Oleh Zakiyuddin Baidhawy
Upaya Muhammadiyah untuk mempersatukan persepsi dalam rangka menciptakan Islam yang sejuk dan bernuansa kultural di negeri ini sangat positif. Upaya semacam ini membuat kelompok abangan menjadi tidak memiliki hambatan mental untuk belajar Islam. Singkatnya, dakwah kultural Muhammadiyah mengakui secara tulus pentingnya menghargai multikulturalisme, keunikan, dan kekhasan setiap lapisan masyarakat, termasuk mereka yang berada dalam kategori abangan.
Satu lagi kejumudan modernisme semakin memperoleh afirmasi,
dan kini diperlihatkan oleh sebuah gerakan Islam modernis bernama Muhammadiyah,
yang terjebak dalam perangkap imperialisme dan ideologi. Mentahbiskan diri
sebagai gerakan tajdid dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, Muhammadiyah seolah
seperti Portugis atau Spanyol, yang merasa mempunyai legitimasi mission
sacre dari Paus untuk menguasai belahan dunia Timur dan Barat. Kekuatan
imperialis yang memperoleh “mandat Tuhan” untuk melakukan hegemoni, kolonisasi,
dan penindasan demi keutuhan dan kemurnian Islam yang sebenar-benarnya.
Mendasarkan diri pada “kegagahan” kacamata kuda dari logika
positivistik yang hanya mengetahui satu sumber kebenaran, arus utama yang kini
mendominasi Muhammadiyah selalu memahami dan menempatkan realitas kehidupan
dalam dua sisi yang saling bertentangan secara diametral. Suatu pendekatan
oposisi biner yang membagi dunia dalam dua kutub plus minus, sekali dan
selamanya. Tidak lebih tidak kurang. Melalui pendekatan ini, Islam dan realitas
keber-islam-an mengalami simplifikasi ke dalam dua polar: yakni “Islam murni”
versus “bukan Islam murni”. Seluruh kualitas dan karakteristik yang disandarkan
pada dua polar tersebut mengikuti model oposisi biner.
Islam murni adalah satu-satunya paham keagamaan dan cara
beragama yang dipandang ortodoks (murni dan utuh), sementara lawannya adalah paham
dan cara yang telah terkontaminasi atau tercampuri unsur-unsur asing, dan
karenanya disebut heterodoks atau sinkretis. Bertolak dari klaim ortodoksi
itulah Islam murni memperoleh justifikasi dan legitimasi untuk melakukan
hegemoni. Hegemoni nampak pada proses pengarus-utamaan paham keagamaan tersebut
atas paham-paham yang bercorak lain atau keluar dari mainstream dalam
Muhammadiyah. Meskipun untuk keberhasilan upaya hegemoni ini ia harus
memanipulasi diri sebagai paham keagamaan tanpa mazhab, namun sesungguhnya
lebih menyandarkan diri pada paham keagamaan a la wahabi (sebagian menyebutnya
salafi) dengan daya dukung struktural untuk memberangus sang “lian” (the
other). Atas dasar kemurnian itu pula paham mainstream ini merasa berhak untuk
melakukan kolonisasi dan penindasan secara fisik dan atau psikis pada mereka
yang secara aqidah (thought), ibadah (action), maupun jamaah (fellowship)
tidak sejalan dengan MKCH (matan keyakinan dan cita-cita hidup), masa`il
al-khamsah (agama, dunia, ibadah, sabilillah, dan qiyas), muqaddimah
anggaran dasar, Himpunan Putusan Tarjih, dan sebagainya.
Sifat-sifat hegemonik-imperialistik Islam Murni tidak cukup
sampai di situ. Beberapa di antaranya dapat dilihat pada beban teologis yang
dipikul di pundaknya. Pandangan teologis yang berpijak pada misi suci ar-ruju
ila al-Qur’an wa as-Sunnah, membuat Muhammadiyah terbebani tanggung jawab
mempertahankan Islam Murni itu. Dengan basis Islam Murni ini pula, para
penganjurnya “menuduh”, mendiskreditkan “Muslim lain”, “Muhammadiyah lain”
yang tidak sepaham sebagai “heresy” yang dipenuhi takhayul, bid’ah dan khurafat
(TBC), dan karenanya dapat dianggap sesat (dhalalah). Sebuah klaim kebenaran
(truth-claim) yang pada akhirnya mesti diiringi dengan penilaian bahwa mereka
yang dhalalah itu akan dijerumuskan ke dalam dan distempel sebagai
penghuni neraka. Hanya Islam murni satu-satunya jalan yang menjamin keselamatan
(salvation-claim). Karena itu, para pendukungnya yang fanatik merasa
bertanggung jawab untuk menegakkan dan menjunjung tinggi Islam Murni, serta memandang
perlu untuk mengislamkan kembali dan atau memproselitisasi mereka yang
tersangka tidak islami, amoral, atau dalam kesesatan. Inilah yang secara
istilahi dapat disebut sebagai Islam Murni’s burden, tanggung jawab
“memperadabkan” individu maupun kelompok yang menyimpang dari jalan lurus
mereka.
