Saat itu, Rasulullah dan rombongan dari Madinah sudah sampai di Hudaibiyah. Perjalanan itu adalah perjalanan haji biasa ke Makkah al Mukarramah di tahun keenam hijrah di bulan Dzulqa’dah. Tetapi kaum Quraisy di Makkah mencurigaina sebagai siasat peperangan.
Untuk mencegahnya, kafir Quraisy sampai mengirim pasukan yang beranggotakan 200 tentara dipimpin Khalid bin Walid dan Ikrimah bin Abu Jahal yang bermarkas di Dhu Tuwa, luar kota Makkah. Bahkan Quraisy Makkah telah tiga kali mengirim utusan kepada Rasulullah di Hudaibiyah agar Rasulullah mau mengurungkan niatnya. Mereka yang diutus tiu adalah Budail bin Warqa’, Hulais, dan Urwah ibnu Mas’ud.
Meski lewat utusan Makkah itu sudah dijelaskan maksuid perjalanan Rasulullah untuk haji dan umrah, mereka tetap tak mempercaiyainya. Mereka tetap akan mencegahnya, jika perlu dengan kekerasan dan perang. Ketika Rasulullah mengirim utusan ke Makkah, mereka mencegahnya dengan menikam unta yang ditungganginya. Bahkan utusan itu nyaris terbunuh jika tak segera ditolong orang-orang dari suku Ahabsyi. Kafir Quraisy sudah benar-benar nekad untuk menghalang-halangi kehadiran rombongan Madinah ke Makkah.
Sementara perundingan lewat utusan masih berlangsung, orang Quraisy melakukan terror. Malam-malam beberapa orang Quraisy melempari tenda-tenda rombongan Madinah dengan batu. Bahkan jumlah massa itu meningkat sampai 50 orang sdan menyerang sahabat-sahabat Nabi. Karena jumlah rombongan Nabi cukup besar yaitu sampai 1400 orang, penteror itu berasil tertangkap basah dengan mudah. Dengan ramai-ramai mereka digiring ke hadapan Rasulullah.
“Mereka telah menyerang kita Rasulullah, bunuh saja mereka,” kata para sahabat mulai panas.
Mereka telah tertangkap basah menyerang rombongan haji dan umrah di malam hari. Tahukah kamu hukuman apa yang dilakukan Nabi kepada mereka? Diampuni tanpa syarat. Semua penteror dan penyerang dimaafkan dan dilepaskan tanpa syarat, sehingga dengan bebass mereka kembali ke Makkah. Masyaa Allah. Begitulah hati Rasulullah.
Kaum muslimin benar-benar ingin beribadah haji, karena itu perjalanan sucinya tak mau dicemari dengan perbuatan keji semacam itu. Perjalanan itu perjalanan damai. Apalagi hal itu terjadi di bulan suci yang harus dihormati semua orang.
Melihat persitiwa itu Quraisy menjadi terperangah. Segala tuduhan mereka, ternyata tidak terbukti. Rombongan Madinah memang berhak berziarah ke Makkah di bulan suci itu.
Utsman bin Affan
Untuk lebih memperjelas maksudnya, Rasulullah kemudian mengirim utusan resmi ke Makkah untuk berunding dengan kafir Quraisy. Untuk itu, dipanggilnya Umar bin Khattab dan dimintainya sebagian utusan.
“Rasulullah, saya khawatir Quraisy akan memperlakukan saya dengan baik. Karena, di sana tidak ada pihak Bani ‘Adi bin Ka’ab yang bias melindungi saya. Quraisy cukup tahu bagaimana permusuhan saya dan tindakan tegas saya terhadapa mereka,” kata Umar. “Jika begitu menurutmu siapa yang pantas menjadi utusan ini?” kata Rasulullah.
“Menurut saya, dalam hal ini Utsman bin Affan lebih tepat menjadi utusan.” Nabi pun segera memanggil Utsman menantunya dan diutusnya dia berangkat menemui Abu Sufyan dan pemuka-pemuka qurasiy lainnya. Tanpa ragu-ragu sedikit pun, Utsman yang dikenal sangat dermawan itu lalu pergi menuju Makkah membawa misi sebagai utusan Rasulullah.
