Sang Kartini muda itu berlari tergopoh-gopoh. Flat shoes
yang ia kenakan tetap tidak mempercepat langkah kakinya menuruni tangga
halte Trans-Jakarta. Sembari bergegas sempat juga ia berkhayal bisa
naik skateboard untuk mengejar busway
yang baru saja tiba di halte Grogol menuju Semanggi. Untunglahdalam
momen kritis ia berhasil menyeberangkan badan ke angkutan yang ternyata
sudah sangat sesak.
Di
dalam bus yang pengisinya lebih mirip sarden daripada manusia itu ia
pun melamun, merunut kejadian sejak pulang kerja kemarin sampai detik
terakhir.
Kemarin, selepas maghrib, ia baru meninggalkan kantor. Lantas ia bergegas menuju lift
untuk menuju halte Trans-Jakarta terdekat menuju rumahnya di Tangerang.
Sesampai di rumah pukul 21.00 lewat, ia langsung menyambangi kedua
anaknya. Meski sudah berpiyama tidur, mereka tetap antusias menyambut
dia.
Setelah
membersihkan muka ia mandi dan menyantap apa pun yang masih tersisa di
meja. Masih lumayan sempat isi perut; terkadang ia lupa makan malam
karena anak-anak sudah menunggu. Selalu berebut, kedua buah hatinya
ingin menceritakan hari serunya di sekolah.
Selepas mendengar cerita ia mengecek PR serta buku penghubung mereka. Kini giliran dia untuk berkisah. Meski matanya sudah merah dan sesekali menguap anak-anak itu tetap saja bersemangat mendengarkan Kartini idola mereka bertutur.
Seusai
perang bantal dan keributan kecil memperebutkan selimut barulah kedua
bocah tidur. Setelah urusan anak beres, Kartini kita yang mulai lowbatt beranjak ke ruang televisi untuk menemui suami. Ada kalanya suaminya pulang lebih awal dari dia; bisa juga sebaliknya. Arah
kantor berbeda sehingga saat kepulangan mereka pun tak sama. Mereka
lalu berpaling ke meja makan untuk sekadar curhat atau berdiskusi ringan
tentang hari itu. Secangkir kopi dan semangkok mie rebus bertelur dan
beririsan cabe rawit menemani mereka mengisi waktu.
Perbincangan mereka tak lama sebab keduanya sudah sama-sama ngantuk dan lelah. Setelah saling cium pipi dan bibir, dengan langkah berat mereka pun menuju peraduan.
Sebelum
adzan subuh berkumandang, Kartini kita sudah terbangun. Dengan rambut
yang mencuat ke kanan dan kiri ia spontan menemani Bik Inah, pembantunya
yang setia, menyiapkan sarapan.
Pukul 05.00, menjelang sarapan tersaji, ia membangunkan anak-anak dan suami. Pakaian mereka ia siapkan. Setelah
bergantian mandi mereka pun duduk di meja makan. Terkadang Kartini kita
bisa lupa makan karena harus mengurusi ini-itu. Hari ini pun demikian.
Begitu anak-anak selesai makan dan tinggal memakai seragam ia pun
langsung siap-siap berangkat. Hari sudah menjelang pukul 06.00.
Pengereman yang agak mendadak oleh sopir Trans-Jakarta sontak mengakhiri kembara angan Kartini kita. Ia melirik jam di hand-phone.
Menjelang pukul 08.30. Dia masih di bus dengan kondisi laksana sarden
kegerahan. Pipinya menggembung setiap ia mencoba mensugesti diri agar
tetap berpikiran positif.
Di kantor Kartini kita bekerja sebagai staf admin. Setiap hari ia menangani semua urusan surat-menyurat dan administrasi lainnya. Ia kerap mengangkat telepon saat mengetik.