Dari sini nampak bahwa ada “kegairahan” yang terus menyala
pada Islam murni untuk tetap dominan dan memegang supremasi terhadap mereka
yang marginal dan pheriperal. Adalah faktual bahwa para penganjur Islam
Murni melakukan diskriminasi atas nama paham dan praktek keagamaan. Islam
populer, Islam tradisi, Islam liberal, dan sebagainya, diposisikan pada level
bawah cara beragama, atau bahkan bid’ah yang merusak tatanan (kosmos) agama,
menurut kacamata Islam Murni. Dengan demikian, Islam Murni adalah satu-satunya
cara beragama yang benar dan karenanya lebih superior dibanding cara dan “jalan
lain ke sana” (baca: menuju keselamatan),
meminjam judul sinetron Chaerul Umam. Sebagaimana layaknya rezim kolonial,
Islam Murni juga menarik garis batas tegas antara “mereka” dan “kami”. Inilah
segregasi yang sengaja diciptakan melalui pendekatan dan istilah yang cukup
populer di kalangan mereka, yakni “minna” wa “minhum”. “Minna” adalah
representasi golongan kanan (ashab al-yamin), kelompok dengan klaim kebenaran
absolut; dan “minhum” sebagai wakil golongan kiri (ashab asy-syimal), kelompok
sekte/sempalan dan penuh kesesatan (ahl al-bid’ah wa adh-dhalalah). Beban
teologis semacam ini membawa pembenaran bagi mereka untuk “membabat secara arif”
kelompok-kelompok semacam itu di luar Islam Murni.
Di usianya yang satu abad, introspeksi adalah keniscayaan
yang tidak dapat ditawar-tawar. Boleh jadi, Muhammadiyah merasa semakin
beranjak dewasa, atau bisa juga sudah menjadi tua bangka dan “loyo” untuk terus
bertajdid (too old to be reformist). Ini semua berpulang para para penganutnya
yang setia. Yang jelas, setelah melalui perjalanan panjang sepuluh dasawarsa
itu, Muhammadiyah rupanya semakin mengkristalkan diri sebagai kekuatan
ideologis, yang dipahami dalam bahasa Karl Mannheim. Yakni ideologi lebih
dimaknai dan nampak sebagai battle cry atau arena propaganda. Organisasi yang
dibidani oleh Kyai Ahmad Dahlan ini, kini menyatakan perang dan melakukan
propaganda (iman) yang berusaha membentuk opini tentang isu-isu tertentu yang
boleh dan tidak boleh diperdebatkan, absah dan tidak absah untuk dikritik dan
diubah. Atas nama misi suci ar-ruju` ila al-Qur’an wa as-Sunnah dan
slogan TBC, mereka dapat memobilisasi massa, membentuk opini publik, memolitisir
kekuasaan untuk “berjuang demi” atau “menentang terhadap”. Artinya, dengan
keyakinan mempertahankan, menegakkan dan menjunjung tinggi Islam murni, apapun
perlu dilakukan sembari mengenyahkan kekuatan-kekuatan yang dipersepsi sebagai
penghalang atau duri bagi tujuan luhur ini.
Nampaknya belum terbersit dalam pikiran dan nurani kelompok
pendukung ideologi Islam murni ini untuk mendudukkan ideologi lebih sebagai
masalah “partisipasi” (daripada dominasi atau manipulasi),
sebagaimana dipahami Gramsci dan Bakhtin. Dalam arti luas, ideologi lebih
merupakan persoalan “pandangan dunia” (worldview) daripada propaganda
partisan. Jadi, ideologi adalah sistem kepercayaan yang komprehensif yang
diikuti oleh berbagai kelompok sosial, dan dengan berbagai macam alasan.
