Minggu lalu gue dan beberapa temen sempat membahas sedikit tentang topik Ego. Dan itu benar-benar bikin gue mikir semikir mikirnya, terlebih setelah membaca komen dari teman-teman di posting yang gue buat saat itu. Dimana ego gue saat ini? Apa yang sebenarnya hal yang ego ajarkan ke gue? Apakah gue mendapatkan pembelajarannya?
Ini riil banget karena gue baru mengalaminya minggu lalu ketika seorang teman mau meminjam mobil gue. Ia sms gue sebagai berikut: “Hari Kamis dan Sabtu aku pakai mobil ya.”
Hmm, interesting. Memang harapan gue ketika orang mau meminjam mobil itu adalah kira-kira seperti ini: “Hai Ka, hari Kamis dan Sabtu besok bolehkah aku pakai mobilnya? Thanks ya.”
Ada ego yang keluar di diri gue ketika gue merasa bahwa dia ‘kurang sopan’.
Lalu, di hari Kamis, gue juga gak yakin dia akan tetap pinjam mobil atau gak padahal sudah jam 11.45pm. Setelah gue sms dan belum dijawab setengah jam kemudian, mobil gue pakai. Oh ternyata, jam 12:48 gue dapat sms dengan jawaban “Jadi. Kenapa sih? Aku kan udah bilang mau pake mobil. Kalo emang ga boleh bilang dari awal jadi aku cari option lain. Udah panggil supir, udah siap berangkat, udah telat, taunya mobilnya gak ada.”
Ini jawaban gue, “Makanya aku tanya, karena aku gak tau jam berapa pakenya. Karena ga ada kabar jadi aku pake. Yah maaf deh. Toh kamu bisa telpon juga. Aku cuma di kemang kok. Ya udah, jadi sekarang maunya gimana?”
Gue banyak belajar tentang EGO dari kejadian ini. Kejadian yang sederhana, tetapi banyak sekali yang bisa gue pelajari. Berikut adalah 10 hal yang ego ajarkan ke gue:
Spoiler for 1. Untuk tidak selalu menunjukkan bahwa kita benar dan orang lain salah.:
Quote:1. Untuk tidak selalu menunjukkan bahwa kita benar dan orang lain salah.
EGO itu paling terlihat dari kebutuhan kita untuk merasa benar.
Ya iyalah, gue gak merasa salah ketika menggunakan mobil itu. Seperti dia gak merasa bersalah ketika menyampaikan sms itu. Pertanyaannya, sejauh mana kita memaksakan bahwa kita memang yang benar?
Di sini gue bisa lebih menurunkan ego gue dengan mengucapkan “Maaf terlebih dahulu.” Di sini gue kesandung dengan memberikan alasan terlebih dahulu.
Yang sebaiknya gue katakan adalah “I am so sorry, Dinda. Gue pikir gak jadi karena gak dapat kabar lagi. Sekarang gue cuma 10 menit dari rumah kok. How can I help?”
EGO itu paling terlihat dari kebutuhan kita untuk merasa benar.
Ya iyalah, gue gak merasa salah ketika menggunakan mobil itu. Seperti dia gak merasa bersalah ketika menyampaikan sms itu. Pertanyaannya, sejauh mana kita memaksakan bahwa kita memang yang benar?
Di sini gue bisa lebih menurunkan ego gue dengan mengucapkan “Maaf terlebih dahulu.” Di sini gue kesandung dengan memberikan alasan terlebih dahulu.
Yang sebaiknya gue katakan adalah “I am so sorry, Dinda. Gue pikir gak jadi karena gak dapat kabar lagi. Sekarang gue cuma 10 menit dari rumah kok. How can I help?”
Spoiler for 2. Menunjukkan compassion dan bukan judgement.:
Quote:2. Menunjukkan compassion dan bukan judgement.
EGO mengajarkan kita untuk lebih mempraktekkan Compassion.
