok masyarakat lain, dan menyangka bahwa dengan berbuat seperti itu, telah mendekatkan diri kepada Allah.

Tentang pakaian, Allah swt telah berfirman dalam kitab suci-Nya :

“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf, 31).

Firman ini bersifat umum, yang ditujukan kepada seluruh anak cucu Adam, sehingga mencakup laki-laki dan perempuan, Muslim dan non-Muslim. Semuanya diperintahkan untuk berhias. Yakni mengenakan pakaian untuk menutup aurat dan hiasan di setiap tempat pertemuan seperti mesjid, sekolah, universitas, tempat kerja dan lain sebagainya.

Di sisi lain, ayat suci ini telah menetapkan sebuah prinsip dasar reformasi agama dan sosial. Hal ini tampak dari apa yang disebutkan oleh ahli tafsir tentang sebab nuzul ayat ini, yaitu bahwasanya orang Arab dulu biasa berthawaf di sekeliling Ka’bah tanpa busana, baik laki-laki maupun perempuan. Keadaan seperti ini, bahkan tidak terbatas pada masyarakat Arab saja, tetapi juga berlaku di banyak bangsa di muka bumi, di mana sisanya masih bisa disaksikan hingga kini, yaitu di negara-negara yang belum tersentuh dakwah Islam.

Namun yang perlu diperhatikan, ayat tersebut tidak menentukan jenis dan bentuk pakaian, karena Islam memang memberikan prinsip-prinsip dasar yang sesuai dengan setiap waktu dan tempat. Jadi, perintah umum itu adalah untuk memakai hiasan di setiap pertemuan dengan orang lain sesuai dengan kemampuan, serta sejalan dengan kecenderungan zaman dan kebiasaan masyarakatnya. Oleh karena itu, Rasulullah saw tidak memiliki pakaian khusus yang selalu dikenakan, juga tidak memilih model tertentu, sehingga tidak menyulitkan ummat yang harus diteladaninya.



Bagian 2:

Sehubungan dengan ini, kitab-kitab hadis telah meriwayatkan bahwa suatu ketika beliau (Nabi) mengenakan pakaian sempit dan pada kesempatan lain memakai pakaian longgar. Demikian juga dengan para sahabat dan tabi’in. Tidak pernah dalam riwayat bahwa Nabi saw, serta para sahabat dan tabi’in, baik laki-laki maupun perempuan memilik pakaian dengan model atau bentuk tertentu.

Agama tidak menjelaskan bentuk dan potongan pakaian serta caranya menutupi tubuh, karena dianggap salah satu urusan dunia yang diketahui berdasarkan kebutuhan, pengalaman dan adat istiadat. Pada suatu hari, Imam Ahmad bin Hanbal melihat seseorang mengenakan pakaian bergaris-garis putih hitam, maka mengatakan, “Tinggalkan ini dan ganti dengan pakaian warga daerahmu.” Kemudian lanjutnya, “Ini bukan kerena haram. Seandainya kamu sedang berada di Mekkah atau Madinah, maka aku tidak akan mempermasalahkan.”

Apa yang disepakati oleh masyarakat terkait dengan jenis pakaian dan bentuk pakaian, selama masih dalam cakupan kaidah umum pakaian syariat, yakni : (Tidak menggambarkan bentuk tubuh, tidak tembus pandang, dan tidak menyingkap) serta tidak termasuk pakaian syuhrah (Kemasyuran; mengundang perhatian) maka hukumnya boleh.

Berusaha mengenakan model pakaian yang sesuai dengan zaman termasuk tatakrama asal bukan dosa, sedangkan berusaha untuk berpakaian beda termasuk salah satu jenis syuhrah  dan memisahkan diri.

Ada sejumlah hadis yang mencela pakaian syuhrah, yaitu yang diriwayatkan dari Ibnu Umar dari Nabi saw bahwasanya Beliau bersabda :

“Barangsiapa mengenakan baju syuhrah di dunia, Allah akan memakai baju kehinaan kepadanya pada hari Kiamat”.

