“Dunia nggak akan kiamat hanya karena kamu di bullying”
***
Mata Milly yang coklat menerawang jauh menembus kaca
jendela kelasnya. Beberapa kali ia melirik ke arah benda berdetak di
sudut kelas. Ternyata bukan hanya Milly yang bersikap seperti itu.
Hampir seluruh penghuni kelas! Bukan tanpa alasan mengapa mereka begitu
tak sabar menanti. Sebab, seharusnya sudah dua menit yang lalu
bel istirahat berkumandang, tapi sekarang mereka masih saja
berkutat dengan pelajaran matematika.
Benar saja, tiga detik setelah bel berdering nyaring. Hanya
dengan sekejap, setengah dari murid di kelas sudah tak berada di tempat
semula. Mereka semua sudah berhamburan menuju ke kantin, tempat
tujuan wisata paling populer saat istirahat di sekolah. Apalagi, hari
ini, ada promo spektakuler dari para penjual di kantin. Kebetulan,
ada promo beli satu gratis satu yang sangat menyedot antusiasme siswa.
Tak terkecuali Milly dan Pia yang notabene sedang dilanda
kelaparan, akibat pelajaran yang mengandalkan angka itu. Tak ada
salahnya kalau mereka turut berpartisipasi.
@@@
Dengan langkah yang tak kalah kalapnya dengan siswa yang lain,
Milly dan Pia berusaha mendapat antrean di kantin bu Imah. Kantin
inilah yang memelopori adanya event luar biasa itu. Beli spagheti
satu piring, bonus satu piring lagi. Dan kini, antrean panjang pun tak
bisa diantisipasi. Milly dan Pia pun jadi salah satu di antaranya. Kali
ini, persediaan bonus hanya sejumlah lima puluh piring saja. Jadi tak
heran kalau Milly dan Pia seperti orang kesetanan hari ini.
Tak terasa, yang awalnya Milly berada di antrean ke empat
puluh delapan, kini beralih jadi antrean ke dua. Tinggal selangkah lagi
ia berhak mendapatkan paket hemat dari kantin ini. Dengan segenap
kobaran semangatnya, Milly berusaha sabar menunggu hingga detik
terakhir. Itulah Milly, ia selalu berusaha dengan keras dan
bersungguh-sungguh mendapatkan apa yang ia inginkan.
Namun, tiba-tiba di saat hiruk pikuk keramaian kantin membuat
bising segala pelosok sekolah, muncul Andra dan beberapa temannya
yang mengikuti. Ya, ‘Andra’ merupakan sebuah kata yang tak asing lagi di
kalangan para murid. Terutama bagi anak populer. Semua mata
tertuju padanya meski pun tengah menikmati hidangan nikmat sekali pun.
Andra merasa ia merupakan anak paling populer dari segala anak yang
merasa dirinya populer. Setidaknya itu menurut Milly dan Pia yang
kurang peduli pada siswa seperti mereka.
“Permisi, Andra mau lewat. Mohon jangan mengganggu jalan,” seru Andra
dengan percaya diri. Beberapa murid yang sedang antre sontak tak bisa
berbuat apa-apa dan menyingkir begitu saja. Memberikan jalan pada raja
hutan, dalam artian pada kawasan sekolah tentunya. Sementara Milly yang
kebetulan sedang melamun jadi bingung sendiri melihat perubahan formasi
antrean yang mendadak. Pia pun juga sudah memberi jalan.
“Lho?” kata Milly dalam hati. “Pia sama yang lain kok…???”
“Woi, kamu ngapain masih berdiri di situ? Andra, murid
paling multitalented di sekolah ini mau lewat. Kamu nggak lihat?”
tanya Roby, teman Andra. Milly diam dan bahkan pura-pura tidak
mendengar. “Heh! Kamu!” ulang Roby teman gank Andra lebih sinis.
Milly menunjukkan reaksi yang sama.
