Oleh INDRA TRANGGONO
Infotainment telah muncul sebagai kekuatan hegemonik di jagat industri hiburan di televisi. Tidak banyak artis yang berani bersikap kritis bahkan melawannya karena takut tidak diekspose, dikucilkan, atau diboikot. Maklum, infotainment telanjur dianggap memiliki ”kesaktian” mediatik yang menjanjikan popularitas.
Bagi industri hiburan di televisi, semua hal bisa dijadikan ”barang dagangan”, termasuk persoalan personal para tokoh masyarakat (pesohor). Prinsipnya: orang terkenal selalu menjadi berita (name makes news). Bagi seorang artis populer, tidur mendengkur adalah berita. Bagi politisi kondang, sakit sariawan adalah berita. Meskipun sesungguhnya masyarakat tidak mendapatkan makna penting atas berita-berita tersebut. Industri hiburanlah yang memaksakan hal-hal remeh itu penting sebagai kebutuhan.
Terbukti kebutuhan dapat diciptakan dan dikondisikan melalui pencucian kesadaran yang intens dan kontinu. Siapa pun bisa meyakini bahwa ketela itu sebagai roti jika ada kekuatan dan kekuasaan yang melakukan pemaksaan. Sehingga pada akhirnya orang tidak lagi mampu membedakan antara ketela dan roti, antara yang bermutu tinggi dan yang rendah, antara yang esensial dan yang artifisial. Industri hiburan mampu menjadikan publik mengalami disidentifikasi atas realitas dan makna. Begitu pula dengan ”makhluk” bernama infotainment. Ia bisa mereduksi hal penting menjadi tidak penting dan hal tidak penting menjadi mahapenting.
Infotainment tanpa kriteria jurnalistik yang berbasis pada logika (pertimbangan kualitas dan kuantitas pemberitaan, kepentingan publik) dan etika (pantas dan tidak pantas, sopan dan tidak sopan) akan terjerumus pada jurnalisme gosip yang bombastis dan sarkastis. Jurnalisme gosip bekerja atas kepentingan subyektif (industri) bukan kepentingan obyektif (publik).
Industri hiburan cenderung mengutamakan keuntungan finansial tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip moral. Karena ia menganggap semua hal, termasuk manusia, adalah ”benda” yang harus dieksploitasi dan dijual. Untuk itu, jurnalisme gosip tidak beroperasi di arus utama dinamika publik, melainkan di ceruk-ceruk domestik tokoh. Problem personal menjadi targetnya: perselingkungan, perceraian, persoalan tubuh, penampilan, kehidupan seks, dan hal-hal tabu lainnya. ”Kamera dan pena infotainment sudah memasuki ruang-ruang privat. Sangat mengerikan,” keluh seorang artis.
Infotainment yang berideologi jurnalisme gosip meyakini bahwa hal-hal yang tabu sangat disukai publik. Ini klop dengan watak sebagian publik yang memiliki hobi untuk ngrasani, ngrumpi atau menggunjing orang, terutama terkait isu yang miring dan kelam. Tradisi ngrasani menjadi bukti bahwa sejatinya relasi antarmanusia itu tidak selalu sentosa dan harmonis, tapi juga rapuh. Dalam konteks ngrasani, kebaikan dan keberhasilan orang bukanlah berita yang layak dan sedap disantap. Yang dianggap berita panas adalah keburukan dan kelemahan orang lain. Dengan ngrasani, orang merasa ”katarsis”, padahal sesungguhnya yang terjadi adalah perawatan atas jiwa yang sakit. Dan infotainment yang berideologi gosip telah sukses menyuburkan jiwa sakit masyarakat.
Jika Luna Maya melawan, bisa jadi karena industri infotainment sudah kebangetan di dalam ”melucuti” wilayah pribadi orang. Persoalan dalam kasus Luna Maya versus wartawan infotainment sesungguhnya lebih condong ke moralitas daripada hukum formal. Penghinaan yang dituduhkan atas Luna Maya hanyalah akibat saja. Kasus Luna Maya semestinya menjadi pelajaran penting agar wartawan infotainment lebih elegan dan sopan dalam pemberitaan yang terkiat dengan persoalan pribadi orang sehingga terhindar dari tuduhan merampas hak asasi manusia.
Infotainment tidak perlu dilarang, melainkan dituntut melakukan perubahan ideologi pemberitaan yang mengutamakan kebenaran data dan fakta serta etika. Informasi bukan gosip, kebenaran realitas baik secara sosiologis maupun psikologis. Hiburan yang bergizi bukan hal-hal sensasional, bombastis dan sarkastis, melainkan kenyataan simbolik yang mampu memberikan pencerahan kepada publik.
Saatnya industri hiburan mengubah perangainya: memuliakan publik. Setiap jurnalis ditantang untuk membangun publik yang ideal: bermartabat dan toleran. Karena itu, mitos bahwa ”yang tidak bermutu pasti laku” harus diakhiri dengan pandangan baru: hanya yang bermutu yang laku.
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com