أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُواْ الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْاْ مِن قَبْلِكُم مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاء وَالضَّرَّاء وَزُلْزِلُواْ حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللّهِ قَرِيبٌ
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. [2:214]
Ini adalah kisah nyata bukan dongengan. Terjadi di kampung halamanku, kampung Pajagan desa Parakansalak, Sukabumi. Saya coba kompilasikan kisah ini untuk di-share di blog ini agar mudah-mudahan dapat menjadi bahan renungan bagi siapapun yang mau membaca.
Kejadiannya masih belum lama ini, masih terkait masalah Ahmadiyah yang sekarang menjadi isyu panas di negeri ini. Saya sendiri berasal dari keluarga besar ahmadiyah. Bapak-ibu saya, kakek-nenek bahkan buyut saya adalah anggota jamaah Ahmadiyah. Selama ini kami hidup rukun bertetangga tanpa ada masalah apapun. Masalah terkait akidah tidak pernah merusak hubungan kami dengan siapapun. Tidak pernah ada yang menghina, mengejek, mengancam, ataupun menekan kami agar berobah keyakinan hanya karena keyakinan kami agak “berbeda”. Kami selalu menyelesaikan masalah perbedaan melalui cara-cara santun dengan semangat persaudaraan.
Akan tetapi semua itu mulai berubah seiring waktu berjalan. Seingat saya pada sekitar tahun 80-an mulailah didatangkan penceramah-penceramah dari luar daerah dalam rangka mengisi berbagai acara perayaan hari-hari besar islam. Mereka mulai menanamkan kebencian terhadap ahmadiyah dengan menebarkan fitnah-fitnah keji. Saya dapat katakan sebagai fitnah keji karena saya sendiri sebagai orang ahmadiyah dari lahir tidak merasa sedikitpun terkait dengan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan itu. Diantara para penceramah itu yang masih saya ingat adalah Amin Jamaluddin, yang kemudian saya kenal sebagai ketua LPPI.
Kejadian pembakaran mesjid beberapa waktu lalu itu sungguh suatu tragedi. Kami tidak pernah memusuhi siapa pun dan selalu berusaha menjalin kerjasama dengan siapa pun. Namun warga yang sudah terhasut dan terkomando dapat melakukan apapun yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, termasuk membakar rumah Tuhan.
Setelah keluarnya SKB 3 menteri, keadaan bukannya bertambah baik. Masyarakat yang tadinya bersikap baik pun mulai antipati dengan kami. Mereka mulai menganggap bahwa kamilah sumber masalah itu. Karena kamilah mereka menjadi resah. Karena ahmadiyahlah kampung mereka menjadi rusuh dan tidak kondusif. Aparat yang seharusnya bersikap adil malah ikut memperkeruh suasana dengan memberikan dukungan kepada pihak yang antipati. Suasana mencekam pun tidak terhindarkan.
Di kampung ku yang letaknya agak jauh dari mesjid yang dibakar, tekanan dari warga yang antipati tidak kurang besarnya. Setiap pengajian, ustazd di mesjid dekat rumah yang juga masih family, selalu menyempatkan pembahasan mengenai kami. Mesjid itu kebetulan memang sangat dengan rumah kami, sehingga semuanya terdengar sangat jelas. Ditambah lagi corong loud speaker yang kini diarahkan langsung ke rumah kami. Awalnya berupa anjuran dan ajakan halus, lalu meningkat menjadi keras dan bahkan berupa ancaman dan terror. Kecaman dan hinaan dalam pengajian bukan lagi hal yang luar biasa. Kami biasa dikatakan lebih hina dari babi dan anjing bahkan darah kami halal untuk ditumpahkan katanya, nau'dzubillahi min dzalik…
Belakangan ia menyerukan kepada warga di sekitar rumah kami untuk melakukan boikot sosial terhadap keluarga kami. Kebetulan kakak saya membuka warung sederhana yang mulai berkembang. Para tetangga yang dekat dan jauh senang berbelanja kepada kami. Namun karena ada ancaman kepada mereka untuk tidak datang ke warung kami, akhirnya mereka pun enggan. Akibatnya jelas, warung itu pun menjadi sepi dan kosong dari barang untuk dijajakan.
Dengan kondisi seperti itu tentu saja kami merasa sedih. Bukan hanya masalah materi yang kami pikirkan. Tetapi boikot itu benar-benar telah membuat kami terkucilkan dan terasing. Anak-anak kecil yang masih belum tau apa-apa diajari oleh bapaknya untuk ‘berjihad’ dengan melempari genting rumah kami bila malam hari. Sering kali ibu saya terbangun dari tidur dengan syok hebat karena mendengar suara keras yang tiba-tiba memecah keheningan. Esoknya memang benar ternyata batu yang lumayan besar telah menjebol genting rumah kami. Hal itu masih kerap kali terjadi hingga saat ini terutama bila ada acara-acara pengajian di mesjid dekat rumah. Semenjak itu ibu saya jadi trauma secara psikologis. Tidurnya tidak lagi lelap seperti dulu karena kegelisahan yang hingga setiap malam tiba, sehingga kesehatannya pun menjadi terganggu. Kami benar-benar terpuruk. Tidak ada jalan selain kami harus segera pergi meninggalkan kampung halaman ini.
Suatu malam seperti biasanya ustadz kembali dengan topik favorite-nya tentang Ahmadiyah. Ia menekankan kembali masalah boikot kepada para hadirin dan mengingatkan kembali betapa hina-nya orang ahmadiyah itu. Tiba-tiba ia melontarkan pernyataan kurang lebih sebagai berikut:
“Bapak-bapak, Ibu-ibu, gak apa-apa kita boikot saja mereka. Toh dulu juga Rosulullah saw. juga diboikot.”
Kami benar-benar tersentak kaget mendengar itu. Entah apa yang dipikirkan oleh ustadz tersebut, yang jelas bagi kami ini benar-benar menjadi kata-kata penghibur yang luar biasa. Seperti air hujan yang turun dari langit menyegarkan kembali kehidupan. Kami tau betul bahwa dulu pun Yang Mulia Rasulullah saw. pernah diboikot oleh para penentang. Dan kami pun sadar bahwa itu adalah harga dari sebuah perjuangan. Namun bahwa hal itu dikatakan oleh ustadz di hadapan para mustami menjadikannya sebagai hiburan yang luar biasa bagi kami. Bahwa para mustami juga mendengar hal itu dan mungkin menjadi faham akan posisi kami, juga merupakan pengobat segala penderitaan kami selama ini.
Boikot tersebut hingga kini masih terus berlangsung. Dan kami pun tidak menutup kemungkinan terburuk bahwa kami sampai harus terusir dari kampung halaman. Akan tetapi, kini kebahagiaan yang luar biasa terpancar kembali di wajah ibu. Semangat hidupnya nampak pulih kembali. Sungguh luar biasa cara Allah Ta’ala memberikan pertolongan kepada para hambanya. Di saat semua cobaan begitu beratnya menimpa, Dia berikan pertolongan dari jalan yang tidak disangka sama sekali. Subhaanallah!
Kisah ini ditulis berdasarkan penuturan Ibunda tercinta yang menceritakannya dengan wajah yang berseri-seri dan memancarkan kebahagiaan yang luar biasa. Sekarang beliau dapat menghadapi tantangan itu dengan lebih tegar. Saya pribadi semakin yakin dengan janji ALLAH swt seperti dalam ayat di atas (2:214), bagaimana dengan anda?
Wallahu a'lam bishshawwab
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com