“Udah jangan, biar aku aja yang urusin anak kayak gitu,” tukas Andra dengan yakinnya.
“Hei, kamu! Siapa ya? Aku lupa namamu…Lily, Bily, atau apalah itu,” ujar
Andra sarkastis. Milly yang merasa Andra sedang membicarakan dirinya
sontak menoleh.
“Milly. Bukan Lily atau Bily,” jawab Milly menegaskan. Rasanya Milly
muak juga melihat wajah sombong itu berdiri tepat di depan batang
hidungnya. Memang Milly dan Andra tidak satu kelas, tapi kelas mereka
bersebelahan. Andra kelas 8 B, sedangkan Milly 8A. Mereka berdua hampir
tak saling kenal, hanya kadang kala bertemu saja seperti saat mereka di
kantin seperti ini.
“Iya. Ya itu makdusku, eh maksudku,” kata Andra seraya berjoke ria
(Pak Makdus merupakan nama guru matematika di kelas). Tapi bagi Milly,
itu sama sekali tak berhasil membuatnya tertawa. “Eh, kamu jualan ya?”
tanya Andra dengan nada yang agak
merendahkan.
“Hah? Jualan? Jualan apa? Aku nggak pernah jualan kok,” jawabMilly bingung dan kurang yakin.
“Lha itu, lihat aja. Jerawat segudang kamu bawa ke mana-mana kayak orang
jualan. Emang mau dijual ya tuh jerawat?” celetuk Andra tanpa merasa
bersalah. Sesegera mungkin siswa lain menyorakinya. “Mungkin ada yang
tertarik untuk beli satu. Emang berapa harganya?” suasana semakin riuh.
Milly terperanjat kaget. Ucapan itu membuat Milly kaget sekaligus
malu. Ia kaget karena tak pernah mengira Andra akan mengatakan hal
sekejam itu padanya. Malu sebab, semua ini terjadi di tengah kerumunan
siswa. Sungguh, Milly tersentak bukan main, insiden yang baru
kalipertama ia alami. Ternyata benar rumor yang selama ini berhembus,
kalau Andra memang suka seenaknya sendiri. Dan kali ini Milly
benar-benar telah membuktikannya.
Milly diam dan sesekali melihat sekeliling. Gema suara tawa di
atas penderitaan orang lain itu seakan menyayat hatinya dan
membuatnya hancur seperti butiran pasir. Ia benar-benar malu saat ini.
Ia tak tahu harus berbuat apa di situasi seperti ini. Kalau saja semua
ini mimpi, pasti ia akan segera bangun dan segalanya akan baik-baik
saja. Tapi ini sama sekali bukan mimpi!
Milly hanya bisa menelan ludah. Ia tak mampu mengangkat
wajahnya, apalagi menatap Andra yang telah membuatnya malu setengah
mati! Tak terkecuali Pia, ia jadi ikut sedih melihat sahabatnya jadi
bahan pembicaraan.
“He! Maksud kalian apa sih? Normal kan kalau kita jerawatan di
umur segini! Justru kalian itu yang nggak normal, ngomong nggak pakai
hati dan otak!” Pia angkat bicara, meski pun Milly mencoba
mencegahnya. “Ckck…, setahuku ngomong itu pakai mulut, bukan pakai hati
atau otak,” celetuk Roby, tak mau kalah.
“Rob, kayaknya kita harus pergi deh. Jerawat nih anak, udah bikin aku
jadi nggak pengen makan. Jadi kenyang duluan!” ujar Andra pada Roby dan
beberapa temannya. Lantas, Andra, diikuti dengan teman-temannya pergi
begitu saja tanpa memedulikan Milly yang masih mematung. Milly tak
percaya, semua terjadi begitu cepat.
Tanpa disengaja, pelupuk mata Milly digenangi air mata. Tubuhnya
jadi gemetar saat membayangkan bagaimana rupa dirinya tadi. Hatinya
merasa pedih mengingat ucapan miris Andra tentang dirinya. Baginya semua
ini begitu menyakitkan.