Sebelum menemui para pemuka Quraisy, Utsman menemui Aban bin Sa’idh, yang kemudian memberikan jiwar (perlindungan) selama ia bertugas di Makkah. Baru setelah itu, ia menemui para pemimpin Quraisy menyampaikan pesan Nabi. Tetapi mereka menjawabnya dengan diplomatis.
“Utsman jika engkau mau berthawaf di Ka’bah, berthawaflah. Kami menjamin keselamatanmu.”
“Aku tidak akan melakukan thawaf sebelum Rasulullah melakukannya. Kedatangan kami ke Makkah untuk berziarah ke rumah suci dan memuliakannya. Kami telaha dating dengan membawa binatang qurban, dan setelah disembelih kami pun segera kembali ke Madinah,” kata Utsman.
Tetapi para pemuka Quraisy tetap bersikeras. Tahun itu Muhammad dan pengikutnya tidak boleh memasuki Makkah. Namun, Utsman pun bersikeras akan melaksanakannya, karena kaum tidak berhak melarangnya. Mereka hanya bertugas menjaga dan memelihara Ka’bah, dan siapa pun masyarakat Arabberhak ziarah di bulan suci itu.
Demikianlah karena terjadi tarik menarik, perundingan berjalan sangat alot sehingga berlangsung lama sekali. Sementara itu, para sahabat yang menunggu di Hudaibiyah mulai gelisah. Mulai terdengar isu bahwa Utsman ditawan. Mereka mencemaskannasib Utsman atas kelicikan Quraisy. Para sahabat gelisah dan marah. Karena itu, mereka lalu meletakkan tangan mereka di atas empu pedang masing-masing, sebagai tanda ancaman dan kemarahan. Bahkan Nabi juga ikut cemas atas nasib Utsman yang bukannya tidak mungkin akan tewas dikhianati Quraisy.
“Kita tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum kita dapat menghadapi mereka,” kata Rasulullah. Kemudian beliau mengumpulkan semua sahabatnya di sebuah pohon rindang di lembah itu. Mereka berikrar kepada Rasulullah dengan iman yang teguh dan kemauan yang keras. Semangat mereka sudah berkobar-kobar hendak mengadakan pembalasan terhadap pengkhianatan atas pembunuhan sahabat Utsman.
Ikrar para sahabat kepada Rasulullah yang dikenal dengan “Bai’atur Ridzwan” (ikrar Ridzwan) itu diabadikan Allah dalam surat Al Fath ayat 18. “Allah sudah rela sekali terhadap orang-orang yang beriman ketika mereka berikrar kepadamu di bawah pohon. Tuhan telah mengetahui isi hati mereka, lalu diturunkan kepada mereka rasa ketenganan dan memberi balasan kemenangan kepada mereka dalam waktu yang tiada lama.”
Usai para sahabat menyatakan ikrar, Rasulullah lalu menepukkan sebelah tangannya kepada sahabat di sebelahnya sebagai tanda ikrar buat Utsman bin Affan. Seolah-olah Utsman hadir dalam ikrar Ridzwan itu. Dengan ikrar itu, pedang-pedang yang masih tersalut di sarungnya terasa terguncang. Tak lama lagi perang akan pecah, dan mereka menanti gugur sebagai syuhada’ di medan laga.
Tiba-tiba kemarahan mereka jadi mereda karena ada isu Utsman tidak terbunuh. Kemarahan mereka semakin meluruh ketika dilihatnya Utsman datang dalam keadaan selamat. Mereka menjadi lega, karena apa yang dicemaskan ternyata tidak terjadi. Walau begitu ikrar Ridzwan ini tetap berlaku, seperti halnya ikrar Aqabah II.
Rasulullah sendiri sangat senang sekali menyebut ikrar itu. Dalam ikrar Ridzwan tampak adanya pertalian yang erat antara Rasulullah dengan para sahabatnya. Ikrar Ridzwan itu menampakkan betapa besar tekad dan semangat para sahabat dalam menghadapi maut di medan perang sebagaisyuhada’.**
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com