Disadari
atau tidak, ‘pesta’ demokrasi di negeri ini akan segera dimulai. Tahun
ini, seluruh kepentingan mulai bergerak, melakukan ‘operasi’ secara
besar-besaran hingga ke akar rumput. Pemilihan Legislatif dan Pemilihan
Presiden-Wakil Presiden 2014-2019 bukan hanya menjadi perhelatan bagi
penyelenggara dan peserta, lebih dari itu sejarah negeri ini akan
terukir kembali. Nasib rakyat kini dipertaruhkan atas pemimpin-pemimpin
yang akan saling mengganti atau mereka yang lalu duduk kembali. Lebih
dari 200 juta Penduduk Indonesia menaruh harapan yang besar pada
pemimpin baru bangsa ini.
Beberapa dekade ini, Indonesia selalu dihadapkan beberapa permasalahan seputar pemilu yang terus terulang. Pertama, Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang disinyalir tidak termutakhirkan serta diduga terdapat data-data penduduk yang fiktif. Kedua, permasalahan seputar money politics
(politik uang) dimana peserta pemilu dan pendukungnya berupaya
mendapatkan simpati dan suara pemilih dihari penentuan pemilihan umum
itu sendiri. Ketiga, permasalahan terkait dengan peraturan pendanaan peserta pemilihan umum.
Dibeberapa kesempatan, pembahasan terkait
dengan ketiga isu tersebut bergulir dikalangan partai politik, pelaksana
pemilihan umum, akademisi/ pengamat, dan juga masyarakat melalui
simpul-simpul organisasi yang memberikan perhatian lebih seputar
pemilihan umum. Namun, terkait dengan peraturan pendanaan peserta pemilu
belum menjadi sebuah perhatian khusus oleh publik. Pasalnya,
permasalahan ini bukanlah hal yang mudah untuk dihadapi atau untuk
dilakukan pembenahan melalui sebuah instrumen hukum. Hal tersebut
dikarenakan proses penentuan peraturan tersebut pun melibatkan tidak
hanya Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara, namun juga DPR-RI
selau lembaga legislatif.
Peraturan terkait pembatasan jumlah dan
pelaporan yang ada dianggap belum menggambarkan akuntabilitas dan
keterbukaan sesuai prinsip yang dianut oleh sistem pemilihan umum di
negeri ini. Prof. Saldi Isra di dalam bukunya “Kekuasaan
dan Perilaku Korupsi” menerangkan bahwa dana kampanye merupakan elemen
yang tidak diatur dan dilakukan pengawasan serta evaluasi yang ketat.
Hal tersebut tentu membuat proses pemilihan umum yang telah dilalui
tidak dijamin bersih dari segala bentuk kecurangan, terlebih kemungkinan
besar masuk dan bercampurnya dana-dana ‘haram’ hasil kejahatan atau
proses yang tidak benar. Komisi Pemilihan Umum dan masyarakat kesulitan
untuk mengetahui fakta terkait sumber dana, jumlah dan penggunaannya.
Terlebih secara hukum hal tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan
apabila kemudian hari ada hal-hal yang bersifat kecurangan.
Mencegah masuk dan bercampurnya uang ‘haram’
dan kecurangan terkait asal usul dana sumbangan untuk proses kampanye
pemilihan umum, dibutuhkan instrumen atau regulasi yang jelas dan terang
benderang untuk mengatur hal tersebut. Namun yang terjadi hingga detik
ini instrumen atau regulasi yang mengatur seputar dana kampanye
pemilihan umum masih lemah.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak secara jelas memberikan
definisi apa yang dimaksud oleh undang-undang sebagai dana kampanye.
Alas pengertian tersebut sangat penting untuk memberikan limitasi atau
batasan bagi peserta pemilihan umum dalam kaitannya dengan perolehan,
penggunaan dan pelaporan (pertanggungjawaban) kepada KPU/ masyarakat
umum. Pendanaan kampanye diatur di dalam Pasal 129, Pasal 130 dan Pasal
131 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Tidak ada pembatasan jumlah dana
yang dapat digunakan untuk mendanai kampanye peserta pemilihan umum.
Kemudian, peserta diminta untuk melaporkan aktifitas penerimaan dan
pengeluaran dana kampanye untuk diaudit oleh akuntan publik yang
ditunjuk oleh KPU. Jelas peraturan tersebut tidak menyeluruh (Compherensive) mengatur segala potensi buruk yang ditimbulkan dari pendanaan kampanye pemilihan umum.