Juga dalam riwayat lain dari Ibnu Umar juga, Nabi saw bersabda :

“Barangsiapa mengenakan baju syuhrah di dunia, Allah akan memakaikan baju kehinaan kepadanya pada hari Kiamat, kemudian dikobarkan padanya”.

Dan dari Abu Dzar, Nabi saw bersabda :

“Barangsiapa mengenakan baju syuhrah Allah akan berpaling darinya hingga menanggalkannya ketika dia menanggalkannya”.

Hadis-hadis ini menunjukkan keharaman mengenakan pakaian syuhrah, namun tidak menentukan jenis pakaian tertentu, tetapi bisa terjadi dengan dikenakannya pakaian yang berbeda dengan yang biasa dipakai oleh masyarakat sehingga mendapatkan celaan karena menyalahi adat istiadat setempat yang berlaku.

Pendapat Prof. Dr. Ali Jum’ah tentang pakaian di atas menarik untuk direnungi dan saya teringat dengan sahabat yang memakai jubah dan surban, di setiap tempat dan waktu sehingga sudah menjadi seperti pakaian dinas. Bagi dia itu sudah merupakan bagian dari sunnah Nabi, tapi ada hal yang dilupakan bahwa Nabi sendiri menganjurkan untuk berpakaian menurut adat istiadat setempat sehingga tidak menyolok pandangan mata. Memakai pakaian yang berbeda dengan masyarakt setempat justru itu bagian dari  apa yang disebut Nabi sebagai pakaian syuhrah yang mendapat ancaman neraka dan Allah berpaling darinya.

Bagi masyarakat yang tinggal di tanah Arab, tentu saja jubah dan surban itu merupakan pakaian yang dianggap sesuai dengan adat istiadat setempat, tapi bagi kita di Indonesia maka pakaiannya adalah yang cocok dengan budaya Indonesia. Indonesia mempunyai kelembaban tinggi, berbeda dengan Arab yang mempunyai kelembaban rendah.

Tentang pakaian, Guru saya adalah teladan yang bisa dijadikan contoh. Beliau juga memakai jubah, tapi itu dilakukan hanya dalam hal-hal bersifat ibadah, di dalam Mesjid, dalam acara suluk/I’tikaf atau acara-acara khusus. Kalau berpergian, naik pesawat misalnya, Beliau menggunakan pakaian yang umum di pakai, menggunakan celana dan baju kemeja. Beliau selalu ingin tampil seperti masyarakat umum, tidak mau berpenampilan mencolok sehingga dianggap asing oleh orang lain.



bagian 3:

Tentang pakaian, perlu kita simak pendapat para ulama dahulu yang saya akan kutip dari karya Prof. Dr. Ali Jum’ah:

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw melarang dua Syuhrah; pakaian bagus yang menarik pandangan orang lain sehingga melihatnya di dalam dirinya, dan pakaian jelek atau lusuh sehingga membuat orang lain memandang dirinya dalam pakaian itu.

Asy-Syaukani mengatakan, “Jika sebuah pakaian dimaksudkan untuk mengundang perhatian dari orang lain, maka tidak ada bedanya antara pakaian bagus dan pakaian jelek, juga pakaian yang sejalan dengan adat istiadat setempat dan yang berbeda dengannya. Keharaman di sini berputar pada keinginan untuk mengundang perhatian, dan yang dijadikan pegangan adalah tujuan, meskipun tidak sesuai dengan kenyataan”.

Petunjuk Nabi saw dalam berpakaian adalah hendaknya seseorang mengenakan pakaian yang mudah di dapat dari pakaian warga daerahnya dan agar sejalan dengan adat istiadat setempat.

Imam Malik ketika ditanya mengenai pakaian wol tebal, dia menjawab, “Tidak ada kebaikan dalam mengundang perhatian orang lain (syuhrah). Aku berharap dia mengenakannya pada waktu-waktu tertentu dan meninggalkannya pada lain kesempatan. Aku tidak suka dia mengenakan terus-menerus sehingga menjadi terkenal dengan pakaian itu”.