Di situasi ini, mudah banget untuk gue malah menyalahkan dan mengkritik teman gue ini. Mbok ya mobil siapa juga. “Gila ya dia, mobil-mobil siapa juga, gak ada konfirmasi juga, dia juga gak bilang mau pake jam berapa, malah gue yang dimarahin.” Haahahahhaha. Itu respon yang normal banget kan ya.
Setiap kali kita menyalahkan, mengkritik dan menjelekkan orang lain itu adalah EGO. Sayangnya kita suka gak sadar bahwa yang kita lakukan itu sedang menyalahkan, mengkritik ataupun menjelekkan orang lain.
Kadang kita tidak sadar ketika menumpahkan kekesalan di social media itu kita sedang melampiaskan ego kita. Seperti, “Gila ya tuh orang, gak pake otak apa, semakin ketemu semakin kehilangan respect, dasar memang orang bermuka dua.” Etc. Isssshhh.
Mempraktekkan compassion di sini seperti juga mempraktekkan kerendahan hati. Untuk tidak langsung mengkritik dan menyalahkan tetapi mencoba memahami orang tersebut…
- Kenapa dia seperti ini ya?
- Apakah dia sedang mengalami sesuatu yang sulit?
- Worth it gak untuk gue malah menyalahkan dia?
- Worth it gak untuk gue nambah masalah?
- Worth it gak untuk menunjukkan bahwa kita benar dan mereka salah?
Gue belajar, MOST OF THE TIME, gak worth it kok. So, gue mesti berterima kasih sama orang-orang dan situasi yang memencet tombol-tombol yang bikin gue marah, kesel, kecewa, karena itu berarti gue sedang harus mempraktekkan compassion.
EGO mengajarkan kita untuk lebih mempraktekkan Compassion.
Di situasi ini, mudah banget untuk gue malah menyalahkan dan mengkritik teman gue ini. Mbok ya mobil siapa juga. “Gila ya dia, mobil-mobil siapa juga, gak ada konfirmasi juga, dia juga gak bilang mau pake jam berapa, malah gue yang dimarahin.” Haahahahhaha. Itu respon yang normal banget kan ya.
Setiap kali kita menyalahkan, mengkritik dan menjelekkan orang lain itu adalah EGO. Sayangnya kita suka gak sadar bahwa yang kita lakukan itu sedang menyalahkan, mengkritik ataupun menjelekkan orang lain.
Kadang kita tidak sadar ketika menumpahkan kekesalan di social media itu kita sedang melampiaskan ego kita. Seperti, “Gila ya tuh orang, gak pake otak apa, semakin ketemu semakin kehilangan respect, dasar memang orang bermuka dua.” Etc. Isssshhh.
Mempraktekkan compassion di sini seperti juga mempraktekkan kerendahan hati. Untuk tidak langsung mengkritik dan menyalahkan tetapi mencoba memahami orang tersebut…
- Kenapa dia seperti ini ya?
- Apakah dia sedang mengalami sesuatu yang sulit?
- Worth it gak untuk gue malah menyalahkan dia?
- Worth it gak untuk gue nambah masalah?
- Worth it gak untuk menunjukkan bahwa kita benar dan mereka salah?
Gue belajar, MOST OF THE TIME, gak worth it kok. So, gue mesti berterima kasih sama orang-orang dan situasi yang memencet tombol-tombol yang bikin gue marah, kesel, kecewa, karena itu berarti gue sedang harus mempraktekkan compassion.
Spoiler for 3. Mulai menyadari bahwa kita pun punya EGO.:
Quote:3. Mulai menyadari bahwa kita pun punya EGO.
Dosa terbesar kita adalah kita tidak sadar bahwa EGO sedang menghalangi kita.
Karena setiap kali kita marah, kecewa, sedih ataupun sebel, reaksi pertama kita adalah “Ini salah orang lain. Gak ada yang memperhatikan gue. Gue selalu aja jadi yang menderita. Gak ada yang perhatian sama gue. Dll.”
Secara tidak sadar, kita memposisikan diri kita sebagai VICTIM. The world is against us. Seperti mengatakan “Kenapa sih kamu selalu nyusahin aku.”