Terkadang ia membuat janji dengan klien sambil menyiapkan ucapan ulang
tahun untuk salah satu kolega bosnya. Ia membalas BBM [Blackberry Messenger] dari
salah satu klien perusahaannya sembari menunggu hasil fotokopi
rancangan proyek departemennya yang akan ditampilkan dalam rapat Board of Director.
Ada kalanya atasannya akan menginterupsi untuk keperluan lain saat
dirinya sibuk merancang penggunaan anggaran sebuah proyek di
departemennya. Kadang ia ingin berteriak tatkala bosnya meminta data
tertentu di saat telepon berdering terus dan e-mail masuk laksana tak berkesudahan.
Seperti itulah ritme hidup Kartini kita dari Senin hingga Jumat. Ia baru bisa merasa lega jika weekend tiba.
***
Ilustrasi
barusan menggambarkan kondisi kebanyakan wanita karier kita di masa
sekarang. Agak ironis, tentunya. Dulu, di zamannya, Raden
Adjeng Kartini, sang putri dari Rembang, memperjuangkan hak kaumnya,
yaitu agar para wanita di negeri kita ini beroleh kesetaraan dalam
pendidikan, pekerjaan, dan yang
lain. Kini, ketika sebagian wanita Indonesia mendapatkan hak itu,
masalah pelik ternyata muncul membayangi. Para wanita pekerja
profesional, termasuk saya, seolah terjebak dalam suatu situasi dimana
kita dituntut menjalankan multiple role
sebaik mungkin. Dalam situasi seperti ini terkadang kita galau karena
atas nama waktu yang rasanya tak pernah cukup kita harus menentukan
pilihan dilematis: karir atau keluarga.
Tuntutan
zaman, tuntutan ekonomi, atau tuntutan eksistensi diri, itu antara lain
yang menyebabkan mengapa banyak wanita yang telah berumah tangga
sekalipun akhirnya tetap bekerja. Kita seolah terjebak dalam putaran
waktu dengan tingkat stres yang kurang lebih sama setiap harinya. Acap
kali kita sampai melupakan waktu untuk diri sendiri. Pula waktu untuk
bersosialisasi. Kita seolah terjebak dalam sebuah pola: rumah – jalan –
kantor – jalan – rumah. Kita tak ubahnya sebuah mesin multitasking
yang sudah disetel waktu dan pekerjaannya. Ya, menjadi mesin yang
dituntut senantiasa harus berperforma optima. Jadi, lumrah saja kalau
kita sering mengeluhkan bahwa waktu 24 jam sehari itu tidak cukup.
Lantas
bagaimana cara kita mengatasi dilema ini? Menurut saya, kuncinya adalah
komunikasi. Maksud saya, komunikasikanlah selalu segala sesuatunya. Bertukar
pikiranlah dengan pasangan dan anak-anak bagaimana yang terbaik untuk
bersama. Bagi yang telah memiliki anak seperti Kartini kita tadi buatlah
kesepakatan dengan pasangan mengenai hal seperti: pola
asuh, jam belajar, siapa yang bertanggung jawab atas PR, atas pekerjaan
rumah, atas pengawasan mereka. Kapan kita boleh melaksanakan me time
atau sekedar berkumpul dengan teman lama, bicarakan dari hati ke hati.
Buatlah komitmen bersama untuk menjalankannya secara bertanggungjawab.
Dalam
persepsi saya, setinggi apa pun jabatan dan pendidikannya, seorang
Kartini Masa Kini tetap harus menjalankan fungsinya sebagai perempuan
rumah yang baik. Emansipasi tidak lantas serta merta menjadikan para
Kartini Masa Kini enggan pergi ke dapur dan memasak. Ia tetap perempuan
yang bertanggung jawab terhadap perkembangan pola didik dan emosional
anak-anaknya. Janganlah karena terlalu bernafsu memenuhi kebutuhan ekonomi kita justru melupakan faktor terpenting: keluarga—harta kita kita yang tak ternilai.
sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2013/04/24/kartini-multitasking-masa-kini-549812.html
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com