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tuntunannuya dalam masalah itu (yakni keragaman berpakaian) menuntut seorang laki-laki untuk berpakaian dan makanan yang dimudahkan oleh Allah bagi daerahnya, sehingga akan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan daerahnya”.

Abu al-Walid al-Baji mengatakan, “Nabi saw tidak menyukai pakaian yang tidak lazim, pakaian yang membuat pemakaiannya terkenal karena jelek, dan pakaian yang membuat pemakainya terkenal karena bagus”.

Syekh Abdul Qadir al-Jaelani berkata, “Pakaian yang seharusnya dihindari adalah: setiap pakaian yang menjadikan pemakainya terkenal, seperti tidak sejalan dengan kebiasaan daerah atau warganya. Dari sini, seseorang harus memakai pakaian yang sama dengan yang mereka pakai, supaya tidak mengundang perhatian dan menjadi bahan ghibah. Bila ini terjadi, maka dia akan ikut menanggung dosa ghibah-nya”.

Ibnu Abd al-Barr mengatakan, “Abdullah bin Umar ra pernah berkata, ‘Barangsiapa memakai pakaian yang mengundang perhatian (syuhrah), Allah akan berpaling darinya meskipun dia seorang Wali.” Juga mengatakan, “Dikatakan,’Makanlah dari makanan yang kamu sukai dan kenakanlah pakaian yang disukai oleh masyarakat.”

Nabi Muhammad saw sendiri dulu biasa memakai serban, tongkat dan lain-lain yang lazim digunakan oleh masyarakat pada waktu itu. Serban, misalnya, tidak semua kelompok masyarakat memakainya, bentuknya pun berubah-ubah seiring dengan berjalannya waktu. Maka, memakainya adalah boleh selama tidak menyalahi adat kebiasaan setempat. Jika menyalahi maka akan termasuk dalam kategori pakaian yang mengundang perhatian (syuhrah), sehingga apabila ada seorang laki-laki yang memakai serban di tengah masyarakat yang tidak biasa memakainya maka akan menjadi pakaian yang mengundang perhatian (syuhrah), akan menjadi bahan omongan, dan tidak termasuk sunnah.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam mushannaf-nya dari Abbad bin al-Awwam dari al-Husain, bahwasanya dia mengatakan, “Zubaid al-Yami dulu bisa memakai burnus (jubah bertudung kepala), lalu aku mendengar Ibrahim mencelanya, maka aku katakanya kepadanya, ‘Dulu orang-orang biasa memakainya’. Kemudian katanya, ‘benar, tapi orang-orang yang bisa memakai itu sekarang sudah tidak ada lagi, dan apabila pada hari ini ada orang yang memakainya maka akan menjadi bahan perhatian orang-orang, dan akan ditunjuk dengan jari”.

Dari situ, apa yang dipegang oleh sebagian orang awam terkait dengan kebiasaan memakai pakaian yang berbeda dengan adat kebiasaan warga setempat, dengan anggapan bahwa itu adalah tuntunan agama yang wajib diikuti, adalah tidak boleh. Barangkali yang menyebabkan mereka terjerumus ke dalam kesalahan ini (mewajibkan orang lain untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya tidak wajib) adalah penggunaan istilah sunnah bukan pada tempatnya. Yakni mencampur adukkan antara penggunaaan istilah sunah di kalangan ahli hadis, ahli fiqih dan ahli ushul fiqih.

Menurut ahli ushul fiqih, sunnah adalah salah satu dasar hukum agama Islam yang menempati tingkatan kedua setelah al-Qur’an. Mereka mendefinisikannya dengan mengatakan, “Apa yang berasal dari Nabi saw selain al-Qur’an, baik berupa pekerjaan, perkataan maupun persetujuan”.

Sedangkan menurut ahli fiqih dalah lawan dari wajib, mubah dan lain sebagainya. Menurut mereka, sunah adalah hukum yang diambil dari dalil. Ia adalah pekerjaan yang apabila dilakukan akan mendatangkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak akan mendatangkan dosa. Maka sunah menurut ahli fiqih sinonim dengan: mandub, mustahabb, tathawwu’, tha’ah, nafl, qurbah, muraghghab fih fadhilah.