Padahal, saat itu, karena fokusnya seberapa menderitanya diri gue, itu adalah EGO, karena fokusnya ke gue.
Akhirnya…..
Dosa terbesar kita adalah kita tidak sadar bahwa EGO sedang menghalangi kita.
Karena setiap kali kita marah, kecewa, sedih ataupun sebel, reaksi pertama kita adalah “Ini salah orang lain. Gak ada yang memperhatikan gue. Gue selalu aja jadi yang menderita. Gak ada yang perhatian sama gue. Dll.”
Secara tidak sadar, kita memposisikan diri kita sebagai VICTIM. The world is against us. Seperti mengatakan “Kenapa sih kamu selalu nyusahin aku.”
Padahal, saat itu, karena fokusnya seberapa menderitanya diri gue, itu adalah EGO, karena fokusnya ke gue.
Akhirnya…..
Spoiler for 4. Mulai memperhatikan kata-kata yang kita ucapkan dan perilaku kita sendiri.:
Quote:4. Mulai memperhatikan kata-kata yang kita ucapkan dan perilaku kita sendiri.
EGO mengajarkan gue juga untuk memperhatikan kata-kata yang gue ucapkan.
Sejauh mana gue menjadikan diri gue victim. Sejauh mana gue menyalahkan orang lain. Sejauh mana gue menghakimi orang lain. Sejauh mana gue merasa lebih baik atau lebih benar dari orang lain. Sejauh mana gue terlibat dalam sebuah argumen yang ingin menunjukkan ke orang lain bahwa dia salah dan gue benar.
Issssh, ini susah-susah gampang.
Ini makanya kejadian mobil ini keren banget buat gue untuk gue ngaca ke diri sendiri.
Dari kalimat gue pun gue merasa masih ada EGO. Walau bangga dikit juga karena gue gak mengeluarkan kalimat “Ya kamu juga gak bilang mau pake jam berapa kan? Jangan salahin gue dong kalo pake mobil!” <<— rese sih ini.
EGO mengajarkan gue juga untuk memperhatikan kata-kata yang gue ucapkan.
Sejauh mana gue menjadikan diri gue victim. Sejauh mana gue menyalahkan orang lain. Sejauh mana gue menghakimi orang lain. Sejauh mana gue merasa lebih baik atau lebih benar dari orang lain. Sejauh mana gue terlibat dalam sebuah argumen yang ingin menunjukkan ke orang lain bahwa dia salah dan gue benar.
Issssh, ini susah-susah gampang.
Ini makanya kejadian mobil ini keren banget buat gue untuk gue ngaca ke diri sendiri.
Dari kalimat gue pun gue merasa masih ada EGO. Walau bangga dikit juga karena gue gak mengeluarkan kalimat “Ya kamu juga gak bilang mau pake jam berapa kan? Jangan salahin gue dong kalo pake mobil!” <<— rese sih ini.
Spoiler for 5. Cepat meminta maaf.:
Quote:5. Cepat meminta maaf.
EGO mengajarkan gue untuk cepat meminta maaf.
Gue mencoba mengingat, apapun yang terjadi, terlepas dari siapa yang salah, meminta maaflah.
Ini mengingatkan gue akan sebuah kutipan…
“Apologizing does not always mean you are wrong and the other person is right. It just means you value your relationship more than your ego.”
Bahwa meminta maaf itu bukan berarti kita salah dan orang lain benar. Ini hanya menunjukkan bahwa kita lebih mengutamakan hubungan dibandingkan ego kita sendiri.
#jleb
Keren ya.
EGO mengajarkan gue untuk cepat meminta maaf.
Gue mencoba mengingat, apapun yang terjadi, terlepas dari siapa yang salah, meminta maaflah.
Ini mengingatkan gue akan sebuah kutipan…
“Apologizing does not always mean you are wrong and the other person is right. It just means you value your relationship more than your ego.”
Bahwa meminta maaf itu bukan berarti kita salah dan orang lain benar. Ini hanya menunjukkan bahwa kita lebih mengutamakan hubungan dibandingkan ego kita sendiri.
