Getaran
semakin hebat seiring aba-aba dimulainya permainan. Dua kaki ini tak
mau diam ketika kepalaku terus mendongak. Gelak tawa penonton pun
akhirnya pecah melihat tingkah laku anehku.
“Oalah, Med Med makan kerupuk aja kok gigilan,”
suara yang terdengar di antara tawa dan sorakan penonton, malah
membuatku tambah bersemangat makan kerupuk. Sialnya makin semangat makin
luar biasa pula dua kaki ini bergetar.
Dan akhirnya permainan yang
dilombakan itu pun selesai. Teman sebayaku yang telah menghabiskan
kerupuk tergantung sebagai penanda lomba telah usai. Tapi tidak dengan
diriku, aku masih bersusah payah melahap sisa kerupuk. Ya setiap peserta
lomba harus menghabiskan kerupuk dihadapannya.
Masih tentang dua kaki yang
mengigil. Aku sontak berlari menuju garis yang ditentukan. Di samping
kanan kiriku, teman-teman sebayaku juga berlari ke arah yang sama.
Sesampainya di garis, aku dan teman-teman langsung membalikkan badan
lalu mengambil ancang-ancang setengah membungkuk.
Terbelit di pinggangku seutas tali
yang ujungnya mengikat paku. Mengantung bagaikan ekor hewan, paku itu
harus aku masukkan ke lubang botol. Aku dan peserta lomba lainnya
kesulitan mencocokkan paku itu ke mulut botol karena posisi kami yang
membelakangi botol dan setengah membungkuk.
Teman-temanku tak membutuhkan waktu
lama untuk memasukkan paku ke mulut botol lalu segera berlari kembali
menuju garis finish. Sedangkan aku bukannya berhasil memasukkan paku
malah ketegangan memaksa dua kaki ini menggigil. Bisa ditebak, aku
kembali tak bisa menyelesaikan permainan ini karena kalah dari
teman-teman.
Masih di hari yang sama cuma
berselang jam, aku sudah berdiri tegak di lapangan. Tiga temanku
berjajar di kiri dan di kananku juga ada tiga teman. Mulutku mengulum
ujung gagang perkakas besi. Di ujung perkakas itu, sebutir kelereng
oleng ke sembarang arah.
Aku tak segera melangkah cepat menuju garis finish ketika aba-aba permainan dimulai. Ya agar gundu
tak semakin oleng hingga akhirnya jatuh ke tanah. Namun melihat
teman-temanku berjalan setengah berlari, aku pun mempercepat langkah.
Sayang, sebab langkah cepat itu aku gagal menyelesaikan perlombaan
karena gundu jatuh ke tanah.
Jelang siang masih di hari yang
sama, aku sudah lagi tak menjadi peserta permainan. Tapi aku masih di
pinggir lapangan, melihat dan seringkali ikut tertawa bersama penonton
lainnya melihat tingkah laku peserta lomba.
Seperti permainan yang satu ini.
Semua peserta lomba bertelanjang dada. Mereka terbagi menjadi tiga grup
yang masing-masing grup ada tiga orang.
Setiap tiga orang itu mengitari
Jeruk Bali yang tergantung. Di sekeliling kulit Jeruk Bali itu
berlumuran oli bekas berwarna hitam pekat.
Gelak tawa penonton pun pecah ketika
lomba yang satu ini dimulai. Bagaimana tidak berderai tawa penonton
soalnya wajah mereka para peserta lomba, belepotan oli bekas. Mirip
Dakocan.
Ya demi memenangi lomba, daerah
sekitar mulut peserta lomba belepotan hitam pekat karena mereka harus
mencabut uang logam yang menancap kuat di sekeliling kulit Jeruk Bali
dengan gigi.
Selain lomba Gigit Koin Di Jeruk
Bali, masih banyak permainan orang dewasa yang aku saksikan hampir
seharian di hari kemerdekaan 17 Agustus. Misal seperti Tarik Tambang,
Balap Karung dan Panjat Pinang.