Adapun menurut ahli hadis, sunnah adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi saw berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat fisik dan mental, baik sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya.

Ahli hadis memperluas cakupan istilah sunnah. Mereka tidak membatasinya pada hukum agama saja. Mereka ingin menjelaskan bahwa Rasulullah saw adalah penuntun kita, sehingga semua yang diberitakan oleh Allah tentang beliau adalah teladan bagi kita semua. Dari sini, mereka meriwayatkan segala sesuatu yang berkaitan dengan beliau berupa sejarah hidup, akhlak, sifat fisik, perkataan dan perbuatan, baik yang menetapkan hukum agama maupun yang tidak.

Berbeda dengan ahli ushul fiqih yang menghimpun sunah sebatas yang bisa dijadikan landasan hukum agama saja. Jadi, orang-orang itu telah meletakkan istilah sunah yang digunakan oleh ahli hadis tentang paparan keadaan Nabi saw yang mencakup cara berpakaian, dan gaya hidup kesehariannya di tempat istilah sunah yang digunakan oleh ahli fiqih berupa perkerjaan yang apabila dilakukan akan mendatangkan pahala dan jika ditinggalkan tidak akan mendatangkan siksa.

Kesimpulannya, orang-orang yang bersikap keras dalam beragama itu, karena kurang memahami agama, menganggap adat istiadat kebiasaan yang disebut sunah oleh ahli hadist dan ahli biografi Nabi termasuk sunah menurut ahli fiqih yang berupa salah satu hukum syara’.

Berasarkan dalil-dalil dan perkataan-perkataan para ulama yang otoritatif seperti tersebut di atas, kami memandang bahwa seorang Muslim tidak selayaknya berpenampilan berbeda dari kebiasaan warga daerahnya dalam berpakaian, sepanjang pakaian yang lazim digunakan oleh warga daerahnya itu tidak menyalahi aturan agama.

Kesimpulan dari Prof. DR. Ali Jum’ah di atas kiranya sudah mewakili tulisan tentang pakaian yang saya bagi dalam 3 tulisan. “Pakaian Preman” yang disebut oleh sahabat saya ketika memperkenalkan saya kepada teman-temannya menujukkan dia belum membaca sepenuhnya pendapat para ulama tentang pakaian sehingga menganggap pakaian yang dikenakanya yang paling sesuai dengan sunah Nabi dan lupa satu hal bahwa menggunakan pakaian yang tidak sesuai dengan adat istiadat setempat justru tidak disukai oleh Allah dan Rasul-Nya.

Semoga tulisan ini bermanfaat, amin ya Rabbal ‘Alamin
( Tamat )

sumber tulisan : http://sufimuda.net/
gambar oleh: bagindaery.blogspot.com
23.11 | 0 komentar | Read More

(BUKU YANG DITULIS OLEH SEORANG PENULIS HEBAT,SUFI MUDA) BUKU : Perjalanan Sufimuda, Menemukan Tuhan Dalam Keseharian