#jleb
Keren ya.
Spoiler for 6. Mencoba untuk tidak defensif. Mengurangi penggunaan ‘alasan’ dan kata ‘tapi’.:
Quote:6. Mencoba untuk tidak defensif. Mengurangi penggunaan ‘alasan’ dan kata ‘tapi’.
EGO mengajarkan gue untuk not to take things personally. Untuk tidak defensif.
Setiap kali gue merasa defensif, merasa sakit hati, merasa diserang, merasa terpojok, itu Ego sedang keluar. Nice.
Even ketika seseorang mengatakan “Ika, elo tuh sekarang bitter banget ya.” Gue belajar untuk tidak mengatakan “Ya tapi kan gue ____”. Malah jawaban gue adalah “Oh ya? Really? In what ways?”
Coba hitung berapa kali kamu memberikan alasan, mengatakan TAPI dalam kalimat-kalimatmu. Atau hitung orang lain mengatakan TAPI. Ini salah satu pertanda bahwa kita defensif.
EGO mengajarkan gue untuk not to take things personally. Untuk tidak defensif.
Setiap kali gue merasa defensif, merasa sakit hati, merasa diserang, merasa terpojok, itu Ego sedang keluar. Nice.
Even ketika seseorang mengatakan “Ika, elo tuh sekarang bitter banget ya.” Gue belajar untuk tidak mengatakan “Ya tapi kan gue ____”. Malah jawaban gue adalah “Oh ya? Really? In what ways?”
Coba hitung berapa kali kamu memberikan alasan, mengatakan TAPI dalam kalimat-kalimatmu. Atau hitung orang lain mengatakan TAPI. Ini salah satu pertanda bahwa kita defensif.
Spoiler for 7. Memonitor rasa marah, sirik, gak suka.:
Quote:7. Memonitor rasa marah, sirik, gak suka.
Ada teman yang pernah bilang ke gue bahwa “Terkadang ketika gue gak suka dengan seseorang, sebenarnya secara gak sadar gue sirik aja sama dia.”
Itu keren banget.
Dan setiap hari, gue mencoba memonitor emosi yang gue rasakan. Gue merasa, setiap kali gue ke-trigger energi negatif, itu sebenarnya EGO diri gue yang sedang mengambil alih. Jadi, sebenarnya gak bukan salah orang lain setiap kali kita marah, sedih, kecewa, sirik, kesel dan semua rasa tersebut. Itu ego kita sendiri saja yang sedang kesentil.
Ada teman yang pernah bilang ke gue bahwa “Terkadang ketika gue gak suka dengan seseorang, sebenarnya secara gak sadar gue sirik aja sama dia.”
Itu keren banget.
Dan setiap hari, gue mencoba memonitor emosi yang gue rasakan. Gue merasa, setiap kali gue ke-trigger energi negatif, itu sebenarnya EGO diri gue yang sedang mengambil alih. Jadi, sebenarnya gak bukan salah orang lain setiap kali kita marah, sedih, kecewa, sirik, kesel dan semua rasa tersebut. Itu ego kita sendiri saja yang sedang kesentil.
Spoiler for 8. Memonitor rasa minder.:
Quote:8. Memonitor rasa minder.
Di sisi lain, ego gak selalu tinggi kok. Kadang terlalu rendah. Membuat kita merasa minder maupun gak-enakan.
“Kenapa ya gue cuma gini-gini aja.”
“Kok gak ada yang mau jadi pacar gue ya.”
“Gue sih gak mungkin jadi orang sukses.”
Nah minder ini juga lucu, kadang Ia membuat kita jadi merendahkan diri, terkadang membuat kita meninggikan diri. Seringkali juga, karena minder (atau insecure) kita malah jadi arogan.
Contohnya? Menggemborkan kita kenal dengan orang terkenal siapa sajaaa. Menggunakan banyak hal-hal yang branded walau uang pas-pasan.
Di sisi lain, ego gak selalu tinggi kok. Kadang terlalu rendah. Membuat kita merasa minder maupun gak-enakan.