“Milly, kamu nggak apa-apa?” Pia mengelus bahu Millly. Ia tak tahu
harus berbuat apa. Gerombolan Andra bubar sejak beberapa detik terakhir,
namun Milly masih berdiri di sana, membiarkan orang berlalu lalang di
dekatnya yang tengah dilanda kegetiran. Satu hal yang pasti, Milly tidak
mendapatkan spaghetti, yang didapatkannya kali ini sebuah luka sayatan
yang amat mendalam di hatinya.
“Milly, kamu nggak apa-apa?” ulang Pia. Milly menggeleng. Air matanya
seakan memaksa untuk keluar. Dan benar saja, Milly menangis, air
matanya begitu deras mengalir. Pia mengajak Milly untuk duduk di salah
satu bangku. Ia mencoba menghibur Milly dengan berbagai macam kata.
Namun nampaknya semua itu sia-sia belaka.
“Milly, kamu tahu gimana tabiatnya Andra kan?”
Milly sesenggukan. Ia bahkan sampai tak sanggup manjawab pertanyaan Pia. Lidahnya kelu.
“Kalau gitu mending kita ke kelas, dan jangan pikir tentang kejadian
ini. Anggap semua ini nggak pernah terjadi. Inget, dunia ini
nggak bakal kiamat hanya karena kita dibullying!” ujar Pia menyemangati.
@@@
Sepulang sekolah, Milly masih dihantui perkataan Andra. Tak
sedetik pun Milly mampu mengenyahkan ingatan kelam itu. Kini, ia merasa
bahwa hatinya sedang dipenjarakan. Entah mengapa ia jadi seperti
orang hilang yang terombang ambing di laut tanpa sebuah kepastian.
Milly seakan sudah tak ingin hidup.
Tak hanya sehari ini saja Milly didera frustasi dan
galau berkepanjangan karena ejekan Andra. Bahkan setiap hari, setiap
detak jantungnya berdegup ia masih bisa merasakan rasa benci pada
dirinya itu meluap. Bagaimana tidak, setiap hari semenjak insiden itu,
berapa pasang mata menatapnya aneh. Milly seakan memiliki pandangan
baru tentang dirinya, bahwa dia, Milly yang sekarang hanya sebutir
debu yang kotor dan jelek. Membuat orang muak memandangnya.
Kini Milly berubah. Milly yang dulu periang meskipun seorang kutu
buku jadi pendiam. Milly yang selalu bersikap manis kepada siapa saja,
kini selalu murung, berusaha menghindar ketika bertemu dengan orang.
Semua karena gara-gara jerawat yang bertengger di wajah manis Milly
dan telah dijadikan bahan ejekan Andra!
@@@
Sebuah mobil sedan berhenti tepat di depan Milly yang sedang
murung, matanya pun terlihat sembab. Tanpa ragu-ragu, Milly masuk ke
dalam mobil tersebut, yang tidak lain mobil mamanya. Berselang lima
menit semenjak keheningan di dalam mobil itu pekat memenuhi udara, mama
angkat bicara.
“Milly, kamu kenapa? Kok beberapa hari ini diam. Mama lihat
sekarang Milly selalu murung dan lebih banyak diam. Tidak seperti anak
mama biasanya?”
Tak satu pun kata terlontar dari bibir Milly. Ia diam seribu
bahasa. Tiba-tiba Milly kembali teringat kata-kata yang keluar dari
mulut harimau Andra. Ia pun kembali merasakan kepedihan. Milly
menangis. Mama yang baru menyadari kalau Milly menangis, lantas bertanya
dengan paniknya, “Milly, kamu kenapa Nak?!” mama spontan
memperlambat laju mobilnya.
“Ma, Milly mau perawatan kulit wajah! Milly malu sama jerawat
Milly ini!,” seru Milly masih sambil menangis. Ia to the point kali ini.