Cover Buku PerjalananSyukur yang mendalam kepada Allah SWT atas hadirnya buku “Perjalanan Sufimuda, Menemukan Tuhan Dalam Keseharian”. Buku setebal 187 halaman yang diterbitkan oleh QM Publishing ini untuk memenuhi permintaan sebagian besar pembaca blog ini agar karya sufimuda bisa berwujud dalam bentuk buku. Menemukan Tuhan dalam Ibadah merupakan hal yang biasa tapi menemukan Tuhan dalam keseharian, dalam kesibukan kantor, ditengah pasar yang hiruk pikuk, di dalam mall dan disaat menghirup segelas kopi disebuah kafe adalah hal yang luar biasa. Bagaimana menemukan Tuhan dalam keseharian akan terjawab lewat buku yang akan resmi diterbitkan 1 Juli Menyambut Bulan Suci Ramadhan.
Buku ini cocok dibaca oleh semua kalangan bahkan untuk non muslim sekalipun karena hubungan manusia dengan Tuhan bersifat universal yang akan bisa dipahami oleh siapapun.
Tanggal Terbit,  Harga dan Cara Memperolehnya.
Buku ini resmi di terbitkan tanggal 1 Juli dengan harga Rp. 45.000 dan Tersedia diseluruh tokoh buku di seluruh Indonesia.
Pemesanan Awal (Pre Order)
Buku ini bisa dipesan lebih awal dengan harga sangat special hanya Rp. 30.000,-
Bagi yang memesan lebih cepat kami menawarkan 4 keuntungan :
  1. Harga Sangat Murah Hanya Rp. 30.000,-
  2. Pemesanan Minimal 10 buku harga hanya Rp. 25.000
  3. Mendapat Tanda Tangan Langsung Penulis (Sufimuda) beserta kata-kata hikmah yang ditulis oleh Sufimuda.
  4. Masuk Dalam Komunitas Khusus Sufimuda yang mendapat Kesempatan berjumpa langsung Dengan Penulis, Tanya Jawab dan Diskusi Yang Diadakan di Beberapa Kota di Indonesia. Info Pertemuan Akan Dikirim Melalui Ponsel.
4 Keuntungan ini hanya di dapat bagi yang pre-order sebelum tanggal 1 Juli 2013.
Silahkan Pesan Sekarang, SMS ke no 087869235777 dengan format :
NAMA#ALAMAT#JUMLAH PEMESANAN
Tuliskan Nama Lengkap, Alamat Buku dikirim, Jumlah Buku Yang di Pesan, nanti Kami akan mengirim Nomor Rekening beserta Jumlah uang yang harus di transfer setelah ditambah ongkos kirim.
HASIL PENJUALAN BUKU 100% AKAN DISUMBANGKAN KE YAYASAN SOSIAL.
Dengan Membeli Buku Ini Akan Membuat Anda Tercerahkan Sekaligus Menjadi Amal Anda.
sumber: http://sufimuda.net/2013/05/20/buku-perjalanan-sufimuda-menemukan-tuhan-dalam-keseharian/
22.53 | 0 komentar | Read More

Di Ingatkan Waktu Mati (Allah memberikan tanda-tanda kepada hamba-Nya yang shaleh tentang kematiannya sehingga hamba bisa mempersiapkan diri dan meninggal dalam kondisi yang baik)