Sembari menonton lomba-lomba 17-an,
aku berjanji pada diri sendiri, kelak jika aku remaja ingin ikut
sejumlah lomba itu. Namun sayang ketika sudah berusia 20 tahun sampai
tulisan ini dibuat, di hari kemerdekaan 17 Agustus sudah tidak lagi
semua lomba itu di Komplek tempat aku tinggal.
Kenapa ya? Apa lomba Makan Kerupuk,
Balap Karung, Panjat Pinang dan lomba sejenisnya itu sudah termasuk
permainan yang dianggap tradisional, sehingga tidak layak lagi dimainkan
di daerah perkotaan?
Oia, di tempat aku tinggal memang
saat ini dibilang termasuk daerah perkotaan, walaupun masuk kawasan
Jakarta Coret. Maka dari itu imbas gaya hidup perkotaan juga cepat
merembet ke daerah tempat aku tinggal, ya bisa jadi termasuk gaya hidup
memandang sejumlah perlombaan hari kemerdekaan 17 Agustus bagian dari
permainan tradisional.
Padahal lomba-lomba semacam itu bisa
memupuk rasa kebersamaan antar warga. Misal seperti dari bagaimana
mempersiapkan dari awal ide acara sampai hari H-nya, itu semua dirembuk
bareng-bareng oleh panitia yang rata-rata berusia remaja ke atas.
Selain rasa kebersamaan dan
kekompakan, semua lomba 17-an juga memupuk rasa sportivitas bagi para
peserta permainan. Ya mereka yang sedang berlomba akan belajar bagaimana
menghormati atau respek terhadap peserta yang kalah apalagi yang
menang.
Kini rasa kebersamaan, kekompakan,
dan sportivitas seakan dikalahkan oleh sifat-sifat gaya hidup perkotaan.
Gaya hidup perkotaan misal seperti individualistik, egois dan tidak mau
diajak kerjasama kalau tidak menguntungkan diri sendiri.
Hal kekalahan itu tidak hanya
terjadi di tempat aku tinggal, tetapi daerah-daerah sekitar Kompleksku.
Ya ketika tiba saatnya 17 Agustus, aku juga mengamati daerah-daerah
sekitar juga sudah tidak ada lagi merayakan ragam permainan tradisional.
Kalau mau diusut lebih lanjut, gaya
hidup perkotaan bukan penyebab satu-satunya ragam permainan tradisional
di Hari Kemerdekaan Indonesia hilang. Faktor sudah tidak ada lagi Ruang
Terbuka Hijau (baca: lapangan) juga turut menyumbang mengapa kini
perayaan 17 Agustus terasa garing di daerah perkotaan.
Kini ada semacam rasa kangen aku
menyaksikan ragam permainan tradisional di Hari Kemerdekaan Indonesia
apalagi menjadi pesertanya. Haruskah aku ke daerah-daerah pedesaan di
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan,
Pulau Sulawesi, Pulau Papua hanya untuk mengobati rasa kangen ini?
Aku yakin di daerah-daerah pedesaan
itu masih merayakan ragam permainan tradisional di Hari Kemerdekaan RI.
Ya sebab di daerah-daerah pedesaan itu rasa kebersamaan masih mengikat
kuat.
Nah maka dari itu aku punya ide untuk Indonesia Travel
sebagai penyedia informasi dan promosi pariwisata Indonesia. Bagaimana
kalau Indonesia Travel menyediakan paket wisata di Hari Kemerdekaan RI.
Tentu paket wisata ini khusus diperuntukkan bagi sejumlah orang
perkotaan yang rindu merayakan ragam permainan tradisional di Hari
Kemerdekaan RI.
Nantinya paket wisata itu juga akan
menjadi daya tarik bagi para wisatawan asing yang ingin merasakan ragam
permainan tradisional di Hari Kemerdekaan RI.
by: http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2013/07/26/perayaan-ragam-permainan-tradisional-itu-hilang-579824.html
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com