Meminjam analisis tersebut, seyogyanya Muhammadiyah menempatkan diri sebagai
tenda besar bagi keragaman kelompok pendukung dan simpatisannya. Semua individu
dan kelompok memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam rangka
memberikan kontribusi untuk mendefinisikan “apa”, “siapa” dan “bagaimana”
menjadi Muhammadiyah. Bukan mempropagandakan paham arus utama yang disebut
Islam murni itu, dan meminggirkan mereka yang berbeda. Taruhlah misalnya, rezim
Islam murni merasa perlu menggusur kelompok berhaluan `irfani atas nama
ideologi Muhammadiyah yang dipahami secara sempit.
Wacana Dakwah Kultural yang berkembang dalam sidang Tanwir
Muhammadiyah di Bali pada 24-27 Januari 2002, merupakan lompatan ide yang patut
dihargai. Karena gagasan ini merupakan gejala awal lahirnya “ijtihad ketiga”.
Momentum ini dapat menjadi pendulum pemecah es kejumudan tergantung pada
bagaimana respon dan tindak lanjut dari pimpinan dan warga Muhammadiyah
sendiri.
Tanwir memahami dakwah kultural meliputi dua pintu utama –
konvensional dan komunikasi. Yang pertama menyampaikan ajaran Islam melalui
ceramah, khutbah, dialog interaktif dan kegiatan tabligh lainnya. Cara ini
sudah berlangsung lama dan masih terus digunakan sampai saat ini. Yang kedua
sebagai proses interaksi nilai dan saling mempengaruhi dalam rangka terjadinya
perubahan pemahaman, keimanan dan pengamalan Islam secara individual; dan
perubahan struktur dan norma kehidupan menuju masyarakat madani secara sosial.
Keberpihakan dakwah kultural adalah pada nilai-nilai universal
kemanusiaan, menerima kearifan dan kecerdasan lokal, dan mencegah kemunkaran
dengan memperhatikan keunikan sifat manusia secara individual dan sosial. Cara
dakwahnya “memudahkan” dan “menggembirakan” demi tegaknya nilai-nilai Islam
diberbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Upaya Muhammadiyah untuk mempersatukan persepsi dalam rangka
menciptakan Islam yang sejuk dan bernuansa kultural di negeri ini sangat
positif. Upaya semacam ini membuat kelompok abangan menjadi tidak memiliki hambatan
mental untuk belajar Islam. Singkatnya, dakwah kultural Muhammadiyah mengakui
secara tulus pentingnya menghargai multikulturalisme, keunikan, dan kekhasan
setiap lapisan masyarakat, termasuk mereka yang berada dalam kategori abangan.
Melampaui kebekuan dakwah purifikatif yang selama ini
dipandang sebagai ciri khas (idiokrasi dan idiolatri, meminjam Kuntowijoyo)
Muhammadiyah, yang ternyata mengalami benturan dan kebuntuan di sana sini, dakwah kultural merupakan visi baru agar
dakwah dalam arti seluas-luasnya semakin diapresiasi oleh semua kelompok dan
aliran. Perubahan orientasi dakwah agar menyentuh aspek-aspek multikultural dan
multireligi, melalui pendekatan kultural yang variatif dengan memandang
perubahan ruang dan waktu dan level sosial yang menjadi obyeknya. Sebelum
perubahan orientasi ini, sudah ada pergeseran besar lain, yakni pergeseran
dari “gerakan purifikasi” (ijtihad pertama) yang orientasi dakwahnya
mengembangkan isu takhayul, bid’ah, dan khurafat (TBC), ke gerakan redefinisi
TBC dalam kultus individu dan KKN. Gerakan yang terakhir inilah yang disebut
sebagai ijtihad kedua. Dakwah kultural merupakan upaya baru untuk menggeser
Muhammadiyah dari dari gerakan struktural yang terserap oleh negara, ke
gerakan kultural dengan semangat pluralisme dan multikulturalisme.
Memperhatikan pergeseran-pergeseran itu, dakwah kultural
sesungguhnya mempunyai kesinambungan (continuity) historis dengan perjalanan
dakwah yang hampir satu abad itu. Perubahannya (change) terletak pada cara
dakwah kultural memaknai kembali wacana dan gerakan TBC. Sesuai dengan namanya,
dakwah kultural hendak menyentuh persoalan-persoalan kebudayaan yang menjadi
kebutuhan dan tantangan kontemporer.
Serupa dengan dakwah purifikatif dan dakwah politik, dakwah
kultural juga berpijak pada slogan TBC, namun dengan pemaknaan yang sama sekali
berbeda dengan dua dakwah sebelumnya (lihat skema 1 dan skema 2). Penyandaran “kultural”
menekankan distingsi yang berpijak pada makna dan cakupan kebudayaan itu
sendiri yang meliputi sistem gagasan (ide), aktivitas dan fungsi, serta bentuk
atau materi. Dari sini dapat dipahami, dakwah kultural ingin melakukan
perubahan, perbaikan dan transformasi dalam cara berpikir, cara bertindak,
sekaligus bentuk dan materi kebudayaan.