“Kenapa ya gue cuma gini-gini aja.”
“Kok gak ada yang mau jadi pacar gue ya.”
“Gue sih gak mungkin jadi orang sukses.”
Nah minder ini juga lucu, kadang Ia membuat kita jadi merendahkan diri, terkadang membuat kita meninggikan diri. Seringkali juga, karena minder (atau insecure) kita malah jadi arogan.
Contohnya? Menggemborkan kita kenal dengan orang terkenal siapa sajaaa. Menggunakan banyak hal-hal yang branded walau uang pas-pasan.
Spoiler for 9. Lebih baik terlambat dibandingkan tidak sadar sama sekali.:
Quote:9. Lebih baik terlambat dibandingkan tidak sadar sama sekali.
Kalau ditanya, sering kesandung ego kah? Jawabannya ya sering sekali. Karena di awal-awal, memang sadarnya telat.
Dan gue belajar, this is okay.
Tinggal pertanyaannya, setelah gue ‘sadar’ apakah gue mengkoreksi perilaku gue? Apakah gue meminta maaf? Apakah gue memperbaiki hubungan?
Kalau ditanya, sering kesandung ego kah? Jawabannya ya sering sekali. Karena di awal-awal, memang sadarnya telat.
Dan gue belajar, this is okay.
Tinggal pertanyaannya, setelah gue ‘sadar’ apakah gue mengkoreksi perilaku gue? Apakah gue meminta maaf? Apakah gue memperbaiki hubungan?
Spoiler for 10. Belajar membedakan antara pasif, pasif-agresif, agresif dan asertif.:
Quote:10. Belajar membedakan antara pasif, pasif-agresif, agresif dan asertif.
Ini susah sekali.
Pasif itu seperti minder, gak enakan (I am not okay, you are okay). Agresif itu seperti arogan (I am okay, you are not okay.)
Naaah, pasif agresif ini niiiih… Contohnya:
- Komplain ketika ada permintaan dari oang lain dan bukannya menunjukkan perasaannya langsung.
- Sengaja berbuat buruk
- Berfikir bahwa orang sengaja memojokkan dia
- Selalu merasa tidak adil
- Mengkritik dalam bentuk pujian (sarkas)
- Memberikan silent treatment
Asertif menunjukkan ego yang ‘sehat’ dan kita tahu, terkadang kita asertif saja sering kesandung di agresif.
Ini susah sekali.
Pasif itu seperti minder, gak enakan (I am not okay, you are okay). Agresif itu seperti arogan (I am okay, you are not okay.)
Naaah, pasif agresif ini niiiih… Contohnya:
- Komplain ketika ada permintaan dari oang lain dan bukannya menunjukkan perasaannya langsung.
- Sengaja berbuat buruk
- Berfikir bahwa orang sengaja memojokkan dia
- Selalu merasa tidak adil
- Mengkritik dalam bentuk pujian (sarkas)
- Memberikan silent treatment
Asertif menunjukkan ego yang ‘sehat’ dan kita tahu, terkadang kita asertif saja sering kesandung di agresif.
Terlepas dari EGO sering mendapatkan konotasi negatif, gue belajar, Ego itu bisa menjadi sesuatu yang positif dan negatif. Ego itu positif ketika memberikan kita rasa percaya diri, membuat kita lebih asertif dan berani menyuarakan pikiran kita. Di sisi lain, ego itu menjadi negatif ketika kita secara sadar atau tidak sadar merendahkan orang lain.
Belajar ngaca. Belajar introspeksi diri. Belajar sadar diri. Belajar jujur ke diri sendiri. Itu semua yang gue pelajari ketika mempelajari ego.
Seperti kata Marianne Willliamson, “The ego seeks to divide and separate, Spirit seeks to unify and heal.” Selama gue masih merasa terpisah dan berbeda dari orang lain, itu masih ego yang berbicara.
http://www.kaskus.co.id/thread/548d4e2e1a9975f7528b456a/?ref=homelanding&med=hot_thread
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com