“Apa?!” kini bahkan mama memberhentikan laju mobilnya dan menepi.
“Apa maksud kamu, sayang?” lanjut mama.
“Milly malu, Ma. Banyak anak yang ejek Milly cuma karena jerawat ini,”
Milly menunjuk jerawat di pipi kanan-kiri Milly. Memang, ada
beberapa bintik yang bertengger di sana.
“Milly, kenapa harus malu, Nak? Bukannya normal kalau jerawat muncul di umur seperti kamu ini?” jelas mama. Lagi pula, jerawat
kamu itu, juga nggak mengurangi kecantikan alami kamu, Nak.”
“Tapi nggak ada yang punya jerawat sebanyak Milly, Ma. Milly malu,
karena jerawat ini bikin Milly jadi jelek,” tangis Milly semakin pecah. Wajahnya bahkan merah karena ia sedang naik darah.
Mama sebenarnya sudah tahu hal yang membuat Milly berubah beberapa hari
ini. Pia menceritakan kejadian di kantin ketika mama Milly dua hari yang
lalu meneleponnya bertanya tentang perubahan Milly. Jadi sebenarnya
mama Milly sudah punya rencana di benaknya untuk menyadarkan Milly.
“Oke, kalau gitu,” mama memutar balik mobilnya. Beliau justru menuju
jalur yang lain. Yang entah ke mana arah dan tujuannya. Tangis Milly
sedikit mereda. Ia pikir mama akan mengajaknya ke tempat perawatan
kulit. Tapi ia merasa heran, tak mungkin mama akan mengabulkan
permohonannya secepat ini. Milly tetap diam dan berharap semua itu
terjadi. Dalam diamnya, ia tentu berdoa.
@@@
Milly dan mama sampai di depan sebuah bangunan tua yang
beberapa catnya sudah mengelupas. Di depan pagar bangunan tersebut,
terdapat sebuah plakat dengan isi ‘YAYASAN ANAK INDONESIA’. Milly
bingung, mau apa mama mengajaknya ke sini? Tapi ia lagi-lagi hanya
bisa bungkam.
“Milly, ayo masuk,” ajak mama.
“Ta..tapi..,” sergah Milly. Mama bersikap tak acuh pada perkataan Milly.
Mama tetap melangkahkan kakinya menuju ke sebuah ruangan. Setelah
beberapa menit menunggu di depan ruangan, muncul seorang wanita
berjilbab yang mempersilakan mereka masuk. Wanita itu terlihat ramah dan
bersahabat. Mama dan wanita berjilbab berjalan berdampingan, sedang
Milly berjalan di belakang mereka dengan tatapan asing pada lingkungan
tersebut. Apalagi saat Milly melihat sekelompok anak berumur sekitar
8-14 tahun yang tengah bermain bersama. Juga saat ia melihat seorang
gadis remaja duduk di atas kursi roda yang sebagian besar wajahnya
tertutup perban.
“Nah, Milly sekarang salaman dengan Bu Ratna. Beliau merupakan kepala
yayasan sekaligus pengurus tempat ini,” kata mama mengagetkan lamunan
Milly.
Milly menjabat tangan Bu Ratna dengan senyum yang sedikit
dipaksakan karena ia masih bingung. Seperti mengerti kebingungan Milly,
Bu Ratna berkata pada Milly, “Wah cantik sekali kamu. Mmmhh, pasti
kamu bingung, tempat apa ini? Dan mengapa anak-anak itu ada disini?
Iya kan?” tanya Bu Ratna seraya mengedarkan pandangannya ke arah
yang beliau maksud. Milly mengangguk dengan tak yakin.
Bu Ratna tertawa pelan dan mulai melanjutkan perkataanya,
“Begini, sebenarnya saya ingin memperkenalkan kamu dengan semua
anak-anak yang tinggal di sini. Tapi ada satu anak yang bagi saya sangat
luar biasa.”