http://gentarasa.files.wordpress.com/2011/01/ketenangan.jpg
Salah satu jaminan dari Allah bagi orang yang istiqamah mengamalkan dzikirullah adalah diingatkan ketika mati. Pengertian “diingatkan ketika mati” ini adalah Allah memberikan tanda-tanda kepada hamba-Nya yang shaleh tentang kematiannya sehingga hamba bisa mempersiapkan diri dan meninggal dalam kondisi yang baik. Hamba tidak meningggal di tempat maksiat atau tempat-tempat yang membuat dia hina dalam pandangan manusia.
Banyak cerita dikalangan pengamal tarekat tentang orang-orang atau ulama yang seolah-olah mengetahui saat kematiannya sehingga dia sempat menitipkan pesan dan petunjuk kepada orang-orang yang ditinggalkan. Bisa jadi ini merupakan feeling atau perasaan dari orang yang akan dipanggil oleh Tuhan, namun dalam beberapa kejadian ada yang menentukan waktu yang persis tentang kematiannya. Hal ini tidak mungkin terjadi kecuali Allah memberikan tanda-tanda kepadanya atau Allah membisikkan ke dalam hatinya akan kematiannya. Inilah salah satu jaminan dari Allah kepada orang-orang yang selalu istiqamah menjalankan Dzikirullah dan istiqamah beribadah kepada Allah swt.
Menarik kisah tentang kematian dari para sahabat Nabi, salah satunya Abu Bakar Shiddiq yang menolak untuk diobati karena Beliau mengetahui bahwa saatnya untuk kembali kepada Allah telah tiba.
Ketika Abu Bakar Shiddiq sakit dan terbaring, para sahabat menjenguk dan bertanya, “Apakah engkau menginginkan kami memanggil dokter untuk memeriksamu?” Abu Bakar menjawab, “Allah SWT telah memeriksaku dengan berkata, ‘Aku Maha Berkehendak atas apa yang Aku inginkan.’”
Salman al-Farisi masuk membesuk dan berkata, “Wahai Abu Bakar, Berwasiatlah kepada kami.” Abu Bakar berkata, “Allah swt telah membuka dunia ini bagi kalian, maka jangan lah kalian mengambil darinya kecuali hanya sekedar saja. Ketahuilah bahwa barangsiapa yang mendirikan shalat shubuh, maka ia akan berada dalam tanggungan Allah SWT. Oleh karena-Nya, janganlah engkau meremehkan tanggungan-Nya karena hal itu dapat menyebabkan wajahmu disiram api neraka.
Abu Bakar Shiddiq ketika menjelang wafat menolak untuk berobat dan diperiksa dokter karena Beliau telah mendapat tanda-tanda dari Allah akan ajalnya dan Beliau sempat memberikan wasiat kepada sahabat lain untuk menjadi pedoman bagi mereka. Kematian seperti inilah yang di dambakan oleh orang-orang beriman, semasa hidup memberikan manfaat disaat ajal menjelang ajal masih bisa memberikan nasehat kepada orang-orang yang dicintainya.
Kisah menarik lain tentang orang yang mengetahui akan kematiannya adalah kisah wafatnya Imam Ali bin Abi Thalib, Beliau mengetahui sebelum ajal menjemput. Al-Khandali berkata : Pada malam saat Imam Ali bin Abi Thalib akan ditikam, beliau didatangi Ibnu Tiyyah yang meminta izin untuk shalat Shubuh. Namun beliau tetap berbaring dan merasa sangat berat untuk melakukannya. Kemudian Ibnu Tiyyah kembali lagi untuk kedua kalinya dan Imam Ali tetap dalam kondisi seperti semula. Lalu Ibnu Tiyyah kembali lagi untuk ketiga kalinya, Imam Ali bangkit berdiri, lalu berjalan seraya berkata :
Kencangkan ikat pinggangmu menghadapi kematian
Karena kematian akan menjemputmu
Jangan cemas menghadapi kematian
Ketika ia telah datang menghampirimu.
Ketika Beliau baru sampai di pintu kecil, Ibnu Muljam menghampiri, lalu menikam dan memukulnya dengan keras. Ummu Kultsum, putri Imam Ali bin Abi Thalib, langsung keluar dan berkata, “Mengapa kejadiannya selalu pada waktu shubuh? Suamiku Amirul Mukminin (Umar bin Khattab) ditikam pada waktu subuh, kini bapakku juga ditikam waktu subuh.”
Seorang Syekh dari kaum Quraisy berkata, “Saat Ali di tikam oleh Ibnu Muljam, beliau berkata, ‘Demi Rabb Pemilik Ka’bah, aku sudah menang.”
Kita juga sering mendengar cerita serupa dalam kehidupan sehari-hari, baik itu ulama maupun orang biasa yang seolah-olah mengetahui akan kematiannya. Orang-orang seperti ini adalah termasuk kepada yang diberi jaminan oleh Allah atas Dzikir yang dilakukan secara istiqamah semasa dia hidup di dunia. Semoga kita termasuk salah seorang yang mendapat jaminan Allah SWT, Amin ya Rabbal ‘Alamin.
sumber tulisan : http://sufimuda.net/ 
gambar oleh: bagindaery.blogspot.com 