Permasalahan yang muncul di sini yaitu
konsentrasi isu adalah jumlah yang digunakan untuk kampanye tidak
dibatasi sehingga dimungkinkan setiap peserta menggunakan dana yang
sangat banyak dan tidak terkendali. Tidak terkendalinya penerimaan
tersebut, membuat siapa saja bisa menyumbangkan dana, termasuk pelaku
kejahatan, yang berupaya untuk melakukan pencucian uang. Baik di dalam
undang-undang atau peraturan lain yang terkait, tidak ada satu mekanisme
uji tuntas (due diligence) terhadap asal-usul dana kampanye, pemilik sesungguhnya (beneficial owner),
dan motif/ tujuan. Pasal 131 ayat (3) hanya meminta pemberi sumbangan
mencantumkan identitas yang sesungguhnya disertai Nomor Pokok Wajib
Pajak. Siapa yang dapat menjamin bahwa uang tersebut ‘benar’ berasal
darinya?. Verifikasi pemilik yang sebenarnya tidak dilakukan sebagai
bentuk pemeriksaan kebenaran lanjutan dari tiap data yang diberikan.
Dengan sangat mudah bagi mereka yang akan mencuci uang, memberikan dana
kampanye meminta orang lain yang dapat dipercaya untuk melakukan
perjanjian pinjam nama (nominee arrangement) dengan harapan asal muasal uang hilang dan ‘mungkin’ timbal balik politik.
Pasal 130 menyatakan bahwa sumbangan dana
kampanye atas pihak-pihak tertentu seperti perseorangan, kelompok,
perusahaan dan/atau badan hukum non-pemerintah tidak boleh mengikat. Hal
ini mungkin oleh pembuat undang-undang dimaksudkan untuk menghindari
adanya kendali politik dan kebijakan oleh pihak-pihak di luar wakil
rakyat tersebut. Dikuatirkan kebijakan dan keputusan mereka berlandaskan
kepentingan golongan tertentu. Namun, patut diingat bahwa yang harus
dipahami adalah pendekatan tersebut tidak cukup untuk melakukan upaya
penyelenggaraan pemilihan umum jujur, bersih, adil, sehingga sejak
proses hingga terpilihnya mereka dijalani sesuai harapan. Lemahnya
pengaturan dan pengawasan terkait pendanaan tersebut tentu menjadi celah
yang sangat strategis bagi pelaku pencucian uang, terlebih pendekatan
ini belum sepenuhnya diaplikasikan dalam regulasi dan pengawasannya.
Menurut saya, pendekatan rezim anti-pencucian
uang dalam peraturan penyelenggaraan pemilihan umum menjadi mutlak
dilakukan. Pasalnya, longgarnya peraturan dan pengawasan di lapangan
meningkatkan kerentanan pendanaan kampanye pemilihan umum dijadikan
sarana pencucian uang.
Tentu beberapa hal sudah dilakukan untuk
mencegahnya, seperti upaya pembuatan Peraturan Komisi Pemilihan Umum
(PKPU) yang mencoba membatasi jumlah dana kampanye untuk menekan potensi
masuk dan bercampurnya uang haram dari hasil kejahatan ke dalam
rekening dana kampanye. Tanpa pembatasan yang jelas dan ketat, maka
potensi terjadinya korupsi disertai pencucian uang sangat besar. Tanpa
pembatasan, maka dominasi politik semakin tinggi, gap atau
perbedaan yang muncul semakin jauh antara partai politik kecil dan
besar. Karena dana kampanye menjadi salah satu cara mereka merebut hati
pemilih, maka sangat mungkin terjadi penerimaan dan perolehan dana
kampanye dari hasil kejahatan, pemerasan, penyuapan, rekayasa proyek dan
kolegalitas anggota partai yang sedang menjabat, dan cara-cara lainnya
yang jelas dilarang oleh hukum. Transaksi politik tersebut yang akhirnya
menambah keyakinan saya bahwa pengaturan yang tidak komperehensif dan
terkesan tidak serius memberikan celah besar bagi uang-uang haram masuk
dan bercampur. Perkembangan terbaru dari pembahasan peraturan tersebut
adalah masih terjadi perbedaan pendapat antara KPU dan DPR-RI. Kita akan
nantikan babak baru dari upaya KPU melakukan pembatasan jumlah dana
kampanye tersebut.
Semoga pemilu 2014 tidak akan menjadi tragedi
pencucian uang besar-besaran yang diamini secara konstitutif oleh
seluruh pembuat kebijakan di negeri ini. Karena hakikat dari pemilihan
umum adalah kepercayaan yang diberikan rakyat kepada orang-orang yang
diyakini dapat menjadi wakil mereka di setiap posisi, untuk mengambil
kebijakan atas nama rakyat. Maka proses yang baik akan menentukan hasil
yang baik. Tentu memberantas tindakan korupsi harus dilakukan dengan
cara yang tidak korup. Seluruh unsur masyarakat dan pengambil kebijakan
diharapkan menaruh perhatian lebih terkait isu ini, karena tanpa adanya
dorongan dan pengawasan yang ketat, tidak mustahil hal tersebut akan
merusak perpolitikan di negeri ini.
Ryan Eka Permana Sakti | Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia | Peneliti pada Indonesian Research Center on Anti-Money Laundering and Countering Financing of Terrorism (IRCA)
by: http://hukum.kompasiana.com/2013/08/08/ancaman-pencucian-uang-di-pemilu-2014-579798.html
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com