Milly tidak mengerti dengan ucapan Bu Ratna. Hingga akhrinya Bu Ratna mengajaknya ke suatu tempat.
“Milly, ayo ikut saya. Saya akan memperkenalkan kamu dengan seorang anak.”
Milly menatap mamanya. Mama memberi kode agar Milly mau ikut dengan Bu Ratna. Dan mau tak mau, Milly harus melakukannya.
“Nah, Milly. Ada beberapa hal yang ingin saya katakan. Tapi sebelumnya
saya ingin minta maaf,” ujar Bu Ratna sesaat setelah mereka mulai jauh
dari tempat mama berdiri.
“Iya, silahkan. Apa yang ingin Bu Ratna katakan?”
“Saya sudah mendengar semua hal tentang Milly dari Mama. Saya
tahu bagaimana perasaan kamu jika saya ada di posisi itu. Tapi saya
pasti akan bersikap lebih rasional lagi, dan akan berusaha membendung
emosi. Bukan maksud saya menggurui. Tapi, sungguh saya memang pernah
menjadi korban bullying juga,” Bu Ratna berhenti sejenak, suaranya
jadi melemah. “Tapi, mereka semua telah membuka mata hati dan
pikiran saya akan arti kehidupan,” senyum Bu Ratna mengembang.
Beliau menunjuk ke arah kerumunan anak didiknya. “Ya, saya belajar
banyak hal dari mereka. Termasuk bagaimana cara menerima diri sendiri
apa adanya.”
Milly mengerutkan kening. Bingung.
“Milly kenalkan, ini Bilqis. Dia baru berumur empat belas tahun.
Ia merupakan korban kekerasan,” Bu Ratna memperkenalkan. Nampak
seorang gadis remaja berumur belasan, yang sebagian besar wajahnya
tertutup perban, kecuali mata, hidung, dan bibir.
“Korban kekerasan?” tanya Milly.
“Ayahnya, menyiram wajah Bilqis dengan air panas. Dan itu membuat wajah
Bilqis melepuh. Bahkan ia sudah divonis akan menderita cacat wajah
seumur hidup. Bilqis kini juga jadi tuli, penglihatannya juga sudah agak
buram. Tapi, semua ini tidak membuat Bilqis patah semangat. Sudah
beberapa kali ini, ia memenangkan kontes menggambar. Dan itu membuat dia
jadi lebih bersemangat. Kamu tahu, cita-cita Bilqis dulu adalah menjadi
model majalah, tapi semua itu pupus begitu saja. Tapi ia tidak
menyesal, katanya, dengan begini, ia akan selalu belajar untuk
bersyukur.”
Tanpa disengaja air mata Milly turun di sela pipinya
setelah mendengar penjelasan singkat dari Bu Ratna. Ia merasa sangat
berdosa, pada dirinya dan Bilqis. Setidaknya sekarang ia mengerti
mengapa mama mengajaknya ke sini. Tidak lain dan tidak bukan, karena
mama hanya ingin Milly menghadapi suatu masalah dengan sikap yang
dingin, bukan dengan menjerit dan menangis.
“Milly, ini,” Bu Ratna menjulurkan tangannya. Beliau memberikan foto
Bilqis sewaktu ia masih berumur dua belas tahun, saat ia mengikuti
sebuah kontes fashion show. “Bagaimana? Cantik bukan?” tanya Bu Ratna.
Milly tercekat. Lagi-lagi hatinya serasa ditimpa oleh palu
martil, sakit. Betapa bodohnya ia selama ini. Setidaknya Milly masih
bisa melihat wajah cantiknya setiap kali bercermin, sedangkan
Bilqis? Sungguh, semua ini membuat Milly tersadar akan arti
bersyukur. “Milly, selama kita masih diberi kesempatan untuk menikmati
nikmat yang telah Tuhan berikan, jangan pernah menyiakannya. Justru
dengan kekurangan yang mungkin kamu miliki saat ini, suatu saat kamu
akan belajar dari segala kesalahan itu,” Bu Ratna tersenyum kecil.