Kata kunci dalam istilah “kultural” adalah inovasi dan
kreasi. Inilah yang dimaksud bid’ah dalam dakwah kultural. Sementara itu,
takhayyul yang selama ini dipahami sebagai “sesuatu yang tidak ada dalam
kenyataan” (Nyai Roro Kidul misalnya), dipahami oleh dakwah kultural sebagai
imajinasi, suatu kekuatan dan kemampuan khas manusia yang merupakan anugerah
alam dan anugerah Tuhan (a gift of nature and a gift of God). Menurut dakwah
kultural, berimajinasi bukan cermin kemalasan dan tidak produktif karena suka
“berkhayal”. Ini kekeliruan besar, karena imajinasi adalah anugerah yang
membuat manusia berbeda dari makhluk lain. Imajinasi itu sendiri
bertingkat-tingkat meliputi: imajinasi onerik, imajinasi estetik, imajinasi
kreatif, imajinasi abstraktif, dan imajinasi intuitif. Pada sisi ini, dakwah
kultural nampaknya merupakan penegasan pentingnya pendekatan `irfani (dalam
manhaj Tarjih 2000); pada saat yang sama dakwah kultural memperoleh dukungan
metodologis dari pendekatan `irfani, karena hanya dengan pendekatan inilah
realitas imajinatif dapat dipahami. Sayangnya, pendekatan `irfani selama ini
justeru menjadi kontradiksi dan penolakan dalam Muhammadiyah, dan karena itu
pula Majelis Tarjih belum dapat mentanfidzkannya.
Yang dimaksud dengan khurafat selama ini adalah bid’ah dalam
bidang aqidah. Ada sebagian penulis menyandarkan khurafat pada nama orang yang
memiliki “keahlian bercerita, membuat legenda dan berdongeng”, seperti dongeng
tentang kemampuan Syekh Abdul Qodir Jaelani yang dapat menangkap malaikat
Izrail dan meminta agar ruh manusia yang dibawanya dikembalikan ke jasadnya
atas permintaan seseorang. Dakwah kultural, memaknai khurafat sebagai
“kemampuan menciptakan makna” (meaning-making), menciptakan dan membangun citra
(image-making and building) dalam wilayah-wilayah kultural dan keberagamaan.
Jadi, berbeda dari dua model dakwah Muhammadiyah sebelumnya
yang anti- TBC, dakwah kultural adalah dakwah pro-TBC. Yakni: 1) dakwah yang
memanfaatkan dan membangkitkan kemampuan imajinatif (takhayyul) individu dan
masyarakat agar kehidupan semakin estetik (indah), holistik, simbolik (dalam
arti beradab), dan cerdas; 2) dakwah yang mendorong, memotivasi, dan
mengkondisikan individu dan masyarakat untuk mencipta (kreatif) dan menemukan
(inovatif) berbagai hal baru (bid’ah) baik dalam ide (pemikiran, wacana, teori
dalam Muhammadiyah, dan masyarakat), aktivitas (praksis, gerakan Muhammadiyah),
dan bentuk kebudayaan (amal-amal usaha Muhammadiyah); 3) serta dakwah yang
mengeksplorasi seluruh kemampuan untuk meredefinisi “mitos” (baca: cita-cita
sosial, meminjam istilah Mohammed Arkoun), mereproduksi, bahkan memproduksi
mitos baru (khurafat) untuk mambangun citra keberagamaan, keber-islam-an, dan
keber-muhammadiyah-an dalam rangka menuju masyarakat utama.
Penulis berharap, dakwah kultural menjadi semacam tenda
besar bagi bangsa karena mempertimbangkan dan menyantuni realitas masyarakat
Indonesia yang plural dan multikultural-multireligi dalam wacana dan gerakan
dakwah; tenda besar bagi ummat Islam karena mengusung semangat kebersamaan
antargolongan di kalangan internal ummat menuju tercapainya masyarakat madani;
dan tenda besar bagi Muhammadiyah sendiri karena Muhammadiyah terbuka bagi
warga dan simpatisannya yang hadir dengan banyak wajah, aliran dan
kecenderungan, bukan semata wajah purifikatif-anti-TBC dalam pengertian lama
(in the old meaning). Semoga.
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com