22.51 | 0 komentar | Read More

Rahasia Isi Kandungan Alquran : Aqidah, Ibadah, Akhlak, Hukum, Sejarah & Dorongan Untuk Berfikir – Garis Besar / Inti Sari Al-Quran

http://nursalimdotorg.files.wordpress.com/2012/04/al-quran11.jpg

Isi Kandungan Alquran

Isi Kandungan Alquran : Aqidah, Ibadah, Akhlak, Hukum, Sejarah & Dorongan Untuk Berfikir – Garis Besar / Inti Sari Al-Quran
Al-Quran adalah kitab suci agama islam untuk seluruh umat muslim di seluruh dunia dari awal diturunkan hingga waktu penghabisan spesies manusia di dunia baik di bumi maupun di luar angkasa akibat kiamat besar.
Di dalam surat-surat dan ayat-ayat alquran terkandung kandungan yang secara garis besar dapat kita bagi menjadi beberapa hal pokok atau hal utama beserta pengertian atau arti definisi dari masing-masing kandungan inti sarinya, yaitu sebagaimana berikut ini :
1. Aqidah / Akidah
Aqidah adalah ilmu yang mengajarkan manusia mengenai kepercayaan yang pasti wajib dimiliki oleh setiap orang di dunia. Alquran mengajarkan akidah tauhid kepada kita yaitu menanamkan keyakinan terhadap Allah SWT yang satu yang tidak pernah tidur dan tidak beranak-pinak. Percaya kepada Allah SWT adalah salah satu butir rukun iman yang pertama. Orang yang tidak percaya terhadap rukun iman disebut sebagai orang-orang kafir.
2. Ibadah
Ibadah adalah taat, tunduk, ikut atau nurut dari segi bahasa. Dari pengertian “fuqaha” ibadah adalah segala bentuk ketaatan yang dijalankan atau dkerjakan untuk mendapatkan ridho dari Allah SWT. Bentuk ibadah dasar dalam ajaran agama islam yakni seperti yang tercantum dalam lima butir rukum islam. Mengucapkan dua kalimah syahadat, sholat lima waktu, membayar zakat, puasa di bulan suci ramadhan dan beribadah pergi haji bagi yang telah mampu menjalankannya.
3. Akhlaq / Akhlak
Akhlak adalah perilaku yang dimiliki oleh manusia, baik akhlak yang terpuji atau akhlakul karimah maupun yang tercela atau akhlakul madzmumah. Allah SWT mengutus Nabi Muhammd SAW tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperbaiki akhlaq. Setiap manusia harus mengikuti apa yang diperintahkanNya dan menjauhi laranganNya.
4. Hukum-Hukum
Hukum yang ada di Al-quran adalah memberi suruhan atau perintah kepada orang yang beriman untuk mengadili dan memberikan penjatuhan hukuman hukum pada sesama manusia yang terbukti bersalah. Hukum dalam islam berdasarkan Alqur’an ada beberapa jenis atau macam seperti jinayat, mu’amalat, munakahat, faraidh dan jihad.
5. Peringatan / Tadzkir
Tadzkir atau peringatan adalah sesuatu yang memberi peringatan kepada manusia akan ancaman Allah SWT berupa siksa neraka atau waa’id. Tadzkir juga bisa berupa kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepadaNya dengan balasan berupa nikmat surga jannah atau waa’ad. Di samping itu ada pula gambaran yang menyenangkan di dalam alquran atau disebut juga targhib dan kebalikannya gambarang yang menakutkan dengan istilah lainnya tarhib.
6. Sejarah-Sejarah atau Kisah-Kisah
Sejarah atau kisah adalah cerita mengenai orang-orang yang terdahulu baik yang mendapatkan kejayaan akibat taat kepada Allah SWT serta ada juga yang mengalami kebinasaan akibat tidak taat atau ingkar terhadap Allah SWT. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari sebaiknya kita mengambil pelajaran yang baik-baik dari sejarah masa lalu atau dengan istilah lain ikibar.
7. Dorongan Untuk Berpikir
Di dalam al-qur’an banyak ayat-ayat yang mengulas suatu bahasan yang memerlukan pemikiran menusia untuk mendapatkan manfaat dan juga membuktikan kebenarannya, terutama mengenai alam semesta.
sumber: http://roelwie.wordpress.com/isi-kandungan-alquran/
22.44 | 0 komentar | Read More

BACA JUGA

DAFTAR LENGKAP ARTIKEL BLOG BAGINDAERY

Ikuti situs Bagindaery

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...