Milly pun ikut membalasnya, yang pasti dengan senyum yang lebih tulus
dari tadi. Milly dan Bilqis pun berbicara menggunakan penerjemah, yaitu
Bu Ratna. Hingga Milly pun terkesima melihat keagungan hati
seorang Bilqis. Ya, sekali lagi, setidaknya Milly bersyukur sebab masih
bisa melihat pantulan wajahnya di cermin. Tidak seperti Bilqis, mau
pun orang lain yang lebih kurang beruntung darinya.
@@@
‘Lima tahun kemudian…
“Ndra, kayaknya kamu harus perawatan wajah,” ujar Roby. Mereka berdua sedang berada di dalam sebuah kamar kos. Mereka berdua
sama-sama kuliah di sebuah universitas di kota Surabaya. Dan kebetulan,
lusa, mereka harus berubah jadi wartawan dadakan guna menyelesaikan
tugasnya. Narasumber mereka ialah seorang model sekaligus redaktur
sebuah majalah mode terkenal. Mereka harus melakukan wawancara seputar
fashion yang mencakup segala trend atau style tahun ini. Malu juga kalau
nanti lihat para model yang mayoritas perfect semua.
“Iya, gara-gara tugas ini, aku jadi stres jerawatku jadi makin banyak,” jawab Andra mencoba mencari alasan.
“Ndra, jerawat kamu itu bahkan udah overload. Aku jadi inget sama anak
yang pernah kamu olokin dulu Ndra,” Roby mengingat-ingat sesuatu. Semua
itu begitu saja melintas di benaknya.
“Siapa?”
“Milly.”
“Hah? Maksud kamu?”
“Ya, mungkin kamu kena karmanya,” jawab Roby sekenanya.
“Haha..,” Andra tertawa getir. “Nggak lucu, Bro.”
@@@
Andra dan Roby berdua datang ke kantor sebuah majalah
fashion terkenal. Mereka memang membuat kesepakatan untuk melakukan
wawancara di sana, di kantor narasumber. Sang model sudah
menyatakan kesanggupannya via telepon kemarin.
Saat ini, mereka sedang berada di ruang tunggu. Kata resepsionis, Miss
Ara, sang model sekaligus redaktur majalah masih meeting jadi mau tak
mau mereka harus menunggu. Sambil menunggu, Andra merasa ingin ke kamar
mandi. Hingga akhirnya ia pun pergi ke kamar mandi tanpa ditemani Roby
tentunya.
Di tengah jalan, karena Andra benar-benar ingin segera sampai ke kamar mandi, ia pun memutuskan untuk berjalan cepat. Tapi siapa
sangka, di waktu yang bersamaan, seorang wanita tinggi semampai, berwajah cantik putih bersih, berhidung mancung berjalan dengan
langkah yang cepat, menuju arah yang berlawanan dengan Andra.
Dengan waktu yang tak lebih dari dua detik, di pertigaan lorong
tersebut, Andra bertabrakan dengan wanita tinggi semampai itu. Kedua
jatuh tersungkur.
Andra yang baru menyadari bahwa ia baru saja menabrak seseorang, lantas meminta maaf. Saking takutnya, ia sama sekali tak berani
melihat wajah orang yang ditabraknya. “Maaf, maaf, saya benar-benar
tidak sengaja. Tolong maafkan saya,” pinta Andra. “Saya benar-benar
tidak sengaja.” “Iya, saya sudah memaafkan anda, bahkan jauh sebelum
anda meminta maaf,” ujar wanita itu sambil berdiri, dan membersihkan
roknya. Andra senang mendengar jawaban tersebut. Ia pun mendongakkan
wajahnya dan tercengang melihat sosok wanita di depannya, “kamu??”
Nada bertanya Andra kaget dan terkejut tak terhingga. Sosok cantik
di hadapan Andra hanya tersenyum..menggangguk..dan berlalu
dari hadapannya. Andra tercengang dan kelihatan shock. Ia pun
berjalan pelan menuju ke tempat Roby menunggu…dengan muka…pucat pasi!
@@@
Sesampainya di ruang tunggu lobby wajah shock Andra masih terlihat.
“Ndra ada apa? Kok wajahmu berubah pucat, putih seperti kapas.
Seperti habis melihat hantu saja?” Tanya Roby heran melihatperubahan pada air muka temannya.
“Nggak apa-apa kok…” jawab Andra sambil meneguk segelas airmineral di tangannya.
“Ayolah Ndra, kita ini mau mewawancarai seorang model sekaliguspimpinan
majalah ini. Ubah donk raut muka pucat pasimu itu menjadimuka terbaikmu”
goda Roby.Tapi Andra tetap dengan wajah pucatnya.
“O..ya Ndra..ternyata Miss Ara yang akan kita wawancarai SMPnya satu
sekolah dengan kita lho, kata mbak resepsionis yang ada di lobby. Kami
tadi sempat cerita-cerita!” Andra kaget bukan kepalang. Andra berharap
dan berdoa semoga orang yang akan diwawancarainya bukan orang yang
bertabrakan dengannya tadi.
“Mas, itu Miss Ara sudah selesai meetingnya,” kata
resepsionis. Sesosok wanita cantik, tinggi semampai sedang berjalan
menuju ke arahmereka. Ya..benar miss Ara adalah Milly Aranaya teman SMP
Andra dan Roby dulu. Andra seakan terjatuh dalam sebuah jurang setinggi
lima puluh meter dari permukaan laut, tubuhnya kaku detik itu juga.
Aliran darahnya seolah berhenti.
“Hai! Lama nggak ketemu. Wajah kalian berubah, ya?” Milly tersenyum
manis. Kini, Milly yang dulu berbeda dengan Milly yang sekarang. Semua
orang yang mengenal Milly yang dulu pasti akan mengedipkan mata beberapa
kali untuk memastikan bahwa itu adalah Milly yang selama ini ia kenal.
Dan itu terjadi pada Andra. Rasa bersalah itu kini menggelayut di hati
Andra yang semula beku.
@@@
“Ndra, coba lihat. Ini, laman yang kita buat sudah terbit,” Roby
menyodorkan sebuah majalah ke tangan Andra.
“Kalau ditanya, kenapa saya menyukai dunia fashion. Saya akan menjawab
bahwa saya hanya ingin membuktikan pada teman saya dulu, teman saya saat
di SMP, bahwa sebaiknya kita jangan pernah menilai seseorang dari
fisikinya saja. Karena bisa saja di balik penampilannya itu, terdapat
jiwa yang sangat luar biasa. Ya, saya tahu, meski pun sempat merasa
benci dengan teman saya dan diri saya, tapi saya bersyukur, karena
dengan itu, saya bisa jadi seperti ini. Saya juga mengucapkan terima
kasih kepada teman saya atas segala kritikannya,” Andra tersenyum kecut
membaca artikel dalam majalah tersebut. Ia yakin yang dimaksud oleh
Milly adalah dirinya.
Andra merenung. Ia sadar, bahwa bullying yang selama ini ia
lakukan adalah salah dan sama sekali tak ada untung baginya, malah
justru sebaliknya. Jika seseorang yang menjadi korban tak pandai
menyikapi, mungkin akhir cerita mereka tak akan berakhir indah seperti
Milly. Karena itu, Andra berjanji pada dirinya tak lagi melakukan hal
itu. Lagi pula, Andra sekarang sudah kena batunya, kena hukum
karma sepertinya. Jerawat, kini telah memenuhi wajah Andra yang
semula mulus. Kalau saja dulu Anda membullying siswa yang bertahi
lalat banyak, apa mungkin Andra jadi juragan tahi lalat juga yaa?
Hahaha….
by: http://us.mjeducation.co/hukum-karma/